February 25, 2018

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


7 comments:

  1. adeknya T'challa namanya shuri deh kayanya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ha. Tengkiu buat koreksinya. Nulisnya ngelantur nih.

      Delete
  2. Aaaa udah naksir t'challa sejak civil war 😍

    Keinget review cinetariz ttg civil war dulu, yg bilang kalo black phanter ini dimainkan dgn keren sekali, ternyata ga salah yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Btw naksir juga sama killmonger. Gemes gimana gitu ngeliat nya wkwk

      Delete
    2. Jangankan cewek, aku saja naksir mereka berdua. Naksir karena kagum. Hahaha. Keren banget emang Chadwick sama Michael. Sayang Killmonger keok padahal pengen ngeliat di Avengers atau seri berikutnya.

      Delete
  3. Tapi adegan aksi nya gak terlalu banyak menurut saya, untung nya ada sisi drama yg buat tersentuh juga berkat karakter penjahat yg punya latar belakang yg buat peduli.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup. Aksi sama humornya nggak terlalu banyak tapi malah kerasa pas karena penggunaannya efektif sekali. Elemen dramatiknya juga kuat sekali.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch