July 30, 2017

REVIEW : TEN: THE SECRET MISSION



“Negara ini merdeka bukan karena bambu runcing, tapi karena ahli-ahli bela diri yang ahli menggunakan bambu runcing.”

Merekrut Iko Uwais atau Joe Taslim untuk membintangi film laga Indonesia itu sudah terlalu mainstream. Banyak yang berpikiran hal senada. Lagipula, secara bujet juga jelas akan membumbung tinggi. Kalau tidak balik modal kan, bikin hati merana. Para petinggi 0708 Films (bekerjasama dengan Starvision untuk distribusi) yang terlanjur kebelet ingin mengkreasi sebuah film penuh baku hantam dan suara-suara desingan peluru punya solusi jitu supaya bujet tetap murah meriah: bagaimana kalau kita rekrut saja para aktor amatiran dari kalangan model untuk ber bak bik buk ria? Agar sisi fun tetap sangat berasa, ditambah lagi pasar utama genre ini adalah laki-laki, modelnya tentu bukan berasal dari kalangan finalis L-Men melainkan majalah dewasa Popular. Ya, para perempuan cantik bertubuh seksi yang biasanya berlenggak-lenggok di atas catwalk atau mengikuti pemotretan dengan busana yang sangat menonjolkan lekuk-lekuk tubuh kini diajak serta oleh Helfi Kardit (Arisan Berondong, Arwah Goyang Karawang) untuk bermain peran di Ten: The Secret Mission. Perannya tidak sembarangan lho, mereka akan menjelma sebagai perempuan-perempuan tangguh yang dipercaya untuk berpartisipasi dalam misi penyelamatan. Terdengar mengasyikkan dan menggelikan di saat bersamaan, bukan? 

July 24, 2017

REVIEW : LET'S GO, JETS!


“Ada beberapa hal yang tidak bisa kita ubah begitu saja. Tapi kita harus tetap berusaha.” 

Tidak banyak film remaja/olahraga yang secara spesifik membicarakan perjuangan tim pemandu sorak SMA. Keberadaan ekstrakurikuler ini dalam film remaja buatan Hollywood memang nyaris tak pernah luput dari radar, hanya saja fungsinya sebatas gimmick atau sekadar memanfaatkan satu dua anggotanya sebagai karakter berstereotip “perempuan kejam”. Yang benar-benar peduli menyoroti jatuh bangunnya para cheerleader untuk mencetak prestasi dengan memenangkan kompetisi bisa dihitung dengan jari jemari, salah satu paling terkenal adalah Bring It On (2000) yang turut berjasa melambungkan karir Kirsten Dunst serta mempunyai serentetan sekuel tak penting yang diterjunkan langsung ke format home video. Meski Bring It On sendiri tak pernah usang menjadi bahan perbincangan di kalangan para penikmat film sampai sekarang, anehnya film bertema serupa masih sukar dijumpai. Setidaknya butuh lebih dari dua dekade untuk akhirnya mendapati sebuah film dengan cita rasa mirip. Yang tidak disangka-sangka, datangnya film termutakhir menyoal perjuangan tim pemandu sorak SMA bukan berasal dari Amerika Serikat melainkan dari Jepang. Menggunakan tajuk internasional Let’s Go, Jets!, film arahan Hayato Kawai ini didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009 hanya tiga tahun setelah resmi dibentuk. 

July 23, 2017

REVIEW : DUNKIRK


“You can practically see it from here. Home.” 

Tiada lagi penjelajahan antar galaksi antar dimensi. Tiada lagi perjalanan menyusuri alam mimpi. Tiada lagi manusia kelelawar berkedok pengusaha kaya yang memberantas para kriminal kala malam menyingsing. Dalam film terbarunya bertajuk Dunkirk, sutradara Christopher Nolan memutuskan untuk tetap menjejakkan kaki di semesta yang sangat kita kenal. Menjauhi fantasi yang berada di ranah kekuasaannya, pembesut Inception dan The Dark Knight ini mencoba untuk lebih merangkul realita dengan menghadirkan sebuah retrospektif tentang Perang Dunia II. Diantara setumpuk topik ihwal ‘teror perang, kemanusiaan, dan keajaiban’ yang dapat dipilih dari kurun waktu tersebut, Nolan menjumput topik perihal Evakuasi Dunkirk yang berlangsung sedari 26 Mei hingga 4 Juni 1940. Sebuah bahan obrolan yang terhitung menarik lantaran pahlawan dalam peristiwa ini bukanlah para prajurit yang diterjunkan ke medan peperangan melainkan rakyat sipil yang memenuhi panggilan mendadak dari pemerintah Britania Raya untuk membantu keberlangsungan proses evakuasi sebanyak 400 ribu tentara sekutu yang posisinya terdesak oleh pergerakan pasukan Adolf Hitler dari pesisir pantai di Dunkirk, Prancis. 

July 21, 2017

REVIEW : THE DOLL 2


“Aku rasa Kayla belum benar-benar pergi. Dia masih ada di sekitar kita.” 

Dibalik suka cita menyambut laris manisnya dua film horor tanah air tahun ini bak kacang goreng, Danur: I Can See Ghost dan Jailangkung, tertinggal pula gundah gulana – setidaknya bagi saya. Betapa tidak, antisipasi begitu tinggi terhadap judul-judul tersebut, ditambah The Curse yang juga tampak menjanjikan pada mulanya, dibayar oleh kekecewaan teramat sangat. Tatkala lampu bioskop dinyalakan, lalu pintu pun dibuka oleh salah seorang staf, muncul hasrat menggebu-nggebu untuk buru-buru meninggalkan tempat pertunjukkan. Bukan karena dibuatkan ketakutan, melainkan sudah jenuh bercampur bete sampai-sampai ingin menghirup udara segar dengan harapan stres dapat terhempas manja. Duh. Mengalami keapesan sebanyak tiga kali secara berurutan tentu saja bikin jera dalam menanti film memedi lokal berikutnya. Pengecualian untuk Pengabdi Setan yang masih menunjukkan adanya harapan, rentetan judul lain tak lagi terdengar menggairahkan buat disimak termasuk The Doll 2. Jilid pendahulunya memang terhitung mendingan dibanding film-film rilisan Hitmaker Studios yang lain, namun tetap belum bisa pula dikategorikan sebagai tontonan menyeramkan apalagi bagus. Itulah mengapa akhirnya diri ini enggan untuk memboyong ekspektasi apapun ketika menonton The Doll 2 yang lantas malah menghadiahi suatu kejutan cukup manis dalam pengalaman menonton saya. 

July 19, 2017

REVIEW : THE CRUCIFIXION


“Sungguh memuakkan setiap kali tipu daya berlindung dibalik kemuliaan.” 

Diantara setumpuk tema yang bisa dipilih untuk menggulirkan penceritaan dalam khasanah film horor, sineas-sineas negeri barat terhitung paling getol dalam mengelupas tema eksorsisme. Keputusan untuk mengungkit tema ini sebetulnya amat wajar mengingat praktik pengusiran setan oleh rohaniawan utusan gereja maupun ‘orang pintar’ ini sendiri amat berbahaya dan beresiko menelan korban jiwa sehingga terdengar amat seksi apabila diaplikasikan ke dalam suatu film. Semenjak The Exorcist (1973) mendapat perhatian berbagai pihak dan pada akhirnya menyandang status klasik, serentetan judul film memedi turut menyentuh tema ini yang beberapa diantaranya mempunyai kualitas diatas rata-rata seperti The Exorcism of Emily Rose (2005) dan The Conjuring (2013), meski tidak sedikit pula yang berakhir tragis. Salah satu judul terbaru yang membicarakan tentang eksorsisme adalah The Crucifixion arahan sineas Prancis, Xavier Gens (The ABCs of Death; segmen X is for XXL, Frontier(s)). Guliran kisahnya dicuplik dari sebuah kasus nyata yang menghebohkan Romania pada tahun 2005 yang disebut-sebut oleh media dengan nama ‘Tanacu exorcism’. Dalam kasus tersebut, seorang pastor dan empat biarawati didakwa bersalah atas tewasnya seorang perempuan usai disalib selama beberapa hari dalam praktik eksorsisme. 

July 16, 2017

REVIEW : BAYWATCH


“She's the reason I believe in God.” 

Apabila kamu termasuk bagian dari generasi 80-an atau 90-an dan mengakrabi budaya populer pada masa itu, tentunya mengetahui serial televisi berjudul Baywatch dong? Berceloteh mengenai sejumlah penjaga pantai yang berjibaku dengan serentetan peristiwa di area kerja mereka, serial yang sempat mengudara di salah satu televisi nasional Indonesia (kalau tayang sekarang, bakal kena blur dimana-mana tuh sampai-sampai yang keliatan cuma kepala pemainnya doang) ini merengkuh popularitasnya bukan lantaran mempunyai plot berkualitas jempolan melainkan lebih disebabkan kemurahhatiannya dalam mengumbar keseksian pemain-pemainnya serta kemasannya yang norak-norak menyenangkan – tidak mencoba sok serius. Tontonan guilty pleasure gitu lah. Yang paling diingat dari serial ini pun sebatas adegan yang memperlihatkan Pamela Anderson berlari-lari di bibir pantai mengenakan bikini berwarna merah dalam gerakan lambat, sementara lainnya... yuk dadah bye bye. Menguap cepat dari ingatan. Tapi mungkin saja itu hanya saya karena Paramount Pictures nyatanya menganggap serial ini masih memiliki brand sekaligus basis penggemar cukup kuat. Mereka merasa perlu untuk membangkitkan Baywatch kembali dalam format film layar lebar bertajuk serupa dengan barisan pemain yang tentu saja dirombak habis-habisan menyesuaikan zaman dan merangkul genre komedi ketimbang sebatas berada di ranah drama aksi seperti materi sumbernya. 

July 11, 2017

REVIEW : DESPICABLE ME 3


“Face it, Gru. Villainy is in your blood!” 

Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah? 

July 10, 2017

REVIEW : FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY


“Ada satu filosofi yang tidak pernah ditulis tapi selalu ada di setiap cangkir yang dibuat di kedai ini. Setiap hal yang punya rasa, selalu punya nyawa.” 

Sebagian besar penonton yang menjadi saksi atas jatuh bangunnya dua sohib kental merangkap rekan bisnis, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto), dalam menyelamatkan bisnis kedai kopi yang mereka kelola di Filosofi Kopi (2015) arahan Angga Dwimas Sasongko mungkin beranggapan bahwa keputusan keduanya untuk mengkreasi kedai keliling menggunakan kombi adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan sederet problematika sekaligus mengakhiri kisah perjuangan mereka. Kemungkinan film akan berlanjut ke jilid kedua: hampir mustahil. Mengingat gelaran konflik di film keluaran Visinema Pictures ini sejatinya dikembangkan dari cerita pendek dengan tuturan sederhana saja rekaan Dewi ‘Dee’ Lestari, tentu anggapan ini terasa wajar. Mudahnya, apa lagi sih yang hendak dicelotehkan apabila film dibuatkan seri kelanjutannya? Tatkala penonton meyakini Ben dan Jody telah memperoleh ‘happily ever after’ yang mereka idamkan, tidak demikian halnya dengan Angga beserta tim kreatifnya. Masih ada banyak hal yang bisa dikulik dari perjalanan dua sahabat ini bersama kedai Filosofi Kopi termasuk bagaimana dampak atas langkah besar yang mereka ambil di penghujung film. Melalui Filosofi Kopi 2: Ben & Jody yang berhasil tersaji sebagai tontonan lucu, emosional, sekaligus hangat, Angga membuktikan bahwa keputusan untuk membuatkan sekuel nyatanya tepat adanya. 

July 6, 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

July 5, 2017

REVIEW : OKJA


“The Mexicans love the feet. I know. Go figure. We all love the face and the anus, as American as apple pie. Hot dogs. It's all edible. All edible, except the squeal.” 

Ada kabar gembira bagi para pecinta sinema dunia. Salah sutradara terkemuka di Korea Selatan, Bong Joon-ho (The Host, Mother), telah keluar dari pertapaannya dan mempersembahkan sebuah tontonan yang sekali lagi akan mengusik emosi beserta pikiranmu di saat bersamaan bertajuk Okja. Menjadi film berskala internasional Bong Joon-ho yang kedua seusai Snowpiercer (2013) yang merupakan sebentuk sentilan terhadap stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat modern, Okja yang memperoleh suntikan pendanaan sebesar $50 juta dan diproduksi oleh Netflix sehingga memungkinkannya untuk dikonsumsi khalayak ramai dari berbagai penjuru dunia secara bersamaan melalui gawai personal masing-masing ini menghadirkan barisan pemain bernama besar seperti Tilda Swinton, Jake Gyllenhaal, Paul Dano, Shirley Henderson, Giancarlo Esposito, dan Lily Collins. Mereka beradu peran bersama Ahn Seo-hyun, Byun Hee-bong, Yoon Je-moon, beserta Choi Woo-shik yang mewakili kubu Korea Selatan dan telah dikenal baik di negaranya. Seperti halnya film-film terdahulu dari sang sutradara, Okja pun masih bermain-main di ranah satir dibalik kemasannya sebagai tontonan blockbuster bergenre action-adventure dengan sentilan utamanya kali ini menyinggung perihal kapitalisme, konsumerisme, hingga politik pencitraan. 
Mobile Edition
By Blogger Touch