October 31, 2019

REVIEW : ZOMBIELAND DOUBLE TAP


“When you love something, you shoot it in the face. So it doesn't become a flesh eating monster.”

Apakah ada diantara kalian yang masih ingat dengan Zombieland? Itu lho, film tentang mayat hidup yang disajikan secara unik dan mendapatkan puja puji dari kritikus maupun penonton saat dirilis di bioskop pada tahun 2009 silam. Ketimbang sebatas bernarasi tentang sejumlah manusia yang mencoba bertahan hidup dari serangan zombie, film arahan Ruben Fleischer (Gangster Squad, Venom) tersebut mencoba memberikan sejumlah modifikasi yang terdiri dari: 1) pijakan genrenya adalah komedi dimana film tak pernah menganggap dirinya serius, 2) ada aturan-aturan diberlakukan untuk bertahan hidup yang tak hanya diucapkan tetapi juga divisualisasikan secara nyentrik, 3) penggunaan nama kota di Amerika Serikat sebagai nama karakter untuk menghindari ketergantungan, dan 4) film menyelipkan kehangatan ke dalam narasi menyusul adanya topik pembicaraan seputar “manusia adalah makhluk sosial”. Hasilnya, kita mendapati salah satu tontonan zombie terbaik yang pernah dibuat. Lebih-lebih, Zombieland juga dianugerahi chemistry hebat dari keempat pelakon utamanya seperti Woody Harrelson, Jesse Eisenberg, Emma Stone, serta Abigail Breslin yang belakangan semuanya menyandang predikat “pemain kelas Oscar”. Sungguh impresif, bukan? Saking impresifnya, ada beban tersendiri bagi tim pembuat film tatkala mencetuskan gagasan untuk menciptakan sebuah sekuel. Mereka membutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk menggodok naskah, sampai akhirnya film kelanjutan bertajuk Zombieland Double Tap baru siap diluncurkan pada perayaan ulang tahun ke-10 dari film pertama yang untungnya masih dimeriahkan oleh jajaran pemain yang sama.

October 26, 2019

REVIEW : SUSI SUSANTI: LOVE ALL


“Saya adalah orang Indonesia. Selamanya saya orang Indonesia.”

Siapa sih yang tidak mengenal Susi Susanti? Menorehkan beragam prestasi di sepanjang karirnya, termasuk mempersembahkan emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade Barcelona 1992, namanya dicatat oleh sejarah sebagai salah satu figur penting dalam kancah olahraga bulu tangkis. Tidak hanya dalam lingkup tanah air, tetapi juga dunia. Dia adalah pahlawan gelanggang yang berjasa menyatukan Indonesia yang terpecah-pecah jelang reformasi 1998, dan berjasa pula dalam mengobarkan rasa nasionalisme yang timbul tenggelam akibat pemerintahan Orde Baru yang amat menekan khususnya bagi keturunan Tionghoa seperti Susi. Sungguh mengagumkan, bukan? Menilik segala pencapaian yang direngkuh oleh legenda hidup ini semenjak dirinya memulai karir pada pertengahan era 1980-an sampai akhirnya memutuskan untuk gantung raket di penghujung era 1990-an, maka tidak mengejutkan jika kemudian ada sineas tanah air yang berinisiatif untuk mengangkat kisah hidupnya ke layar lebar. Sim F yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara video musik (karyanya mencakup “Menghapus Jejakmu” milik Peterpan dan “Cinta Pertama dan Terakhir” milik Sherina) dipercaya untuk mengejawantahkan sepak terjang atlet asal Tasikmalaya tersebut melalui film biopik bertajuk Susi Susanti: Love All. Yang menarik, alih-alih sebatas menyoroti jatuh bangun Susi dalam menapaki tangga karir, film turut mengapungkan isu rasialisme yang memang mempunyai impak besar terhadap perjalanan hidup serta karir Susi.

October 23, 2019

REVIEW : HUSTLERS


“I don’t want to be dependent on anybody. I just want to take care of my grandma, maybe go shopping every once in a while.”

Berpatokan pada materi promosi yang ditebarnya dan deretan pemain yang terlibat di dalamnya, mudah untuk menduga Hustlers sebagai film hura-hura belaka yang tidak mempunyai kedalaman apapun pada narasinya. Terlebih lagi, premis miliknya yang berbunyi “bagaimana jika sekelompok penari erotis melakukan penipuan demi menghasilkan uang?” kian memperkuat dugaan tersebut. Memboyong ekspetasi cukup minim dimana sebagian besar dipicu oleh keinginan untuk bersenang-senang, alangkah terkejutnya saya begitu mendapati bahwa film arahan Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) ini bukanlah sajian dangkal yang meletakkan fokusnya pada aksi kriminal dari para penari telanjang semata. Didasarkan pada satu artikel menggemparkan gubahan Jessica Pressler yang dipublikasikan di majalah New York pada tahun 2015, “The Hustlers at Scores”, Hustlers ternyata turut mengajukan sejumlah topik berisi terkait women empowerment, objektifikasi perempuan, sampai ketimpangan ekonomi. Rentetan topik yang belum apa-apa sudah terdengar berat, ya? Tapi jika kamu lantas mengira bahwa film ini lantas berceloteh bak profesor yang sedang memberikan kuliah dan mengesampingkan seluruh elemen gegap gempitanya, maka kamu juga keliru. Hustlers tidak seberat itu, tetapi juga tidak seringan seperti diperkirakan. Film ini berada di tengah-tengah seperti halnya karakteristik dari para tokoh utama yang diposisikan dalam area abu-abu ketimbang segamblang hitam dan putih menyusul keinginan si pembuat film untuk tidak menghakimi moralitas mereka.

October 22, 2019

REVIEW : MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL


“This is no fairy tale.”

Pada tahun 2014 silam, Disney mencoba untuk sedikit bereksperimen terhadap produk layar lebar mereka. Alih-alih menggunakan kacamata si karakter tituler untuk interpretasi anyar terhadap dongeng klasik Sleeping Beauty, mereka justru menempatkan si karakter villain di poros utama pengisahan. Penonton disodori premis menggiurkan berbunyi, “apa yang sebenarnya membuat Maleficent begitu kejam sampai tega melukai seorang manusia berhati lembut seperti Aurora?,” yang tentu saja sulit untuk ditolak. Menempatkan Angelina Jolie sebagai si tokoh jahat yang memiliki ciri khas fisik berupa tulang pipi tajam, tanduk, serta sayap, khalayak ramai pun menyambutnya secara antusias sekalipun film memperoleh respon beragam dari kritikus. Satu paling disorot, penggunaan CGI terlampau berlebihan sampai-sampai narasinya terpinggirkan. Padahal, dekonstruksi atas dongeng ini dimana Maleficent dideskripsikan sebagai “makhluk baik yang tersakiti” sejatinya punya kesempatan untuk menciptakan gelaran mengharu biru. Cukup disayangkan, memang. Mencoba memperbaiki kesalahan tersebut – atau lebih tepatnya, ingin mendulang dollar lebih besar lagi – maka pihak studio pun berinisiatif untuk mengkreasi cerita kelanjutan bagi Maleficent dengan menggunakan subjudul Mistress of Evil. Sebuah trik jualan yang lagi-lagi mesti diakui jitu lantaran subjudul ini akan mengundang ketertarikan bagi sebagian penggemar. Ada satu tanya yang lantas muncul: apakah benar karakter jahat yang telah bertaubat di film sebelumnya, akhirnya memilih untuk kembali bertindak zalim ketimbang bertahan di jalan kebaikan?

October 20, 2019

REVIEW : PEREMPUAN TANAH JAHANAM


“Kamu, kesalahan yang harus aku hapus.”

Entah dirimu menyukainya atau tidak, mesti diakui, Pengabdi Setan (2017) adalah film horor yang fenomenal. Betapa tidak, film arahan Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) ini sanggup membukukan angka penonton hingga 4 juta lebih yang menempatkannya sebagai salah satu film Indonesia paling banyak dipirsa, dan berhasil pula memboyong sejumlah Piala Citra berkat kualitas teknisnya yang ciamik. Sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diraih oleh film dari genre seram. Menilik segala kesuksesan yang dicapai baik dari sisi kritikal maupun finansial, satu tanya lantas hinggap: apa yang akan diperbuat oleh seorang Joko Anwar di film berikutnya guna melampaui – atau minimal menyamai – Pengabdi Setan? Usai sedikit bereksperimen di genre laga melalui Gundala yang memperoleh resepsi beragam dari para penikmat film, Joko Anwar akhirnya kembali ke arena bermainnya melalui Perempuan Tanah Jahanam yang konon telah dipersiapkan sedari bertahun-tahun silam. Ada beragam faktor yang menyebabkan film berjudul Impetigore untuk peredaran internasional ini sampai berada dalam status development hell, termasuk persoalan kesiapan teknis beserta pengembangan karakter dalam narasi yang membutuhkan waktu cukup panjang. Tapi berkat meledaknya “kisah keluarga ibu”, CJ Entertainment dari Korea Selatan bersama Ivanhoe Pictures dari Amerika Serikat pun berkenan untuk bekerja sama dengan Rapi Films dan Base Entertainment guna mewujudkan salah satu proyek impian Joko yang guliran pengisahannya turut terinspirasi dari mimpi buruknya di suatu malam ini.

October 18, 2019

REVIEW : THE PEANUT BUTTER FALCON


“Friends are the family you choose.”

Dalam The Peanut Butter Falcon, penonton diperkenalkan pada seorang laki-laki berusia 22 tahun yang mengidap Down Syndrome, Zak (Zack Gottsagen). Tak memiliki keluarga yang bersedia mengurusnya, Zak pun ditempatkan oleh pemerintah di panti jompo dimana dia kerap menghabiskan waktunya untuk menyaksikan sebuah video gulat. Dari video ini, dia mengidolakan pegulat berjulukan The Salt Water Redneck (Thomas Haden Church) dan berharap dapat bergabung ke sekolah gulat yang diasuhnya. Sayangnya, bukan perkara mudah bagi Zak untuk bisa mewujudkan mimpinya ini sampai kemudian dia berhasil melarikan diri dari panti jompo pada suatu malam berkat bantuan teman sekamarnya, Carl (Bruce Dern). Tanpa dibekali peta, uang saku, serta pakaian – well, Zak hanya mengenakan celana dalam saat kabur – protagonis kita ini pun terlunta-lunta untuk beberapa saat. Yang kemudian bersedia untuk memberinya bantuan adalah seorang nelayan bermasalah bernama Tyler (Shia LaBeouf). Itu juga karena terpaksa lantaran tidak tega melihat Zak harus mengalami perundungan dari orang-orang yang ditemuinya. Hubungan Zak-Tyler yang tadinya bisa dibilang dingin ini perlahan tapi pasti mulai menghangat setelah keduanya berkenan untuk saling membuka diri. Dari setiap percakapan, dari setiap interaksi, kita bisa menyadari bahwa mereka adalah produk dari duka dan sepi. Sebuah alasan yang membuat persahabatan mereka cepat rekat disamping fakta bahwa mereka sejatinya sama-sama berstatus sebagai buronan: Tyler diburu oleh rekan-rekan sesama nelayan, sementara Zak diburu oleh pengasuhnya dari panti jompo, Eleanor (Dakota Johnson).

October 14, 2019

REVIEW : SIN


“Aku akan selalu ada buat kamu.”

Betapa nelangsanya nasib Minke (Iqbaal Ramadhan). Usai kisah cintanya dengan Annelies (Mawar De Jongh) dipaksa kandas lantaran sang pujaan harus berpindah ke Belanda, kini dia pun harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah ditikung oleh teman baiknya sendiri. Jan (Bryan Domani) yang diberi kepercayaan untuk mengawal Annelies ternyata diam-diam menaruh rasa kepada Annelies… dan mereka pun ada kemungkinan memiliki hubungan darah dari pihak ayah (!). Kacau betul, bukan? Berhubung Tuan Mellema gemar bermain perempuan, maka plot twist ini tentu tidak mengherankan meski tetap akan bikin diri ini geleng-geleng kepala sekaligus mengernyitkan dahi jika benar-benar ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tapi syukurlah, hubungan cinta terlarang antara Annelies dengan Jan tersebut bukan bagian dari cerita kelanjutan Bumi Manusia, melainkan dari film bertajuk Sin keluaran Falcon Pictures yang menempatkan Mawar De Jongh beserta Bryan Domani di garda pemain utama. Dan memang, ada narasi mengenai cinta terlarang yang dikemukakan melalui tagline berbunyi “saat kekasihmu adalah kakakmu sendiri” yang mendorong beberapa kawan untuk melempar komentar julid: kok berasa sinetron ya? Saya sih tidak pernah berpikir sampai ke sana ya, karena memang jarang sekali nonton sinetron. Malah, saya jadi teringat pada satu film erotis asal Thailand, Jan Dara (2001), yang sempat tayang di bioskop lokal dengan tajuk My Lover My Son. Same energy, rite? Berhubung masyarakat Indonesia sedang sangat relijius dan menaruh perhatian sangat tinggi kepada perkara berbau moral, saya tentu sama sekali tidak kaget begitu mengetahui bahwa kesamaan energi antara dua film ini hanya sampai di tampilan luar semata.

October 12, 2019

REVIEW : CINTA ITU BUTA


“Kamu tahu nggak bedanya kamu sama rumput laut? Kalau rumput laut itu mengandung nutrisi, kalau kamu mengandung anak-anak kita nanti.”

Biasanya, kita melihat komika dengan selera humor nyeleneh, Dodit Mulyanto, di jajaran pemain pendukung dalam film layar lebar guna bertindak sebagai comic relief. Tapi tim kasting Cinta Itu Buta ternyata melihat potensi besar dari seorang Dodit. Alih-alih menempatkannya dalam supporting roles, mereka memberi kesempatan kepada Dodit untuk unjuk gigi di garda terdepan. Tidak tanggung-tanggung, film yang merekrut sang komika sebagai peran utama, berada dalam ranah komedi romantis. Sebuah kejut nyata, bukan? Seperti halnya sebagian dari kalian, saya pun tak menduga Dodit akan beroleh peran krusial dalam genre ini. Terlebih lagi, dia bukanlah tipe prince charming atau bad boy yang belakangan kerap mendominasi kisah percintaan di sinema tanah air. Jadi, apa yang hendak dikedepankan? Well, berkaca pada pendampingnya, Shandy Aulia, dan judul yang dikedepankan, penonton sejatinya sudah bisa meraba-raba narasi maupun pesan yang hendak diutarakan oleh tontonan ini. Didasarkan pada film Filipina laris berjudul Kita Kita (2017), film yang menandai kembalinya Rachmania Arunita ke kursi penyutradaraan setelah terakhir kali menggarap Lost in Love (2008) ini menerapkan template “beauty and the beast”. Di saat bersamaan, film turut mencoba hantarkan pesan moral yang cukup menyentuh berbunyi “cinta sejati bukanlah soal penampilan, melainkan tentang ketulusan hati dan empati” yang seketika membuat diri ini tertarik untuk menjajalnya.

October 11, 2019

REVIEW : GEMINI MAN


“I think I know why he’s as good as you. He is you”

Apabila saya berseru, “Gemini Man adalah film laga yang asoy”, rasa-rasanya tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang akan mempertanyakannya. Maksud saya, Gemini Man mempunyai semua komponen yang dibutuhkan untuk membuatnya tersaji sebagai sebuah tontonan eskapis yang bakal disukai oleh khalayak ramai. Ada Ang Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon, Life of Pi) yang terbukti ulung dalam menyampaikan cerita di kursi penyutradaraan, ada Will Smith yang memiliki karisma kuat baik sebagai bintang laga maupun aktor serius di jajaran pemain, dan ada pula premis menggelitik perhatian berbunyi: bagaimana seandainya ada dua Will Smith dari masa berbeda yang saling bertarung antara satu dengan yang lain? Jadi, apa sih yang mungkin salah dari film ini? Sepintas lalu, film yang turut diproduseri oleh Jerry Bruckheimer (produser dari Top Gun serta Armageddon) ini memang tampak menjanjikan. Materi promosinya juga memberi kesan bahwa ada banyak gegap gempita dan keriuhan yang bisa kamu jumpai di sepanjang durasi. Saya yang dilingkupi kebahagiaan karena bisa kembali menyaksikan film dalam format 3D sekaligus kepenasaran lantaran Gemini Man menjajal teknologi anyar dengan divisualisasikan dalam 120 frames per second – umumnya, film diproyeksikan dalam 24 frames per second – pun tak menaruh kecurigaan apapun. Tapi setelah saya mengenakan kacamata 3D dan film berjalan separuh durasi, saya perlahan mulai menyadari bahwa Gemini Man ternyata lebih cocok disebut sebagai “film yang amsyong” ketimbang “film yang asoy”.

October 7, 2019

REVIEW : BEBAS


“Ada nggak hal-hal yang pengen banget lu kerjain, tapi belum kesampaian?”

Bagi kebanyakan orang, masa SMA kerap disebut sebagai fase terbaik dalam hidup. Betapa tidak, ada banyak sekali kenangan yang bisa digoreskan di titik ini. Kita akhirnya cukup dewasa untuk bisa merasakan nikmatnya (dan pedihnya) jatuh cinta, kita akhirnya mendapat sedikit kebebasan dari orang tua untuk melakukan apa yang kita maui, dan kita pun memiliki sahabat-sahabat karib yang bisa diajak gila-gilaan sekaligus bermimpi mengenai apa yang ingin dicapai setelah beranjak dewasa. Saking melimpahnya cerita yang bisa digali dari anak berseragam putih abu-abu yang problematikanya tergolong serius tapi santuy ini, tak mengherankan jika selalu ada “film remaja berlatar SMA” yang menarik disimak saban tahunnya. Salah satu yang membekas bagi saya adalah film asal Korea Selatan berjudul Sunny (2011) yang mencetak 7,3 juta lembar tiket selama masa edarnya di bioskop. Dalam film ini, penonton disuguhi narasi seputar reuni penuh nostalgia dari tujuh sahabat perempuan yang tak saja mengundang riuh tawa, tetapi juga air mata. Berkat kesuksesan secara finansial maupun kritikal yang diterima oleh Sunny, CJ Entertainment pun tidak keberatan untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan remake dari beberapa negara seperti Vietnam (Go Go Sisters, 2018), Jepang (Sunny: Strong Mind Strong Love, 2018), serta Indonesia, yang kesemuanya turut memberikan modifikasi guna menyesuaikan dengan kultur setempat. Satu perbedaan paling mencolok dalam versi Indonesia yang diberi tajuk Bebas adalah konfigurasi dari para pemain utama yang tak lagi tersusun atas tujuh perempuan.

October 4, 2019

REVIEW : JOKER


“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a comedy.”

Siapa sih yang tidak mengenal Joker? Apabila kamu kerap bersentuhan dengan pop culture, karakter satu ini tentu tidak lagi asing. Memiliki perawakan menyerupai badut dengan kulit serba putih, rambut berwarna hijau menyala, dan bibir yang merah mengkilat, Joker dikenal sebagai supervillain yang menjadi lawan berat bagi jagoan andalan DC Comics, Batman. Dalam khasanah sinema Hollywood, psikopat dengan selera humor bernada gelap ini telah berulang kali dilakonkan oleh berbagai aktor. Dari Jack Nicholson yang tampil bengis dalam Batman (1989), lalu mendiang Heath Ledger yang menghidupkannya bak penjahat sinting lewat The Dark Knight (2008) dimana dia dianugerahi piala Oscar, sampai Jared Leto yang cenderung komikal melalui Suicide Squad (2016). Menilik beragam interpretasi yang telah diberikan kepada sang penjahat, dan kesemuanya mesti diakui dimainkan secara gilang gemilang, maka saat Warner Bros. bersama DC Films berencana untuk mengkreasi sebuah film solo berbentuk origin story baginya, tentu ada satu tanya mengemuka: apa lagi pendekatan yang hendak diambil? Pada mulanya, saya sempat mengira Joker garapan Todd Phillips (Road Trip, trilogi The Hangover) bakal sedikit banyak menyerupai The Dark Knight. Tapi ternyata, film yang dicanangkan sebagai bagian dari DC Dark – adaptasi eksperimental dengan nada penceritaan lebih gelap – alih-alih DC Extended Universe ini mengambil jalur sama sekali berbeda. Mengenyahkan unsur fantasi yang biasanya melekat erat pada tontonan berbasis komik kepahlawanan, Joker menjejakkan kakinya di ranah realis dimana film lantas mengajak penonton untuk memperbincangkan tentang mental illness dan situasi sosial politik dewasa ini.

October 2, 2019

REVIEW : AD ASTRA


“I’m unsure of the future, but I’m not concerned. I will rely on those closest to me, and I will share their burdens, as they share mine. I will live and love.”

Setelah karirnya sebagai pemeran pengganti dalam Once Upon a Time in Hollywood berakhir, ternyata tak butuh waktu lama bagi Brad Pitt untuk mendapatkan pekerjaan baru. Tak tanggung-tanggung, dia menjajaki profesi astronot yang memungkinkannya untuk berkelana ke luar angkasa dan mengunjungi berbagai planet diluar bumi. Keren sekali, bukan? Tentu, karir berbeda ini dijalani oleh Bung Pitt dalam film berbeda yang sekali ini berada di ranah fiksi ilmiah, Ad Astra. Lewat film arahan James Gray (We Own the Night, The Lost City of Z), aktor kesayangan kita semua ini berperan sebagai Major Roy McBride yang merupakan putra dari seorang astronot kenamaan, H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones), yang konon tercatat dalam sejarah sebagai manusia pertama yang mencapai planet Neptunus. Mencetak rekor gilang gemilang dalam karir, sayangnya Clifford mendadak raib dalam misi dan diberitakan telah tiada oleh awak media. Guna berdamai dengan duka akibat kehilangan sang ayah, Roy pun menaruh perhatian sangat tinggi pada pekerjaannya serta enggan mengindahkan hal-hal remeh sehingga tak mengherankan jika catatan karirnya terhitung impresif. Setelah 16 tahun lamanya mencoba untuk menerima kenyataan bahwa sang ayah memang telah tiada, SpaceCom tiba-tiba memberinya kabar mengejutkan yang menyatakan bahwa Clifford masih hidup. Mereka menyadarinya pasca menyelidiki asal muasal dari gelombang misterius “Gelora” yang menyebabkan kehancuran masif di bumi. Demi menyelamatkan peradaban manusia yang terancam oleh kehadiran “Gelora”, SpaceCom pun mengirim Roy dalam suatu misi rahasia ke angkasa luar untuk berdialog dengan sang ayah.
Mobile Edition
By Blogger Touch