September 1, 2018

REVIEW : WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


“Seluruh ilmuku telah kupasrahkan padamu, Wiro. Kini saatnya kamu memasuki dunia luar, membawa garis-garis hidupmu sendiri.” 

Bagi sebagian penonton, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (untuk selanjutnya disebut Wiro Sableng 212 saja ya, biar nggak kepanjangan) akan membangkitkan kenangan ke masa lampau. Bagi mereka yang sempat merasakan euforia serial televisi tanah air di era 1990-an, pastinya langsung teringat pada versi sinetronnya yang memiliki lagu tema ikonis dengan penggalan lirik berbunyi, “siapa dia? Wiro Sableng. Sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar.” Sedangkan bagi mereka dari generasi yang lebih sepuh, kenangan itu akan lebih melimpah karena turut bersumber dari sumber materinya, yakni cerita silat rekaan Bastian Tito yang memiliki 185 judul, beserta sejumlah film adaptasi layar lebarnya yang memang tak terdengar gaungnya di era sekarang. Menariknya, disamping berfungsi sebagai ajang nostalgia bagi penggemar lamanya, versi termutakhir dari Wiro Sableng 212 yang menampilkan putra si pengarang, Vino G. Bastian, sebagai si karakter tituler ini juga diniatkan untuk mengobati kerinduan penonton terhadap sajian silat yang telah lama raib dari perfilman Indonesia (terakhir adalah Pendekar Tongkat Emas (2014) yang sayangnya melempem) dan memberikan sajian hiburan berskala blockbuster yang jarang-jarang ada kepada khalayak ramai. Demi merealisasikan poin ketiga ini, rumah produksi Lifelike Pictures pun tidak segan-segan berkolaborasi dengan 20th Century Fox dibawah bendera Fox International Productions sehingga memungkinkan Wiro Sableng 212 untuk terhidang sebagai sajian kolosal dengan cita rasa megah nan mewah seperti yang diharapkan. 

Dalam menggulirkan narasi, Wiro Sableng 212 tak berpatokan pada versi sinetronnya melainkan mencuplik langsung elemen dari empat seri dalam cerita silatnya, antara lain Empat Berewok dari Goa Sanggreng, Maut Bernyanyi di Pajajaran, Dendam Orang-orang Sakti, dan Keris Tumbal Wilayuda. Usai dikombinasikan menjadi satu oleh trio penulis skenario; Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon, beserta Seno Gumira Ajidarma, penonton disodori kisah pengembaraan seorang pendekar dengan perilaku yang cenderung nyeleneh nan tengil bernama Wiro Sableng (Vino G. Bastian) dalam upayanya untuk meringkus pendekar dari golongan hitam, Mahesa Birawa (Yayan Ruhian). Konon, misi perburuan terhadap Mahesa ini dimulai selepas Wiro mendapatkan titah dari sang guru, Sinto Gendeng (Ruth Marini), yang dulunya sempat menyalurkan ilmu-ilmunya kepada Mahesa sebelum akhirnya dikhianati. Sinto Gendeng meminta Wiro yang dianggapnya memiliki hati yang bersih dan telah siap mengaplikasikan ajarannya di dunia luar untuk menghentikan rencana keji Mahesa, yakni gerakan ganti raja. Mahesa bersama dengan kelompoknya yang turut meliputi beberapa pengkhianat dari kalangan istana, berencana untuk memporakporandakan kerajaan dengan menculik Pangeran (Yusuf Mahardika) sehingga memudahkannya menggulingkan Raja Kamandaka (Dwi Sasono) dari tampuk kekuasaan. Mengingat Mahesa bukanlah lawan yang bisa dianggap sebelah mata – dan sudah memiliki jam terbang tinggi, maka Wiro pun 'mengajak serta' beberapa pendekar putih yang ditemuinya di perjalanan, seperti Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), untuk membantunya dalam menaklukkan Mahesa.


Selama menonton Wiro Sableng 212 di layar lebar, ada satu sensasi rasa yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya tatkala menyaksikan film Indonesia, merinding. Sedari mencuatnya logo Fox disertai musik pengiringnya yang khas itu, saya berulang kali mencoba mengingatkan diri ini bahwa apa yang tersaji di depan mata merupakan kreasi anak bangsa. Sebuah film laga yang digarap oleh Angga Dwimas Sasongko (Surat Dari Praha, Filosofi Kopi), salah satu pencerita ulung di perfilman Indonesia. Ya, saya sungguh bahagia karena pada akhirnya, perfilman Indonesia memiliki sebuah tontonan yang bisa dikategorikan sebagai blockbuster. Atau dengan kata lain, film dengan skala produksi raksasa yang mempunyai tampilan megah. Membaca deskripsi ini, tanpa bermaksud suudzon kepada para pembaca, saya meyakini ada banyak suara sumbang diluar sana yang berujar “ah, itu kamu saja yang lebay. Tidak seepik itu kok!” lantaran berkomentar nyinyir sedang naik daun (dan dianggap keren). Memang betul bahwa Wiro Sableng 212 bukanlah sebuah produk yang sempurna. Dalam catatan saya, persoalan paling besar yang menghadang film berada di sektor narasi yang terkadang tersendat-sendat. Pemicunya adalah keinginan si pembuat film untuk mengakomodir kemunculan seabrek karakter ditengah durasi serba terbatas sehingga ada kalanya saya terpaksa membuka contekan untuk mengetahui identitas karakter tertentu yang tak pernah mendapatkan perkenalan secara layak. Mereka hanya datang dan pergi oh begitu sajaaa (dinyanyikan dengan melodi ala Letto) demi sekadar memeriahkan pertarungan antara pendekar putih dengan pendekar hitam. 

Disamping latar belakang Wiro dan sejumput mengenai Mahesa yang (untungnya) diberi motivasi memadai untuk ambisi masing-masing, penonton mutlak tidak memperoleh penjelasan mengenai karakter-karakter penyokong yang hilir mudik di sepanjang film, utamanya mereka yang berasal dari komplotan Mahesa. Bahkan, beberapa karakter inti yang mendapat peran krusial seperti Anggini, Bujang Gila Tapak Sakti, serta Bidadari Angin Timur (Marsha Timothy) pun hanya kita ketahui sedikit saja. Mungkinkah Angga dan tim berniat untuk mengeksplorasinya di film mendatang dan hanya mempergunakan momen ini sebagai perkenalan singkat semata sehingga kita tidak lagi asing saat dipertemukan di babak selanjutnya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, selain jumlah karakter terlampau meriah dengan pembagian jatah tampil tak merata, Wiro Sableng 212 tidak menghadapi permasalahan yang berarti. Apabila ekspektasimu tidak menjulang tinggi-tinggi dengan mendamba film ini memiliki plot kompleks (yang sejatinya tidak dibutuhkan oleh film seperti ini) dan pencapaian teknis setingkat film blockbuster buatan studio besar Hollywood hanya karena keterlibatan Fox di dalamnya (yang tentu tak realistis mengingat bujetnya berbeda jauh), rasa-rasanya tidak sulit untuk terpuaskan oleh Wiro Sableng 212. Film ini mampu memenuhi segala pengharapan saya sebagai sebuah tontonan silat yang berdiri di jalur eskapisme. Kocak, seru, dan menyenangkan. Lontaran humor yang sebagian besar digenggam oleh Wiro mengikuti celetukan beserta sikapnya yang tengil-tengil sableng tidak sedikit diantaranya yang mengenai sasaran sampai-sampai seisi studio dibuat tergelak-gelak. Bahkan, untuk menonjolkan kesablengannya, beberapa guyonan yang merapat ke ranah budaya populer dan bermain-main dengan referensi sengaja dibuat lintas zaman yang mana bukan jadi soal lantaran Wiro Sableng 212 berdiri di atas genre fantasi. Gokil! 



Kemampuan humor yang tersalurkan dengan baik ke penonton ini tentu tak lepas dari pengarahan Angga yang bersinergi dengan jajaran pemain ansambel di Wiro Sableng 212 yang memiliki akurasi dalam hal comic timing sekaligus mempunyai permainan lakon yang sulit dibilang mengecewakan. Dari seabrek pemain yang menyumbangkan perannya, beberapa nama yang menonjol antara lain Vino G. Bastian, Ruth Marini, Dwi Sasono, Yayan Ruhian, Marsha Timothy, serta pendatang baru Fariz Alfarazi. Vino G. Bastian membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan keliru untuk memerankan Pendekar Kunyuk yang bikin gregetan lawan beserta kawan-kawannya karena tingkah lakunya yang susah diajak serius. Ada pancaran ketengilan seperti gabungan antara Peter Parker, Sun Go Kong, serta Deadpool yang mampu mengecoh siapapun sehingga mudah untuk menganggapnya sebagai pendekar ecek-ecek yang bisa disentil menggunakan jemari tangan. Tektokannya bersama Ruth Marini yang bikin pangling berkat transformasi menakjubkannya di sektor rias dan intonasi suara terasa natural seolah-olah keduanya memang memiliki ikatan kuat sebagai murid-guru, begitu pula saat adu mulut bersama Fariz Alfarazi yang karakternya sebelas dua belas dengan Wiro perihal ketengilan maupun keganjenan. Turut bergabung di jajaran bergengsi ini adalah Dwi Sasono yang melepaskan citra komedinya dengan tampil berwibawa sebagai Raja, lalu Marsha Timothy yang terlihat anggun sebagai perempuan misterius yang kerap membantu Wiro di kala-kala genting, dan tentu saja Yayan Ruhian yang tampak bengis nan mematikan sebagai musuh besar Wiro yang harus ditaklukannya. 

Turut menunjang kelucuan humor dan permainan lakon yang apik adalah koreografi laga yang mengesankan. Keputusan untuk merekrut Yayan Ruhian bersama Chan Man Ching (menangani adegan laga di Rush Hour dan Hellboy II: The Golden Army) tidaklah sia-sia belaka karena Wiro Sableng 212 mempunyai sedikitnya dua momen kelahi dapat dikenang yang bisa dijumpai melalui adegan pertarungan di kedai makan yang mengingatkan kita ke film-film silat dari Cina (dan memberi kita cameo yang membangkitkan kenangan!) lengkap dengan segala kelebayannya dan konfrontasi akhir di babak klimaks yang berlangsung panjang nan mendebarkan. Bak bik buknya tetap terasa seru sekalipun intensitas pada pertarungannya terpaksa diturunkan demi bisa menjangkau pasar keluarga. Keseruan momen laga ini tentu tak akan berarti banyak tanpa sokongan dari departemen teknis yang harus diakui merupakan salah satu letak keunggulan Wiro Sableng 212. Pergerakan kameranya luwes, penyutingannya lincah, efek khususnya halus (well, pengecualian untuk adegan di atas jurang yang masih tampak dipaksakan), kostum beserta tata riasnya detil, dan dentuman musik pengiringnya membantu memberikan energi yang memang dibutuhkan film. Ditambah oleh bangunan semestanya yang menyuguhkan gambaran mengenai dunia yang ditempati para pendekar ini dengan cukup baik, kombinasi dari elemen-elemen teknis ini memunculkan kesan megah nan mewah pada Wiro Sableng 212 laiknya film-film kolosal milik Cina. Sebuah pencapaian sinematis bagi perfilman Indonesia yang tentunya sangat patut diapresiasi karena, well, kapan lagi kita bisa nonton film Indonesia seakbar ini? Sungguh saya jadi tak sabar untuk menengok jilid selanjutnya yang semoga saja bisa menunjukkan peningkatan dari apa yang telah disuguhkan di seri pembuka ini.

Info layanan masyarakat : Ada satu adegan bonus di sela-sela end credit yang memberi petunjuk ke film berikutnya. Bertahanlah, bertahanlah. 

Outstanding (4/5)



23 comments:

  1. Sayang banget berantem2 nya kuranggggg greget :( udah berharap banyak sama sherina vs siapa itu yg rambut panjang, si bujag vs cecep, dan kok gampang mati sih villain nya... Itu aja si yg bikin gemes

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya intensitasnya emang dikurangi biar bisa dinikmati penonton cilik. Mengingat keterbatasannya, udah greget kok. Paling nggak adegan berantem di kedai dan klimaks itu seru.

      Delete
  2. Wa, saya enggak pernah mengikuti serinya Wiro Sableng,, apa saya masih bisa menikmati filmnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa kok. Kan diceritain dari awal mula, bukan kelanjutan. 😁

      Delete
  3. Tapi kayak nya bakal di turunin dulu ekspetasi saat mau nonton nya takut nya gak sesuai harapan. Film warkop reboon ajah pas Cinetariz bilang oustanding tapi pas saya nonton biasa ajah.. Gak luar biasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya. Aku udah nulis di atas kok mengenai ekspektasi dan alasan kenapa aku tetap memberinya Outstanding meski ada kelemahan di salah satu titik. 😁

      Delete
    2. Klo saya kasih nilai 3,5/5 krn adegan aksi nya belum luar biasa apalagi adegan ending yg musuhnya terasa mudah sekali dikalah kan.

      Delete
  4. Sultan agung bagus tp sayang udh banyak turun layat hiksssss

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya filmnya saja nggak dipromoin. Bisa bertahan lebih dari seminggu saja sudah keajaiban 😂

      Delete
  5. Dl nonton wiro bisa hafal jurus2nya karena ada tulisan nama jurus. D film g da yg tau itu jurus apa aja. Sepakat juga sama karkter yg bejibun, tambah ending lawan mahesa birawa kurang kasih kesan jurus pamungkas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa. Aku juga nungguin nama-nama jurusnya yang unik itu. Mungkin si pembuat film punya pertimbangan lain buat nggak nampilin. Aku sih berharap ini bakal dimunculin di film keduanya.

      Delete
  6. Barusan ntn filmnya.. adegan tarung sesuai ekspetasi, sama kesannya ketika melihat di trailer. Yg mengecewakan interaksi karakternya kurang luwes, wiro ama sinto gendeng bagus sih, tapi dengan yg lain kurang. Paling parah antara Anggini dng Wiro. Sherina disini kok aktingnya kaku ya. Lalu latar belakang karakter kurang dieksplorasi, padahal banyak karakter unik. Setidaknya teman seperjalan wiro seperti Anggini dan Bujang Tapak Sakti. Kan bisa lewat dialog.. saya saja penasaran bagaiman Anggini jadi murid Dewa Tuak, kan bisa dibuat dialog dimana si wiro penasaran dengan Anggini kenapa bisa jadi murid dewa tuak, ditolong juga kah dari perampok kayak si wiro. Lalu pertemuannya banyak kebetulan, setidaknya pertemuan dengan Dewa Tuak dibikin kalo Sinto suruh wiro ketemu dewa tuak dulu, karena wiro kan baru turun gunung, jadi suruh dewa tuak bantuin arahin jalan gitu.. lalu dewa tuaknya suruh muridnya Anggini utk mandu jalan si wiro... lalu sepanjang perjalanan saling tanya ngorek2 latar belakang.
    Kalo fokus ke 1 cerita novel mungkin lebih bagus kali ya, daripada 4 novel digabung jadi satu jadi banyak karakternya gitu. (Belum pernah baca novelnya sih)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Resiko masukkin banyak karakter dalam film nih. Tapi ya, aku setuju sekali kalau aktingnya Sherina kurang di sini. Kakuuu. Sepertinya dia masih kagok buat berakting setelah sekian lama. Mudah-mudahan latar belakang Anggini dan beberapa karakter inti dieksplorasi di film kedua. Denger-denger sih emang bakal demikian.

      Delete
    2. Setujuuuu.... Saya sama sekali ga kenal sama karakter selain wira. Dan berantem2 nya itu emang yg bikin rada... Yahh :(

      Delete
    3. setuju banget kalo Sherina sangat kaku meranin Anggini, saya sebagai penggemar berat novel2 nya sendiri jujur terlalu menaruh harapan tinggi dengan film ini, banyak yg terlalu dipaksakan, terutama sosok Bidadari Angin Timur yang..... ga penting untuk munculkan saat ini... kostum yang tidak sesuai dengan jaman nya, jurus2 terkenal seperti kunyuk melempar buah, dewa topan menggusur gunung dll tidak disebutkan, yang sangat disayangkan juga tokoh2 golongan hitam yg di novel nya begitu melekat, tapi di film ini hanya lewat sekejap kemudian gugur.... saya akui untuk teknik visual efect nya nyaris sempurna, semoga jika dibuat lagi sekuel nya bisa belajar dan menggali lagi dari novelnya, terutama akting para pemain...

      Delete
    4. Ya agak disayangkan emang nama jurus-jurusnya yang unik itu tak dimunculkan di sini. Tapi soal kostum, tak ada yang salah kok. Film ini berada di genre fantasi dan tak pernah secara spesifik menyebutkan latarnya jadi ada sentuhan modernitas bukan jadi soal. Itulah kenapa guyonan Syahrini bisa dimaklumi. 😁

      Semoga saja segala kekurangan di film ini bisa menjadi bahan evaluasi buat mereka di film berikutnya ya. Efek khususnya hanya butuh beberapa kali polesan buat sempurna dan mestinya jika film kedua dapat kucuran dana lebih besar sih bisa maksimal.

      Delete
  7. Baru sempat nonton ini film... Sebagai semata-mata hiburan, film-nya bagus banget; fun, enjoyable & gak perlu mikir banyak selama nonton. Gak usah pasang ekspektasi tinggi & nikmati filmnya, maka akan kita dapat tontonan yang menyenangkan.

