December 29, 2018

REVIEW : MARY POPPINS RETURNS


“Everything is possible, even the impossible.” 

“What a lovely movie!” adalah komentar pertama yang meluncur dari mulut selepas menyaksikan Mary Poppins Returns di bioskop. Memang betul film arahan Rob Marshall (Chicago, Into the Woods) ini cenderung menyerupai remake dari Mary Poppins (1964) ketimbang sekuel dengan sederet adegan kentara mereplika film terdahulu, tapi pendekatan tersebut bukanlah suatu kesalahan. Para penggemar akan menghirup aroma nostalgia sementara mereka yang sama sekali asing dengan karakter rekaan P.L. Travers ini tidak akan tersesat saat mencoba menontonnya. Saya pribadi tidak menyalahkan keputusan Walt Disney Pictures dalam menyalurkan narasi dengan cara seperti ini, toh si pembuat film sanggup melakukannya. Sanggup menangkap sisi magis dari film pertama yang kini bersatus sebagai film klasik. Jadi, apa yang harus dikeluhkan? Tidak, tidak ada. Mary Poppins Returns memberikan salah satu pengalaman terbaik bagi saya dalam menonton film di layar lebar tahun ini. Ada begitu banyak kebahagiaan, ada begitu banyak keceriaan, dan tidak tersedia kesempatan untuk bersungut-sungut. Selama durasi mengalun yang merentang hingga 130 menit, Mary Poppins Returns mengingatkan penonton dengan pesan lawas tapi tetap relevan sampai kapanpun: jangan pernah melupakan jiwa kanak-kanakmu. Karena jiwa kanak-kanak inilah yang akan menjagamu untuk tetap berpikir dan bersikap positif ditengah situasi dunia yang kian tak bersahabat. 

Berlatar dua dekade selepas peristiwa di film pertama, Mary Poppins Returns mempertemukan penonton sekali lagi dengan kakak beradik, Michael Banks (Ben Whishaw) dan Jane Banks (Emily Mortimer), yang kini telah tumbuh dewasa. Keduanya menjalani kehidupan yang berbeda; Michael yang bekerja sebagai kasir di bank mendiami rumah masa kecilnya bersama ketiga anak-anaknya yakni Annabel (Pixie Davies), John (Nathanael Saleh), dan Georgie (Joel Dawson), sementara Jane yang tinggal di apartemen adalah seorang aktivis. Pada awalnya, keluarga ini tampak baik-baik saja sampai kemudian dua pengacara utusan bank mengetuk rumah Michael untuk mengabarkan tenggat pembayaran hutang. Apabila Michael gagal melunasi hingga waktu yang ditentukan, rumahnya akan seketika disita oleh bank. Tak ingin kehilangan rumah masa kecil mereka, Michael dan Jane pun bekerja sama mencari keberadaan sertifikat kepemilikan saham di bank milik sang ayah. Tekanan dari pihak bank ini tanpa sadar membuat Michael yang masih belum sembuh dari dukanya karena kehilangan sang istri menciptakan jarak dengan ketiga anaknya. Tak ada lagi waktu untuk bermain bersama, tak ada lagi waktu untuk berbagi cerita. Di saat keluarga Banks lambat laun mulai terpecah, Mary Poppins (Emily Blunt) yang pernah merawat Michael dan Jane kecil tiba-tiba datang menawarkan bantuan. Kehadiran Mary tidak hanya membuat Annabel dan kedua adiknya merasakan kembali kebahagiaan yang telah direnggut dari mereka, tetapi juga membuat seluruh personil keluarga Banks menemukan lagi makna sesungguhnya dari keluarga.


Ya, hati saya dilingkupi kebahagiaan tatkala menonton Mary Poppins Returns di layar lebar. Selaiknya Paddington 2 (2017) tempo hari, ini adalah sebuah film untuk seluruh anggota keluarga dengan aura sangat positif yang sudah sangat jarang kita temui. Ini adalah feel-good movie yang kamu butuhkan disaat tuntutan hidup semakin ruwet, manusia-manusia makin sering bersikap sinis antara satu dengan lain, dan apa yang tersaji di layar televisi hanya memperkeruh keadaan: acara didominasi pertikaian, berita baik makin jarang dijumpai. Dan oh, dunia maya disesaki dengan komentar-komentar buruk yang tak pernah bisa saya pahami maksud tujuannya. Life sucks, I guess? Mary Poppins Returns memberikan alternatif tontonan eskapis yang dewasa ini didominasi oleh superhero movies yang terkadang masih pula menyisipkan komentar sosial politik dan tentunya, adegan kekerasan dalam bentuk laga adalah jualan utamanya. Apa yang disodorkan oleh film ini tak mengandung dua hal itu (benar-benar aman untuk penonton cilik) karena mantra yang disebarkannya kepada penonton hanya tiga: kebahagiaan, kebahagiaan, dan kebahagiaan. Penonton yang kelewat sinis mungkin akan berkomentar “apaan sih” atau malah menganggapnya membosankan. Namun jika kamu tidak keberatan untuk menyaksikan dongeng fantasi yang bermain-main dengan imajinasi dimana benda-benda di rumah dapat dijadikan tempat berpetualang (seperti bak mandi yang menjelma menjadi lautan luas), tokoh-tokoh kartun bisa berinteraksi dengan para karakter, dan permasalahan hidup dapat diselesaikan dengan mudah melalui nyanyi-nyanyian, tari-tarian, serta pikiran positif, Mary Poppins Returns jelas untukmu. 

Mary Poppins Returns memang tidak membebani penonton dengan subteks memusingkan atau kritik sosial atau apapun itu. Film ini hanya ingin menghibur penonton cilik seraya mengajak penonton dewasa untuk menemukan kembali jiwa kanak-kanak yang mungkin telah raib. Pada dasarnya, Mary Poppins Returns masih mengedepankan narasi kurang lebih serupa dengan sang predesesor: kepala keluarga Banks terlampau sibuk dengan pekerjaannya, anak-anak terabaikan, lalu seorang pengasuh anak yang misterius datang menyelamatkan. Beberapa karakter serta adegan pun merupakan hasil rekonstruksi dari film terdahulu seperti kehadiran seorang penyala lampu jalanan, Jack (Lin-Manuel Miranda), yang diposisikan seperti Bert sebagai teman baik Mary Poppins, tetangga berisik yang kerap menembakkan meriam sebagai penanda waktu, atau saat si pengasuh ini mengajak ketiga putra Banks memasuki sebuah mangkuk bergambar yang memunculkan adegan berupa perpaduan antara animasi goresan tangan dengan live action. Banyaknya kemiripan ini memang memberi kesan malas pada Mary Poppins Returns. Akan tetapi mengingat film ini memiliki rentang sangat jauh dari film pertama (54 tahun euy!) dan pihak studio ingin mengenalkan si karakter tituler pada generasi muda masa kini (yang mungkin terlalu enggan menonton film lawas), pendekatan remake berbalut sekuel adalah pilihan kreatif yang masuk akal. Lagipula, bukankah kita tidak seharusnya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak? Saya pun tidak keberatan sama sekali karena disamping Rob Marshall mampu memberi penghormatan yang layak kepada versi terdahulu, dia pun masih sanggup menciptakan identitas tersendiri bagi Mary Poppins Returns sehingga label ‘sekuel malas’ terlepas secara otomatis darinya.


Disamping memiliki petualangan mengikat yang membangkitkan semangat (adegan di mangkuk! Bak mandi! Big Ben!) beserta kenangan terhadap film-film animasi klasik buatan Disney, Mary Poppins Returns juga mempunyai narasi menghangatkan hati seputar makna keluarga termasuk bagaimana berdamai dengan kehilangan saat salah satu anggota keluarga berpulang, sekaligus momen musikal mengasyikkan yang tersusun atas gerak tari meriah dan tembang-tembang melodius dengan pesan positif. Pesan mengenai menghilangkan prasangka, menyesuaikan perspektif dalam memandang persoalan, sampai ketersediaan solusi atas setiap permasalahan asalkan kita bersedia bersikap optimis. Tembang-tembang ini memang bukan tergolong instant classic seperti halnya Chim Chim Cher-ee atau Supercalifragilisticexpialidocious yang masih dikenang sampai sekarang, tapi beberapa diantaranya cukup sulit dienyahkan begitu saja dari benak khususnya Trip a Little Light Fantastic yang energinya membuat saya tak sanggup menahan keinginan menghentak-hentakkan kaki dan The Place Where Lost Things Go yang membuat satu dua bulir air mata mengalir. Yang juga tidak boleh dilupakan karena memegang peranan krusial dalam Mary Poppins Returns adalah barisan pemain yang masing-masing memiliki kesempatan untuk bersinar. Ben Whishaw, Emily Mortimer, Julie Walters sebagai pelayan keluarga Banks, Colin Firth sebagai si antagonis, Meryl Streep sebagai sepupu Mary, serta Lin-Manuel Miranda memang tampil memuaskan dalam peran masing-masing. 

Namun Emily Blunt yang menggantikan posisi Julie Andrews adalah hal terbaik yang dimiliki oleh film ini. Tak sekadar mengimitasi seniornya, dia turut memberikan interpretasinya sendiri untuk Mary yang agak narsis, dan teramat sangat disiplin dibalik sikap ramahnya. Ada karisma memancar dalam wajah Blunt yang dapat menghipnotis penonton sehingga kita tanpa sadar bertingkah seperti anak-anak Banks: saya ikut tersenyum saat dia tersenyum, saya merasakan keteduhan pada hati saat dia memberi pandangan menenangkan, dan saya pun refleks menunduk begitu air muka Mary menunjukkan ketidaksukaan. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, performa dari Emily Blunt ini merupakan definisi dari magis. Satu kata yang juga saya pergunakan untuk mendeskripsikan secara singkat seperti apa Mary Poppins Returns.

Outstanding (4/5)


2 comments:

  1. Belum ada yg bisa ngalahin pesona julie andrew sih, tapi setuju emily blunt disini.... Huuummmmm 😍😍😍😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh jelas, Julie Andrews tetap tak terkalahkan. Tapi pemilihan Emily Blunt ini keren sih, auranya juga sangat goddess.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch