July 9, 2018

REVIEW : KOKI-KOKI CILIK


“Aku harus menang. Aku udah janji biar aku bisa buka rumah makan Bapak lagi.” 

Apakah kamu pernah menyaksikan sebuah acara televisi bertajuk Masterchef Junior? Iya, acara berkonsep kompetisi memasak untuk bocah-bocah dibawah usia 15 tahun yang membuat manusia-manusia dewasa tanpa bakat di dapur merasa masa kecilnya tidak berharga itu lho. Apabila kamu pernah menyaksikannya, tentu mengetahui bagaimana serunya para bocah minim pengalaman ini kala berlomba, menghadapi tekanan, dan bereksperimen dalam mengkreasi aneka ragam makanan. Selayaknya acara televisi berbasis kompetisi pada umumnya, tentu bubuhan drama tak terelakkan. Tapi kesenangan yang timbul dari menyaksikan acara ini bukan berasal dari drama ribut-ributnya, melainkan disebabkan oleh kreativitas, semangat, dan aura positif para kontestannya. Bikin berdecak kagum sekaligus menstimulasi pikiran bahwa kita pun bisa memasak. Asyik, kan? Nah semangat semacam itulah yang Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku, Sang Penari) coba terapkan dalam film terbarunya bersama MNC Pictures, Koki-Koki Cilik (awalnya berjudul Cooking Camp). Sebuah film untuk seluruh anggota keluarga mengenai dunia masak memasak (dan santap menyantap makanan) dilihat dari sudut pandang dedek-dedek cilik yang diniatkan sebagai pengisi liburan pergantian semester. Sebuah film untuk seluruh anggota keluarga yang diharapkan nantinya tak saja mendorong para penonton cilik untuk menekuni dunia kuliner tetapi juga mendorong para penonton cilik untuk belajar memahami makna sesungguhnya dari cinta, persahabatan, dan kompetisi usai melihat para koki-koki cilik beraksi. 

Guna menyampaikan kisah dalam Koki-Koki Cilik, Ifa Isfansyah beserta Vera Varidia selaku penulis skenario memanfaatkan kacamata seorang bernama Bima (Farras Fatik) yang memiliki impian untuk menghidupkan kembali rumah makan milik mendiang ayahnya yang telah lama tutup. Mengingat Bima berasal dari keluarga yang secara finansial tergolong pas-pasan, tentu bukan perkara mudah untuk mewujudkannya. Maka dari itu, bermodalkan tabungan hasil dari kerja secara serabutan dan uang patungan dari tetangga-tetangganya, Bima bertekad mengikuti perkemahan bergengsi bernama Cooking Camp yang menawarkan hadiah menggiurkan sekaligus titel ‘koki cilik’ bagi pemenang dalam kompetisi di perkemahan tersebut. Tentu saja seperti formula klasik dalam film bertema ‘from zero to hero’, perjalanan Bima untuk meraih kemenangan tidak lantas berlangsung mudah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bima sempat putus asa, yakni dia mengalami perundungan karena status sosialnya, Bima sama sekali buta mengenai masakan asing (contoh; dia tidak mengetahui apa itu sushi), dan perlawanan dari juara bertahan, Audrey (Chloe X), yang berambisi untuk kembali memenangkan kompetisi karena desakan ibunya. Ditengah keputusasaannya tersebut, Bima berkenalan dengan staf kebersihan, Rama (Morgan Oey), yang ternyata tangkas mengolah masakan. Meski Rama mulanya merasa terganggu dengan kehadiran Bima, hubungan mereka lambat laun mulai menghangat tatkala Rama melihat tekad dan bakat yang dimiliki oleh Bima. 

Ada satu perasaan yang didapat usai menyaksikan Koki-Koki Cilik di bioskop: bahagia. Sepanjang durasinya mengalun, film ini sanggup membawa saya melewati berbagai macam fase emosi yang membuat diri ini tertawa-tawa, menyeka air mata, meneteskan air liur, sampai termotivasi. “Pokoknya, aku harus bisa masak. Masak salmon yang enak!,” begitu ujar saya selepas melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop. Mungkin kalian memiliki definisi film bagus yang berbeda, tapi bagi saya, suatu film bisa dikatakan bagus tatkala ada impak kuat yang diberikan selama dan sesudah menonton. Sesederhana itu (ngapain juga ribet-ribet, yekannn?). Merunut pada impresi mengenai film ini yang dijlentrehkan di awal paragraf, bisa ditarik kesimpulan bahwa Koki-Koki Cilik adalah film yang bagus. Emosi diaduk-aduk selama duduk di kursi bioskop dan keinginan untuk bisa mengolah salmon beserta rekan-rekannya di dapur mencuat saat kembali ke rumah. Ya, ada banyak kesenangan dan rasa semangat yang diciptakan oleh Ifa Isfansyah dalam Koki-Koki Cilik, bahkan sedari menit pertama yang memberi kita sebuah tampilan unik pada opening credit. Selepas memberi sekelumit latar belakang (meski saya berharap dijabarkan lebih dalam agar penonton bisa kian dekat dengan para karakter), film lantas melempar kita menuju area perkemahan yang asri. Beberapa karakter pendukung diperkenalkan secara bergegas seperti Chef Grant (Ringgo Agus Rahman) yang cenderung angkuh, Pak Malik (Adi Kurdi) yang bijak, Melly (Alifa Lubis) yang komentarnya seringkali julid tapi herannya tepat sasaran, Kevin (Marcello) yang setia kawan, Niki (Clarice Cutie) yang mengagumi Bima, dan Alva (Ali Fikry) yang agak sembrono. 

Memiliki chemistry asyik dengan pembawaan ceria, interaksi antar bocah plus interaksi mereka dengan Chef Grant yang tak jarang konyol merupakan salah satu poin positif yang dipunyai oleh Koki-Koki Cilik. Nuansa kearaban diantara mereka yang sarat gelak tawa begitu mencuat sampai-sampai penonton dibuat meyakini bahwa mereka adalah sahabat sejati bagi Bima. Petualangan kecil mereka di area perkemahan enak diikuti, terutama saat melibatkan Melly yang gayanya kenes dan sulit menahan godaan untuk tidak berkomentar julid (tapi jujur) pada siapapun, dan persahabatan mereka memberi contoh pada penonton cilik mengenai bagaimana seharusnya sahabat bertindak. Disamping canda ria, film juga mempunyai sederet momen yang menyentuh hati ketika hubungan Bima dan Rama yang awalnya beku mulai mencair. Hubungan yang mempertegas pernyataan bahwa cinta memang bisa menyatukan dan menaklukkan segala hal. Hubungan yang dapat dijadikan pembelajaran bagi orang tua dan anak-anak untuk menciptakan relasi yang harmonis. Bima seperti menemukan sesosok guru (sekaligus ayah) dalam diri Rama, sementara Rama yang telah kehilangan kepercayaan diri dan dilingkupi amarah serta penyesalan akibat kesalahan di masa lalu menemukan secercah harapan untuk ‘menebus dosa’ pada Bima.


Akting apik yang diperagakan oleh Farras Fatik bersama Morgan Oey membantu film memiliki gregetnya sekaligus mempersembahkan satu-dua momen emas bagi perfilman Indonesia tahun 2018 ini dan film keluarga dalam beberapa tahun terakhir. Momen emas yang saya maksud adalah saat Rama berkenan ‘mentransfer’ kemampuan memasaknya kepada Bima dan saat Rama mencoba meyakinkan Bima yang telah pasrah pada keadaan akibat kecurangan kompetitornya untuk kembali bangkit dan menuntaskan kompetisi secara sehat hingga detik terakhir. Sebungkus tissue yang tadinya tergeletak di dalam tas, masih utuh, satu demi satu saya tarik demi mengusap bulir-bulir air mata yang mulai berjatuhan. 

Disamping memicu munculnya gelak tawa dan air mata, Koki-Koki Cilik turut bertanggung jawab atas terdengarnya suara gemuruh dari setiap perut penonton. Oh, saya bahkan meneteskan air liur! Betapa tidak, hamparan visual makanannya yang diabadikan oleh Yadi Sugandi menggunakan lensa kamera terlihat sungguh menggiurkan. Sensasi menontonnya mengingatkan saya pada Tabula Rasa (2014) tempo hari yang membuat saya mendadak ngidam kuliner dari tanah Minangkabau. Food porn! Ragam makanan yang ditampilkan dalam Koki-Koki Cilik pun tak terbatas makanan dari Indonesia, tetapi juga Asia dan Barat. Disarankan, menontonnya saat perut sudah terisi penuh atau menontonnya dekat jam makan sehingga meminimalisir keinginan untuk menggigit-nggigit kursi bioskop. Ehem. Kecakapan Yadi dalam mengambil shot yang memanjakan mata ini berpadu manis dengan penyuntingan tangkas dari Cesa David Luckmansyah, iringan musik gubahan Doni Akson, serta sumbangsih lagu tema bernuansa ceria seperti nuansa filmnya itu sendiri yang dibawakan oleh jajaran pemainnya. Hasilnya, menunjang pengarahan baik sekali dari Ifa Isfansyah (yang sekali lagi membuktikan bahwa dia jago menggarap film keluarga setelah Garuda di Dadaku (2009) dan Ambilkan Bulan (2012) yang ciamik itu) dan penampilan enerjik dari departemen akting sehingga Koki-Koki Cilik dapat dihidangkan sebagai tontonan keluarga yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga menyentuh, menggiurkan, membangkitkan semangat dan mengandung pesan moral tanpa pernah menggurui. Bagus!

Outstanding (4/5)


5 comments:

  1. hem kalah promosi sama kulari ke pantai yaa? sayang sekalii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak kok. Lebih gencar malah, bahkan dari jumlah penonton lebih unggul. Mungkin maksudnya di Twitter? Kalau itu, ya. Kulari ke Pantai manfaatin influencer buat bantu buzz sih.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch