April 13, 2019

REVIEW : AVE MARYAM


“Kalau surga saja belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?”

Jika hanya ada satu kata yang bisa dipilih untuk mendeskripsikan Ave Maryam, maka saya akan memilih kata “cantik”. Film arahan Robby Ertanto (7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, Dilema) ini memang mempunyai tampilan visual yang akan membuatmu geleng-geleng kepala dan kemungkinan besar bakal menginspirasi para selebgram untuk menghiasi feed mereka dengan pemandangan senada. Ya, sedari teaser trailer-nya pertama kali diperkenalkan ke hadapan publik, Ave Maryam memang telah menyita perhatian berkat gambar-gambarnya yang aduhai. Seolah-olah mengindikasikan bahwa ini bukanlah film buatan sineas tanah air. Disamping visual yang memang didesain untuk memanjakan mata, faktor lain yang mendorong ketertarikan terhadap Ave Maryam – setidaknya bagi saya secara pribadi – adalah tema yang ditawarkan. Memang benar film masih berkutat dengan urusan percintaan, dimana sekali ini turut menjamah area cinta terlarang. Yang kemudian membuatnya tampak berbeda adalah latar penceritaan yang membawa khalayak menapaki teritori yang sangat teramat jarang disentuh oleh perfilman Indonesia, yakni susteran dan Gereja Katolik. Saya ingin melihat bagaimana Ave Maryam merepresentasikan kaum minoritas yang kerap terlupakan dalam sinema tanah air, saya ingin melihat bagaimana si pembuat film mengelaborasi topik pembicaraan yang terhitung sensitif (kisah kasih antara romo dengan suster!), dan saya juga ingin melihat bagaimana film mencoba memberi sedikit warna ditengah monotonnya variasi tema dalam film-film yang menyebutnya sebagai “tontonan reliji”. Terdengar menjanjikan, bukan?

Dalam Ave Maryam, penonton diajak mengunjungi kota Semarang pada tahun 1998 dan diperkenalkan dengan sang protagonis, Suster Maryam (Maudy Koesnaedi), yang mengabdikan dirinya ke sebuah susteran. Di sana, Maryam kebagian tugas untuk mengurusi segala keperluan rumah tangga bersama penanggung jawab susteran, Suster Mila (Olga Lidya), dan merawat para suster berusia lanjut termasuk menyiapkan makanan serta memandikan mereka. Selama beberapa saat – setidaknya terhitung sedari penonton mengetahui karakter ini – rutinitas Maryam memang hanya berkutat pada beribadah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari para suster yang tinggal di bawah atap susteran. Kalaupun mau sedikit bersenang-senang, Maryam akan keluar ke toko terdekat untuk membeli buku. Salah satu bahan bacaan kesukaannya mengadung elemen yang dianggap tabu bagi mereka yang telah mengucap tiga kaul (kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan) yaitu erotisme. Akan tetapi, kehidupan Maryam yang mulanya tampak biasa-biasa saja seperti umumnya para suster yang telah mengabdi kepada Tuhan ini secara perlahan tapi pasti mulai berubah setelah Romo Martin (Joko Anwar) membawa penghuni anyar bagi susteran, Suster Monic (Tutie Kirana). Kedatangan Suster Monic ini bersamaan dengan hadirnya romo baru yang bertugas di gereja setempat, Romo Yosef (Chicco Jerikho). Pembawaan Yosef yang cenderung easy-going dan kemahirannya dalam bermusik membuat Maryam mengalami gejolak dalam hatinya. Suatu gejolak yang menghadapkannya pada posisi dilematis karena dia harus memilih antara mengikuti kemauan hati atau bertahan pada kaulnya.


Sepanjang melantunkan narasi sepanjang 74 menit, Robby Ertanto memilih untuk mengambil pendekatan yang menyesuaikan dengan latar penceritaan: tenang-tenang menghanyutkan. Penonton dikondisikan untuk menyatu ke dalam suasana susteran yang jauh dari hiruk pikuk dan selama belasan menit awal (setidaknya sebelum karakter Yosef menyelinap masuk), kita sebatas menyaksikan aktivitas Maryam beserta para suster dalam menjalani hari. Belum tercium adanya bibit-bibit konflik, laju pengisahan pun mengalun secara santai yang boleh jadi kelewat melenakan bagi sebagian penonton. Tapi bagi saya sendiri, gaya penyampaian ini memberikan rasa damai di hati. Ada kebahagiaan tersendiri menyaksikan para suster dapat beribadah secara khusyuk tanpa diinterupsi oleh pihak luar, ada kebahagiaan tersendiri melihat gerak-gerik para suster yang senantiasa memiliki caranya sendiri untuk menikmati hidup, dan ada kebahagiaan tersendiri menyaksikan interaksi kecil antara Maryam dengan gadis pengirim susu yang beragama Islam. Untuk sesaat, saya merasa Ave Maryam memberikan gambaran ideal tentang Indonesia dimana perbedaan keyakinan bukan jadi penghalang dan urusan dengan Tuhan bersifat pribadi alih-alih ranah publik. Si pembuat film memberi sentilan sekaligus bahan renungan yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat dewasa ini dalam ikut campur perihal “agama” dalam satu dua dialog yang salah satunya berbunyi, “Kalau surga saja belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?”. Dialog ini diucap oleh Suster Monic saat mengetahui rahasia Maryam. Ketimbang memberi wejangan-wejangan bersifat penghakiman kepada Maryam yang kentara menunjukkan penyesalan, beliau justru memilih untuk diam. Lawan bicaranya bukan lagi anak kecil yang masih membutuhkan panduan untuk bisa membedakan mana benar mana salah. Maryam jelas mengetahui konsekuensi atas tindakan-tindakannya dan Suster Monic tidak ingin bertindak selayaknya Tuhan karena dia sendiri tak yakin telah suci dari dosa.

Disamping permainan visual yang memang berada di kelas wahid dan ambience yang memungkinkan saya untuk bisa menyelami situasi kondisi di susteran, satu hal lain yang membuat diri ini dapat terhubung ke Ave Maryam adalah pendeskripsian karakter yang manusiawi. Sebagian besar karakter dalam film memang dikisahkan telah mengikat janji dengan Tuhan dan memilih untuk meninggalkan perkara duniawi, tapi mereka pun tak digambarkan serba sempurna selaiknya karakter dalam film religi Indonesia pada umumnya. Maryam menyimpan sebersit keinginan untuk bebas dari aturan-aturan keagamaan karena dorongan hawa nafsunya, sementara Yosef pun tak bisa menekan hasratnya untuk mencintai. Alhasil, kedua karakter utama ini sempat mengalami krisis keimanan saat mereka menyadari benih-benih cinta mulai timbul meski saya sendiri memiliki perspektif lain mengenai hubungan dua manusia ini. Benarkah gejolak yang muncul dari dua belah pihak bisa disebut cinta? Atau jangan-jangan gejolak itu muncul dari dorongan seksual belaka? Saya sebetulnya berharap si pembuat film akan mengulik lebih dalam pergulatan batin yang timbul akibat hubungan terlarang ini, terlebih lagi Maryam pun sempat diperlihatkan tengah asyik membaca novel erotis. Entah karena keterbatasan durasi atau kekhawatiran akan memicu gelombang protes, Ave Maryam membiarkan persoalan tersebut hanya mengapung di permukaan saja. Persis seperti karakter Maryam yang kurang mendapat penjabaran memadai terkait latar belakang (saya curiga, ini ada kaitannya dengan menghindari kontroversi karena sinopsis resmi menyebut Maryam sebagai perempuan dari keluarga Muslim). Ave Maryam jelas beruntung memiliki pelakon-pelakon kompeten seperti Maudy Koesnaedi, Chicco Jerikho, serta Tutie Kirana yang mampu meniupkan nyawa lebih terhadap karakter yang mereka mainkan. Walau saya terkadang tak bisa benar-benar yakin dengan motivasi Maryam, sorot mata Maudy yang berbicara mampu membuat saya akhirnya sedikit banyak dapat memahami pertentangan-pertentangan batin yang dialaminya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


5 comments:

  1. Nyesel ga nntn ini as di JIFFEST, krn di bioskop komersial adegan di pantai kena sensor (yaiyalah), padahal kan kunci puncak gejolaknya tuh di situ menurutku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dilematis sih yaa. Adegan ini nggak bisa dipotong karena punya impak besar ke narasi. Tapi jika nggak dipotong, bakal memicu kontroversi lebih besar. Itulah mengapa tadinya aku nggak yakin film ini bakal tayang di bioskop.

      Delete
  2. Emang scene-nya ngapain sih yg dipantai? Penasaran beneran inii ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adegan bermesraan dan keduanya telanjang bulat. Jadi ya sensor pun berbicara.

      Delete
  3. menurut saya, ave maryam ini slaah satu film terbaik karya sineas indonesia, yang bahkan jarang banget diangkat di layar lebar

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch