December 30, 2019

16 FILM INDONESIA TERBAIK 2019 VERSI CINETARIZ



Para pengunjung Cinetariz yang setia, bagaimana pengalaman kalian dalam menonton film Indonesia di satu tahun terakhir ini? Memuaskan, menyenangkan, biasa-biasa saja, atau justru kurang mengenakkan? Kalau bagi saya pribadi sih, 2019 adalah tahun yang menyenangkan bagi sinema tanah air. Disamping keberagaman temanya mulai terasa seiring dengan semakin beraninya para sineas untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru, saya juga menjumpai beberapa film yang membuat diri ini rela untuk menyaksikannya lebih dari satu kali. Entah saat masih berada di layar lebar maupun ketika sudah nangkring cantik di platform streaming legal yang keberadaannya semakin menjamur. Apa saja judul-judul itu? Well, apabila kamu mengikuti saya di akun media sosial, tentu sudah mengetahui apa saja film yang saya maksud. Hihihi.

December 27, 2019

REVIEW : SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)

 

“Kenapa perempuan harus menjadi hantu terlebih dahulu baru ditakuti?”

Bagi generasi masa kini, Si Manis Jembatan Ancol mungkin terdengar asing di telinga. Tapi bagi generasi yang lebih tuwek, nama ini identik dengan tiga hal. Pertama, legenda urban asal Betawi. Kedua, judul film layar lebar keluaran tahun 1973 yang dibintangi oleh Lenny Marlina. Dan ketiga, sinetron bergenre horor komedi di era 90-an yang membawa dua pemain intinya, Diah Permatasari dan Ozy Syahputra, merengkuh popularitas. Saking populernya (bahkan Presiden Soeharto pun menggilainya!), versi layar lebarnya pun digarap yang menandai untuk kedua kalinya meneror penonton di bioskop. Mantap kan, adek-adek? Nah setelah dibiarkan “beristirahat dengan tenang” di alamnya selama kurang lebih dua dekade, sesosok memedi bernama Maryam yang kerap terlihat bergentanyangan di Jembatan Ancol ini coba dibangkitkan kembali oleh Anggy Umbara (Suzzanna Bernapas dalam Kubur, Satu Suro) guna diperkenalkan kepada generasi Z, sekaligus mengikuti tren remake film horor klasik tanah air yang akhir-akhir ini tengah merebak. Masih mengandalkan judul Si Manis Jembatan Ancol, jajaran pemain yang dilibatkan tentu mengalami perombakan signifikan sebagai bentuk penyesuaian. Satu-satunya pelakon yang kembali direkrut dalam versi termutakhir adalah Ozy Syahputra yang sekali ini tidak melakonkan hantu gundul nan kenes bernama Karina, melainkan menjadi salah satu villain yang bertanggungjawab atas lahirnya arwah penasaran yang dilingkupi dendam kesumat berjulukan Si Manis.

December 24, 2019

REVIEW : HABIBIE & AINUN 3


“Kita dalam buku yang sama, tapi halaman yang berbeda.”

Saat Habibie & Ainun (2012) dirilis di bioskop, impak yang dihadirkannya tidaklah main-main. Disamping sanggup mengundang empat juta pasang mata untuk berbondong-bondong memenuhi bioskop, karir dua pemain utamanya yakni Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari pun seketika meroket. Nama keduanya lantas tercatat sebagai “bintang film kelas A” berkat kesuksesan film yang sering pula dielu-elukan sebagai salah satu tontonan percintaan terbaik di tanah air ini. Sungguh luar biasa. Saking hebatnya dampak yang diberikan oleh Habibie & Ainun, MD Pictures selaku rumah produksi pun memutuskan untuk meneruskan legacy-nya dengan menghadirkan dua film kelanjutan. Sebuah keputusan yang tadinya sempat membuat beberapa pihak, termasuk saya, bertanya-tanya, “apa lagi yang ingin dicelotehkan? Bukankah segala sesuatunya telah tertuang di film pertama?.” Well, ternyata masih ada sejumlah fase hidup dari dua karakter tituler yang belum sepenuhnya tersentuh. Dua sekuel yang sejatinya lebih bersifat sebagai prekuel ini, menggali lebih dalam masa-masa yang hanya dituturkan secara sekilas lalu di Habibie & Ainun. Yang pertama adalah Rudy Habibie (2016) dimana kisah masa muda Bacharuddin Jusuf Habibie dihantarkan bak tontonan blockbuster yang megah, dan yang kedua adalah Habibie & Ainun 3 (2019, sebelumnya berjudul Ainun) yang narasinya mengetengahkan pada perjuangan Hasri Ainun Besari semasa menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.   

December 20, 2019

REVIEW : IMPERFECT


“Jika kesempurnaan membuatmu bahagia, maka beri aku waktu untuk belajar menerima itu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaanmu.”

Siapa sih yang tidak pernah merasa insecure? Rasa-rasanya, setiap manusia di muka bumi ini pernah mengalaminya dalam satu fase hidupnya dengan kadar yang tentu berbeda-beda. Ada yang minor sehingga beberapa waktu kemudian lantas bisa menghempaskannya dari pikiran, tapi tak sedikit pula yang major sampai-sampai mempengaruhi setiap langkah dalam kehidupannya. Imbasnya, rasa percaya diri pun merosot drastis yang menyulitkannya untuk berpikir positif. Biasanya, efek yang sedemikian besar tersebut dipicu adanya bullying atau body shaming dari lingkungan sekitar. Ujaran semacam “kamu gendutan ya?”, “kamu kurus banget deh, nggak pernah makan ya?”, maupun “kulitmu item banget,” yang umumnya dipergunakan sebagai kalimat pembuka dari suatu basa-basi, tanpa disadari telah berkembang menjadi sesuatu yang beracun dan berbahaya. Terlebih lagi, kita hidup di era dimana media menciptakan standar kecantikan/ketampanan diluar batas kewajaran yang membuat perasaan insecure menjadi semakin membumbung tinggi serta sulit dikendalikan. Menyadari adanya fenomena tidak sehat yang tengah menggerogoti generasi muda masa kini, Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet) pun berinisiatif untuk mengkreasi tontonan bertajuk Imperfect yang disadur dari buku non-fiksi berjudul sama rekaan sang istri, Meira Anastasia. Melalui buku tersebut serta film ini, pasangan Ernest-Meira mencoba menggaungkan pesan positif untuk kita semua yang sedang (atau pernah) merasa rendah diri akibat penampilan fisik yang tidak termasuk dalam kriteria sempurna. Pesan tersebut berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi tidak sempurna karena yang terpenting bukanlah menjadi sempurna, melainkan menjadi pribadi yang bahagia dan berguna bagi sesama.”

Dalam ya?

December 17, 2019

REVIEW : JERITAN MALAM


“Pernahkah kalian merinding di suatu tempat, merasakan kehadiran sesuatu yang sebelumnya kalian percaya hanyalah permainan imajinasi otak manusia belaka?”

Sebelum diadaptasi ke dalam tontonan layar lebar, Jeritan Malam lebih dulu dikenal sebagai salah satu thread bentukan @morfosis_meta di forum Kaskus. Thread yang membungkus satu cerita seram unggahan si pembuat ini, tanpa dinyana-nyana menjadi buah bibir di kalangan pengunjung dunia maya dan seketika dibukukan. Salah satu alasan paling mendasar yang membuat cerita tersebut dapat menjaring ketertarikan publik secara cepat adalah fakta (setidaknya menurut si penulis) bahwa narasi yang diutarakan dalam Jeritan Malam bersumber dari pengalaman nyata. Disamping faktor lain yang meliputi: 1) ceritanya terasa dekat dan familiar khususnya bagi masyarakat Jawa di daerah yang masih kerap bersentuhan dengan kebudayaan atau kesenian yang aroma mistisnya cukup kental, dan 2) ada elemen misteri dibubuhkan melalui kalimat pembuka yang menimbulkan ambiguitas sehingga pembaca pun memiliki ketertarikan untuk membaca demi menjawab pertanyaan “benarkah ini semua betul-betul terjadi?.” Oleh versi layar lebarnya yang digarap Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin), elemen misteri ini masih menjadi satu cara yang ampuh dalam menarik atensi. Terlebih lagi, ada satu peringatan dibubuhkan berbunyi kurang lebih “jangan lakukan apa yang telah saya lakukan” yang seketika membuat diri ini dan mereka yang belum pernah menyentuh materi sumbernya dilingkupi kepenasaranan. Apa yang sebetulnya telah dilakukan oleh si tokoh utama sampai-sampai dia menyerukan peringatan tersebut kepada penonton?

December 14, 2019

REVIEW : KNIVES OUT


“The family is truly desperate. And when people get desperate, the knives come out.”

Saat menyaksikan Knives Out garapan Rian Johnson (Looper, Star Wars: The Last Jedi) di layar lebar beberapa hari yang lalu, ada satu komentar yang seketika terlontar dari mulut saya selepas lampu bioskop dinyalakan: “wow!” Ya, saya dibuat jatuh hati oleh karya terbaru Johnson ini sampai-sampai saya tidak kesulitan untuk memberinya label sebagai “salah satu pengalaman sinematik paling mengasyikkan di tahun 2019.” Sebuah label yang tak pernah saya perkirakan akan disandang oleh Knives Out, meski saya pribadi telah menunjukkan ketertarikan hebat untuk menyantap film ini sedari materi promosinya ditebar. Pemicunya adalah, penyesuaian ekspektasi selepas menyimak versi terbaru dari Murder of the Orient Express (2017) yang tidak terlampau menggairahkan. Ada tiga persamaan yang menyatukan dua judul tersebut: 1) keduanya berdiri di jalur misteri dengan narasi ‘whodunit’ yang mengajak penonton untuk menerka-nerka si dalang pembunuhan, 2) keduanya mengedepankan pelakon-pelakon ternama untuk mengisi departemen akting, dan 3) keduanya memiliki keterkaitan dengan novel rekaan Agatha Christie – well, dalam kasus Knives Out, lebih ke terinspirasi pada pola pengisahannya. Memiliki sederet persamaan semacam ini, mau tidak mau antisipasi yang sebetulnya telah menjulang tinggi tadi lantas dibarengi dengan ekspektasi yang berada di level sedang. Saya tentu tidak mau dibuat kecewa untuk kedua kalinya, saudara-saudara! Untuk itulah diri ini lantas menekan pengharapan kala bertandang ke bioskop yang ternyata oh ternyata, malah berbuah manis tatkala mendapati bahwa Knives Out sanggup berdiri jauh di atas pencapaian “saudara tirinya” dan memberi saya sebuah sajian hiburan yang sangat memuaskan.

December 12, 2019

REVIEW : KIM JI-YOUNG BORN 1982


“Mengapa kamu berusaha sangat keras untuk melukai hati orang lain?”

Kim Ji-young Born 1982 adalah film yang sederhana. Jalinan pengisahannya tak berbelit-belit, dan cakupan skalanya pun kecil saja. Sebatas berkisar pada keseharian dari seorang ibu rumah tangga di Korea Selatan. Akan tetapi, film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Kim Do-young yang lebih dulu dikenal sebagai aktris ini merupakan sajian penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Satu alasan utamanya, topik berani yang dikedepankannya. Lebih dari sekadar slice of life, Kim Ji-young Born 1982 yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Cho Nam-ju mengusung pembicaraan tentang racun patriarki yang terhitung jarang disinggung secara terang-terangan oleh film dari Negeri Ginseng. Apa pasal? Well, dibalik gemerlap industri hiburan yang dipancarkan melalui Korean Wave, ada setumpuk cerita kelam yang merambat di setiap sudut Korea Selatan. Budaya patriarki masih berdiri tegak dan sebagian besar publik memilih untuk menutup mata atas dampak merusak yang dimunculkannya. Pertanda bahwa ada pihak-pihak yang masih belum siap (atau justru enggan?) untuk mendiskusikan isu mengenai kesetaraan gender secara terbuka telah nampak sedari versi novelnya belum diejawantahkan ke dalam bahasa gambar. Personil grup musik perempuan Red Velvet, Irene, menerima kecaman sangat keras usai dirinya menyatakan telah membaca novel ini. Tidak tanggung-tanggung, ada aksi pembakaran foto Irene oleh mereka yang tidak menyetujui pilihan Irene, khususnya dari kalangan penggemar laki-laki. Sungguh ekstrim, bukan?
Mobile Edition
By Blogger Touch