    Yang menurut saya bagus dari film ini:
    1. Kostum tokohnya mendukung cerita. Setelah tempur habis-habisan, pakaian para tokoh pada lusuh dan sobek. Ini jelas membedakan dengan kelas sinetron yang biasanya kostum tetap terlihat kinclong.
    2. Musuh utama tangguh banget. Sang tokoh harus berjibaku hingga babak belur agar dapat mengalahkannya. Ini poin plus sekali, serasa cerita di komik Tiger Wong atau Dragon Ball. Dalam hal ini lebih bagus dari Justice League malah, yang musuhnya cepet keok begitu Superman datang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali. Sepertinya banyak yang berekspektasi kelewat tinggi karena ada campur tangan Fox di dalamnya. Padahal sebagai sajian hiburan, ini menyenangkan kok. Temanku saja sampai menonton tiga kali dan menurutnya pengalaman yang didapatkan terasa semakin menyenangkan terlebih karena dia sudah tahu ekspektasi seperti apa yang mesti ditanamkan 😁

      Saya setuju sekali dengan dua poin yang kamu utarakan termasuk soal musuh. Mahesa tangguh kok, dia baru benar-benar keok setelah Wiro mengeluarkan kapak saktinya. Ini jelas bisa diterima mengingat kapak tersebut sakti mandraguna. Sebagai villain di film pembuka, dia sudah terlihat sangat mengancam.

      Delete
  8. Secara gw komen sebagai orang yang ga ngerti sama sekali dengan dunia wiro sableng :

    "Beda Kelas, hanya masih dibawah ekspektasi"

    btw nice review bung, memang film wiro sableng ini tidak bisa dibilang outstanding. Karena beberapa komponen dari inti sebuah film agak bisa dibilang kurang sempurna contohnya kaya gw keganjal sama dialogue yang terlihat formal, build up storynya keliatan kacau dan pengenalan atau pendalaman karakternya ngga begitu jelas. Tapi disisi lain, audio dan visual di film ini memang udah sekelas film-film Hollywood sih, which is kalo ngeliatnya sebagai standar film indonesia bergenre Action-Fighting pada umumnya udah ngga bisa lagi, ga fair.

    Tapi ya kembali lagi ke penonton sih itu, ngga semua penonton ngeliat film secara keseluruhan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju bung, saya kemarin komen spt anda tapi dibully di youtube. Banyak yg "maksa" saya bilang film ini bagus.

      Intinya dari segi actingnya garing & dibuat-buat, dialognya terkesan kayak baca teks. Adegan pertarungannya standar aja, gak istimewa dan gak luwes. Film ini lebih mirip pentas sandiwara utk anak2 di acara 17 agustusan.

      Kesimpulannya film ini dimata saya masuk kategori "give me back my money" movie.

      Delete
    2. @Yordan: Betul, standarnya sudah berbeda. Aku sih tidak akan menempatkannya di kelas Hollywood, lebih ke Asia. Masih ada kekurangan disana sini, tapi jelas ini merupakan langkah besar bagi film blockbuster tanah air. Semoga mereka menjadikan kekurangan di sini sebagai pembelajaran. 😁

      Delete
    3. @Adi: saya tidak pernah mendukung bullying dan setiap orang berhak untuk mengutarakan opininya. Hanya saja, untuk kasus ini saya paham kenapa kamu diserang netizen. Komentar "film ini lebih mirip pentas sandiwara anak-anak di acara 17-an" itu sangat kasar lho. Terlebih, well, Wiro Sableng jelas tidak berada di kelas itu. Saya tidak tahu perspektif apa yang kamu gunakan sehingga muncul kesimpulan seperti demikian. Bahkan film Cina dengan bujet 10x lebih besar dari Wiro belum tentu bisa menyamai kualitasnya (banyak sekali yang berantakan). Adegan pertarungannya bagus, memiliki impak, tapi memang tidak bisa dinaikkan lagi level kekerasannya karena film ini menjangkau pasar keluarga. Akting pun tergolong bagus (pengecualian untuk Sherina), dan dialognya tidak berbeda jauh dengan materi sumbernya. Masih jauh lebih luwes ketimbang Buffalo Boys atau Merah Putih. Bisa jadi ekspektasimu terlalu tinggi. Jika perbandingannya Hollywood, sudah jelas tidak fair.

      Delete
  9. Saya hampir m3mbaca semua novel wiro sableng dari seri awal sampe balik dari latanahsilam, yg kurang menurut saya adlah pertarungan yg efik. Larik2 cahaya pukulan sakti, dentuman2 ketika beradu pukulan sakti dan arena perkelahian yg sempit.jd rata2 perkelhian jarak p3ndek, pdhal mereka jago2 meringankan tubuh. Semoga lebih di perbaiki lg, jd pertarungan seru bisa l3bih dapat sesuai ktika kita byngkan di novel nya..

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch