February 3, 2019

REVIEW : GREEN BOOK


“Being genius is not enough. It takes courage to change people’s hearts.”

Para moviebuff tentu mengenali Peter Farrelly sebagai salah satu personil dari Farrelly Brothers. Dua bersaudara dibalik terciptanya film-film komedi rusuh semacam Dumb and Dumber (1994), There’s Something About Mary (1998), serta Me, Myself & Irene (2000) dimana disabled people kerap dijadikan sebagai objek candaan sehingga tak mengherankan jika film-film mereka terkesan ofensif bagi sebagian kalangan. Pun begitu – jika kita berkenan menyelaminya lebih dalam – sebenarnya Farrelly Brothers kerap menyematkan pesan bijaksana dalam karya mereka yang tak jarang tenggelam lantaran humor urakannya. Sensitivitas keduanya baru benar-benar bisa dirasakan melalui film komedi romantis bertajuk Shallow Hal (2001) yang mendorong penonton untuk berhenti menilai kualitas seseorang berdasarkan penampilan fisik semata. Deep, bro, deep! Memasuki era 2000-an, pencapaian duo ini tak lagi sesemarak di dekade sebelumnya dan perlahan tapi pasti, mereka memilih untuk vakum sejenak dari mengerjakan film komedi yang membesarkan nama. Berpisah jalan sementara demi mengerjakan proyek masing-masing, Peter Farrelly menjajal mengambil tantangan dengan membesut Green Book yang berpijak di genre drama. Tak hanya itu, film yang judulnya dicuplik dari buku panduan bagi masyarakat kulit berwarna dalam memilih penginapan dan restoran yang berkenan menerima mereka ini (The Negro Motorist Green Book, 1936-1966) turut mengapungkan sederet isu berat nan sensitif meliputi rasisme, prasangka, serta segregasi. Sebuah karya yang tak disangka-sangka bakal meluncur dari tangan salah satu personil Farrelly Brothers.

Dalam Green Book, penonton diajak untuk mengikuti sebuah pengalaman perjalanan nyata selama delapan pekan yang dialami oleh seorang pianis kenamaan berkulit hitam, Don Shirley (Mahershala Ali), bersama supir sekaligus bodyguard-nya yang berdarah Italia, Tony Vallelonga (Viggo Mortensen), di wilayah selatan dari Amerika Serikat pada tahun 1962. Mengingat wilayah ini dikenal memberlakukan segregasi ketat dalam berbagai fasilitas publik untuk masyarakat kulit hitam pada waktu itu, keputusan Shirley untuk menggelar tur di sana jelas merupakan keputusan sangat nekat. Tony sempat dibuat bertanya-tanya, tapi kemudian dia berhasil memahami pilihan atasannya tersebut setelah mendapatkan penjelasan singkat nan menyentil dari rekan Shirley dalam grup musik Don Shirley Trio. Ya, ada banyak hal yang dipelajari oleh Tony – begitu juga sebaliknya – mengenai Shirley lewat perjalanan ini. Dimulai dengan hubungan sangat kikuk lantaran Tony yang sangat rasis sejatinya setengah hati menerima pekerjaan ini dan Shirley bukan pula seseorang yang bersahabat, keduanya secara perlahan tapi pasti berkenan untuk saling memahami antara satu dengan yang lain usai mengalami serentetan peristiwa tak mengenakkan selama tur. Berkat Tony, Shirley yang selama ini membentengi kerapuhannya dengan sikap flamboyan dan cenderung angkuh akhirnya bersedia untuk membuka diri, sementara berkat Shirley, Tony yang berpikiran amat dangkal ini mendapatkan perspektif lebih luas mengenai manusia. Tak ada lagi penghakiman hanya karena seseorang memiliki kulit, orientasi seksual, dan gaya hidup yang berbeda dari dirinya.


Meski isu yang dikedepankan oleh Green Book terbilang kompleks, Peter Farrelly tak melantunkan narasi dengan nada penceritaan yang bikin dahi mengerut maupun bermuram durja melainkan dikemas menjadi feel good movie yang dibumbui banyak canda tawa disana sini. Sebuah pilihan kreatif yang tergolong kontroversial bagi sebagian pihak lantaran dinilai menyederhanakan persoalan segregasi di era 1960-an. Tapi benarkah pendekatan yang diambil oleh Farrelly untuk menyampaikannya secara santai adalah sebuah kekeliruan besar? Bukankah The Help (2011) dan Hidden Figures (2016) yang mengambil latar waktu pada era yang sama juga memilih untuk menyampaikan permasalahan dengan gaya penceritaan cenderung uplifting? Saya paham setiap orang pastinya memiliki preferensi berbeda-beda, tapi bagi saya, pendekatan yang ditempuh oleh ketiga film ini malah lebih efektif. Mengutuk keras tindak rasisme tidak melulu harus disampaikan dengan kemarahan meluap-luap bak kebakaran jenggot karena seperti salah satu dialog yang diucapkan oleh Don Shirley, “you never win with violence. You only win when you maintain your dignity.” Ya, martabat adalah kunci. Green Book mengutarakan segala keresahannya terhadap diskriminasi, prasangka, sampai rasisme dengan cara elegan. Santai, jenaka, menyentuh tetapi tetap memberi tamparan hebat. Di sini, penonton dapat melongok salah satu fase tergelap dalam sejarah negeri Paman Sam menggunakan kacamata seorang pria berdarah Italia yang merasakan privilege karena warna kulitnya, dan menggunakan kacamata seorang pria berkulit hitam yang cerdas, kaya, serta memiliki pencapaian besar di bidang musik yang ironisnya tetap saja memperoleh perlakuan sangat tidak manusiawi karena warna kulitnya sekalipun dia disebut sebagai “tamu kehormatan”.

Melalui Green Book, penonton disuguhi sebuah kisah kemanusiaan yang beranjak dari persahabatan tak biasa antara seorang musisi kenamaan dengan supir barunya dalam suatu perjalanan selama dua pekan yang menantang nyawa. Kita diperkenalkan pada Tony Vallelonga yang dimainkan dengan sangat asyik oleh Viggo Mortensen, lalu dipertemukan dengan Don Shirley yang dibawakan secara flamboyan oleh Mahershala Ali. Disamping latar belakang, dua karakter ini pun memiliki karakteristik bertolak belakang yang sejatinya agak sulit dibayangkan dapat menyatu. Tony digambarkan ala karakter kelas pekerja tidak berpendidikan yang cenderung selow dalam menjalani hidup dan temperamen, sementara Shirley adalah kaum borjuis yang terobsesi dengan keteraturan. Dua dunia yang jelas berbeda dan mengikuti aturan konvensional dalam buddy movie atau road movie, kedua protagonis ini pun tidak saling menyukai pada titik awal perjalanan. Tapi seiring berlalunya konser demi konser di beberapa kota, mutual respect diantara keduanya perlahan mengemuka dan di sinilah Green Book mulai menunjukkan pesonanya. Ada gelak tawa menyertai menyaksikan interaksi Tony-Shirley (adegan makan ayam goreng KFC itu lucu sekali, perhatikan deh ekspreksi Shirley!), ada kemarahan melihat bagaimana Shirley diperlakukan, dan ada pula kehangatan terdeteksi saat dua sahabat anyar ini saling mencurahkan perhatian. Si bodyguard yang tadinya rasis luar biasa sampai-sampai enggan berbagi gelas dengan orang kulit hitam menemukan sudut pandang baru yang membuatnya bisa memanusiakan manusia, lalu Shirley yang kesepian menyadari bahwa kesalahan terbesarnya adalah menciptakan dinding pembatas kelewat tinggi bagi manusia lain. Ketakutannya akan dilukai, ketidakmampuannya untuk menerima diri sendiri, dan keengganannya dalam membuka diri hanya membuat dia semakin terasing. Melalui perjalanan ini, dua manusia yang sejatinya tidak berbeda satu sama lain ini saling menemukan life lesson yang sebelumnya tak pernah disangka akan mereka dapatkan.    

Outstanding (4/5)



2 comments:

  1. Tema-tema rasisme kayak gini memang kebanyakan bagus ya..contoh nya help juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari temanya sendiri emang sudah seksi. Hanya tinggal gimana cara mengolahnya. Kalau tepat, ya bisa jadi sangat bagus.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch