March 3, 2019

REVIEW : FOXTROT SIX


“Millions of lives are at stake tonight. They’re counting on us.”

Segenap doa yang telah saya panjatkan agar bisa melihat lagi sajian laga produksi Indonesia yang keren telah dikabulkan oleh Tuhan melalui The Night Comes for Us (2018). Memang betul film ini mempunyai plot amat tipis, tapi siapa yang peduli saat tata laganya sungguh keren dan menghadirkan banyak momen untuk dikenang? Saya sih bahagia-bahagia saja saat menontonnya karena sensasinya mengingatkan diri ini kepada dwilogi The Raid. Seru, seru, seru. Bukankah itu hal paling utama yang seharusnya diperoleh dari film laga komersil? Selain itu, film ini pun mengompensasi kekecewaan saya terhadap Buffalo Boys (2018) yang mengecewakan di banyak sisi sekalipun konsepnya tampak mencengangkan. Kepuasan tiada tara pada The Night Comes for Us pun seketika menyalakan lagi pikiran positif yang tadinya sempat meredup. Saya berpikir, masih ada harapan bagi perfilman negeri ini untuk memproduksi action movie yang menggegerkan emosi di sepanjang durasi. Kepercayaan yang kembali mengemuka ini pula yang lantas mendorong saya untuk menaruh pengharapan pada Foxtrot Six. Sebuah film laga yang turut menempatkan Mario Kassar – produser bagi film-film Hollywood terkenal seperti Rambo: First Blood II (1985) dan Terminator 2: Judgment Day (1991) – di bangku produser. Lebih-lebih lagi, film ini pun menyodorkan premis menjanjikan: bagaimana jika Indonesia yang telah maju di masa depan mengalami kekacauan besar akibat krisis pangan dan pemimpin gila kekuasaan?

Ya, Foxtrot Six menyuapi kita dengan pengharapan-pengharapan yang serba tinggi: produser kelas dunia yang konon kabarnya memberlakukan sistem kerja ala Hollywood selama syuting (seperti keteraturan pada jam kerja dan ketersediaan personal trainer untuk mengontrol para pemain), jalinan pengisahan yang menyiratkan akan bergerak di jalur political thriller yang mengusik pemikiran, dan materi promosi yang memberi kesan bahwa film ini mahal. Mengingat bahwa ekspektasi tidak selalu sejalan dengan realita, maka satu pertanyaan pun timbul: akankah Foxtrot Six memenuhi potensinya dan menjelma seperti The Night Comes for Us atau justru tenggelam dengan segala ambisinya selaiknya Buffalo Boys? Well… saat saya duduk di kursi bioskop seraya menyeruput minuman ringan dan mencemil berondong jagung pada pertunjukkan paling awal, saya masih mencoba mengantisipasinya sebagai tontonan laga yang mengasyikkan meski sebetulnya saya sudah berpikir realistis. Mungkin ini terdengar merendahkan, tapi mengetahui bahwa Foxtrot Six diarahkan oleh sutradara pendatang baru Randy Korompis telah membuat saya ketar-ketir. Berpatokan pada Buffalo Boys yang juga ditangani sineas anyar, mau tak mau saya berada pada kesimpulan bahwa jam terbang tidak akan berbohong. Buffalo Boys bukanlah film yang buruk, hanya saja segenap potensinya tidak pernah tergarap maksimal dan itu pula yang berlaku pada Foxtrot Six. Sebuah film laga yang sejatinya telah dikaruniai banyak bahan berkualitas tapi sayangnya urung tersaji sebagai sajian menggigit lantaran pengolahannya diserahkan kepada juru masak dengan pengalaman minim.


Suntikan dana sebesar 70 miliar rupiah yang disuntikkan kepada film ini memang memberikan hasil tak mengecewakan. Visualisasi Indonesia pada masa depan yang carut marut akibat kerusuhan, teknologi canggih yang dipergunakan oleh para villain meliputi robot pembunuh atau jubah tembus pandang, serta tata laga yang koreografi tarungnya dipersiapkan tim milik Iko Uwais, terlihat cukup impresif terlebih berkaca pada fakta bahwa dana yang dikucurkan bagi Foxtrot Six ini tergolong minim untuk ukuran film laga dengan skala internasional. Saya melihat adanya keseriusan di sana, saya pun melihat Foxtrot Six sebagai tontonan yang tak malu-maluin apabila diboyong ke negeri seberang. Yang kemudian menghalangi film untuk tampil lebih menjulang seperti dibayangkan oleh pihak-pihak yang berkontribusi pada film ini adalah naskah beserta penyutradaraan yang kurang ciamik. Masihkah kalian ingat kalau saya sempat menyebut film produksi Rapid Eye Pictures bersama MD Pictures ini punya materi pengisahan yang dapat mengusik pemikiran? Dalam Foxtrot Six, penonton diperkenalkan kepada seorang anggota parlemen bernama Angga (Oka Antara) yang idealis. Lalu, film memperlihatkan pula niatan Angga untuk mengembalikan keadaan seperti semula setelah mengetahui bahwa partai pengusungnya, Piranas, ternyata dalang dibalik kehancuran Indonesia. Kemudian, film mempertemukan penonton dengan mantan rekan-rekan Angga di marinir yang dipersiapkan sebagai juru selamat. Saya sempat mengira, paling tidak si pembuat film bakal menjabarkan secara rinci mengenai latar belakang dari setiap personil Foxtrot Six dan mengungkap langkah demi langkah mereka dalam misi menggulingkan Piranas.

Tapi saya keliru. Laju penceritaan Foxtrot Six ngebut tidak karuan dengan fokus pada tembak-tembakan, pukul-pukulan, sampai ledak-ledakan. Langkah ini memang berhasil ditempuh oleh The Night Comes for Us karena sedari awal premisnya memang tak muluk-muluk dan keterampilan dalam membingkai adegan laga pun mengompensasi segalanya. Bahkan, rangkaian adegan pertarungannya yang berdarah-darah di sana membantu menjelaskan karakteristik beserta hubungan antar karakternya alih-alih asal heboh seperti dilakukan oleh Foxtrot Six. Ada kalanya tergarap baik dan menghadirkan intensitas seperti pada adegan penyergapan di rumah susun, menyelamatkan anggota dewan dari hujaman peluru, atau saat Angga dihadapkan pada dua pilihan berat. Tapi seringkali, apa yang dipertontonkan dalam film ini memicu pertanyaan-pertanyaan yang sukar untuk saya temukan jawabnya. Lupakan soal motivasi dangkal Presiden Piranas dalam menguasai Indonesia atau bagaimana film tak pernah memberi penonton kesempatan untuk berkenalan secara layak dengan rekan-rekan seperjuangan Angga, coba bantu saja saya untuk menjelaskan dua adegan ini: 1) saat kamu menggunakan jubah tembus pandang untuk bertarung, akankah kamu ‘mengumumkan’ keberadaanmu dengan mengangkat-angkat tubuh korban?, dan 2)  saat anakmu terjebak dalam lift yang segera jatuh bersama beberapa orang, akankah kamu menempatkan dia di posisi terakhir untuk diselamatkan sehingga kamu bisa ikut masuk ke dalam lift sementara kamu menyadari betul resikonya?


Disinilah letak masalah Foxtrot Six selain penggunaan Bahasa Inggris sebagai dialog utama yang memungkinkan sejumlah emosi kurang bisa tersalurkan ke penonton karena beberapa pemain masih kagok dalam pengucapan – walau saya juga ragu emosi itu akan ada apabila dialihkan ke Bahasa Indonesia. Ketiadaan emosi dalam film dipicu oleh penulisan karakternya yang terlalu hemat serta keberadaan adegan yang serba ujug-ujug (baca: mendadak) tanpa diberi penghantar memadai. Lagipula, bagaimana bisa kamu bersimpati dengan para karakter inti sementara kamu nyaris tidak mengenal mereka? Pengenalannya bak montase tanpa diperlihatkan pula keakraban Angga dengan rekan-rekannya. Saat mereka berguguran satu demi satu, tak ada rasa apapun. Satu-satunya rasa yang menghinggapi diri adalah kebingungan: kok bisa sih mereka menjalankan misi ini dengan begitu mudah? Namun melihat mereka bertumbangan secara cepat membuat saya menemukan jawabnya yaitu karena mereka tak mempersiapkan misi ini dengan matang. Jajaran pemain dalam Foxtrot Six seperti Oka Antara, Rio Dewanto, Chicco Jerikho, Verdi Solaiman, Arifin Putra, Julie Estelle, Edward Akbar dan Mike Lewis sebetulnya sudah kerahkan upaya maksimal dalam berolah peran. Tapi apa daya, naskah berikut pengarahan menghalangi mereka untuk tampil optimal sehingga berdampak pula pada hidangan secara keseluruhan yang tidak sinkron. Kinclong di luar, penuh debu di dalam. Cukup disayangkan.

Note : Ada dua adegan bonus yang masing-masing terletak di pertengahan dan penghujung end credit.

Acceptable (2,5/5)


3 comments:

  1. 1. Nahaa pake bahasa inggris, padahal kalo pake bahasa indonesia bakalan ga bikin telinga gatal dan emosinya yg bakal lebih kerasa.

    2. Plus premis nya yang emang ambisius banget.

    Eh ternyata bener ya, ga memuaskan 😅 padahal temen2 banyak yg ngajakin nonton ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi padahal premis nya mirip sama alif laam miim yaa

      Delete
    2. Yup. Ngingetin ke Alif Lam Mim yang menurutku jauh lebih bagus. Disini banyak logika bercerita yang bikin garuk-garuk kepala. Pemakaian Bahasa Inggris juga ganggu sih buatku karena intonasinya terdengar nggak natural.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch