February 28, 2018

REVIEW : YOWIS BEN


“Wong-wong kudu paham, suatu saat kene iso dadi keren.” 

Beberapa waktu lalu, Yowis Ben yang menandai untuk pertama kalinya Bayu Skak menempati posisi pemeran utama sekaligus sutradara – mendampingi Fajar Nugros, menciptakan kontroversi tak perlu di kalangan netizen-maha-benar lantaran dialog dalam film sebanyak 80% menggunakan Bahasa Jawa. Bermacam-macam bentuk kecaman dilayangkan dari menuduh berniat memecahbelah bangsa sampai bernada mengejek yang menyerang ke stereotip masyarakat Jawa. Memiliki segudang bahasa daerah yang tersebar di seantero Indonesia, tentu bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ada film buatan sineas tanah air yang mempergunakan bahasa daerah tertentu untuk keperluan menghantarkan cerita. Dalam beberapa tahun terakhir saja, geliatnya mulai terasa yang diprakarsai oleh film-film asal Makassar yang mendapat sorotan di tahun 2016 silam berkat laris manisnya Uang Panai (menembus 500 ribu penonton!) dan film-film dari Yogyakarta seperti Siti (2015) atau Turah (2017) yang langganan wara-wiri ke ajang penghargaan. Yowis Ben tak ubahnya judul-judul tersebut yang bercerita menggunakan bahasa daerah demi mempertahankan autentisitas (mengingat latar utamanya di Malang, Jawa Timur, yang masyarakatnya memang berbahasa Jawa) dan penebalan pada rasa. Yang kemudian membedakan Yowis Ben dengan judul-judul tersebut hanyalah pada skalanya karena film ini diproduksi oleh Starvision yang terhitung sebagai pemain besar di perfilman Indonesia. 

Karakter sentral yang menjadi motor penggerak Yowis Ben adalah siswa SMA bertampang pas-pasan dengan kondisi finansial pas-pasan pula bernama Bayu (Bayu Skak). Tentu saja Bayu bukanlah siswa tenar karena bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan-rekannya karena dia membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini jelas membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara spesifik mengincar siswi-siswi populer. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan (Cut Meyriska) yang tak ubahnya primadona sekolah, dia memutuskan untuk melakukan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan ‘strata sosial’. Bersama dengan sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), yang tengah berusaha mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk band. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam-diam memiliki bakat terselubung sebagai drummer, Yayan (Tutus Thomson). Turut bergabung bersama mereka yakni murid pindahan yang digilai karena tampangnya, Nando (Brandon Salim). Mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, band ini mengusung satu misi: pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai sampai kemudian cobaan menghadang dalam wujud seorang perempuan yang seketika mengancam keutuhan band. 


Ditilik dari sisi gagasan cerita, Yowis Ben sejatinya tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Plot formulaiknya mengenai seorang pemuda yang membentuk band demi menaklukkan hati seorang pemudi telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikan Yowis Ben adalah asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa adalah menu utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor-humor receh nirfaedah yang (saya meyakini) merupakan santapan sehari-hari kera-kera ngalam dan sebagian penonton. Adanya faktor kedekatan ini memiliki peranan penting terhadap bagaimana humor-humor yang dilontarkan bisa terdengar sangat lucu. Keputusan si pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Malangan harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat guna. Andai dialognya ditranslasi ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak ‘ger-geran’ seperti ini dan malah bisa jadi berakhir jayus karena memang tidak semua guyonannya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia. 

Faktor lain yang turut menentukan tersalurkannya banyolan dalam Yowis Ben dengan baik adalah performa jajaran pelakonnya. Baik Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, serta Tutus Thomson (yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian!) bermain secara santai dan effortless. Mereka menghadirkan chemistry lekat sehingga kita dapat memercayai bahwa keempatnya memang memiliki ikatan persahabatan. Tek-tokan diantara sesama mereka yang dipenuhi jancuk-jancukan terasa amat seru, begitu pula penampilan dari Arief Didu sebagai ‘penasehat spiritual’ Bayu, Erick Estrada sebagai penggemar nomor satu Yowis Ben, dan duo pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo-Cak Sapari, sebagai pelanggan warung pecel yang kian meningkatkan level kelucuan film ini. Jika ada titik lemah, maka itu terletak pada Cut Meyriska yang memegang peranan krusial di separuh akhir. Aktingnya yang cenderung sinetron-ish memang bukan kesalahan tunggal karena terhitung sedari mencuatnya elemen dramatik, Yowis Ben mulai goyah. 

Kisah percintaan Bayu-Susan yang tereksekusi canggung cenderung tak meyakinkan dan sosok Susan yang tidak pernah tertambat di hati penonton karena pengenalan karakternya hanya sepintas lalu serta karakterisasinya yang tidak konsisten (serius, saya bingung. Apakah Susan ini benar-benar mencintai Bayu?) membuat saya mempertanyakan keputusan si pembuat film untuk memindahkan fokus penceritaan ke dua sejoli ini dan makin dipertanyakan setelah karakterisasi Susan bertransformasi secara drastis. Andai jalinan pengisahan tetap setia pada teritori persahabatan dan band tanpa harus dipaksa berbelok ke ranah romansa dan drama yang tidak juga tergarap matang, fun factor beserta greget Yowis Ben bisa jadi akan lebih tinggi. Cukup disayangkan mengingat Yowis Ben sejatinya sudah sangat menyenangkan untuk ditonton sebelum jatah tampil Susan tiba-tiba diperbanyak.


Note : Yowis Ben dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang komunikatif. Jadi kalian yang tak paham Bahasa Jawa, tak perlu risau bakal dibuat kebingungan.

Acceptable (3/5)

11 comments:

  1. Tapi tapi kisah asmara kayak gitu emang pas untuk konflik anak sma yang ngeband2 lho menurutku, pas kook. Jahat jahat cuman dikasih tigaa :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heiiii... 3 itu bagus yaaa. Habis, kisah asmaranya nggak bisa dipercaya. Sewaktu nonton lagi beneran ngerasa janggal dengan pilihan ekspresinya Susan. Jadi sebenernya dia itu cinta nggak ke Bayu? Atau cuma manfaatin? Kalau cuma manfaatin, kenapa dia nangis pas naik taksi? Apa alasannya? Penyelesaiannya juga maksaaaaaaaaa. Set up menuju kesananya nggak enak. Tiba-tiba berubah gitu saja. Plot berantemnya Doni sama ortunya juga kagak digali lebih.

      Delete
  2. Pas, plotnya standar. Hiburannya ancur gara2 drama yg ga perlu saya kira, padahal dialog-dialognya itu bagus banget menurut saya. Seperti tidak pakai script, ngalir aja.
    Memang kelemahannya di segi cerita yg pasaran. Mudah-mudahan kedepannya bayu skak bisa produce film yg lebih dari ini, kaya daun di atas bantalnya garin nugroho

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Ngalir banget ceritanya... di separuh awal. Dramanya maksa sih munculnya. Terlalu tiba-tiba apalagi penyelesaiannya yang gampang sekali. Nggak masalah plot standar, asal penyampaiannya bagus. Ini bermasalah di separuh terakhir. Sayang banget.

      Delete
  3. ceritanya si mbulet .. hahaha
    tpi guyonane joss..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngakak pol nontonnya. Paling seneng tiap mereka bareng-bareng. Yayan dan Doni kocak :)))

      Delete
  4. Pas liat baleho di jalan kota,aku langsung tunggu filmnya..ternyata sesuai ekspektasiku..filmnya kocak banget!!aku langsung yakin sblm nonton krn aku udah jd subscriber bayu skak sejak 2013.. keren 9/10 buat yowis ben

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heem. Debut yang cukup baik buat Bayu Skak sebagai sutradara. Semoga film berikutnya bisa lebih gerrrr :)

      Delete
  5. untuk segi komedi ini emang keren dan lucu banget sih, dan saya juga setuju pendapat anda soal plot susan dan bayu, awalnya saya kira susan cuma manfaatin bayu karena ekspresi susan kadang kadang sedikit meragukan. tapi overall oke lah hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karakter Susan emang nggak konsisten sih. Terlalu cepet berubah. Nggak bisa simpati padanya. Tapi ya, terlepas dari kekurangannya, film ini emang asyik sekali sih. Komedinya kocak banget!

      Delete
    2. Kalo menurut saya Susan emang lebih pas gak konsisten, karena anak SMA itu banyak yg labil... ya lebih realistis sih menurutku, tapi ada scene yg gak pas terkadang... but overall, 9.8 bagi saya...

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch