June 8, 2018

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM


“Do you remember the first time you saw a dinosaur? You don’t really believe it. It’s like a miracle.” 

Masih terpatri dengan baik di benak bagaimana seorang Steven Spielberg mampu membuat saya terperangah kala melihat sekumpulan dinosaurus berjalan-jalan santai di pulau fiktif Isla Nublar sekaligus membuat saya terpaksa mengintip dari balik telapak tangan kala seekor T.rex mengamuk melalui Jurassic Park (1993). Sebuah film yang mendefinisikan istilah ‘keajaiban sinema’ secara jelas dan salah satu alasan mengapa saya jatuh hati kepada film. Meski dua film kelanjutannya, The Lost World (1997) dan Jurassic Park III (2001), tidak meninggalkan sensasi menonton yang serupa, keduanya tetap terbilang sebagai sajian eskapisme yang menyenangkan buat disimak. Dalam Jurassic World yang dilepas pada tahun 2015, Colin Trevorrow mencoba memunculkan kembali sisi magis dari sang dedengkot. Mengingat standar film pertama sudah teramat tinggi, bisa dimafhumi saat hasil akhirnya tidak persis sama. Akan tetapi yang mengejutkan, Jurassic World mampu berdiri setingkat di atas dua seri terakhir dari segi kualitas sekaligus mengingatkan kita kembali mengapa franchise ini bisa sedemikian populer dan dicintai banyak kalangan. Resepsi hangat yang diperolehnya lantas mendorong Universal Pictures untuk memberikan lampu hijau pada rencana penggarapan trilogi baru. Berselang tiga tahun kemudian, instalmen kedua dalam trilogi baru bertajuk Jurassic World: Fallen Kingdom yang sekali ini dikomandoi oleh J. A. Bayona (The Impossible, A Monster Calls) pun dilepas ke pasaran dengan nada penceritaan yang cenderung lebih gelap dibanding instalmen-instalmen terdahulu. 

Berlatar tiga tahun setelah peristiwa di penghujung seri sebelumnya, Jurassic World: Fallen Kingdom menyoroti nasib para dinosaurus yang sekali lagi berada dalam ambang kepunahan. Pemicunya, letusan besar gunung berapi di Isla Nublar. Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) yang kini menjabat sebagai pemimpin dari organisasi pembela hak-hak dinosaurus tentu tak akan membiarkan hewan-hewan langka ini kembali lenyap dari peradaban. Menilik proses evakuasi membutuhkan suntikkan dana besar, Claire mustahil untuk bergerak sendiri. Pemerintah jelas tidak bisa diharapkan karena mereka memilih untuk lepas tangan dalam misi penyelamatan para dinosaurus berdasarkan saran dari Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum). Bala bantuan untuk Claire lantas datang dari seorang miliarder, Benjamin Lockwood (James Cromwell), yang berencana memindahkan para dinosaurus ke sebuah suaka di pulau lain secara diam-diam sehingga tidak mendapat gangguan dari manusia. Dibantu oleh mantan kekasih Claire, Owen Grady (Chris Pratt), lalu Eli Mills (Rafe Spall) selaku tangan kanan Benjamin, dan Ken Wheatley (Ted Levine) yang mengomandoi pasukan penyelamat, proses evakuasi dinosaurus dari Isla Nublar pun dilancarkan. Tanpa disadari oleh Claire dan Owen, sebuah pengkhianatan terjadi ditengah-tengah evakuasi. Alih-alih diboyong menuju suaka, para dinosaurus ini justru dibawa ke daratan untuk dijual ke sejumlah pembeli dari berbagai negara. Si pengkhianat melihat potensi dinosaurus sebagai senjata perang yang mumpuni dan mesin uang sehingga dia memilih untuk menjadikannya komoditas ketimbang melindunginya.


Saat ditanya seorang teman melalui pesan singkat mengenai pendapat saya mengenai Jurassic World: Fallen Kingdom usai menontonnya, saya hanya memberi jawaban: seruuuuuuu. Ya mau bagaimana lagi, begitulah perasaan saya selama berkelana ke wahana permainan yang diorkestrai oleh J. A. Bayona ini. Entah dengan kalian, tapi bagi saya Fallen Kingdom adalah seri terbaik kedua dalam franchise ‘taman dino’ setelah Jurassic Park. Bahkan lebih baik dari Jurassic World yang itu artinya Fallen Kingdom sanggup membuat saya berdecak kagum. Film telah membetot atensi sedari adegan pembukanya yang memberikan nuansa mendebarkan: ditengah hujan lebat, satu pasukan yang terbagi ke dalam tiga tim berusaha untuk mengambil DNA dari bangkai Indominus rex. Siluet Mosasaurus yang mengintai dari balik air, siluet Tyrannosaurus yang berkelebat di kegelapan, membuat diri ini meremas-remas kursi bioskop. Sesuatu yang buruk akan menimpa tim ini. Tentu saja, amukan dua makhluk tersebut menghadirkan adegan pembuka yang menjanjikan untuk Fallen Kingdom. Di beberapa menit selanjutnya, intensitas sengaja dikendurkan demi memberi ruang bagi duo penulis skrip, Colin Trevorrow dan Derek Connolly, untuk menjabarkan latar belakang kisah yang bakal dikedepankan sekaligus memperkenalkan karakter-karakter anyar termasuk anak buah Claire; Zia si dokter hewan (Daniella Pineda) dan Franklin si ahli IT (Justice Smith). Skrip buatan mereka memang tergolong generik seperti versi pembaharuan dari The Lost World dan mempersilahkan sederet kekonyolan untuk menyelinap masuk, namun untungnya masih cukup bergigi untuk mengundang ketertarikan terkait sejauh mana franchise ini akan dikembangkan ke depannya. 

Berbicara soal gigi, salah satu alasan yang membuat Fallen Kingdom tampak lebih bertaring dibanding kakak-kakaknya, kecuali si sulung, adalah kelihaian J. A. Bayona dalam menyampaikan cerita. Apabila kamu telah menyaksikan film-film garapan sang sutradara seperti The Orphanage (2007), The Impossible (2012), dan A Monster Calls (2016), rasa-rasanya akan menyadari Bayona memberi sentuhan yang sedikit banyak serupa ke dalam Fallen Kingdom. Paruh pertama film membawa ingatan melayang ke The Impossible dengan elemen disaster movie-nya, sementara paruh akhir mengingatkan pada The Orphanage yang merupakan tontonan horor atmosferik. Di paruh pertama, kita bisa menyaksikan bagaimana para karakter inti beserta dinosaurus berkejar-kejaran dengan aliran dan lontaran lava pijar dalam sekuens laga yang amat mengasyikkan. Ditunjang polesan efek khusus menakjubkan (satu hal yang tidak bisa kamu sangkal), beserta penyuntingan dinamis dan tangkapan kamera yang penuh presisi, hari-hari terakhir Isla Nublar terangkum ke dalam bahasa gambar yang membuat saya terperangah bak anak kecil yang diajak ke istana mainan. Tidak ketinggalan, Bayona menyisipkan momen andalannya yakni momen emosional yang diperlihatkan dalam siluet seekor dinosaurus yang tertutup debu vulkanik. Hanya diiringi suara pekikan, satu shot ini sudah cukup efektif untuk menyesakkan dada maupun mengalirkan air mata manusia-manusia berhati sensitif. Usai shot ini, Fallen Kingdom memang tak memilki shot lain yang menusuk hingga ke ulu hati. Akan tetapi, film mempunyai setumpuk bahan yang bakal membuat admin akun One Perfect Shot melompat-lompat kegirangan.


Peralihan nada penceritaan ke arah lebih kelam mulai ditunjukkan saat para manusia (dan dinosaurus) kembali ke daratan. Menapaki babak pamungkas, Fallen Kingdom dilantunkan bak tontonan horor yang bermain-main dengan antisipasi penonton dan atmosfer mengusik. Jika kamu mendamba film bakal diakhiri dengan ‘boom boom bang’ yang membahana, bisa jadi akan sedikit mendengus kecewa. Bukannya tidak ada, hanya saja Bayona lebih memilih untuk fokus pada menciptakan ketegangan yang merangkak perlahan tapi pasti. Ekspektasimu di babak ini sebaiknya ditetapkan saja menjadi ‘menyaksikan sajian seram’, niscaya ada kepuasan tersendiri ketika memasuki wahana permainan milik Bayona yang sejatinya cukup banyak diilhami dari Jurassic Park. Niscaya kamu juga akan mengamini bahwa adegan bersembunyi di dalam kamar itu bikin jantung berdebar-debar. Phew! Menilik jajaran pelakonnya yang bermain bagus; baik chemistry Pratt-Howard yang menguat, Pineda dan Smith sebagai comic relief yang cukup menyegarkan, sampai aktris cilik Isabella Sermon sebagai cucu Maisie yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian, maka satu-satunya keluhan saya untuk Fallen Kingdom adalah musik tema Jurassic Park warisan John Williams yang hanya memiliki peranan kecil di sini sekalipun kemunculannya berada di posisi yang tepat. Andai saja musik ikonis tersebut memperoleh tempat lebih besar, bukan tidak mungkin Fallen Kingdom yang bercita rasa megah nan mewah tetapi tetap mempunyai hati ini akan terasa semakin greget.

Note : Jurassic World: Fallen Kingdom memiliki satu adegan tambahan di penghujung durasi. Jika kalian seperti saya (tidak mau rugi sepeserpun, jadi jika masih ada adegan yang sekalipun tidak penting ya mesti ditunggu), maka bertahanlah sampai detik terakhir.

Outstanding (4/5)


9 comments:

  1. waaa, nggak sempet lihatadegan bonusnya, soalnya takut keburu buka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekali kali nyoba buka puasa di dalem bioskop lah. Aku pernah beberapa kali lho 😂

      Delete
  2. menurut saya kebalikannya om, ceritanya typical banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga ngerasa gitu kok. Kan aku tulis juga, skripnya generik. 😊

      Delete
  3. Barusan nonton..
    Satu kata,, GILAAA..
    menurut ku,, melebihi ekspektasi saat pertama masuk bioskop. Nuansa muram nya sangat terasa.. Ending nya jg not bad wlupun terasa kurang MEGAH..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yoih. Aku girang banget sehabis menontonnya dan berencana buat menonton lagi. Paket komplit sekali film ini. Endingnya emang kurang greget sih, sepertinya disimpan buat jilid pamungkas sebagai gongnya.

      Delete
  4. Yah, ketinggalan after credit scene :( Btw makasih reviewnya. Bagus.

    ReplyDelete
  5. Kok tidak bahas cucu maisi apa emanh tidak terlalu berartk utk dibahas hehehehe

    ReplyDelete
  6. saya ga paham kenapa banyak orang dan kritik yang benci film ini yah ?
    IMHO film ini peningkatan dari JW1 yang dull
    dan that Brachiosaurus shot on that fiery island IS BEAUTIFUL !
    sedih, tapi indah banget shot nya
    saya rasa kekuatan JA Bayona ini ada di visual, cara2 eksekusi shot nya bener2 beda dari Spielberg

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch