March 21, 2016

REVIEW : ALLEGIANT


“You want change without sacrifice, you want peace without struggle. The world doesn't work that way.”

Berkaca pada pengalaman kurang memuaskan yang diperoleh di Breaking Dawn maupun Mockingjay, agak mengkhawatirkan sebetulnya begitu mengetahui jilid terakhir dalam rangkaian seri Divergent, Allegiant, bakal dipecah menjadi dua bagian terlebih materi cerita franchise ini juga sebetulnya tidak kuat-kuat amat. Kalau boleh berbicara menggunakan bahasa faksi Candor, jauh di bawah The Hunger Games. Dengan Mockingjay yang mempunyai amunisi lebih mumpuni saja agak tertatih-tatih dalam bercerita kala diterjemahkan ke bahasa gambar lantaran dipaksakan untuk diperpanjang durasinya, maka bagaimana jadinya Allegiant? Kamu mungkin sudah bisa menduganya (beberapa teman telah menaruh kecurigaan semenjak trailer diluncurkan), dan begitulah adanya. Kecurigaan itu terbukti. Allegiant yang masih dikomandoi oleh pembesut Insurgent, Robert Schwentke, membawa kabar buruk kepada para penikmat film adaptasi novel young adult berlatarkan distopia rancangan Veronica Roth tersebut. Alih-alih mengalami peningkatan dari Insurgent dan membawa franchise ini ke tingkatan lebih terhormat, Insurgent justru terjun bebas sekaligus mencoreng ‘nama baik’ The Divergent series

Melanjutkan apa yang tertinggal di penghujung jilid kedua, Allegiant menyoroti upaya Tris (Shailene Woodley) bersama rekan-rekan seperjuangannya; Four (Theo James), Caleb (Ansel Elgort), Christina (Zoe Kravitz), dan Peter (Miles Teller), untuk melarikan diri dari tempat tinggal mereka dan mencari tahu ada apa di balik tembok besar yang melingkungi Chicago selama ini. Menapakkan diri di suatu tempat bernama Fringe, lima serangkai ini seketika mendapati kenyataan sama sekali berbeda dari bayangan mereka. Gersang dan dipenuhi limbah beracun adalah pemandangan yang mereka tangkap. Dalam perasaan bercampur baur antara takut, kecewa, dan terkejut, kelimanya dihampiri sekelompok pasukan yang membawa mereka ke sebuah kota mutakhir di bekas Bandara O’Hare. Menganggap bahwa tempat ini akan memberikan keselamatan, atau setidaknya begitulah pemikiran Tris yang entah mengapa tiba-tiba sangat naif, nyatanya segalanya tidak jauh lebih baik. Sang pemimpin, David (Jeff Daniels), mempunyai rencana terselubung dengan tujuan dari segala keputusannya adalah menemukan ‘manusia sempurna’ demi masa depan lebih baik. 

Dua puluh menit pertama Allegiant merupakan bagian terbaik yang bisa kamu peroleh dari film. Luapan kemarahan para kaum tertindas di bawah komando Factionless menyusul tewasnya Jeanine (Kate Winslet) disusul aksi nekat lima serangkai menembus – atau lebih tepatnya memanjat – tembok pertahanan seraya melawan para pesuruh Evelyn (Naomi Watts) membawa energi tinggi yang sudah cukup meyakinkan kita bahwa Allegiant mungkin akan lebih menyenangkan buat ditonton daripada kedua kakaknya. Mungkin. Begitu Tris dan rekan-rekan sejawatnya ini memasuki area sama sekali asing bagi mereka yang tandus, penonton seolah telah mendapatkan peringatan soal sisa durasi ke depan yang juga kering alih-alih penuh dentuman seperti detik-detik menuju pemanjatan tembok. Dan benar saja, laju film yang semula bergerak gesit penuh semangat perlahan tapi pasti mulai mengendur, terus mengendur, sampai akhirnya benar-benar loyo yang seketika mengecewakan anggota faksi Dauntless. Ketegangan bak menonton film thriller yang menjadi kekuatan sang predesesor, khususnya Insurgent, mendadak raib disini dan tergantikan oleh rangkaian aksi yang seperti dieksekusi menggunakan bujet terbatas plus jasa kru kurang berpengalaman terlihat dari betapa kasarnya polesan efek khusus di beberapa titik (sampai sulit mempercayai kucuran dananya melebihi $100 juta). 

Sementara rentetan adegan laganya kehilangan energi seiring bergulirnya film – makin lama makin menjemukan dan begitu-begitu saja – tatanan penceritaan pun tidak lebih baik, malah ada kalanya lebih memprihatinkan. Perbincangan-perbincangan soal ‘purist’ antara David dengan Tris termasuk pengungkapan rahasia pembentukan tembok terlalu menyerupai The Maze Runner hanya saja sekali ini motifnya berasa dipaksakan sekaligus kelewat konyol untuk bisa ditanggapi serius. Dan lagi, seolah ada redundansi pada plot Allegiant karena konfliknya sendiri tidak lebih dari pengulangan dari dua jilid pertama namun dibedakan oleh latar tempat. Well, bukankah David pada dasarnya adalah Jeanine versi laki-laki?. Duh. Kekacauan skrip berisi pula humor tak lucu (“what is an airport?” dilontarkan oleh seorang Erudite. Bravo!) yang lebih sering memberikan kebingungan ketimbang penjelasan masuk akal turut berimbas pula pada tersendatnya pengembangan karakter. Semua karakter masih seperti dahulu kala, kecuali Christina yang sering tiba-tiba lenyap tiba-tiba muncul layaknya Jelangkung, Caleb yang mendadak konyol mengalahkan kekonyolan Peter, dan paling parah adalah Tris yang seketika kehilangan karismanya. Tatkala Katniss Everdeen kian tangguh mendekati pertarungan puncak, Tris justru kian terlihat naif pula kebingungan. She’s like, “dimana aku? mengapa aku disini? aku siapa? kamu siapa? tolong aku.” 

Jajaran pemainnya pun tidak membantu... sama sekali. Daripada memberikan sokongan yang dibutuhkan, aktor aktris kelas A yang turut memeriahkan Allegiant justru ikut terseret menjadi korban keamburadulan naskah. Satu-satunya pelakon yang masih tampak ‘niat’ mencurahkan seluruh kemampuannya berseni peran adalah Theo James. Mengalami peningkatan dari seri ke seri (ya, Four adalah karakter 'waras' tunggal di Allegiant), ada masa depan bagus bagi aktor ini di industri film. Sedangkan para pemain lain yang mempunyai jam terbang lebih tinggi justru terkesan ogah-ogahan. Oke, Milles Teller memang masih agak terlihat menikmati perannya sebagai Peter yang menyebalkan, tapi Shailene Woodley? Damn, dia sangat tampak kebosanan dan kelelahan sampai-sampai berimbas ke sosok Tris yang lemas seperti kekurangan cairan. Bahkan ada kalanya dia memberi ekspresi muka yang jauh lebih mengesalkan daripada Peter saat memilih keputusan bodoh. Octavia Spencer (pemeran Johanna), Naomi Watts, dan Jeff Daniels pun sama menderitanya tapi lebih kepada minimnya kesempatan bagi mereka untuk unjuk gigi. Disia-siakan begitu saja. Melihat betapa memprihatinkannya nasib para aktor-aktris di Allegiant akibat dari buruknya naskah dan pengarahan, saya cukup yakin saat ini Kate Winslet sedang tak henti-hentinya bersyukur karena sudah tidak lagi terlibat di franchise ini.

Setelah menyaksikan Allegiant, apakah ada ketertarikan untuk melanjutkannya ke jilid (akhirnya) pamungkas, Ascendant?

Poor (2/5)

6 comments:

  1. jadi masih mendingan Mockingjay part 1 yah?

    Ini karena filmnya dipecah 2 sih, ikut-ikutan Harry Potter, Breaking Dawn dan Mockingjay. Bedanya cuma Harry Potter yang emang relevan dipecah 2 karena ceritanya terlalu kompleks jadi tidak bakal cukup kalau hanya dibuat 1 film saja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ^ Bersyukurlah, Mas. Hahaha.

      @Lina: Aduh. Separah-parahnya Mockingjay, buatku, masih bagus. Part 1 cukup thought-provoking dan part 2 menyukai akting gila Jennifer Lawrence.

      Kalau Allegiant ini emang kerasa banget dipaksain buat dipecah. Materinya sama sekali nggak kuat. Setelah menontonnya saja bahkan nggak minat buat cicipin seri berikutnya (bahkan Breaking Dawn saja masih menggoda!).

      Delete
  2. Untung ga gegabah pengen nonton. Poor :D

    ReplyDelete
  3. Tonton aja kalau udh ngikutin seri sebelumnya, lebih baik punya pendapat sendiri

    ReplyDelete
  4. jeff bridges main sebagai apa om? setau saya jeff daniels yang jadi david

    ReplyDelete
  5. Makasih buat koreksinya. Typo. Yang bener emang Jeff Daniels. Padahal awalnya juga nulis Jeff Daniels, eh kok di akhir malah jadi Bridges.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch