February 18, 2020

REVIEW : LITTLE WOMEN


“Women have minds and souls, as well as hearts, ambition, and talent, as well as beauty. I'm so sick of being told that love is all a woman is fit for. But… I am so lonely.”

Novel Little Women rekaan Louisa May Alcott yang dirilis pada tahun 1868 memang memiliki jalinan pengisahan yang sederhana. Narasinya mengetengahkan pada proses pendewasaan diri dari empat putri keluarga March di masa berlangsungnya Perang Sipil Amerika Serikat. Akan tetapi, justru kesederhanaannya inilah yang membuat novel tersebut memperoleh sertifikat “klasik”, seraya merebut hati khalayak ramai lintas generasi. Terlebih lagi, jajaran karakternya terasa membumi sehingga banyak pembaca mampu teresonansi dengan lika-liku persoalan yang mereka hadapi, dan topik pembicaraan yang diapungkan oleh si penulis pun akan tetap relevan sampai kapanpun. Mengenai keluarga, cinta, mimpi, pengorbanan, sampai kemanusiaan. Menilik betapa langgengnya konten dari Little Women – plus seberapa universalnya kisah yang disampaikan – tak heran jika kemudian para sineas Hollywood terus mengekranisasinya dari era ke era. Total jendral ada tujuh versi telah dicipta dimana sejumlah bintang besar turut berpartisipasi di setiap versi seperti Katharine Hepburn (1933), Elizabeth Taylor (1949), hingga kombinasi Winona Ryder-Kirsten Dunst-Claire Danes di tahun 1994. Upaya terbaru untuk melestarikan warisan Alcott dengan cara memperkenalkan cerita ini ke generasi muda ditempuh oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Lady Bird) melalui film berjudul sama persis, Little Women, yang sekali ini menggaet Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Timothee Chalamet, Laura Dern, serta Meryl Streep. Sebuah jajaran pemain ansambel yang memberi kita satu definisi dari kata “menggiurkan”.

Dalam adaptasi termutakhir dari Little Women ini, kita kembali dipertemukan dengan empat bersaudari dari keluarga March; Meg (Emma Watson), Jo (Saoirse Ronan), Beth (Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh). Selepas perginya sang ayah ke medan tempur guna berpartisipasi dalam Perang Sipil, keempat kakak adik ini tinggal di rumah bersama ibu mereka, Marmee (Laura Dern), dengan kondisi finansial serba pas-pasan. Guna menopang perekonomian keluarga, Meg pun bekerja sebagai guru bagi satu keluarga kaya sementara Jo menemani bibinya yang berlimpah harta, Aunt March (Meryl Streep). Keadaan keuangan yang terbilang cukup memprihatinkan ini nyatanya tak menghentikan Marmee untuk menebar kebahagiaan serta kebaikan kepada sesama dengan berbagi. Pada satu hari Natal, Marmee bahkan mengajak putri-putrinya ini untuk membawa hidangan yang tersuguh di meja ke rumah tetangga mereka yang miskin dan kelaparan. Aksi sosial yang dilakukan oleh keluarga March ini secara diam-diam menarik perhatian dari Laurie (Timothee Chalamet), cucu dari seorang kaya yang tinggal di seberang rumah. Demi menunjukkan apresiasi, Laurie beserta sang kakek pun menghadiahi mereka berupa hidangan mewah yang sekaligus menjadi awal mula pertemanan antara keluarga March dengan keluarga Laurence. Hubungan dua keluarga yang semakin erat ini turut ditandai dengan semakin mesranya Jo dan Laurie yang lantas mendorong si bocah kaya tersebut untuk menyatakan rasa. Dilingkupi kegalauan serta keraguan mengenai perasaannya, Jo memilih menghindar yang membuat persoalan menjadi kian kompleks pada tujuh tahun berikutnya.


Pada dasarnya, tidak ada perubahan berarti dari guliran pengisahan Little Women (yang mana tidaklah diperlukan) kecuali pada konklusi yang tidak akan saya jabarkan demi menghormati mereka yang belum menonton, dan gaya penyampaian yang dirombak cukup signifikan. Alih-alih bertutur secara linear selaiknya materi sumber maupun versi adaptasi terdahulu, Mbak Gerwig memilih untuk melantunkan film yang naskahnya turut dia tulis ini menggunakan teknik maju mundur nan tsantik. Penonton dikondisikan untuk menyelami kehidupan para perempuan keluarga March dalam dua fase berbeda, remaja dan dewasa. Guna menghindarkan dari kebingungan – atensi penuh tetap dibutuhkan di sini – maka si pembuat film bersama sang sinematografer, Yorick Le Saux, pun mengandalkan gradasi warna beserta tampilan fisik para karakter sebagai penanda waktu. Di masa lampau, warna yang ditimbulkan cenderung hangat mengikuti riuhnya keceriaan yang melingkungi para gadis remaja. Sedangkan untuk masa kini, warnanya memberikan kesan dingin untuk memberi penekanan kepada raibnya gegap gempita akibat dirundung ujian kehidupan. Para remaja ini telah bertransformasi menjadi perempuan dewasa, dan pendewasaan diri tidak pernah terasa mudah. Ada jalan terjal yang mesti ditempuh, ada kehilangan tak diinginkan yang menyapa, serta ada pula luka mendalam yang harus dipulihkan. Berkat kecakapan Gerwig dalam bercerita plus kecekatan Nick Houy selaku editor dalam menyatukan dua lini penceritaan berbeda, penonton dapat menyadari adanya jukstaposisi kehidupan para karakter inti di era sekarang dan era lampau. Bagi mereka yang tak mengetahui narasi materi sumbernya, penyampaian semacam ini memungkinkan untuk membangkitkan keingintahuan mengenai apa yang akan terjadi dan apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Beruntunglah, Little Women disokong pula oleh performa bernyawa dari setiap pelakonnya. Sebagai pemain di garda terdepan, Saoirse Ronan bersinergi dengan karakter Jo yang ambisius, pekerja keras, temperamen, namun menyimpan afeksi tinggi kepada keluarganya. Kita bisa bersimpati penuh kepada sosoknya meski ada kalanya muncul rasa sebal kala dirinya kesulitan untuk mengontrol amarahnya yang kerap meletup-letup. Pun begitu, kemarahannya inilah yang memunculkan interaksi berharga dengan Marmee dimana saya disentil sekaligus diingatkan kembali mengenai kesabaran. Bahwa menjadi pribadi sabar bukanlah perkara mudah yang bisa diterapkan seketika, melainkan membutuhkan proses panjang dan tekad tangguh untuk mewujudkannya. Seperti Emma Watson dan Eliza Scanlen sebagai dua saudari yang tampak paling bijak, Laura Dern pun bermain hangat sebagai seorang ibu yang tidak pernah lelah melontarkan wejangan-wejangan menyejukkan hati kepada putrinya dan penonton. Dari karakter yang dimainkannya lah kita mendapati serangkaian pesan untuk didengar, dihayati, lalu diimplementasikan. Bukan hanya soal kesabaran, Marmee turut mengajak kita untuk memperbincangkan tentang keluarga, cinta, serta kemanusiaan. Lewat obrolan-obrolan ini pulalah penonton diingatkan mengenai satu faktor yang membesarkan Little Women sehingga membuatnya layak dikenang sampai kapanpun. Alih-alih menyesaki kisah dengan ratapan kenelangsaan – mengingat barisan karakternya dikisahkan tengah jatuh miskin – Alcott menghamparkan narasi penuh optimisme dan kebaikan. Memang betul bahwa beberapa karakter sempat pula bermuram durja. Tapi bukankah itu bagian dari kehidupan? Itulah yang menjadikan hidup terasa berwarna, itu pula yang menjadi cerita ini terasa dekat nan nyata. Mereka bergembira, mereka juga bersedih selaiknya manusia kebanyakan.


Little Women tak saja membuat kita meneteskan air mata, tapi juga membuat kita tertawa, tersenyum, hingga sebal bukan kepalang. Perkara bikin sebal, itu disebabkan oleh akting Timothee Chalamet sebagai Laurie yang memesona, Meryl Streep sebagai bibi yang sinis, dan Florence Pugh sebagai Amy si bungsu yang manja. Karakter Laurie sempat membuat hamba merasa jengkel selepas dicampakkan oleh Jo. Dia menjelma menjadi pribadi tak bertanggung jawab yang seketika memunculkan pemikiran, “hmmm… jangan-jangan keputusan Jo sejatinya tepat. Dia melihat Laurie sebagai lelaki yang hanya mencari kesenangan semata tanpa pernah berkeinginan untuk bekerja keras.” Namun tak bisa disangkal, pesonanya sungguh kuat sampai-sampai tak ada keraguan sedikitpun kalau dia mampu membuat para perempuan klepek-klepek utamanya Jo dan Amy. Karakter Amy yang dimainkan dengan sangat mengesankan oleh Florence Pugh – dia mencuri perhatian di setiap kemunculannya! – bisa dibilang menyimpan kompleksitas senada seperti halnya Jo. Pada mulanya, dia adalah remaja yang manja, keras kepala, serta tidak tahu diri. Karakteristik yang acapkali mengiringi anak bungsu. Ketegaannya membakar manuskrip novel sang kakak jelas menjadi satu momen yang membuat kita ingin mengutuknya keras-keras. Belum lagi, dia pun tampak ingin merebut perhatian Laurie yang seketika menempatkannya sebagai villain utama dalam film tanpa karakter antagonis ini. Namun seiring terungkapnya permasalahan dan seiring bertambahnya usia, penonton bisa melihat sisi lain dari Amy yang dewasa nan bijaksana. Tanpa disangka-sangka, kita mendengarnya berpidato panjang lebar mengkritisi pernikahan yang dinilainya menghamba pada patriarki. Tanpa disangka-sangka pula, kita melihatnya memberi satu saran besar untuk masa depan Jo. Dari sini kita bisa memahami bahwa Amy merupakan karakter yang dibentuk secara manusiawi seperti halnya karakter-karakter lain dalam Little Women, dan itu memberi kita satu alasan lain mengapa cerita ini (plus film ini) memang layak untuk dicintai. Sebuah film yang sangat indah dan perlu untuk ditonton.

Outstanding (4,5/5)


4 comments:

  1. maaf, wa masih tetap ga suka Amy. Dia ga semenderita sodari2nya yang lain. Seperti kata Jo, she have talent to avoid the hardest part.

    Dan Laurie should be with Jo. He is her significant other.

    No debat. Trims ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Tapi begitulah privilege yang dipunyai anak bungsu. Bisa sering terbebas dari masalah terberat di keluarga.

      Delete
  2. Aku jatuh cinta sama lauriee 😍😍

    Buatku agak bosen film ini mas, wkwk. Mungkin emang aku ga suka banget sama cerita klasik 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kamu memang beneran nggak cocok sama film adaptasi novel klasik 😂

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch