December 3, 2018

REVIEW : RALPH BREAKS THE INTERNET


“All friendships change. But the good one, they get stronger as they change.” 

Rasa-rasanya tidak banyak yang menduga bahwa Wreck-It-Ralph (2012) akan menjadi tontonan keluarga yang sangat menyenangkan buat disimak. Penonton diajak menjelajah dunia arcade game yang sudah semakin ditinggalkan, lalu disodori visual berwarna-warni, rangkaian cameo dari permainan populer di masa lampau, serta guliran pengisahan yang penuh banyolan segar sekaligus mampu menonjok hati-hati sensitif. Kesuksesan yang direngkuhnya baik dari sisi finansial maupun kritikal, membawa sajian animasi produksi Walt Disney Animation Studios yang sempat tenggelam kembali menjadi sorotan (terima kasih juga untuk Tangled, Frozen, Big Hero 6, serta Zootopia) sekaligus memberi kesempatan bagi Ralph si penghancur untuk memiliki franchise-nya sendiri. Ya, pihak studio tidak berpikir panjang-panjang dalam memberi lampu hijau pada pembuatan sekuel Wreck-It-Ralph yang ternyata membutuhkan waktu hingga enam tahun untuk direalisasikan. Pemicunya, menentukan narasi yang cocok mengenai kelanjutan petualangan serta persahabatan antara dua outsider di dunia arcade game, Wreck-It-Ralph (John C. Reilly) dan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman), yang belakangan dielu-elukan sebagai pahlawan. Usai melewati berbagai fase pertimbangan sengit – konon ada tiga naskah yang menjadi kontender untuk difilmkan – sekuel bertajuk Ralph Breaks the Internet pun memilih jalur pengisahan yang menempatkan persahabatan Ralph dengan Vanellope di ujung tanduk selepas mereka mengetahui adanya dunia baru yang kita kenal sebagai internet. 

Berlatar enam tahun selepas peristiwa di film pertama, Ralph dan Vanellope kini menjadi sahabat baik yang tak terpisahkan. Dimana ada Ralph, disitulah kamu akan menemukan Vanellope. Mereka senantiasa menghabiskan waktu bersama setiap hari utamanya usai ‘bekerja’ di arcade game masing-masing – entah nongkrong di atap apartemen, kedai minuman, atau stasiun penghubung antar game. Sepintas, tak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Semuanya berjalan dengan normal serta damai sentosa seperti diharapkan oleh sebagian besar para penghuni arcade game… kecuali Vanellope. Ya, Vanellope menganggap rutinitasnya ini menjemukan karena dia tak lagi menemukan tantangan dalam pekerjaannya sebagai pembalap jagoan di Sugar Rush. Dia ingin sesuatu yang berbeda. Mengetahui sahabatnya bermuram durja, Ralph pun berinisiatif memberikan ‘twist’ dalam permainan tersebut yang justru berdampak fatal dan mengancam kelangsungan Sugar Rush. Demi menyelamatkan pekerjaan sekaligus rumah bagi Vanellope beserta kawan-kawan pembalap lain, Ralph dan Vanellope pun nekat menjelajah internet. Mereka mesti menjangkau eBay yang konon memberikan solusi atas permasalahan mereka. Mulanya sih tak ada kesulitan berarti bagi keduanya dalam menemukan tempat ini lalu mengklaim barang yang mereka butuhkan. Hanya saja, ketidaktahuan mereka mengenai ‘cara main’ di eBay mendatangkan persoalan lain bagi dua sahabat ini yang memaksa Ralph dan Vanellope untuk menyelami internet lebih dalam sekaligus menguji persahabatan mereka.


Selaiknya sang pendahulu yang memberi banyak kesenangan di sepanjang durasi, Ralph Breaks the Internet pun meninggalkan sensasi senada seirama pada penonton. Mitos “sekuel akan kesulitan menandingi jilid pembuka” sekali lagi disanggah di sini dengan kemampuan duo kreator – Rich Moore dan Phil Johnston – dalam mengkreasi visual beserta jalinan pengisahan yang setara levelnya dengan Wreck-It-Ralph. Jika sang kakak lebih banyak mengakomodir elemen nostalgia pada dunia arcade game (lengkap dengan cameo dari karakter game legendaris), maka sang adik ini memiliki cakupan yang lebih luas lantaran merangkul fenomena dunia maya termasuk budaya populer. Sedikit banyak mengingatkan pada The Emoji Movie yang memvisualisasikan kehidupan di dalam ponsel genggam yang terkoneksi dengan internet, Ralph Breaks the Internet memiliki penggambaran yang inovatif, penuh warna nan kompleks mengenai dunia maya yang diibaratkan kota besar berlalu lintas padat di masa depan (bayangkan saja film fiksi ilmiah yang memiliki mobil terbang). Para pengaksesnya diwujudkan dalam avatar yang berlalu lalang bak warga kota yang sibuk atau turis, sementara setiap situs kenamaan di internet adalah gedung-gedung pencakar langit yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Sebagai contoh, Instagram terlihat seperti museum yang koleksi lukisannya tersusun atas postingan para pengguna, Twitter menampilkan burung-burung sedang bercengkram di atas ranting, Oh My Disney menyerupai Disneyland (tentu saja!), dan eBay tak ubahnya tempat lelang. Sungguh visualisasi yang amat kreatif, bukan? 

