Para pengunjung Cinetariz yang
setia, bagaimana pengalaman kalian dalam menonton film Indonesia di satu tahun
terakhir ini? Memuaskan, menyenangkan, biasa-biasa saja, atau justru kurang
mengenakkan? Kalau bagi saya pribadi sih, 2019 adalah tahun yang menyenangkan
bagi sinema tanah air. Disamping keberagaman temanya mulai terasa seiring
dengan semakin beraninya para sineas untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru,
saya juga menjumpai beberapa film yang membuat diri ini rela untuk
menyaksikannya lebih dari satu kali. Entah saat masih berada di layar lebar
maupun ketika sudah nangkring cantik di platform streaming legal yang
keberadaannya semakin menjamur. Apa saja judul-judul itu? Well, apabila kamu mengikuti saya di akun media sosial, tentu sudah
mengetahui apa saja film yang saya maksud. Hihihi.
December 30, 2019
December 27, 2019
REVIEW : SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)
“Kenapa perempuan harus menjadi hantu terlebih dahulu baru ditakuti?”
Bagi generasi masa kini, Si Manis Jembatan Ancol mungkin
terdengar asing di telinga. Tapi bagi generasi yang lebih tuwek, nama ini identik dengan tiga hal. Pertama, legenda urban
asal Betawi. Kedua, judul film layar lebar keluaran tahun 1973 yang dibintangi
oleh Lenny Marlina. Dan ketiga, sinetron bergenre horor komedi di era 90-an
yang membawa dua pemain intinya, Diah Permatasari dan Ozy Syahputra, merengkuh
popularitas. Saking populernya (bahkan Presiden Soeharto pun menggilainya!), versi
layar lebarnya pun digarap yang menandai untuk kedua kalinya meneror penonton
di bioskop. Mantap kan, adek-adek? Nah setelah dibiarkan “beristirahat dengan
tenang” di alamnya selama kurang lebih dua dekade, sesosok memedi bernama
Maryam yang kerap terlihat bergentanyangan di Jembatan Ancol ini coba
dibangkitkan kembali oleh Anggy Umbara (Suzzanna
Bernapas dalam Kubur, Satu Suro) guna
diperkenalkan kepada generasi Z, sekaligus mengikuti tren remake film horor klasik tanah air yang akhir-akhir ini tengah
merebak. Masih mengandalkan judul Si
Manis Jembatan Ancol, jajaran pemain yang dilibatkan tentu mengalami
perombakan signifikan sebagai bentuk penyesuaian. Satu-satunya pelakon yang
kembali direkrut dalam versi termutakhir adalah Ozy Syahputra yang sekali ini
tidak melakonkan hantu gundul nan kenes bernama Karina, melainkan menjadi salah
satu villain yang bertanggungjawab
atas lahirnya arwah penasaran yang dilingkupi dendam kesumat berjulukan Si
Manis.
December 24, 2019
REVIEW : HABIBIE & AINUN 3
“Kita dalam buku yang sama, tapi halaman yang berbeda.”
Saat Habibie & Ainun (2012) dirilis di bioskop, impak yang
dihadirkannya tidaklah main-main. Disamping sanggup mengundang empat juta
pasang mata untuk berbondong-bondong memenuhi bioskop, karir dua pemain
utamanya yakni Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari pun seketika meroket. Nama
keduanya lantas tercatat sebagai “bintang film kelas A” berkat kesuksesan film
yang sering pula dielu-elukan sebagai salah satu tontonan percintaan terbaik di
tanah air ini. Sungguh luar biasa. Saking hebatnya dampak yang diberikan oleh Habibie & Ainun, MD Pictures selaku
rumah produksi pun memutuskan untuk meneruskan legacy-nya dengan menghadirkan dua film kelanjutan. Sebuah
keputusan yang tadinya sempat membuat beberapa pihak, termasuk saya,
bertanya-tanya, “apa lagi yang ingin
dicelotehkan? Bukankah segala sesuatunya telah tertuang di film pertama?.” Well, ternyata masih ada sejumlah fase
hidup dari dua karakter tituler yang belum sepenuhnya tersentuh. Dua sekuel yang
sejatinya lebih bersifat sebagai prekuel ini, menggali lebih dalam masa-masa
yang hanya dituturkan secara sekilas lalu di Habibie & Ainun. Yang pertama adalah Rudy Habibie (2016) dimana kisah masa muda Bacharuddin Jusuf
Habibie dihantarkan bak tontonan blockbuster
yang megah, dan yang kedua adalah Habibie
& Ainun 3 (2019, sebelumnya berjudul Ainun) yang narasinya mengetengahkan pada perjuangan Hasri Ainun
Besari semasa menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
December 20, 2019
REVIEW : IMPERFECT
“Jika kesempurnaan membuatmu bahagia, maka beri aku waktu untuk belajar menerima itu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaanmu.”
Siapa sih yang tidak pernah
merasa insecure? Rasa-rasanya, setiap
manusia di muka bumi ini pernah mengalaminya dalam satu fase hidupnya dengan
kadar yang tentu berbeda-beda. Ada yang minor
sehingga beberapa waktu kemudian lantas bisa menghempaskannya dari pikiran,
tapi tak sedikit pula yang major
sampai-sampai mempengaruhi setiap langkah dalam kehidupannya. Imbasnya, rasa
percaya diri pun merosot drastis yang menyulitkannya untuk berpikir positif. Biasanya,
efek yang sedemikian besar tersebut dipicu adanya bullying atau body shaming
dari lingkungan sekitar. Ujaran semacam “kamu
gendutan ya?”, “kamu kurus banget
deh, nggak pernah makan ya?”, maupun “kulitmu
item banget,” yang umumnya dipergunakan sebagai kalimat pembuka dari suatu
basa-basi, tanpa disadari telah berkembang menjadi sesuatu yang beracun dan
berbahaya. Terlebih lagi, kita hidup di era dimana media menciptakan standar
kecantikan/ketampanan diluar batas kewajaran yang membuat perasaan insecure menjadi semakin membumbung
tinggi serta sulit dikendalikan. Menyadari adanya fenomena tidak sehat yang
tengah menggerogoti generasi muda masa kini, Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet) pun berinisiatif untuk mengkreasi tontonan
bertajuk Imperfect yang disadur dari
buku non-fiksi berjudul sama rekaan sang istri, Meira Anastasia. Melalui buku
tersebut serta film ini, pasangan Ernest-Meira mencoba menggaungkan pesan positif
untuk kita semua yang sedang (atau pernah) merasa rendah diri akibat penampilan
fisik yang tidak termasuk dalam kriteria sempurna. Pesan tersebut berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi tidak sempurna
karena yang terpenting bukanlah menjadi sempurna, melainkan menjadi pribadi
yang bahagia dan berguna bagi sesama.”
Dalam ya?
December 17, 2019
REVIEW : JERITAN MALAM
“Pernahkah kalian merinding di suatu tempat, merasakan kehadiran
sesuatu yang sebelumnya kalian percaya hanyalah permainan imajinasi otak
manusia belaka?”
Sebelum diadaptasi ke dalam
tontonan layar lebar, Jeritan Malam
lebih dulu dikenal sebagai salah satu thread
bentukan @morfosis_meta di forum Kaskus. Thread
yang membungkus satu cerita seram unggahan si pembuat ini, tanpa dinyana-nyana
menjadi buah bibir di kalangan pengunjung dunia maya dan seketika dibukukan.
Salah satu alasan paling mendasar yang membuat cerita tersebut dapat menjaring
ketertarikan publik secara cepat adalah fakta (setidaknya menurut si penulis)
bahwa narasi yang diutarakan dalam Jeritan
Malam bersumber dari pengalaman nyata. Disamping faktor lain yang meliputi:
1) ceritanya terasa dekat dan familiar khususnya bagi masyarakat Jawa di daerah
yang masih kerap bersentuhan dengan kebudayaan atau kesenian yang aroma
mistisnya cukup kental, dan 2) ada elemen misteri dibubuhkan melalui kalimat
pembuka yang menimbulkan ambiguitas sehingga pembaca pun memiliki ketertarikan
untuk membaca demi menjawab pertanyaan “benarkah
ini semua betul-betul terjadi?.” Oleh versi layar lebarnya yang digarap
Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin), elemen misteri ini masih
menjadi satu cara yang ampuh dalam menarik atensi. Terlebih lagi, ada satu
peringatan dibubuhkan berbunyi kurang lebih “jangan
lakukan apa yang telah saya lakukan” yang seketika membuat diri ini dan
mereka yang belum pernah menyentuh materi sumbernya dilingkupi kepenasaranan.
Apa yang sebetulnya telah dilakukan oleh si tokoh utama sampai-sampai dia
menyerukan peringatan tersebut kepada penonton?
December 14, 2019
REVIEW : KNIVES OUT
“The family is truly desperate. And when people get desperate, the
knives come out.”
Saat menyaksikan Knives Out garapan Rian Johnson (Looper, Star Wars: The Last Jedi) di layar lebar beberapa hari yang lalu, ada
satu komentar yang seketika terlontar dari mulut saya selepas lampu bioskop
dinyalakan: “wow!” Ya, saya dibuat
jatuh hati oleh karya terbaru Johnson ini sampai-sampai saya tidak kesulitan
untuk memberinya label sebagai “salah
satu pengalaman sinematik paling mengasyikkan di tahun 2019.” Sebuah label
yang tak pernah saya perkirakan akan disandang oleh Knives Out, meski saya pribadi telah menunjukkan ketertarikan hebat
untuk menyantap film ini sedari materi promosinya ditebar. Pemicunya adalah, penyesuaian
ekspektasi selepas menyimak versi terbaru dari Murder of the Orient Express (2017) yang tidak terlampau
menggairahkan. Ada tiga persamaan yang menyatukan dua judul tersebut: 1)
keduanya berdiri di jalur misteri dengan narasi ‘whodunit’ yang mengajak penonton untuk menerka-nerka si dalang
pembunuhan, 2) keduanya mengedepankan pelakon-pelakon ternama untuk mengisi
departemen akting, dan 3) keduanya memiliki keterkaitan dengan novel rekaan
Agatha Christie – well, dalam kasus Knives Out, lebih ke terinspirasi pada
pola pengisahannya. Memiliki sederet persamaan semacam ini, mau tidak mau
antisipasi yang sebetulnya telah menjulang tinggi tadi lantas dibarengi dengan
ekspektasi yang berada di level sedang. Saya tentu tidak mau dibuat kecewa
untuk kedua kalinya, saudara-saudara! Untuk itulah diri ini lantas menekan
pengharapan kala bertandang ke bioskop yang ternyata oh ternyata, malah berbuah
manis tatkala mendapati bahwa Knives Out sanggup
berdiri jauh di atas pencapaian “saudara tirinya” dan memberi saya sebuah
sajian hiburan yang sangat memuaskan.
December 12, 2019
REVIEW : KIM JI-YOUNG BORN 1982
“Mengapa kamu berusaha sangat keras untuk melukai hati orang lain?”
Kim Ji-young Born 1982 adalah film yang sederhana. Jalinan
pengisahannya tak berbelit-belit, dan cakupan skalanya pun kecil saja. Sebatas
berkisar pada keseharian dari seorang ibu rumah tangga di Korea Selatan. Akan
tetapi, film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Kim Do-young yang lebih
dulu dikenal sebagai aktris ini merupakan sajian penting yang tidak bisa
dipandang sebelah mata. Satu alasan utamanya, topik berani yang
dikedepankannya. Lebih dari sekadar slice
of life, Kim Ji-young Born 1982 yang
didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Cho Nam-ju mengusung pembicaraan
tentang racun patriarki yang terhitung jarang disinggung secara terang-terangan
oleh film dari Negeri Ginseng. Apa pasal? Well,
dibalik gemerlap industri hiburan yang dipancarkan melalui Korean Wave, ada setumpuk cerita kelam yang merambat di setiap
sudut Korea Selatan. Budaya patriarki masih berdiri tegak dan sebagian besar
publik memilih untuk menutup mata atas dampak merusak yang dimunculkannya.
Pertanda bahwa ada pihak-pihak yang masih belum siap (atau justru enggan?)
untuk mendiskusikan isu mengenai kesetaraan gender secara terbuka telah nampak
sedari versi novelnya belum diejawantahkan ke dalam bahasa gambar. Personil
grup musik perempuan Red Velvet, Irene, menerima kecaman sangat keras usai
dirinya menyatakan telah membaca novel ini. Tidak tanggung-tanggung, ada aksi
pembakaran foto Irene oleh mereka yang tidak menyetujui pilihan Irene,
khususnya dari kalangan penggemar laki-laki. Sungguh ekstrim, bukan?
Subscribe to:
Posts (Atom)