March 12, 2016

REVIEW : LONDON HAS FALLEN


"London is just the first stop. Just imagine every major city, descending into chaos. Your president dies tonight." 

Sudahkah kamu menonton Olympus Has Fallen yang mempertontonkan keruntuhan Gedung Putih akibat serangan beruntun dari para teroris? Menyukainya? Apabila jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah ‘ya’, tentu tidak sulit bagimu dalam menikmati film kelanjutannya yang kali ini memporakporandakan The Old Smoke, London Has Fallen. Sekalipun dikomandoi kepala koki baru, Babak Najafi, yang menggantikan Antoine Fuqua, London Has Fallen masih mengusung semangat serupa dalam penghormatannya ke film-film laga Hollywood di era 1990-an dengan bahan-bahan dasar yang tidak juga berbeda. Perubahan satu-satunya dari Najafi adalah melipatgandakan takaran – berpatokan pada instruksi tidak tertulis untuk sebuah sekuel yang menuntut peningkatan cakupan skala – sehingga penonton diharapkan bisa bersuka cita lantaran memperoleh kesenangan maksimum kala menyantap kehancuran kota London di layar lebar. Dan memang, itulah yang akan didapatkan oleh penonton begitu memutuskan membayar tiket bioskop untuk pertunjukkan bernama London Has Fallen

Setelah kegagalan Korea Utara melumpuhkan Amerika Serikat melalui serangan di Gedung Putih, kini giliran para teroris dari Pakistan yang unjuk gigi dengan merancang kota London – terutama pada sejumlah landmark-nya – sebagai arena berburu Presiden Negeri Paman Sam maupun pemimpin negara lainnya. Dihelatnya upacara pemakaman bagi Perdana Menteri Inggris yang meninggal secara misterius memberi kesempatan emas bagi kelompok teroris pimpinan Aamir Barkawi (Alon Aboutboul) untuk melancarkan teror lantaran seremoni tersebut turut dihadiri para pemimpin negara-negara berkuasa. Mengingat serangan ini telah dirancang menahun, mudah bagi Aamir beserta kroni-kroninya untuk mengecoh kepolisian Inggris sehingga status London seketika dinyatakan sebagai darurat perang. Seiring tumbangnya para pemimpin dunia satu demi satu, Mike Banning (Gerard Butler) sekali lagi harus menjalankan tugasnya untuk menyelamatkan Presiden Benjamin Asher (Aaron Eckhart) terlebih Aamir berencana menyiarkan proses eksekusi Benjamin ke seluruh dunia melalui internet. Tanpa benar-benar mengetahui siapa saja yang dapat dipercaya di medan pertempuran ini, maka keselamatan dunia sekali ini pun bergantung sepenuhnya pada Mike dan Benjamin. 

Seperti halnya sang kakak, London Has Fallen memperoleh skor tinggi untuk parade aksi yang gegap gempita tak berkesudahan. Ya, Najafi terbukti tak mengalami kesulitan berarti dalam menerima tongkat estafet dari Fuqua yang ditunjukkannya melalui keterampilan dalam mengolah barisan laga pemacu adrenalin. Kesemuanya klise, nyaris tidak bersinggungan dengan kata ‘inovatif’, tapi hey, siapa bersedia melontarkan keluhan jika si pembuat film berhasil meramunya untuk tetap membuat penonton duduk seraya mencengkram erat kursi bioskop? Itulah yang dilakukan oleh Najafi pada London Has Fallen. Kamu jelas salah tempat apabila mencari guliran pengisahan cerdas, permainan lakon kelas kampiun, atau pengadeganan realistis di sini karena telah jelas tergurat (bahkan sejak sang predesesor) bahwa tujuan utama penciptaan London Has Fallen yakni murni sebagai tontonan eskapisme. Selama semangat penonton sanggup dihidupkan, jantung penonton bisa dibuat berdegup kencang, lalu pada akhirnya menghela nafas lega di ujung film seraya mengucap ‘phew’ atau sesederhana ‘seru’ maka artinya misi telah ditunaikan dengan sangat baik. 

London Has Fallen, yang elemen-elemennya banyak meminjam film laga 90-an khususnya rangkaian film Die Hard (lihatlah, ada sedikit banyak kemiripan karakteristik antara John McClane dengan Mike Banning!), bergabung bersama grup ‘mission accomplished’ tersebut. Sedari menit-menit pertama, Najafi telah mengondisikan kita untuk sigap. Menu pembukanya begitu menggoyang lidah sampai-sampai membentuk rasa penasaran, “kekacauan seperti apa yang akan ditimbulkan oleh para teroris ini?,” disamping keingintahuan terhadap kompetensi Najafi menyembulkan ketegangan. Kala Benjamin dan para bawahannya akhirnya menjejakkan kaki di London, menu utama lantas dihidangkan tanpa banyak berbasa-basi. Ledakan-ledakan, desingan peluru, dan kejar-kejaran (dari paling dasar menggunakan kaki sampai paling sophisticated memanfaatkan helikopter yang menghadirkan satu adegan pengejaran mendebarkan) konstan terdengar. Hanya sesekali mempersilahkan penonton menghembuskan nafas melalui pembubuhan humor yang agak disayangkan terasa garing, pemandangan brutal berupa Mike membabi buta menghabisi para teroris terus berlanjut sampai puncaknya pada menu penutup yang tervisualisasikan cukup apik seolah-olah kita tengah memainkan video game

Apakah lebih baik ketimbang Olympus Has Fallen? Well, jawabannya sangat mungkin terpecah antara ‘ya’ atau ‘tidak’. Walau secara pribadi menganggap jilid pendahulu tetaplah lebih superior – terutama disebabkan faktor tidak bergunanya Morgan Freeman, Mellisa Leo, dan Jackie Earle Harley di seri kedua ini serta keleluasaan ruang gerak sedikit meminimalisir intensitas – namun tak bisa disangkal London Has Fallen adalah sebuah hidangan memuaskan. Memenuhi semua pengharapan yang dapat kamu tetapkan pada sekuel dari film arahan Fuqua tersebut. Apabila kamu berencana untuk menyegarkan pikiran dari rutinitas sehari-hari yang padat atau semata-mata rindu pada kegilaan film laga era 90-an yang menghadirkan jagoan sulit tertaklukkan melawan  teroris kelas internasional, maka London Has Fallen yang dapat diwakili dalam tiga kata; seru, menegangkan, dan mengasyikkan, ini adalah pilihan tepat untuk kamu konsumsi di layar lebar.

Acceptable (3/5)

3 comments:

  1. saya blm menonton film ini tapi yang pendahulunya sdh.
    Olympus Has Fallen terlalu bodoh di jalan cerita.banyak hal yg tdk masuk akal tapi selama bisa memacu andrenalin itu bisa di maafkan...kan poin utama yg diharapakan penonton di genre film beginian pastinya adegan action nya yg wow...
    Dan itu dilakukan dgn baik di film pertama nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baik Olympus Has Fallen maupun London Has Fallen memang sengaja diciptakan sebagai film aksi yang 'dumb fun'. Ada kesadaran penuh kok dari pembuatnya kalau film mereka punya skrip bodoh. Apalagi ini dari Millenium Films, spesialis film aksi kelas B, jadi yap, harapkan saja terhibur oleh aksi super lebaynya. Lainnya lupakan saja. Dengan begitu bakal enjoy kok menontonnya.

      Delete
    2. baru nonton film London has fallen dan menurut saya lebih seru yg pertama Olympus has fallen..
      Dikarenakan adegan action nya lebih seru dan tegang yg pertama dan juga disni adegan bodoh nya terlalu banyak dibandingkan seri pertama..

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch