May 5, 2018

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


15 comments:

  1. Dari segi akting, performa yang baik cuma Amanda sama Nova Soraya ya Mas? PH film gak belajar ya tampaknya untuk menciptakan adegan horor gak mesti pake musik berisik. Sayang banget padahal pengen nonton.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hooh. Pemain lainnya parah banget, ekspresinya kaku dan datarrrrr banget. Sayang emang film ini. Awalnya bagus, belakangnya terjun bebassss.

      Delete
  2. Lagi-lagi film horor yg punya kualitas jelek.
    Kalo Suster ngesot gimana min.

    Dan musim lebaran nanti bakal ada 2 film horor, Jailangkung 2 Dgn Kuntilanak.
    Akan kah Jailangkung 2 bakal bagus ya secara kan yg pertama saja jelek.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suster Ngesot nggak nonton.
      Dua film horor Lebaran ini juga nggak ada yang menggoda. Dari trailer kelihatan generik dan dua-duanya digarap Rizal Mantovani yang sering nggak konsisten apalagi saat garap film horor.

      Delete
  3. Di tirto, film ini reviewnya jelek sekali. Mungkin kalau ada pilihan skor, skornya 1/10.
    Dan saya juga heran banget kenapa kayak gk ada kapoknya sutradara indonesia nayangin film horror ecek ecek berbarengan dgn rilis avenger termasuk suster ngesod.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Percaya atau tidak, film horor seperti ini punya pasar sendiri yang loyal banget. Hanya butuh 50 ribu penonton buat balik modal dan rata-rata malah bisa dapet lebih dari 100 ribu. Suster Ngesot udah di angka 350 ribu, sementara Sajen ini dapet 150 ribu dalam 3 hari. Nggak heran kalau film horor semacam ini terus diproduksi. Sedih emang.

      Delete
  4. Hhhhh, saya ngakak baca reviewmu, setelah ntn ananta, rencannanya, sya ntn sajen. Saat perjalanan ke gedung bioskop, sya iseng buka blokmu.
    & apa yang terjadi? Sya langsung minta putar balik sm supir grabnya. & sya bilang sm temen. Gue mi grain, balikyuk? nanti tamba para. Trs siapa yang tangung jawab.

    Makasih yaaa mas.
    kl insya ALLAH sah2 gmn?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bahahaha. Syukurlah kalau ulasanku ini sudah menyelamatkan satu jiwa dari migrain. Epik sekali pengalamanmu.

      Nggak terlalu berharap ke Insya Allah Sah 2 karena aku pribadi nggak menyukai film pertamanya. 😂

      Delete
  5. Padahal sutradara nya termasuk bagus.
    Biasanya dia bisa mengarahkan pemain untuk berakting total.
    Apalagi Mirror masuk kategori film horor yang bagus menurut saya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entahlah, Hanny R Saputra ini makin kesini malah makin menurun. Beberapa film terakhirnya nggak ada yang memorable seperti film-film di awal karirnya.

      Delete
  6. Seperti yg pernah saya bilang..sajen lebih baik jika menekankan sisi dramanya seperti film mereka yg tak terlihat drpd mencoba memaksakan menakut2i..paruh awal emang dpt banget dramanya..amanda manopo bagus sekali disini. Sayang ketika masuk horornya emnag serampangan bnr sik..uda mention si haqi ahmad katanya film horor pertmaanya yg ia tulis hehe..ya sayang sekali

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup. Sayang banget. Mestinya emang lebih ditekanin saja pada drama dan horor sebagai bumbu. Seperti Mereka yang Tak Terlihat tempo hari. Bisa jadi hasilnya akan lebih bagus. Di sini elemen horornya malah lebih ke konyol daripada serem.

      Delete
  7. Btw kapan ya Hereditary bakal rilis di Indonesia, balom ada kabar tuh. Padahal katanya itu film horror bagus banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisik-bisik tetangga sih bilang bakal tayang di Indonesia. Tapi belum ketahuan kapan. Mungkin setelah libur Lebaran. Aku juga penasaran dengan film itu.

      Delete
  8. Andai saja produser dan sutradara film tidak hanya berpatokan pada jumlah penonton tetapi juga membaca review seperti diblog ini, mungkin perfilman indonesia akan lebih baik dari segi kualitas. Andai.. ...

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch