May 12, 2020

REVIEW : LOVE YOU TO THE STARS AND BACK


“Nothing is sure. But sometimes, you just have to believe.”

Love You to the Stars and Back adalah film percintaan yang menggemaskan. Tipe tontonan romantis yang akan membuatmu tersenyum-senyum setiap kali menyaksikan interaksi dua sejoli utama serta sesekali menyeka air mata haru. Tapi mendeskripsikan film arahan Antoinette Jadaone – dia juga menggarap That Thing Called Tadhana (2014) dan Never Not Love You (2018) yang wajib simak – ini semata-mata dengan kata “menggemaskan” kok rasanya agak mengecilkan filmnya itu sendiri ya? Kata tersebut jelas tidak bersinonim erat dengan makna peyorasi dan pada dasarnya sudah cukup untuk menegaskan bahwa film yang hamba maksud telah menggoreskan kesan sangat baik di hati. Hanya saja, Love You to the Stars and Back bukanlah sebuah sajian romansa untuk remaja yang picisan dimana selama durasi mengalun kita dihadapkan pada narasi bertemakan “benci jadi sayang” atau “teman jadi cinta” semata bertabur dialog-dialog puitis melenakan. Jadaone mengupayakan agar karyanya ini berbicara lebih dari itu dengan mengedepankan topik yang serius, realistis, serta relevan bagi banyak pihak. Tentang bagaimana manusia memandang kehidupan, berdamai dengan duka yang menganga, sampai menilai kematian sebagai solusi terbaik dalam menuntaskan problematika yang melilit. Berat? Kedengarannya memang demikian, sampai kamu memutuskan untuk menonton filmnya sendiri yang menghadirkan warna pengisahan (ehem) menggemaskan dibalik narasinya yang sejatinya mempunyai warna bertolak belakang.

Guna menggulirkan penceritaan dalam Love You to the Stars and Back, penonton dipertemukan dengan sepasang muda-mudi yang memiliki karakteristik berseberangan; Mika (Julia Barretto) yang senantiasa spaneng dan Caloy (Joshua Garcia) yang santuy. Keduanya berjumpa di tengah padang ilalang saat sama-sama sedang buang hajat. Perjumpaan yang nyeleneh ini lantas berlanjut menjadi perjalanan bersama lantaran mobil yang dikendarai Mika tanpa sengaja melindas kaki Caloy. Merasa bersalah, Mika pun memberinya tumpangan. Dalam babak perkenalan antara dua tokoh ini, kita bisa mengetahui tujuan mereka dalam melakoni road trip yakni Mika hendak berkelana ke Mt. Milagros demi menyerahkan diri kepada alien, sementara Caloy berencana untuk menemui ayah kandungnya yang tak pernah ditemuinya sepanjang hidup. Tunggu, tunggu sebentar… alien? Ini bukan fiksi ilmiah kok karena alien sendiri sebentuk perumpaan untuk menggambarkan kematian. Mika masih belum bisa menerima kepergian ibunya dan dia berharap, alien dapat mempertemukannya dengan sang ibu. Caloy yang mulanya menertawakan, perlahan mulai memahami alasan teman seperjalanannya itu terlebih dia juga dekat dengan kematian. Divonis mengidap leukemia, Caloy diperkirakan tidak akan bertahan lebih dari dua belas bulan. Itulah mengapa di sisa-sisa hidupnya, dia nekat menempuh perjalanan panjang yang tanpa disangka-sangka justru memperkenalkannya pada cinta sekaligus memberinya perspektif baru mengenai kehidupan dan kematian.


Ditengok sepintas dari sinopsis, terendus indikasi Love You to the Stars and Back bakal mengarah ke ranah melodrama. Jika kamu berpikir demikian, well… tidak sepenuhnya salah. Paruh akhir durasi khususnya di 30 menit jelang tutup durasi, Jadaone mengobrak-abrik emosi penonton sedemikian rupa melalui kenelangsaan yang mendadak menerjang dua tokoh utamanya. Keduanya seolah telah menemukan kebahagiaan yang diinginkan sampai kemudian harapan terhempas dari genggaman mereka. Iringan musiknya yang membahana memang memberi kesan manipulatif dan seolah berusaha terlalu keras agar kita bercucuran air mata. Ini sebetulnya menyebalkan apabila film tak pernah sanggup membuat penonton teresonasi dengan nasib karakter intinya. Akan tetapi, berkat simpati yang telah terpatri sedari awal kepada Caloy maupun Mika, hamba pun tidak berkeberatan dan bahkan tanpa disadari telah menarik satu dua tissue seraya berharap si pembuat film akan mendengungkan kabar baik di babak pamungkas. Saya tak semata-mata ingin melihat mereka dipersatukan sebagai pasangan, melainkan lebih kepada berharap mereka dapat berbahagia usai duka lara yang merundung. Mereka adalah anak-anak muda berhati mulia yang sangat layak mendapatkan kebahagiaan dan cinta kasih yang tulus. Kesimpulan tersebut hamba peroleh lewat interaksi lekat yang mencuat di satu jam sebelumnya yang penuh energi ketika mereka masih berusaha untuk saling mengenal, saling memahami, sampai kemudian percikan-percikan asmara perlahan mulai timbul.

Performa apik dari Julia Barretto dan Joshua Garcia (keduanya pernah berkolaborasi dalam Vince and Kath and James (2016) yang cheesy tapi menyenangkan) memungkinkan bagi saya untuk bisa jatuh hati kepada karakter yang mereka mainkan. Sosok Mika mulanya memang tampak menyebalkan dengan segala kemarahannya, tapi kita bisa mengerti darimana munculnya ledakan-ledakan tak perlu itu. Sedangkan Caloy, dia sudah diposisikan sebagai pencair bagi Mika dengan segala tingkah polahnya yang menenangkan nan menyenangkan meski ada luka yang dipendamnya dalam-dalam. Keduanya mendapat penulisan karakter yang menarik dari Jadaone – ya, dia menggarap skenarionya sendiri – dan dialog-dialog yang menyertainya pun tak kalah apik. Perbincangan antara dua protagonis di Love You to the Stars and Back dimulai dari pertengkaran remeh temeh yang mungkin tidak pernah terlintas di pikirkanmu sebelumnya. Berpegang pada konsep “nothing is impossible”, Mika percaya bahwa kerbau dapat memakan manusia dan Caloy berusaha mendebatnya. Alih-alih menerima cara pandang satu sama lain, perdebatan ini lantas melibatkan seorang pejalan kaki yang memantik momen lucu nan heboh. Sembari “memelihara” seekor ayam, topik obrolan dalam perjalanan panjang dua tokoh ini secara perlahan tapi pasti mengalami eskalasi ke arah lebih serius. Utamanya selepas keduanya mengetahui bahwa mereka dipersatukan oleh kematian dalam perjalanan ini. Si cewek ingin mengakhiri hidupnya, dan si cowok ingin mendayagunakan sisa umurnya yang pendek semaksimal mungkin.

Tentu saja, mengingat bagaimanapun juga Love You to the Stars and Back berada dibawah payung romansa, film tak luput dari momen-momen manis yang menggemaskan (seperti saya singgung di paragraf awal). Itu muncul melalui percakapan Mika-Caloy dimana ada kalanya disisipi godaan-godaan kecil dari Caloy yang bikin Mika salah tingkah. Begitu juga dengan penonton. Ikatan kimia yang kuat diantara keduanya dapat memunculkan keyakinan bahwa rasa sayang dan peduli memang sudah muncul, sehingga menyaksikan dua karakter ini menghabiskan waktu bersama-sama jelas terasa menyenangkan. Kita ikut terbahak bersama mereka, kita ikut bersemangat bersama mereka, dan kita pun ikut menyeka air mata bersama mereka. Saking senengnya, saya sampai berharap durasi tak buru-buru selesai karena masih ada keinginan untuk mendengar dua sejoli ini bercakap-cakap soal masa depan, kehidupan, dan cinta seraya saling goda satu sama lain. Ciamik!

(Bisa ditonton secara legal di iflix)

Outstanding (4/5)


2 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch