September 6, 2016

REVIEW : TRAIN TO BUSAN


“I’ll take you to mom no matter what.” 

Belum ada sepekan memproklamirkan 2016 sebagai tahun yang ngertiin banget para pecinta film horor – hati masih dibuat bungah oleh Don’t Breathe – muncul satu lagi judul film seram yang menyita perhatian. Sekali ini penyuplainya bukan Negeri Paman Sam, melainkan dekat-dekat saja berasal dari Korea Selatan dan konon kabarnya telah merengkuh 11 juta penonton selama penayangan di bioskop dalam negeri (wuedan!). Train to Busan, demikian film ini disebut, bermain-main dalam teritori zombie yang ulik punya ulik baru kali pertama dijadikan bahan kupasan film besar buatan sineas Negeri Gingseng dan ngobrol-ngobrol soal pertama, kursi penyutradaraan film ini diduduki sutradara pendatang baru dalam ranah live action, Yeon Sang-ho, yang jejak rekamnya meliputi animasi-animasi panjang seperti The King of Pigs dan The Fake. Hmmm... meragukan? Well, sekalipun serba pertama, kenyataannya Train to Busan bukanlah ‘film hijau’ yang bisa kamu olok-olok sesuka hati. Menyatukan elemen penggedor jantung dengan elemen penggelitik saraf haru secara sempurna berbalut efek khusus meyakinkan, Train to Busan merupakan bukti lainnya bahwa perfilman Korea Selatan seharusnya di tingkatan teratas untuk diwaspadai oleh Hollywood. 

Protagonis utama dalam Train to Busan adalah seorang manajer pendanaan bernama Seok-woo (Gong Yoo) yang terlalu sibuk bekerja sampai-sampai kesulitan mengatur quality time dengan putri semata wayangnya, Su-an (Kim Su-an). Kekecewaan Su-an terhadap sang ayah mencapai titik kulminasi setelah mendapatkan hadiah ulang tahun yang sama seperti tahun sebelumnya. Su-an pun menuntut Seok-woo untuk menemaninya menjumpai sang ibu yang telah berpisah dengan ayahnya di Busan. Meski penuh keraguan pada mulanya, sebuah rekaman video menyadarkan Seok-woo agar memberikan waktu beserta perhatian lebih kepada Su-an. Seok-woo pun bersedia mengantarkan putrinya ke Busan dengan menaiki Korea Train Express yang bertolak dari Seoul di pagi buta. Dalam perjalanan menuju stasiun, Seok-woo mencium adanya ketidakberesan yang lantas dianggapnya kecelakaan biasa. Yang tidak diketahuinya, begitu pula ratusan penumpang lain, sebuah virus misterius tengah menginfeksi penduduk Korea dan menjalar sangat cepat tanpa terkendali. Saat salah seorang korban menyusup masuk ke dalam kereta, kereta menuju Busan pun bukan lagi moda transportasi yang aman. Sejumlah penumpang yang selamat pun berusaha bertahan hidup sampai kereta berhenti di stasiun terakhir dengan caranya masing-masing. 

Korea, oh Korea. Siapa sih bakal menyangka film zombie bisa bikin kamu usap-usap air mata? Tapi itulah yang akan kamu lakukan selepas menyaksikan Train to Busan – atau setidaknya di 20 menit terakhir. Memang untuk urusan memporakporandakan emosi penonton, perfilman Negeri Gingseng sudah tidak perlu kamu pertanyakan lagi kehebatannya. Namun tetap saja tidak pernah terlintas di benak akan ada tetesan air membasahi pipi kala menyaksikan sebuah film mengenai serangan mayat hidup. Damn. Tanda-tanda film akan diarahkan pula ke jalur melodrama sih sejatinya telah tercium sedari awal mengikuti keputusan Yeon Sang-ho ditemani penulis skenario Park Joo-suk untuk membawa penonton melongok ke relasi dingin antara Seok-woo dengan putrinya. Somehow, kita dapat merasakan mereka akan memanfaatkannya sebagai senjata pengoyak hati-hati sensitif ketika keadaan semakin genting. Tidak hanya mengandalkan Seok-woo dan Su-an, si pembuat film turut memperkenalkan penonton pada beberapa karakter simpatik seperti pasangan suami istri Sang-hwa (Ma Dong-seok) dan Seong-kyeong (Jung Yu-mi), seorang nenek Jong-gil (Park Myung-sin), pria tunawisma (Choi Gwi-hwa), beserta pasangan muda mudi dari tim baseball sehingga kita dapat menginventasikan emosi ke film. 

Dalam artian, penonton mempunyai kepedulian atas nasib barisan karakternya yang meningkatkan greget filmnya itu sendiri. Kita bisa berteriak-teriak “ayo lekas lari, lekas!” saat gerombolan zombie bersiap memangsa mereka, ikut diliputi amarah membara tatkala salah seorang penumpang egois berikut penumpang-penumpang hasutannya mengisolasi mereka, sampai merasakan ketidakrelaan teramat sangat ketika satu persatu mulai terinfeksi. Kemampuan melibatkan emosi inilah yang membuat atensi penonton terpancang sepanjang durasi sampai-sampai enggan beranjak meski hanya sedetik dua detik dari kursi sebelum kereta akhirnya benar-benar berhenti di stasiun Busan. Perjalanan selama dua jam yang dimasinisi Yeon Sang-ho sendiri berlangsung cepat. Tidak pernah meninggalkan rasa lelah, apalagi menjemukan, dan tahu-tahu telah memasuki stasiun terakhir. Resepnya, kepiawaian masinis memberikan atraksi-atraksi menarik di setiap stasiun maupun gerbong dan laju kereta yang kencang dijaga konstan. Sebelum elemen melodrama menyelinap ke penceritaan, Train to Busan terlebih dahulu diatur ke mode suspense yang mencekat. Titik lontarnya terhitung sedari Korea Train Express meninggalkan Seoul begitu seorang perempuan dinyatakan resmi terinfeksi. 

Tidak ada lagi ketenangan, tensi ketegangan seketika mencuat. Hanya dalam hitungan menit, mayoritas gerbong telah disesaki oleh zombie-zombie dadakan yang senantiasa kelaparan. Mereka bergerak gesit, menyulitkan para penyintas (beserta penonton, tentunya) untuk menghela nafas barang sejenak. Satu-satunya cara menghentikan serangan zombie – selain menghabisinya satu persatu dengan gagah berani yang berarti resiko tertular sangat besar – adalah menghalau pandangan mereka. Itupun hanya mengulur waktu, bukan benar-benar mengatasi persoalan. Jadi menjauhi kawanan zombie adalah solusi terbaik yang bisa ditawarkan guna memperoleh keselamatan. Yang kemudian membuat Train to Busan kian menggigit buat ditonton adalah pergerakan berikut perlengkapan buat mempertahankan hidup yang serba terbatas mengingat mereka terjebak di dalam kereta sehingga memberikan ketegangan tersendiri serta adanya ancaman dalam bentuk lain yang turut dimanfaatkan si pembuat film untuk melontarkan kritik sosial. Ya, zombie bukanlah sosok paling berbahaya yang dihadapi oleh Seok-woo dan kawan-kawan karena mereka juga harus menghadapi sesama penumpang lain yang justru lebih menakutkan, mengancam pula buas saat ketakutan mulai melanda. Insting bertahan hidup seolah melegalkan mereka untuk melukai manusia lain yang dianggap membahayakan keselamatan mereka – meski berdasar asumsi belaka. Salah satunya adalah Yong-suk (Kim Eui-sung) yang tindakannya membawa korban-korban tak bersalah berjatuhan meski sulit disangkal keberadaannya merupakan berkah terselubung bagi film lantaran membawa kita pada klimaks menghentak.

Outstanding (4/5)



4 comments:

  1. makasih review nya kak, wajib ditonton nih.. udah penasaran sebenernya krn di adopt jd tema di Running Man, tp diganti jd Train to Prison XD btw, kak Cinetariz ada niatan review The Wailing dan The Witch gak ya? karena dua film itu disebut-sebut sebagai dua film horor terbaik 2016 kak.. thank you ^^~

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Anonim: Hmmm... sejauh ini sih belum ada rencana karena mau prioritasin buat review film-film yang tayang di bioskop sini dulu. Itupun nggak sanggup semuanya aku ulas :(

      Delete
  2. bener kalau urusan drama yg menyentuh korea tdk usah diragukan lagi tuk membuat emosi penonton terkoyak-koyak tapi film ini benar2 hebat tegang sakligus bikin nanggis hahahah

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch