December 23, 2020

SPECIAL - MOLA LIVING LIVE

Ada satu original content di Mola TV yang menurut hamba sangat menarik untuk disimak dan menjadikannya sebagai pembeda dengan jasa penyedia layanan streaming lain, yakni Mola Living Live. Bukan berwujud film panjang maupun serial, konsep yang dikedepankan oleh acara ini adalah bincang-bincang. Narasumber yang didatangkan pun tidak main-main; figur publik kelas dunia, saudara-saudara, tersayang! Tengok saja deretan nama yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara seperti Luc Besson (sutradara), Darren Aronofsky (sutradara), Spike Lee (sutradara), Sharon Stone (aktris), Mike Tyson (petinju), sampai Robert De Niro (aktor). Siapa coba yang tidak mengenal mereka? Lebih-lebih jika kamu menggemari film. Pencapaian yang mereka torehkan selama berkecimpung di industri film – bahkan Tyson sempat pula berkontribusi di bidang seni ini – tidaklah main-main. Sebagian diantaranya telah menggenggam Oscar sebagai penanda pencapaian tertinggi dari sisi kualitas, sementara sebagian yang lain tergolong akrab dengan kata “box office” sebagai penanda pencapaian tertinggi dari sisi kuantitas.

December 2, 2020

REVIEW : RIG 45 (TV SERIES)


“Someone is trying to hide something about the accident.”

Selalu menyenangkan saat kamu menemukan sebuah film atau serial yang sebelumnya berada di bawah radar banyak orang dan ternyata mempunyai kualitas di atas rata-rata. Hamba sudah jarang bereksperimen semacam ini – well, pandemi membuat saya lebih sering cari aman demi menjaga mood – sehingga saat memperoleh penugasan untuk mengulas serial asal Swedia bertajuk Rig 45, diri ini sempat was-was. Lebih-lebih, informasinya di dunia maya pun tak terlampau banyak. Bagaimana jika ternyata serial tersebut tak ciamik? Atau lebih parah lagi, bagaimana jika kemudian serial ini tak ubahnya dongeng pengantar tidur? Ya, saya memang dilanda overthinking selama beberapa saat yang untungnya tak pernah benar-benar terwujud. Sempat skeptis dengan kualitas yang ditawarkan oleh Rig 45, alangkah terkejutnya hamba kala mendapati betapa mengasyikkannya serial sepanjang 6 episode ini. Sebagai penggemar tontonan misteri, guliran pengisahan yang disodorkan oleh serial produksi Viaplay (televisi berbayar di Swedia) ini sedikit banyak mengingatkan saya kepada salah satu mahakarya Agatha Christie, And Then There Were None, dimana sepuluh orang asing diundang ke sebuah pulau oleh seorang misterius dan satu persatu dari mereka tewas dibunuh.

November 27, 2020

REVIEW - YOUNGER (TV SERIES)

“The problem with memories is they lock us in the past, and we both need to move forward. As much I want you in my life, I can’t right now. And I hope you understands why.”

Di masa pandemi yang tak henti-hentinya menguji kesehatan mental saban hari, menonton film atau serial ringan yang membuat hati riang gembira adalah jalan ninja hamba untuk menjaga kewarasan. Beberapa judul urung saya ulas lantaran satu dan lain hal yang mudah-mudahan lekas terselesaikan, tapi saya mencoba kembali menghadirkan review untuk Younger yang diri ini tonton di Mola TV. Satu judul serial yang sejatinya telah mengudara sejak tahun 2015 dan musim ketujuhnya kini tengah dipersiapkan. Diadaptasi dari novel bertajuk serupa rekaan Pamela Redmond Satran, Younger merupakan tontonan bergenre komedi yang benar-benar saya butuhkan saat ini. Tiap musimnya hanya terdiri dari 12 episode – dengan masing-masing episode berdurasi di kisaran 20 sampai 30 menit saja – sehingga memudahkan untuk ditonton secara marathon. Dan memang, hamba mampu menuntaskan musim pertamanya hanya dalam waktu sehari saja (!). Betapa tidak, serial ini memiliki segalanya untuk membuatmu jatuh hati seperti: 1) barisan karakter yang mudah untuk disukai, 2) jalinan pengisahan yang menarik sekaligus dekat dengan persoalan keseharian, dan 3) humor-humor yang efektif dalam mengocok perut. Mudahnya, apa lagi yang dibutuhkan dari serial ini? Dengan adanya dua faktor kunci, relatability and likeability, sudah cukup untuk bikin diri ini kesengsem sampai-sampai menobatkan Younger sebagai serial kesayangan saat ini.

November 4, 2020

REVIEW - HUMANS (TV SERIES)

“You cannot fix humanity’s problems with technology.”

Pernah tidak membayangkan memiliki robot yang bisa mengerjakan semua hal? Maksud saya, robot yang bisa beberes rumah sampai kinclong, bisa bertindak selaiknya pelatih atau perawat profesional, sampai bisa memasak berbagai jenis makanan sehingga tak perlu repot-repot ke restoran. Terdengar menyenangkan, bukan? Praktis. Serial asal Inggris, Humans, yang dikreasi oleh Sam Vincent dan Jonathan Brackley berdasarkan serial dari Swedia bertajuk Real Humans ini menerapkan premis tersebut untuk diejawantahkan menjadi tontonan sepanjang tiga musim. Memberi kita gambaran seandainya robot mempunyai peranan lebih krusial dalam setiap lini kehidupan, ketimbang sebatas didayagunakan oleh korporasi-korporasi raksasa. Demi menjadikannya kian menarik, sang kreator pun tak mendeskripsikan robot-robot ini selaiknya mesin biasa atau menyerupai kaleng berwarna perak. Melainkan diperlihatkan seperti halnya manusia sampai-sampai kamu tak bisa membedakannya hanya dari pandangan secara sekilas. Bahkan, beberapa robot yang menjadi sentral penceritaan dalam Humans dikisahkan mempunyai emosi yang menjadikan batasan antara realita dan teknologi menjadi kian mengabur.

October 18, 2020

REVIEW : PELUKIS HANTU

“Kita bisa mengusahakan kebahagiaan di masa depan, selama kita jujur dan tulus memberikan kemampuan terbaik kita.”

Pelukis Hantu adalah film yang menyenangkan. Begitulah kesan pertama yang tergores selepas menontonnya. Sepintas lalu, tontonan yang mengombinasikan genre horor dan komedi ini memang terlihat seperti sajian seram kelas B yang dibuat untuk mengeruk keuntungan semata tanpa peduli kualitas – jejak rekam genre ini tak cihuy. Lebih-lebih, MD Pictures memutuskan untuk menerjunkannya secara langsung ke layanan penyedia streaming yang tentu memantik kecurigaan hamba: kenapa? Maklum, pengalaman menonton film Indonesia dalam satu bulan terakhir ini sungguh bikin kepala nyut-nyutan sehingga keragu-raguan pun melejit ke angkasa. Sungguh, saya telah berpasrah kepada Tuhan. Akan tetapi, Pelukis Hantu yang menandai untuk pertama kalinya Arie Kriting memulai debut penyutradaraannya, menunjukkan bahwa masihlah ada harapan terhadap produk yang dilempar ke OTT (over the top atau layanan streaming). Mengikuti jejak rekannya sesama komika, Bene Dion, yang tahun lalu menghasilkan Ghost Writer yang mengesankan, Bung Arie mencoba untuk menghadirkan sebuah sajian hiburan yang tak saja membuat penontonnya tergelak-gelak sekaligus terperanjat, tetapi juga mendapatkan sesuatu. Ya, dia turut memasukkan hati ke dalam penceritaan demi menguarkan sisi emosional dari penceritaan serta isu yang kompleks mengenai luka dan trauma. Sebuah langkah yang terhitung berani untuk karya perdana.

October 16, 2020

REVIEW : SEPERTI HUJAN YANG JATUH KE BUMI

“Melarikan diri dari rasa sakit hati itu, enggak akan membuat kita lebih baik. Sakit hati itu harus kita nikmati.”

Terlampau sering di dalam rumah selama pandemi Covid-19, membuat pikiran saya sering melantur kemana-mana. Pernah pada suatu hari yang tidak terlalu indah, saya mendadak punya keinginan amat random, “duh pengen deh nonton film percintaan remajanya Screenplay Films yang ajaib itu. Udah lama sekali rasanya.” Ternyata, dari sekian banyak doa yang pernah hamba rapalkan, doa ini termasuk yang dikabulkan secara cepat oleh Tuhan. Tiba-tiba saja rumah produksi ini, bekerjasama dengan IFI Sinema dan Netflix, meluncurkan Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi ke raksasa penyedia layanan streaming. Film romansa yang didasarkan pada novel laris bertajuk sama rekaan Boy Candra (karyanya yang lain, Malik dan Elsa, pun sudah diadaptasi) ini memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi sajian cinta-cintaan khas Screenplay. Di sini, kamu bisa mendapati: 1) jalinan penceritaan yang agak sulit dibayangkan akan terwujud dalam kehidupan nyata, 2) dialog berisi untaian kata-kata puitis yang diucapkan oleh para karakter dalam setiap hembusan nafas mereka, dan 3) production value yang tampak berkelas guna membedakannya dengan sajian-sajian serupa yang khusus ditayangkan di stasiun televisi. Terdengar menyiksa menarik, bukan? Tentu saja, seperti sudah hamba duga sebelumnya, film ini pun tak kalah ajaibnya sekalipun telah merekrut nama-nama seperti Lasja F Susatyo (Mika, Sebelum Pagi Terulang Kembali) sebagai sutradara, serta Upi (Teman Tapi Menikah, My Stupid Boss) dan Piu Syarif (Moammar Emka’s Jakarta Undercover) sebagai penulis skenario. 

October 14, 2020

REVIEW : BIDADARI MENCARI SAYAP

“Dalam rumah tangga itu ada nilai hormat. Nggak melulu cinta.”

Cinta terhalang perbedaan etnis dan keyakinan sejatinya sudah beberapa kali dijadikan topik pembicaraan dalam sejumlah film Indonesia. Ada yang disisipkan sebagai subplot belaka, tapi tak sedikit pula yang diajukan sebagai konflik utama. Judul-judul yang saya nilai berhasil mengulik isu sensitif ini antara lain Cin(T)a (2009), 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta (2010), serta Cinta Tapi Beda (2012). Ketiganya memberikan gambaran mengenai peliknya memadu kasih di Indonesia kala dua belah pihak menganut agama yang berlainan. Salah satu dari mereka harus ada yang bersedia mengalah dengan melepaskan keyakinan apabila ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila sama-sama kekeuh, maka tentu mustahil untuk merealisasikan sebuah rumah tangga terlebih dalam khasanah sinema dalam negeri. Keengganan sineas untuk menghadapi kecaman publik – yang selalu mengikuti tiap kali muncul film bertema toleransi dalam perbedaan – membuat film memilih jalan aman dalam konklusi: memenangkan agama alih-alih cinta. Kalaupun ada yang kemudian berpindah agama, jelas bukan dari kalangan mayoritas kecuali siap menerima konsekuensi. Bidadari Mencari Sayap produksi Citra Sinema bersama MD Pictures yang mencoba lebih “berani” dengan meletakkan fokusnya pada kehidupan rumah tangga ketimbang sebatas berpacaran seperti film sejenisnya, adalah contoh. Si karakter perempuan yang notabene non-Muslim (tidak disebutkan secara spesifik agamanya) dikisahkan menjadi mualaf untuk bisa menikahi kekasihnya yang berasal dari keluarga Muslim taat. 

October 12, 2020

REVIEW : WARKOP DKI REBORN 4

“Lagian mana ada sih orang kaya mukanya kek bemo.”

Saat para karakter inti dalam Warkop DKI Reborn 3 kembali muncul di end credit untuk mendendangkan “ahaaa… filmnya dibagi dua, filmnya dibagi dua,” saya sama sekali tidak terkejut. Maklum, bukan pertama kalinya mendapat prank semacam ini dari film Indonesia. Pun begitu, bukan berarti hamba tidak ingin mengelus dada kala momen musikal tersebut muncul. Andai saja film yang baru ditonton sanggup menghadirkan pengalaman penuh kesenangan di sepanjang durasinya, hadirnya bagian kedua tentu akan disambut dengan penuh suka cita – saya pribadi termasuk golongan yang tidak keberatan dengan keberadaan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Tapi berhubung babak pertamanya lebih sering membuat saya menertawakan keputusan diri sendiri untuk menonton film tersebut ketimbang menertawakan humor-humornya, ada kebingungan melanda. Ada pertanyaan berkecamuk yang dimulai dengan, “mengapa sih harus dibagi dua? Apa urgensinya?.” Seolah pihak Falcon Pictures sangat percaya diri instalmen reborn terbaru ini akan disambut antusias oleh publik. Kenyataannya, hanya sekitar 800 ribu penonton yang bersedia berbondong-bondong mendatangi bioskop sehingga memaksa rumah produksi untuk mengganti strategi. Alih-alih mengedarkannya di bioskop, mereka memilih untuk langsung menerjunkan Warkop DKI Reborn 4 ke penyedia layanan streaming film dengan harapan bisa sekalian menghibur masyarakat semasa pandemi di rumah. Walau kalau boleh berkata jujur, kata “menghibur” untuk mendeskripsikan film ini terasa terlalu murah hati.

October 9, 2020

REVIEW : RENTANG KISAH

“Tuhan menciptakan dunia amat besar. Lalu masa kamu mau diem di rumah aja?”

Gita Savitri Devi adalah salah satu vlogger dan influencer berpengaruh di Indonesia. Kontennya berkisar pada serba-serbi pengalamannya sebagai WNI yang merantau ke negeri orang dan opini-opini kritisnya terhadap beragam isu sosial politik. Dalam menjalankan kanal YouTube miliknya, Gita pun tidak berjibaku sendirian. Dia didampingi oleh teman baiknya yang belakangan menjadi suaminya, Paul Andre Partohap. Kegemaran keduanya terhadap musik mendorong pasangan ini untuk sesekali memanjakan telinga para penggemar dengan lantunan tembang-tembang manis. Mereka ingin sebisa mungkin konten di kanal ini tak saja edukatif dan informatif, tetapi juga menyenangkan. Tak mengherankan jika kemudian Jeung Gita diikuti oleh lebih dari 900 ribu penggemar. Sebuah angka yang terhitung masif terlebih si empunya channel bukan berasal dari kalangan selebriti. Menilik perjalanan sekaligus pencapaian Gita yang impresif tersebut, rumah produksi Falcon Pictures pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Buku perdana karya sang vlogger yang laris dibaca oleh publik, Rentang Kisah, dipinang untuk diadaptasi ke dalam film panjang. Danial Rifki yang sebelumnya menggarap Haji Backpacker (2014) dan 99 Nama Cinta (2019), ditunjuk mengomandoi tontonan inspiratif yang menyoroti perjuangan berikut tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Gita saat sedang menimba ilmu di Jerman ini.

October 7, 2020

REVIEW : SABAR INI UJIAN

“Kebahagiaan akan datang saat kamu sudah bersyukur.”

Apakah kamu familiar dengan istilah time loop yang beberapa kali dipergunakan oleh film dari negara-negara yang telah jauh berkembang? Jika belum, istilah ini secara ringkas merujuk kepada film dengan tokoh utama yang terjebak dalam putaran waktu. Hari-harinya selalu berulang di satu tanggal, situasi-situasinya sama persis plek ketiplek, dan si protagonis harus mencari tahu sabab musababnya agar bisa terbebas dari siksaan duniawi ini lalu kembali menjalani kehidupannya seperti biasa. Satu judul paling populer yang menerapkan konsep penceritaan ini adalah Groundhog Day rilisan tahun 1993. Dari era gawai, kamu bisa menjumpainya dalam Edge of Tomorrow (2014), Happy Death Day (2017), maupun Palm Springs yang baru-baru ini dirilis. Sementara dalam khazanah sinema Indonesia, well, film berkonsep time loop sendiri masih sangat asing meski hamba pribadi sama sekali tidak terkejut. Apalagi konsep ini terhitung njelimet untuk dieksekusi dan film beraroma fantasi pun kurang diakrabi oleh penonton di Indonesia raya. Siapa coba yang cukup nekat untuk mengambil resiko? Sempat skeptis ranah ini akan benar-benar dijajaki oleh sineas kita, ternyata oh ternyata Anggy Umbara (Mama Cake, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss) di bawah payung MD Pictures berani mengambil tantangan tersebut dengan menggarap Sabar Ini Ujian yang dilabeli “film Indonesia pertama yang mengaplikasikan konsep time loop”. Hasilnya? Sajian komedi drama yang menghibur meski masih meninggalkan catatan disana sini.

October 5, 2020

REVIEW : BUCIN (WHIPPED)

“Kesabaran merupakan kunci dari hubungan yang baik.”

Kamu tidak akan menemukan makna “bucin” di KBBI. Konon, ini adalah akronim dari budak cinta yang dipopulerkan pertama kali oleh duo Youtuber kondang, Jovial dan Andovi da Lopez. Bahasa prokem tersebut disematkan oleh keduanya untuk orang-orang yang kelewat tunduk kepada pasangannya dengan dalih bersikap romantis atau “aku mencintainya sepenuh hati”. Alhasil, mereka pun rela melakukan apa saja demi sang pasangan sampai-sampai mengesampingkan logika dan hati. Sungguh menyedihkan. Berhubung istilah ini masih kerap digunakan oleh muda-mudi masa kini, bahkan sebetulnya sangat relevan dengan problematika percintaan banyak orang, Jovial pun tercetus satu ide untuk memonetisasinya lebih lanjut. Bagaimana kalau istilah ini dikembangkan menjadi sebuah cerita panjang? Lebih-lebih, teman baiknya sesama Youtuber, Chandra Liow, sedang membutuhkan skrip film untuk debut penyutradaraannya usai mencicipi karir akting yang tergolong sukses melalui Single (2015) dan Hit & Run (2019). Dari sini, dua content creator yang memutuskan berkolaborasi untuk kesekian kalinya ini lantas menghasilkan film komedi bertajuk Bucin –  atau Whipped untuk peredaran internasional – yang tadinya direncanakan untuk edar di bioskop. Tapi setelah dunia diterpa pandemi Covid-19, film produksi Rapi Films ini pun diserahkan kepada Netflix dan hamba merasa sangat beruntung tidak menyaksikan Bucin di layar lebar.

October 2, 2020

REVIEW : GURU GURU GOKIL

“Di dunia ini, gue paling suka uang.”

Guru Guru Gokil adalah salah satu film Indonesia yang hamba nanti-nantikan kehadirannya di awal tahun ini. Alasannya sederhana saja, Dian Sastrowardoyo tidak pernah mengecewakan saat diminta untuk ngebanyol. Keputusannya untuk turut menduduki kursi produser, kian menguatkan ekspektasi mengingat Mbak Dian terhitung sebagai aktris yang selektif dalam memilih konten. Mudahnya, film ini tidak akan main-main secara kualitas penggarapan. Bahkan saat pandemi Covid-19 kian meluas yang menyebabkan jaringan bioskop di Indonesia berhenti beroperasi untuk sementara waktu, film garapan Sammaria Simanjuntak (Demi Ucok, Cin(t)a) ini dipinang oleh raksasa streaming Netflix dan memperoleh kesempatan untuk diedarkan secara luas ke seluruh dunia dengan banderol “Netflix Original”. Itu artinya, ini adalah film Indonesia kedua yang mendapat kehormatan tersebut usai The Night Comes for Us (2018). Belum apa-apa, sudah terdengar menggiurkan, to? Terlebih materi yang diusung sejatinya memang menggiurkan yakni seputar sepak terjang para pahlawan tanpa tanda jasa yang dihidangkan menggunakan pendekatan komedi. Sepintas lalu, film ini punya komposisi yang terlihat tidak mungkin salah di atas kertas. Ditambah kehadiran Gading Marten yang dikenal luwes kala ngelaba di garda terdepan pemain, Guru Guru Gokil seolah menjanjikan sajian komedi lucu nan menginspirasi yang ternyata oh ternyata… tidak pernah terealisasi.

October 1, 2020

REVIEW : MUDIK (2020)

“Mau sampai kapan kita kayak gini? Kamu nggak bisa terus-terusan lari kayak gini.”

Perjalanan pulang kampung saat libur Lebaran seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi anak rantau. Bisa melepas rindu dengan tanah kelahiran, bisa memeluk hangat orang tua, dan bisa bersenda gurau dengan saudara-saudara kandung. Meski obrolan basa-basi kala halal bi halal seringkali bikin capek hati, tapi hidangan khas beserta acara kumpul-kumpulnya dengan keluarga yang mungkin jarang ditemui itu ngangenin. Tentu dengan catatan, tidak ada perang dingin yang tengah bergelora. Apabila ada masalah besar yang titik terangnya belum kunjung terlihat, mudik pun serasa perjalanan menuju neraka. Menyiksa jiwa dan raga. Tengok saja pasangan suami istri, Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudya), yang selama perjalanan menuju ke kampung halaman tak pernah sekalipun terlihat cerah ceria berseri-seri. Mereka enggan untuk saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain karena mereka sama-sama tahu, membuka mulut sama artinya dengan memulai medan pertempuran. Alhasil, penonton Mudik atau Homecoming arahan Adriyanto Dewo (Tabula Rasa) pun ikut menyusuri rute Jakarta-Jogja dengan perasaan yang tidak mengenakkan lantaran Firman dan Aida adalah karakter sentral dalam film ini. Alih-alih menunggangi pesawat terbang atau kereta api yang bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan, keduanya justru memilih untuk mengendarai mobil pribadi yang menjadikan 8 jam seperti selamanya.

September 24, 2020

REVIEW : TIMMY FAILURE MISTAKES WERE MADE

“If you love what you do, you gotta fight for it.”

Diangkat dari buku kanak-kanak rekaan Stephan Pastis, Timmy Failure: Mistakes Were Made menyoroti tingkah polah seorang bocah berusia 11 tahun, Timmy Failure (Winslow Fegley), yang mempunyai imajinasi tanpa batas. Tinggal bersama sang ibu, Patty (Ophelia Lovibond), di pinggiran kota Portland, Timmy yang menjalankan agensi detektif swasta bernama Total Failure Inc. ini menganggap dirinya sebagai detektif kelas wahid. Rekannya pun tidak tanggung-tanggung, seekor beruang kutub bernama Total yang konon terdampar di kampung halamannya selepas es di Kutub Utara mulai mencair akibat pemanasan global. Timmy yang berulang kali menekankan “enggan bekerjasama dengan penegak hukum” sejatinya hanya mengambil kasus-kasus remeh seperti tas teman sekolahnya yang menghilang. Itupun bukan berdasar keinginan tulus sang klien, melainkan setelah si tokoh utama terus mendesaknya. Harapan Timmy untuk mendapatkan kasus yang benar-benar serius lantas muncul ketika segway milik Patty yang dikendarainya kemana-mana mendadak raib. Mengingat benda tersebut adalah satu-satunya barang yang dinilai berharga oleh sang ibu, maka tentu saja duo Timmy-Total harus bekerja keras untuk menemukannya. Dalam penelusuran, keduanya mencurigai keterlibatan mafia Rusia yang selama ini mengawasi setiap gerakan yang dilakukan oleh Timmy. Bahkan, ini mungkin ada kaitannya dengan teman sekelasnya yang dijuluki “The Nameless One”.

September 18, 2020

25 FILM HOROR PALING MENYERAMKAN DALAM 10 TAHUN TERAKHIR VERSI CINETARIZ

Saat berniat mengerjakan senarai “25 Film Horor Paling Menyeramkan Dalam 10 Tahun Terakhir”, saya sempat skeptis. Menurut daya ingat hamba yang pendek, tak banyak sajian seram yang membekas di hati. Tapi usai mencoba mengompilasinya dan memanfaatkan ingatan secara maksimal, ternyata oh ternyata… bergelimangan, euy. Pilihannya pun beragam, dari blockbuster, indie, sampai arthouse, dimana rata-rata memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus. Total jendral, ada lebih dari 50 judul yang berhasil saya kantongi dan putuskan untuk diseleksi kembali menjadi 25 besar. Syarat beserta ketentuannya pun tidak neko-neko – plus sangat subjektif – yakni seberapa kuat film-film tersebut membuat saya terhibur, terngiang-ngiang di benak sampai beberapa hari ke depan, serta tentu saja, bergidik ngeri. Oh, plus dirilis pada tahun 2010-2019.

Berhubung selalu ada perasaan “dibuang sayang”, maka senarai ini pun dimulai dengan…  

Honorable Mentions

# Crawl


Terjebak di dalam rumah saat banjir besar saja sudah ngeri, apalagi ditambah ditemani buaya.

# Gonjiam Haunted Asylum

Uji nyali di bekas rumah sakit yang dikenal angker itu namanya cari penyakit.

# Housebound

Ada yang lebih mengerikan dibanding gangguan gaib, orang tua yang ceriwis dan suka ikut campur.

# Last Shift

Jaga malam sendirian di kantor polisi jelas bukan tugas yang diinginkan oleh siapapun.

# Lights Out

Jangan pernah matikan lampu karena kamu tidak pernah tahu apa yang bersembunyi di balik kegelapan.

# Midsommar

Perjalanan spiritual seorang perempuan dalam mengenyahkan duka ternyata bisa sangat berbahaya.

# Pee Mak

Saat horor dan komedi bisa melebur dengan mulus, hasilnya adalah tontonan yang pecah.

# Ready Or Not

Jangan pernah anggap remeh permainan petak umpet apalagi saat melibatkan senjata berbahaya.

# Us

Bagaimana jadinya kalau ternyata punya “kembaran” yang amat sangat jahat?

# You're Next

Reuni keluarga yang canggung berubah menjadi medan pertempuran penuh pertumpahan darah hanya dalam seketika.

Lalu, inilah saatnya berlanjut ke para penghuni 25 besar…

#25 As Above So Below

Siapa menyangka di bawah gemerlap kota Paris tersembunyi sebuah “dunia” misterius yang dipenuhi jebakan dan ilusi mengerikan? As Above So Below adalah bukti bahwa konsep found footage masih belum kehilangan pesonanya terlebih saat dipadukan dengan materi mumpuni, sekaligus bukti bahwa kamu masih akan mendapati pengalaman menonton yang mendebarkan dari konsep ini.    

#24 We Are Still Here

Pada mulanya, We Are Still Here tampak seperti tontonan seram bertemakan haunted house biasa. Satu pasangan yang baru saja kehilangan anak mereka, pindah ke sebuah rumah tua reyot dan seketika mendapati hal-hal gaib mulai terjadi. Teror hantu-hantuan di paruh awal memang cukup membuat bulu kuduk berdiri, tapi keistimewaan film ini terletak pada babak pamungkasnya yang menggila.

#23 Sinister

Sejatinya, Sinister adalah horor klasik yang bermain-main di ranah rumah berhantu dengan trik penampakan usang. Yang kemudian menjadikannya sebagai tontonan pemberi mimpi buruk adalah atmosfernya yang benar-benar mengusik sedari menit pembuka. Saya masih belum bisa melupakan isi video rumahan yang menampilkan beberapa keluarga kala hendak dieksekusi. Bikin merinding.    

#22 The Invitation

Diundang ke rumah mantan istri dimana peristiwa traumatis pernah terjadi saja jelas tidak terdengar menyenangkan. Betul saja, si protagonis utama mulai mengendus adanya motif terselubung yang menjadikan setiap menit film ini menjadi semakin misterius, mencengkram, serta mencekam. Penonton dibuat bertanya-tanya, apakah kekhawatiran si protagonis ini masuk akal atau sebatas produk trauma?

#21 Terrified

Di pinggiran kota Buenos Aires, rentetan kejadian gaib menghinggapi beberapa rumah dan menciptakan kengerian yang menambat atensi sejak awal. Trik menakut-nakutinya dibangun secara efektif, terlebih saat melibatkan sesosok mayat yang duduk manis di meja makan. Bukan saja meninggalkan bayangan yang sulit dilupakan, tetapi juga rasa was-was lantaran kita tidak tahu apa yang mungkin diperbuatnya.

#20 Sebelum Iblis Menjemput

Timo Tjahjanto kembali dengan ciri khasnya melalui Sebelum Iblis Menjemput yang level kebrutalannya terbilang tinggi. Tanpa ampun, dia terus menerus menghajar penonton dengan teror sedari mula sampai penghujung durasi yang menjadikan kegiatan “menghembuskan nafas lega” mustahil untuk dilakukan. Lagipula, kapan lagi kita bisa melihat Pevita Pearce yang dikenal kalem berubah jadi zombie ganas?  

#19 Green Room

Green Room menghantarkan kita menuju sebuah bar di desa terpencil yang dipunyai kelompok militan neo-nazi. Belum apa-apa, sudah terdengar seperti sebuah tempat yang seharusnya dihindari. Saat satu band diundang tampil di sana dan mereka menjadi saksi pembunuhan, sisa durasi diisi permainan kucing-kucingan yang membuat diri ini pengap karena intensitasnya sanggup terjaga stabil.

#18 Hush

Hush memanfaatkan set dengan ruang gerak terbatas dan karakter inti yang hanya dua orang secara maksimal. Hasilnya, ketegangan tak berkesudahan yang membuat hamba kesulitan untuk memalingkan muka dari layar barang sejenak. Kita bersimpati pada sang target pembunuhan – seorang perempuan tuli yang hidup sendirian di tengah hutan – dan kita berharap dirinya dapat menaklukkan si pembunuh gila yang menyebalkan.

#17 Let Me In

Tidak banyak remake yang memiliki kualitas setara dengan materi sumbernya. Let Me In yang disadur dari film Swedia bertajuk Let the Right One In adalah salah satu yang nggak malu-maluin. Sajian horor yang mengedepankan narasi mengenai persahabatan manusia dengan vampir ini bukan hanya tampak cantik secara presentasi visual, tapi juga mempunyai sederet momen meneror yang memunculkan sensasi bergidik. Jangan-jangan, salah satu sahabatmu ternyata makhluk penghisap darah. Hiii…

#16 Munafik

Saat pertama menonton Munafik, hamba sama sekali tidak menyangka akan dibuat meringkuk. Disamping jump scares yang ditempatkan secara efektif, narasinya yang terasa dekat adalah alasan lain mengapa film ini bisa sedemikian mencekam. Tentang bagaimana orang-orang saleh menjauhi Tuhan dengan caranya masing-masing, dan tentang cara sang sutradara memvisualisasikan adegan kesurupan dimana iblis kebal terhadap lantunan ayat-ayat suci.

#15 The Autopsy of Jane Doe

Sesosok mayat tanpa identitas ditemukan dan penonton dibawa memasuki ruang otopsi yang berada di bawah tanah. Nuansa klaustrofobiknya terasa mencekat sementara kehadiran si mayat jelas sama sekali tidak membantu. The Autopsy of Jane Doe telah membuat penontonnya was-was hanya dari suasana, lalu si pembuat film menambahkannya dengan unsur supranatural yang menjadikan menit demi menitnya kian mencekam.  

#14 The Cabin in the Woods

Duo Drew Goddard dan Joss Whedon berhasil menampilkan teror klasik yang mencekam dengan balutan dialog berselera humor tinggi, sindiran-sindiran atas ramuan klise film horor, dan narasi yang tak mudah ditebak kemana akan bermuara di sini. 20 menit terakhir The Cabin in the Woods membuktikan betapa cerdasnya sang sutradara dalam membingkai sebuah kado istimewa untuk para penikmat tontonan seram.    

#13 The Babadook

Idenya menarik, mengenai memedi yang mencuat dari buku kanak-kanak dan meneror bocah yang membacanya. Desain si monster pun bikin bergidik ngeri dengan giginya yang runcing dan jari-jari tangannya yang panjang. Namun sumber kengerian utama The Babadook bukan berasal dari si monster, melainkan dari tokoh ibu yang belum bisa menerima kehilangan. Lukanya secara perlahan tapi pasti mendorong dia bertransformasi menjadi sosok beringas yang tak lagi dikenal oleh sang anak.

#12 Get Out

Mengunjungi rumah calon mertua boleh jadi memberi pengalaman menegangkan bagi beberapa orang. Oleh Jordan Peele, pengalaman ini dielaborasinya menjadi sajian horor menggigit dengan sentuhan komedi dan kritik sosial dimana istilah “too good to be true” berlaku. Melalui kacamata si tokoh utama, kita bisa merasakan adanya kejanggalan dari sikap pelayan, tamu, sampai si pemilik rumah yang tampak terlalu kaku maupun terlalu sempurna. Rasanya diri ini ingin teriak kepadanya, “cepat keluar dari sana!” 

#11 It: Chapter One

Jika saya adalah Stephen King, saya akan bangga sekali terhadap interpretasi termutakhir dari It ini. Bukan saja cakap dalam menggambarkan ikatan persahabatan para karakternya, It: Chapter One pun luwes dalam menggeber momen-momen menyeramkan yang menciutkan nyali. Sensasi yang diberikannya seperti tengah menjelajahi wahana rumah hantu; seru, menegangkan, sekaligus menyeramkan. Kita bisa berteriak-teriak, lalu ketawa-ketawa setelahnya. Plus, Pennywise bangke sekali di sini!

#10 A Quiet Place

Hidup tanpa boleh bersuara saja sudah menyiksa, apalagi ditambah adanya monster yang selalu siap siaga untuk menerkam setiap kali kamu bersuara. Bisa dibayangkan dong seperti apa tekanannya? Premis high concept ini berhasil diejawantahkan oleh John Krasinski melalui karya perdananya yang amat mencekam. Saking mencekamnya, A Quiet Place memungkinkan bagi penonton untuk ikut merasakan bagaimana sumpeknya hidup para keluarga di film ini termasuk merasakan sakitnya tertusuk paku yang merupakan salah satu villain terbaik dalam khasanah tontonan horor.  

#9 Doctor Sleep

Meski Doctor Sleep memiliki muatan laga cukup kental bak tontonan superhero dengan tampilan visual cukup imajinatif nan membangkitkan selera, film tetaplah menghembuskan kengerian yang bersumber dari nada pengisahan yang suram, tindakan sang villain dalam menyedot “uap” dari para pemilik kekuatan khusus yang didahului dengan siksaan keji, sampai referensi ke film pertama (The Shining) yang acapkali menyeramkan. Bagaimanapun juga, apapun yang melibatkan Hotel Overlook tidak akan pernah bisa menggoreskan imaji yang indah.    

#8 Pengabdi Setan

Jawaban dari tanya, “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih mencekam dibanding pendahulunya?,” memang akan sangat relatif. Namun bagi hamba secara pribadi, Pengabdi Setan versi anyar ini sanggup menimbulkan mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat seperti pada adegan lempar selimut, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu.

#7 Don’t Breathe

Don’t Breathe mempunyai setumpuk adegan yang memungkinkanmu berkeringat dingin, mengeluarkan sumpah serapah, dan kesulitan menghembuskan nafas lega lantaran daya cekamnya yang tidak main-main. Tanpa perlu diberi peringatan untuk “jangan bernafas”, hamba sudah terlebih dahulu menahan nafas karena bagaimana mau bisa bernafas lha wong film ini sedemikian mencekamnya. Saya hanya ingin tiga berandalan di sini bisa terbebas dari cengkraman si pria buta yang rupa-rupanya jauh lebih berbahaya dari yang diperkirakan.

#6 The Wailing

Bagaimana seandainya seorang misterius tiba-tiba datang ke desamu dan sejurus kemudian, wabah sulit terjelaskan melanda seantero desa? Pertanyaan berbau pengandaian tersebut jelas mengerikan saat betul terjadi, bahkan ketika sebatas kisah fiktif dalam The Wailing pun telah sanggup memberikan efek ngeri. Pemicunya adalah permainan atmosfer yang memicu kegelisahan, jalinan pengisahan sarat misteri yang memantik diskusi, serta faktor kedekatan. Tidak bisa disangkal, aktivitas berbau klenik mudah dijumpai di sekitar kita.

#5 Train to Busan

Kita bisa berteriak-teriak, “ayo lekas lari, lekas,” saat gerombolan zombie bersiap memangsa para karakter dalam Train to Busan. Kita ikut diliputi amarah membara tatkala salah seorang karakter egois bersama gerombolan hasutannya mengisolasi karakter-karakter yang tak sejalan pemikiran dengan mereka. Lalu, kita pun merasakan ketidakrelaan teramat sangat ketika satu persatu tokoh baik mulai terinfeksi. Kemampuan untuk melibatkan emosi secara penuh inilah yang membuat atensi penonton sanggup terpancang di sepanjang durasi yang berlangsung amat menegangkan. 

#4 Hereditary

Nada pengisahan yang depresif disertai imaji-imaji yang mengganggu (halo, kepala buntung!) adalah jalan yang ditempuh oleh Hereditary untuk menggoreskan trauma kepada penonton. Coba bayangkan kamu dibawa memasuki rumah minim penerangan, lalu dipertemukan dengan satu keluarga disfungsional yang tingkah polahnya senantiasa membuat gelisah, dan kita diperangkap di sana. Tentu, ini definisi sesungguhnya dari mimpi buruk apalagi jika kemudian kamu melihat ada yang terbakar dan merayap di dinding.

#3 Under the Shadow

Seringkali, saat kita bisa merasakan ada sesuatu yang salah tapi kita tidak dapat melihatnya, itu terasa lebih meneror lantaran ketidaktahuan mengenai apa yang sejatinya sedang dihadapi. Under the Shadow mempermainkan ketakutan dan imajinasi penonton dengan cara tersebut dimana keganjilan-keganjilan kerap dijumpai tanpa sumber yang pasti. Benarkah ada makhlus halus yang mengganggu si pemilik rumah? Kalaupun tak ada, film memiliki sumber teror lain yang ancamannya lebih nyata yakni bermukim di tengah zona perang dan pemerintah yang opresif.  

#2 The Conjuring / The Conjuring 2

Sulit untuk memilih salah satu karena dwilogi The Conjuring mempunyai kualitas setara dalam hal bercerita maupun menakut-nakuti. Saat diri ini mengira momen hide and clap dari jilid awal telah menetapkan standar tinggi dalam perkara meneror, babak kedua mempersembahkan sosok biarawati ikonik dan “menggubah ulang” satu dua tembang klasik menjadi lagu pengundang memedi. Alhasil, terlonjak, berteriak diikuti tawa gemas guna melepas cemas, sampai meringkuk manis di balik jaket atau bantal adalah reaksi yang sangat mungkin kamu alami kala menyaksikan dwilogi ini.  

#1 Insidious

Hal terbaik dari Insidious adalah saya tidak pernah memprediksi film garapan James Wan ini akan membuat hamba lemas tanpa daya di dalam bioskop. Terornya gila tidak main-main, Bung! Di kala kepercayaan terhadap sajian horor dari Negeri Paman Sam telah merosot drastis, film ini mengembalikannya dengan mempersembahkan tontonan seram yang memakai formula klasik: rumah berhantu. Kepiawaian sang sutradara dalam mengatur waktu dan trik penampakan adalah alasan utama mengapa setiap jump scares yang kamu jumpai di sini terasa tepat guna. Tak ada yang mubazir, semuanya efektif dalam merontokkan bulu kuduk apalagi ditambah sokongan iringan musik biadab dari Joseph Bishara. Perlu diingat, film inilah yang menciptakan tren berwisata ke dunia astral dalam banyak tontonan horor setelahnya.

Apakah kamu mempunyai film favorit yang tidak tercantum dalam daftar di atas? Mari dibagi lewat komen.

Mobile Edition
By Blogger Touch