Saya tak sanggup menahan rasa takjub – terperangah dan geleng-geleng kepala – tatkala Ralph Breaks the Internet menghamparkan visual yang detil ini. Begitu banyak printilan-printilan yang akan membuat para pecandu dunia maya dan budaya populer kegirangan, bahkan besar kemungkinan kamu tidak akan menjumpai seluruhnya hanya dalam satu pandangan (!). Yang juga membahagiakan, kecermatan dalam penggarapan animasi ini tak lantas mendistraksi si pembuat film dari sektor narasi. Penonton diupayakan dapat memperoleh kenikmatan tak hanya untuk mata, tetapi juga untuk otak dan hati di sepanjang durasi. Guliran pengisahannya dirangkai dengan berbagai macam emosi yang melingkunginya: seru, lucu, serta haru. Seru menyaksikan petualangan Ralph bersama Vanellope dalam mengarungi internet guna menuntaskan satu misi besar untuk “mendapatkan barang penting di eBay” yang turut membawa mereka memasuki game online sarat kekerasan, lucu melihat kekonyolan tingkah berikut celetukan-celetukan dari para karakter yang wara-wiri di film (paling membekas jelas para putri dari film animasi Disney yang menyindir karakteristik tipikal mereka dan studio sebelah *cough*Pixar*cough), lalu haru menyimak hubungan naik-turun Ralph dengan Vanellope yang menghantarkan pesan moral mengenai persahabatan. Disamping soal “bagaimana seharusnya seorang sahabat bersikap?,” Ralph Breaks the Internet juga menyodorkan komentar sosial mengena perihal perilaku di dunia maya termasuk cyber bullying. Oleh Yesss (Taraji P. Henson), ahli algoritma yang menentukan popularitas video di BuzzzTube, pesan ini ditekankan secara jelas: caramu memanfaatkan internet menunjukkan jati dirimu yang sesungguhnya lebih-lebih jika kamu menggunakannya untuk menebar kebencian. Sebuah pesan yang tentunya relevan di era ketergantungan teknologi (dan internet) seperti sekarang ini.

Note : Ralph Breaks the Internet memiliki dua bonus adegan yang terletak di sela-sela dan penghujung end credit. Plus, ada bonus video klip.

Outstanding (4/5)


8 comments:

  1. Walaupun dari segi cerita, sedikit lebih "serius" ketimbang yang pertama, tapi tetep keren.
    Terpana aku sama internet universe, pengen pula nongkrong sama 'The Princesses'. Hahaha
    Oya, aku loh, termasuk yg ga ngeh sama bangunan instagram yg mbok ceritain itu. Saking takjubnya disodorin visualisasi dunia internet yang semuanya ada tapi justru ga semuanya bisa ketangkep mata.
    Keren banget bisa mewujudkan dunia internet sedemikian lucu dan berwarna. Ini aku nulis komen gini aja sambil ngebayangin avatarku kaya apa di sana, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak bisa cuma nonton sekali, mesti nonton beberapa kali buat nangkap situs yang berseliweran di sini. Dan omong-omong, aku juga pengen nongki bareng Princesses. Kayaknya seru kalau mereka dibikinin film sendiri yaa.

      Delete
    2. Bener banget, bisa jadi kalo beneran dijadiin film khusus the princesses malah jadi 'not so princess' kaya pas mereka pake baju rumahan di Ralph Breaks The Internet. Seru kan...

      Delete
    3. Oh jelas. Malah sepertinya bakal condong ke komedi atau petualangan. Sewaktu ngumpul bareng di film ini juga kocak banget apalagi secara karakteristik berbeda-beda.

      Delete
  2. Setelah cukup puas dengan the Incredible 2.. film masuk dalam list wajib tonton nie..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh wajib ditonton nih. Salah satu yang terbaik tahun ini.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch