March 26, 2019

REVIEW : FIVE FEET APART


“All I want is to be with you. But I can’t.”

Saat berbicara tentang tontonan percintaan untuk kalangan remaja yang mengambil jalur melodrama, satu hal yang seketika terlintas di pikiran adalah formula penceritaannya yang kerapkali berkisar pada “cinta terhalang penyakit”. Sebuah formula yang sejatinya klasik – perkenalan pertama saya dengan topik ini dimulai dari A Walk to Remember (2001) – tapi belakangan kembali menjumpai popularitasnya berkat sambutan hangat yang diterima oleh The Fault in Our Stars (2014). Kita berkesempatan memperoleh sajian tearjerker yang apik via Me and Earl and the Dying Girl (2015) beserta Me Before You (2016), tapi ada pula yang menggoreskan kesan kurang menyenangkan seperti Everything Everything (2017). Berhubung judul-judul tersebut ternyata membuktikan bahwa kisah cinta yang mendayu-dayu masih sangat digandrungi oleh publik, maka tentu saja sineas Hollywood pun tidak akan berhenti untuk menyuguhkannya dalam waktu dekat ini. Terbukti, kita lantas disuguhi Five Feet Apart yang mempertemukan “penyakit mematikan” dengan “percintaan” dalam satu forum. Melalui film yang seringkali saya sebut Pacar Lima Langkah dalam beberapa obrolan bersama kawan dekat ini (terdengar lebih manis, bukan?), penonton tidak hanya dipertemukan dengan satu penderita penyakit mematikan saja tetapi ada tiga. Salah duanya melibatkan karakter protagonis film yang tengah dimabuk cinta sehingga mau tak mau diri ini pun seketika teringat kepada The Fault in Our Stars.

Ya, seperti halnya film adaptasi dari novel John Green tersebut, Five Feet Apart pun menghadirkan kisah cinta yang mengamini lirik lagu Rihanna: we found love in a hopeless place. Si karakter perempuan adalah Stella Grant (Haley Lu Richardson) yang mengidap cystic fibrosis (atau CF, sebuah penyakit yang mempengaruhi kinerja paru-paru akibat produksi lendir berlebih) sedari kecil, sementara si karakter laki-laki adalah Will Newman (Cole Sprouse) yang baru-baru ini terpapar CF dengan jenis infeksi bakteri yang berbeda. Mereka dipertemukan di sebuah rumah sakit dimana keduanya menjalani perawatan untuk mengobati penyakit masing-masing. Stella yang mengisi waktu luangnya dengan menggarap konten vlog guna menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit yang dideritanya ini mulanya abai terhadap kehadiran Will. Terlebih lagi, mereka dilarang untuk berdekatan (jarak minimum diantara mereka adalah enam kaki!) apalagi melakukan kontak fisik karena berpotensi untuk memperburuk kondisi keduanya. Tapi segalanya perlahan mulai berubah setelah Stella dibuat gemas dengan sikap Will yang cenderung cuek dengan kondisinya sendiri. Stella yang memiliki obsesi terhadap keteraturan ini pun memutuskan untuk membantu Will agar lebih disiplin dalam mengikuti pengobatan. Will tak keberatan, hanya saja dengan satu syarat yakni Stella bersedia dilukis. Perjanjian ini disanggupi oleh Stella yang kemudian membawa keduanya pada pertemuan demi pertemuan yang secara perlahan tapi pasti turut menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka.


Sejujurnya, saya berhasil dibuai oleh Five Feet Apart pada satu jam pertama. Mengalun secara tenang dan menempatkan latar penceritaan sepenuhnya di rumah sakit, film panjang perdana Justin Baldoni (bintang utama di serial Jane the Virgin) ini tak pernah sekalipun menjelma sebagai dongeng pengantar tidur. Kinerja apik dari tim tata artistik beserta sinematografer memungkinkan rumah sakit tampak seperti sebuah penginapan dengan fasilitas bintang lima alih-alih terlihat bak rumah sakit yang menguarkan nuansa menjemukan. Ditambah lagi, Five Feet Apart turut disokong oleh performa kedua pelakon utamanya yang cemerlang. Haley Lu Richardson tampil enerjik sebagai Stella yang memiliki sikap penuh optimistis dan kerap menebar keceriaan kepada orang-orang di sekitarnya terutama dua sahabat baiknya; Poe (Moises Arias) yang juga mengidap CF dan Barb (Kimberly Hebert Gregory) yang merawatnya, sementara Cole Sprouse berlaku slengean sebagai Will yang tak pernah ragu-ragu mengambil resiko lantaran dia menganggap “hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kekhawatiran”. Berhubung para karakter digambarkan mempunyai perilaku positif, maka mudah bagi saya untuk membentuk ikatan emosi dengan keduanya. Ketimbang bersungut-sungut meratapi derita, keduanya memilih untuk menghadapinya dengan kepala tegak. Saya menyukai bagaimana Five Feet Apart mencoba menghantarkan pesan pemberi harapan mengenai bersyukur, menghargai hidup, sampai menikmati setiap hembus nafas dari interaksi dua protagonis. Terasa menghangatkan sekaligus mendamaikan hati.

Untuk sesaat, saya menduga Justin Baldoni akan patuh pada nada penceritaan yang menyuarakan optimisme dalam melantunkan Five Feet Apart. Tapi pada kenyataannya, dia memilih untuk membelokkannya dengan sangat ekstrim ke mode melodrama yang tergolong ngoyo. Selepas beberapa adegan kencan yang tersaji manis (favorit secara pribadi adalah saat mereka ‘bergandengan’ menggunakan perantara tongkat), si pembuat film tiba-tiba memutarbalikkannya melalui satu tragedi yang menghenyakkan seluruh karakter. Saya sempat dibuat berkaca-kaca olehnya dan kemunculan adegan ini pun sebetulnya tidak terelakkan demi memberi penekanan pada pergolakan emosi si karakter utama. Hanya saja, saya merasa sangat terganggu dengan rentetan adegan yang mengikutinya. (Tulisan selanjutnya mungkin bersifat spoiler bagi sebagaian orang) Begini, saat kamu memiliki masalah sangat serius dengan paru-paru, akankah kamu bertindak nekat dengan berjalan kaki sejauh 3 km pada malam hari yang bersalju? Akankah kamu rebahan selama beberapa saat di atas tumpukan salju? Akankah kamu bertindak tak bertanggungjawab dengan bermain-main di atas danau yang membeku padahal sudah sangat jelas kalau ini berbahaya? Apabila karakter bersangkutan bersungguh-sungguh dengan pernyataannya yang berbunyi “aku ingin hidup!”, maka kegilaan-kegilaan ini tentu tak seharusnya dilakukan. Ada banyak cara untuk mengundang air mata dan entah mengapa Five Feet Apart justru mengambil langkah yang sangat mengejek akal sehat penonton dan membuat kedua karakter utamanya tampak sangat kurang cerdas. Air mata yang tadinya sudah siap bercucuran pun seketika memutuskan untuk kembali ke asalnya. Memutuskan untuk menyesali keputusannya karena telah menampakkan diri. Jika saja Five Feet Apart tidak mempunyai satu jam pertama yang hangat dan manis, mungkin air mata itu benar-benar tumpah. Bukan karena sedih, melainkan karena membayangkan uang dan waktu yang telah terbuang sia-sia.

Acceptable (3/5)


26 comments:

  1. Replies
    1. Males. Nggak bakal ada yang baca dan komen juga.

      Delete
    2. Wah dia ga tau saya tiap hari dari tahun 2013 buka cinetariz nunggu review2 terbaru. Suka kangen sama redaksi nya (walaupun gatau mau komen apa).

      Yaaah malah bilang gaada yg baca dan komen. Pembaca setia jadi sedih :(

      Delete
    3. Jangan sedih ya, pembaca-pembacaku yang setia *hugs*
      Kemarin lagi jengkel saja apalagi tempo hari banyak yang request review trus nggak ditanggepin begitu dikabulin. Kan sedih akutuuu *curcol*

      Delete
    4. W baca semua ulasan loe bang hehe.. bahkan hampir tiap hari w masuk situs ini.. buat ngecek ulasan paling baru..

      Delete
    5. Wah terima kasih udah jadi pembaca setia blog ini 🙇

      Ulasan Dumbo lagi disiapin yaa

      Delete
    6. Blog review film favorite sy. Jika sebuah film diulas dblog ini pasti sy tonton apalagi klo blog ini kasih rating 4 keatas

      Delete
  2. Saya membaca-nya kok Cine Tariz :)...Jangan patah semangat, siapa tau orang bisa sangat terbantu dengan review yang diberikan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak. Wah senang mendengarnya :)

      Tapi emang akhir-akhir ini lagi banyak acara di luar kota jadi agak terhambat reviewnya :(

      Delete
  3. Saya juga pengemar setia kmu min dari tahun 2014 udah baca2 review di sini. Saya suka sekali ulasan dari kmu,terasa mudah di mengerti bahasanya. Emang jarang komen sih soalnya jarang nonton film di bioskop palinh nunggu nonton bajakan baru bisa komen. Tetap semangat menulis min.��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah makasih banyak Redo. Jadi semangat buat nulis review lagi nih :)

      Tapi omong-omong, kamu termasuk yang rajin komen lho disini.

      Delete
    2. Ya sama-sama min.jadi seneng dengernya. Saya juga suka bikin ulasan singkat juga min pas selesai nonton tapi ulasan nya masih biasa gak se bagus tulisan kmu heheee..
      😊😁

      Delete
    3. Hahaha. Masalah kebiasaan saja kok. Asalkan konsisten pasti bisa bagus. 😀

      Delete
  4. Ternyata bukan cuma aku yang merasa kalau endingnya film ini maksa. Masa punya penyakit paru paru serius bisa jalan jalan sampe 3 kilo dan gak kenapa kenapa. Wkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku langsung nyerah. Logikanya beneran nggak masuk di otakku. 😑

      Delete
    2. Kayanya kalian kurang nangkep ceritanya deh :) mereka belum sampe ke tempat tujuan kok (lihat cahaya yang stella mau) jadi mereka belum jalan sejauh 3km. Mereka juga selalu istirahat tiap ngerasa capek,dan ambulance dateng nya cepet waktu will minta bantuan pas stella tenggelem,it’s mean mereka emng blm terlalu jauh jalan nya. Kalo menurutku sih begitu ya��

      Delete
    3. Kayanya kalian kurang nangkep ceritanya deh :) mereka belum sampe ke tempat tujuan kok (lihat cahaya yang stella mau) jadi mereka belum jalan sejauh 3km. Mereka juga selalu istirahat tiap ngerasa capek,dan ambulance dateng nya cepet waktu will minta bantuan pas stella tenggelem,it’s mean mereka emng blm terlalu jauh jalan nya. Kalo menurutku sih begitu ya🙂

      Delete
    4. Kayanya kalian kurang nangkep ceritanya deh :) mereka belum sampe ke tempat tujuan kok (lihat cahaya yang stella mau) jadi mereka belum jalan sejauh 3km. Mereka juga selalu istirahat tiap ngerasa capek,dan ambulance dateng nya cepet waktu will minta bantuan pas stella tenggelem,it’s mean mereka emng blm terlalu jauh jalan nya. Kalo menurutku sih begitu ya🙂

      Delete
    5. Kayanya kalian kurang nangkep ceritanya deh :) mereka belum sampe ke tempat tujuan kok (lihat cahaya yang stella mau) jadi mereka belum jalan sejauh 3km. Mereka juga selalu istirahat tiap ngerasa capek,dan ambulance dateng nya cepet waktu will minta bantuan pas stella tenggelem,it’s mean mereka emng blm terlalu jauh jalan nya. Kalo menurutku sih begitu ya🙂

      Delete
    6. Kayanya kalian kurang nangkep ceritanya deh :) mereka belum sampe ke tempat tujuan kok (lihat cahaya yang stella mau) jadi mereka belum jalan sejauh 3km. Mereka juga selalu istirahat tiap ngerasa capek,dan ambulance dateng nya cepet waktu will minta bantuan pas stella tenggelem,it’s mean mereka emng blm terlalu jauh jalan nya. Kalo menurutku sih begitu ya🙂

      Delete
  5. Aku yg belum nonton aja udah kesal baca bagian "jalan 3 kilo", saolnya saya yg kesehatan paru2ku lagi bermasalah,tahu banget dengan kondisi tubuhku kalau kecapean atau jalan terlalu lama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan ingat, ini terjadi di malam hari saat salju sedang turun. Kalau kamu menontonnya langsung, bisa bisa langsung pengen nyobek layar ya 😂

      Delete
    2. Tapi layar kaca bukan dari bahan kertas

      Delete
  6. Menurutku masuk akal. (Spoiler) mereka kayak gtu setelah Poe meninggal. Padahal dia mau bahagia, tapi keburu...
    Actually sejak poe meninggal stella udh gak terlalu "aku ingin hidup". tujuan dia jadi "aku ingin merasakan hidup" thats why dia ngelakuin hal2 yang dilakukan orang normal

    Pengobatan will gak berhasil. Kalau dia gak ngelakuin hal2 gila yang dilakukannya sama stella, mungkin dia bakal mati tanpa merasakan indahnya hidup

    ReplyDelete
    Replies
    1. Poinku adalah, bagaimana mungkin mereka masih baik-baik saja setelah berjalan 3 km di udara sedingin itu sementara mereka memiliki kelainan pada paru-paru yang sangat parah? Aku punya masalah dengan paru-paru dan dilarang terpapar udara dingin dalam suhu tertentu. Ada masalah pada inkonsistensi di skrip dan tindakan mereka yang membangkang itu malah mengurangi simpati pada karakter masing-masing. Mereka sudah melakukannya dengan mencurangi peraturan lima langkah yang sebenernya tidak masuk akal (setelah ngobrol dengan beberapa kawan yang bekerja di dunia medis, mereka semestinya sudah tertular satu sama lain) dan tidak perlu melangkah lebih jauh lagi. Boleh saja membawanya ke melodrama, tapi kalau membuat karakternya menjadi tidak simpatik sih, mohon maaf buatku tidak bisa diterima.

      Delete
    2. gua setuju sm opini lu, jujur gua ngerasa film ini dibikin terburu2 dan dipaksakan beda, klo menurut gua, terlepas apakah plot film udah sama kayak yg di novel atau gk, tp klo sama berarti penulis yg menurut gua berusaha keras untuk membuat perbedaan finishing cerita dari novel2 serupa tapi tak sama, kayak the fault in our star, restless, me & & earl & dying girl dsb... tp klo ini hasil "rombakan" sutradara ya sasarannya menurut gua orang2 yang emang udh sering nonton kisah2 tragis macam gini, jadi dia berusaha untuk buat perbedaan sedikit di akhir2 adegan, DI SISI LAIN gua jg kecewa sm pemilihan adegan2 yg "agak maksa" yang ditampilin untuk buat kesan romancenya kuat, cumaaa ya gituuu akal sehatnya jd korban, pikir aja, klo lu punya anak nyawa anaklu terancam gara2 orang lain lu bakal bisa setenang itu? itu aja sih, tp gua nilai positif buat ending yg gk menjelaskan "akhir" kisahnya mereka jadi penonton dibikin menghayal sndiri,, that's it, sorry kepanjangan wkwk seneng gua sm blog kyk gini

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch