May 26, 2018

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

17 comments:

  1. Sip review nya bakal nonton ni hri senin...kirain bakal outstanding ya jika tdk ending nya yg serba kebetulan.
    The next karya terbaru hanung bakal biofik lagi.Satu sultan agung satu nya Bumi putra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak yakin sama sekali dengan dua film itu. Satu-satunya film biopik buatan Hanung yang aku bisa nikmati cuma Kartini. Lainnya...

      Delete
    2. Saya lebih suka karya hanung bertema tabu kayak tanda tanya dan prempuan berkalung sorban

      Delete
    3. Ya masa-masa di saat nama Hanung masih menjadi jaminan mutu suatu film

      Delete
  2. Yang saya bingung kan itu sedari awal tiana memang niat ngekos di salah 1 ruang dirumahnya harum kah ? I mean cuma seruang tanpa ada kmr mandi dsb ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya dia emang niat ngekos disana. Ruangannya sendiri cukup gede, ada kamar mandinya juga. Sebenernya ruangan ini masih nyatu dengan rumah utama hanya dipisahkan oleh pintu yang digembok.

      Delete
  3. Kartini..sang pencerah cukup oke kok bang..banyak yg skeptis ama hanung gara2 kualitas biang kerok yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku nggak suka Sang Pencerah lho. Hehehe.

      Benyamin Biang Kerok tempo hari menurutku sih puncak ketidakpercayaan publik pada Hanung. Sebenernya ini sudah dipupuk sedari Ayat Ayat Cinta (walau menurutku bagus), lalu Perahu Kertas, Soekarno, dan remake Jomblo yang cukup parah itu.

      Delete
    2. Serius ga suka sang pencerah, om????

      Delete
    3. Hanya mengakui kalau film itu well made. Tapi jika diminta nonton lagi sih malasss. Hahaha.

      Delete
  4. Adegan Tiana membuka pintu yang digembok dan akhirnya menutup kembali pintunya. Itu bagus banget, penulisannya brilian. Metafora tentang Harun yang membuka hati tapi Tiana yang sempat masuk sebentar akhirnya ragu dan keluar. Ngeh juga nggak mas?:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yoih. Keberadaan pintu dan gembok itu sebetulnya udah menarik perhatian sedari awal. Menilik filmnya yang menjadikan penglihatan sebagai metafora tentu keberadaanya lebih dari sekadar menjaga privasi si empunya rumah. Ternyata betul kan? Kamu jeli juga analisanya :)

      Delete
  5. Bagus kok filmnya
    Sayang ya sepi peminat
    Akting Reza Rahadian dan Ayushita juga sangat mendukung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan tipe film yang bakal disenangi penonton remaja Indonesia sih. Terlalu berat dan lambat alurnya.

      Delete
  6. Itu endingnya Tiana donorkan matanya untuk Harun, gitu ya???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa.. Bagi saya sih ngenak banget Ending ny😢

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch