April 30, 2020

REVIEW : THE WILLOUGHBYS


“All I wanted was a great family.”

Di awal film, seekor kucing bermulut tajam (disuarakan oleh Ricky Gervais) telah memberi peringatan kepada para penonton bahwa The Willoughbys bukanlah tontonan keluarga yang konvensional. Dia berujar, “jika kamu menyukai kisah tentang keluarga yang tetap bersama serta saling menyayangi dalam suka dan duka lalu semuanya berakhir bahagia selamanya, ini bukan film untukmu. Paham?” Suatu pengantar yang sejatinya diperkenalkan oleh Lemony Snicket’s A Series of Unfortunate Events – dan kemudian menjadi ciri khas bagi franchise tersebut – yang sedari awal mewanti-wanti untuk tak mendamba guliran pengisahan yang riang gembira karena si pengarang membawanya ke ranah lebih gelap. Tak sepenuhnya bermuram durja atau sarat akan tangis kepiluan tentu saja mengingat bagaimanapun juga sasaran utamanya adalah seluruh keluarga. Hanya saja, penonton cilik butuh bimbingan untuk melahap kontennya yang berisi humor-humor nyeleneh bertabur sarkasme dan narasi yang melibatkan isu-isu “mengerikan” seperti kriminalitas, kematian, sampai pembunuhan. The Willoughbys yang sedikit banyak mengingatkan pula kepada The Addams Family ini menyodorkan ketiga isu tersebut dengan premis yang membuat hamba terperanjat saking gelapnya. Disadur dari novel bertajuk sama rekaan Lois Lowry, film membawa pengandaian berbunyi, “bagaimana jika menjadi yatim piatu adalah jalan terbaik bagi anak-anak untuk mendapatkan kebahagiaannya?” yang sudah barang tentu bukan sesuatu yang lazim bagi film animasi untuk segala usia.

The Willoughbys memperkenalkan kita pada keluarga Willoughby yang dahulu kala memiliki nenek moyang yang dikenal penuh kehangatan, gemar berpetualang, serta memberikan sumbangsih besar pada ilmu pengetahuan. Akan tetapi, setelah beberapa generasi, satu-satunya DNA tersisa dalam keluarga ini adalah rambut berwarna merah yang menyerupai benang rajut. Bapak dan Ibu Willoughby (Martin Short beserta Jane Krakowski) lebih gemar mengisolasi diri di ruang tamu seraya saling bercumbu rayu dan merajut ketimbang berpetualang atau melakukan percobaan ilmiah. Parahnya lagi, meski keduanya tampak saling mencintai, mereka sama sekali tak membagikan cinta untuk keempat anak mereka; Tim (Will Forte), Jane (Alessia Cara), serta si kembar Barnaby (Sean Cullen). Usai menemukan bayi yang ditelantarkan di depan rumah pada suatu malam, keempat bocah ini lantas mendapat ide untuk memperoleh kebahagiaan yang selama ini diidamkan dengan mengenyahkan kedua orang tua mereka. Caranya, mengirim sang ayah dan sang ibu dalam perjalanan wisata berbahaya dimana maut mengintai setiap saat. Para bocah ini berharap, si orang tua akan tewas dalam perjalanan ini dan mereka pun menjadi yatim piatu. Sebuah harapan yang janggal ya? Dua orang tua yang luar biasa egois tersebut toh pada akhirnya bersedia pergi berlibur dan keduanya menitipkan anak-anak mereka pada seorang pengasuh “tak kompeten” bernama Linda (Maya Rudolph). Meski para bocah mulanya curiga dengan kehadiran si pengasuh, nyatanya mereka justru menemukan makna keluarga yang sesungguhnya dari Linda.


Menonjolkan kesan sebagai film keluarga tak biasa mengikuti premisnya yang terbilang gulita, The Willoughbys nyatanya tak benar-benar memboyong penonton ke dalam rangkaian adegan yang berpotensi mencuat dalam mimpi buruk. Segalanya masih bisa ditolerir kecuali fakta bahwa kedua orang tua dalam film ini teramat egois kepada anak-anak mereka sampai pada tahap enggan menyediakan makanan layak santap di meja makan. Jika berani menggugat, maka bersiaplah untuk dikirim ke ruang bawah tanah penuh batu bara. Keji, bukan? Sebuah pemantik konflik yang sejatinya menarik perhatian, sama halnya dengan visi Kris Pearn selaku sutradara dalam memvisualisasikan tampilan fisik keluarga Willoughby – mengandung warna merah serta kumis melintang ala Pak Raden. Yang kemudian menjadikan percikan api yang telah dipantik ini agak meredup adalah, laju pengisahannya tak selalu mulus. Ingat soal misi untuk mengenyahkan kedua orang tua sehingga para bocah Willoughby dapat hidup tentram dengan menjadi yatim piatu? Well, penonton baru akan mendapatinya setelah film menapaki menit ke-30. Itupun setelah dijejali sebuah subplot kurang menggairahkan menghadirkan dua karakter diluar keluarga, seorang bayi dan pemilik pabrik permen, yang motif keberadaannya semata-mata agar para bocah bisa keluar dari rumah mereka. Keduanya tahu-tahu muncul, tahu-tahu menghilang entah kemana, lalu tahu-tahu muncul lagi. Tak pernah benar-benar menambah bobot ke dalam pengisahan, kecuali turut berkontribusi pada melambatnya alur yang membuat durasi sepanjang 90 menit acapkali terasa lebih panjang dari semestinya... kecuali saat film memasuki babak klimaks yang anehnya justru amat bergegas. Duh.

Ya, The Willoughbys memang terhadang problematika berupa laju penceritaan dengan intensitas naik turun serta ramainya konflik yang belakangan melibatkan antagonis lain yakni Layanan Anak Yatim yang dandanannya menyerupai agen Men in Black. Yang kemudian menyokong film agar tetap menjerat penonton sampai akhir – selain visual warna-warninya yang boleh jadi disukai penonton cilik – adalah kapabilitas para penyulih suara. Berterimakasihlah kepada Ricky Gervais, berterimakasihlah kepada Maya Rudolph, berterimakasihlah kepada Will Forte, dan berterimakasihlah kepada Martin Short beserta Jane Krakowski yang energinya menjadikan karakter-karakter mereka terasa memiliki nyawa. Tanpa para komedian-komedian kelas wahid ini, diri ini enggan membayangkan apa jadinya The Willoughbys karena rentetan humor bernada agak gelap yang dilontarkannya pun acapkali meleset dari sasaran. Mengurungkan rencana untuk membuka mulut lebar-lebar akibat tawa, dan menyisakan realita berupa wajah dengan ekspresi datar. Saya pribadi tak akan menyebut film ini buruk, bahkan masih bersedia merekomendasikannya kepada penggemar tontonan animasi untuk disimak selagi senggang. Apalagi hamba masih menjumpai beberapa momen mengasyikkan seperti trik mengusir calon pembeli rumah menggunakan jebakan-jebakan "maut" atau montase yang menampilkan orang tua terbebas dari marabahaya kala berpetualang berkat kekuatan cinta. Hanya saja, menilik betapa menggugah dan uniknya premis yang disodorkan dimana tawa, air mata, serta kegembiraan dimungkinkan untuk hadir sepanjang waktu, cukup disayangkan The Willoughbys berakhir menjadi sajian generik yang mudah menguap dari ingatan.

Note : Ada satu adegan bonus di penghujung end credit.

Acceptable (3/5)


2 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch