September 28, 2019

REVIEW : DANUR 3: SUNYARURI


“Mungkin pertemanan kami sejak awal memang hanya sebuah celaka.”

Didasarkan pada rangkaian novel laris rekaan Risa Saraswati yang konon kabarnya merupakan novelisasi dari pengalaman nyata si penulis indigo ketika bersinggungan dengan alam seberang, Danur berkembang menjadi salah satu franchise tontonan horor paling menguntungkan dalam sejarah sinema tanah air. Dimulai dari jilid pertama yang berhasil membukukan 2,7 juta penonton, MD Pictures bersama Pichouse Films selaku rumah produksi kembali mencicipi kesuksesan melalui sekuelnya bertajuk Danur 2: Maddah (2018) yang mencetak 2,5 juta penonton serta film sempalannya, Asih (2018), yang masih sanggup menorehkan angka sebesar 1,7 juta penonton sekalipun tanpa sokongan si karakter inti yang diperankan oleh Prilly Latuconsina. Menilik pencapaian di tangga box office yang tergolong impresif dari seri ke seri, tentu tak mengherankan jika pihak rumah produksi lantas memberi lampu hijau secara seketika bagi penggarapan jilid ketiga yang tercatat sebagai babak pamungkas bagi seri induk dalam versi novelnya. Selepas mengulik pergulatan batin Risa kala mendapati dirinya mampu berkomunikasi dengan makhluk halus di film pembuka, lalu membahas soal upaya si protagonis dalam memperoleh penerimaan dari anggota keluarganya yang merasa terganggu di film kedua, saya yang tidak pernah mengikuti materi sumbernya pun bertanya-tanya. Apa yang akan diulas oleh Danur 3: Sunyaruri yang dipersiapkan menjadi seri penutup ini? Tak jauh berbeda dari sang predesesor, ternyata persoalan yang diajukan kali ini masih berkisar pada hubungan serba rumit yang terjalin diantara Risa dengan kawan-kawan gaibnya.

September 27, 2019

REVIEW : PRETTY BOYS


“Miskin kaya itu bukan dari kantong, tapi dari hati.”

Pernah nggak sih kalian menonton televisi tanah air dan gemas bukan kepalang lantaran konten yang diajukan sungguh bikin mengelus dada? Tak perlulah menggunjingkan sinetron yang mungkin sudah terlampau sulit untuk ditolong, coba tengok gelaran berformat variety show atau talk show atau apapun sebutannya itu. Terlampau banyak gimmick, terlalu sering bersenda gurau sampai-sampai konsep acaranya pun kabur: ini sajian bincang-bincang, drama panggung atau lawakan sih? Ada kalanya diri ini kasihan dengan narasumber yang bisa jadi sudah berharap bakalan berbagi cerita, tapi akhirnya justru berakhir sebagai penonton. Menyaksikan para pemandu acara asyik sendiri. Kadang saya rindu dengan acara-acara dari era lampau seperti Ceriwis yang menurut saya bisa menempatkan jokes sesuai porsinya sehingga penonton dapat terhibur sekaligus memperoleh informasi dibutuhkan. Kalau sekarang sih porsi ngelawak atau ribut-ributnya yang lebih dikedepankan, sebodo amat dengan kandungan isi. Sungguh menguji kesabaran, yekan? Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pertelevisian selama bertahun-tahun, Deddy Mahendra Desta tentu menyadari penuh mengenai pergeseran tren tersebut. Dia pun menyadari, ada beragam intrik dari belakang layar yang bisa diceritakan kepada khalayak ramai. Merekrut musisi Tompi untuk menjajal nikmatnya kursi penyutradaraan, doi pun melahirkan Pretty Boys yang kentara terlihat diniatkan sebagai kritik terhadap dunia pertelevisian tanah air yang semakin lama semakin ajaib ini.

September 24, 2019

REVIEW : MIDSOMMAR

 

“Are you not disturbed by what we just saw?”

Pada tahun 2018 lalu, sutradara pendatang baru Ari Aster membuat para pecinta film terhenyak melalui debutnya bertajuk Hereditary yang kerap disebut-sebut sebagai salah satu tontonan seram terbaik di era 2010-an. Tanpa banyak mengandalkan jump scares untuk memantik ketakutan, si pembuat film justru banyak bergantung pada atmosfer beserta imaji-imaji menggelisahkan guna menciptakan mimpi buruk bagi penonton. Sebuah trik yang terhitung berhasil, lebih-lebih karena Aster mempunyai dua bekal penunjang yang kuat: narasi mengikat beserta akting pemain yang gila. Saking mempannya Hereditary dalam meninggalkan kesan tak mengenakkan selepas menonton, para penonton (termasuk saya) pun seketika menaruh perhatian terhadap langkah Aster selanjutnya. Kita ingin tahu, akankah dia mengkreasi kegilaan lain dalam film keduanya, atau dia akan mencoba bereksperimen dengan menjajal genre lain? Tanpa mengambil waktu jeda terlampau lama, sutradara yang mengawali karirnya dengan menggarap film-film pendek ini lantas berkolaborasi kembali dengan A24 – distributor dari film perdananya – untuk mengerjakan sebuah film horor. Mengusung judul Midsommar, pendekatan yang coba diambil sekali ini agak berbeda dengan buah karya terdahulu. Tak ada lagi nuansa serba gelap nan bermuram durja untuk membangun atmosfer mengganggu, sebagai penggantinya adalah warna-warna ceria khas musim panas. Menilik pendekatan yang terbilang nyeleneh tersebut, maka tak heran ada satu pertanyaan mengemuka: apa yang lantas menjadikan Midsommar terasa menyeramkan jika segalanya serba cerah?

September 20, 2019

REVIEW : WARKOP DKI REBORN (2019)


“Ini kesempatan kita. Kita harus berjuang seperti… Perang Puputan!”

Upaya Falcon Pictures untuk memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), dalam wujud film banyolan bertajuk Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016-2017) menuai respon yang terbilang divisive dari publik. Banyak yang dibuat terhibur olehnya, tapi tak sedikit pula yang mengecamnya. Dibalik segala pro kontra yang menyertainya, pihak rumah produksi sendiri tersenyum penuh kegembiraan lantaran film dua bagian ini turut andil dalam pembentukan sejarah: film Indonesia paling banyak dipirsa sepanjang masa. Bahkan, kesuksesan secara finansial ini mendorong lahirnya sebentuk tren baru dalam perfilman tanah air untuk “menghidupkan kembali” para legenda sinema. Sungguh sebuah kemenangan yang manis bagi Falcon Pictures, bukan? Menilik betapa antusiasnya respon khalayak terhadap film arahan Anggy Umbara tersebut, tentu wajar jika kemudian mereka memberikan lampu hijau bagi pembuatan film kelanjutannya atau dengan kata lain, jilid ketiga. Dalam usahanya mematuhi visi misi awal kala memutuskan untuk menggarap rangkaian seri Warkop DKI Reborn yakni tidak menggantikan melainkan melestarikan, maka perombakan besar-besaran dalam jajaran kru beserta pemain pun dilangsungkan. Tak ada lagi trio Abimana Aryasatya-Vino G Bastian-Tora Sudiro, tak ada pula Anggy. Sebagai gantinya, Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) direkrut sebagai sutradara sementara trio Aliando Syarief-Adipati Dolken-Randy Danistha mengomandoi departemen akting. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah keputusan untuk melakukan reshuffle ini akan memberi imbas positif atau justru negatif kepada franchise?

September 17, 2019

REVIEW : IT CHAPTER TWO


“Things we wish we could leave behind. Whispers we wish we could silence. Nightmares we most want to wake up from. Memories we wish we could change. Secrets we feel like we have to keep, are the hardest to walk away from.”

Kalian boleh saja tidak setuju, tapi bagi saya, It (2017) bukan saja berdiri tegak di jajaran “adaptasi terbaik dari prosa rekaan Stephen King” tetapi juga “film horor terbaik sepanjang masa”. Ya, jauh melampaui versi miniserinya yang beruntung mempunyai Tim Curry yang tampil menyeramkan dibalik riasan tebal si badut pencabut nyawa. Ada banyak hal yang berhasil dibawah penanganan Andy Muschietti (Mama) dari jajaran pelakon yang solid dimana para pemain cilik membentuk chemistry ciamik, rentetan teror dari Pennywise sialan yang membangkitkan bulu kuduk, sampai penceritaan yang menyisipkan rasa hangat sehingga memudahkan bagi penonton untuk menyematkan simpati kepada barisan karakter. Bahkan jika kita berkenan untuk menyelaminya lebih jauh, It bukan sekadar sajian horor yang menjual sentakan-sentakan mengejutkan karena ada pembicaraan cukup mendalam terkait ketakutan masa kecil entah itu berupa kekerasan, perundungan, maupun kesepian. Sebuah kombinasi yang sudah cukup jarang ditemukan di tontonan seram dewasa ini, bukan? Itulah mengapa saya berhasil dibuat jatuh hati olehnya dan tak kuasa menahan keinginan untuk menyimak paruh keduanya, It Chapter Two, yang menempatkan fokus pengisahannya pada “The Losers Club” di masa dewasa. Menilik standar tinggi yang telah ditetapkan oleh Muschietti di babak pertama, maka jelas ekspektasi yang menyertai turut mengangkasa terlebih barisan pemain yang direkrut pun tidak main-main. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah “formula kemenangan” yang diterapkan sang predesesor masih bisa bekerja saat dipergunakan oleh sang sekuel?

September 16, 2019

REVIEW : READY OR NOT


“Do you like to play games?”

Saat pertama kali menengok trailer dan membaca sinopsis dari Ready or Not, saya seketika berseru heboh, “harus banget nonton film ini!.” Betapa tidak, materi promosinya seolah menjanjikan bahwa ini adalah tontonan yang mempunyai nilai kesenangan cukup tinggi. Memang sih secara premis terdengar tidak ada pembaharuan atau sesuatu istimewa. Terlebih bukan sekali dua kali kita menjumpai suatu film yang mengulik soal “permainan” memburu manusia demi bertahan hidup di muka bumi. Tapi benarkah Ready or Not adalah sajian yang amat klise? Benarkah si pembuat film yang terdiri atas dua kepala, Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (Devil’s Due, Southbound), sekadar mendaur ulang tanpa pernah berusaha untuk menawarkan sesuatu yang berbeda? Well, jika kamu sudah melakukan apa yang telah saya lakukan – mengintip trailer, membaca sinopsis – maka tentu tahu bahwa duo sutradara tersebut tidaklah semalas itu. Ada modifikasi, ada sentuhan kreatif yang diaplikasikan. Mereka mengkreasi sebuah mitologi baru yang memosisikan permainan berburu manusia selayaknya permainan kanak-kanak tradisional dengan tujuan melestarikan tradisi. Dengan tujuan menolak bala demi melindungi harta benda maupun generasi-generasi penerus suatu keluarga. Istimewanya lagi, mereka juga menciptakan satu karakter perempuan yang terlihat luar biasa keren, sampai-sampai sulit untuk memandangnya sebelah mata apalagi saya memang selalu dibuat bertekuk lutut oleh tokoh-tokoh perempuan yang badass.

September 5, 2019

REVIEW : ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD


“When you come to the end of the line with a buddy who is more than a brother, and little less than a wife, getting blind drunk together is really the only way to say farewell.”

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler jadi berhati-hatilah)

Selepas munculnya altenate history melalui Inglourious Basterds (2009) dimana Adolf Hitler dikisahkan terbunuh lalu dua western film berwujud Django Unchained (2012) yang membawa penonton ke era perbudakan dan The Hateful Eight (2015) yang mengadu manusia-manusia bengis dalam satu ruangan, para penggemar film di seluruh dunia pun bertanya-tanya: apa langkah berikutnya yang akan diambil oleh sutradara jenius bernama Quentin Tarantino? Dua tahun berselang usai merilis film terbarunya, Tarantino membeberkan sekelumit gagasannya mengenai film kesembilannya. Konon, dia berencana untuk mengkreasi sebuah tontonan yang didasarkan pada peristiwa nyata yang menggemparkan Hollywood di tahun 1969, pembunuhan keji oleh keluarga Manson. Tapi seperti halnya film-film sang sutradara terdahulu, Once Upon a Time in Hollywood – judul film yang dimaksud – pun tidak menempatkan dirinya sebagai sebuah film biopik maupun sejarah yang dapat dijadikan referensi. Kasus nyata yang diselipkan disini hanyalah bagian dari topik utama yang diutarakan oleh Tarantino, yakni surat cinta untuk Hollywood. Ketimbang mengedepankan tontonan bersifat investigasi, si pembuat film justru memilih untuk mengajak penonton bernostalgia ke era 60-an akhir dimana Hollywood mewujudkan sekaligus menenggelamkan harapan besar dari para pemimpi.

September 1, 2019

REVIEW : TWIVORTIARE


“Sepanjang hari aku hidup untuk menolong orang, sepanjang hari itu juga aku bertahan. Karena aku tahu setelah setiap hari yang berat itu, aku punya kamu sebagai tujuan pulang.”

Istilah happily ever after usai mengucap janji pernikahan, hanya bisa dijumpai dalam film komedi romantis maupun dongeng. Realitanya, beuuhhh… tidak seindah itu, saudara-saudara. Menyatukan hati serta pemikiran dari dua orang dengan kepribadian dan latar belakang berbeda bukanlah perkara gampang. Ada ego yang harus dipendam, ada kesabaran yang harus dikemukakan. Apabila masing-masing pihak enggan mengaplikasikannya, maka konflik berupa pertengkaran demi pertengkaran adalah dampaknya. Saya memang belum melangkahkan kaki ke pelaminan, tapi sebagai seseorang yang beberapa kali mengalami kegagalan dalam membina hubungan percintaan (sad!) dan kerap mendengar curahan hati saudara perihal kehidupan rumah tangganya, saya bisa memahami bahwa menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai itu penuh dengan tantangan. Dibutuhkan kedewasaan, dibutuhkan kesabaran, dibutuhkan pula ketulusan hati. Melalui film bertajuk Twivortiare yang merupakan rangkuman dua novel laris rekaan Ika Natassa, Divortiare dan Twivortiare, penonton dipersilahkan untuk melongok jatuh bangunnya dua karakter yang kerap disebut-sebut sebagai “pasangan ideal” dalam mempertahankan pernikahan mereka. Melalui cerita yang mereka bagikan, kita diharapkan dapat berkaca, merenung, lalu menjadikannya sebagai pembelajaran dalam menjalani hubungan percintaan. Terdengar berat? Well, sayangnya begitulah hidup.
Mobile Edition
By Blogger Touch