Pages

August 29, 2011

REVIEW : DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH


"Sampai kapanpun, emas takkan setara dengan loyang dan sutra tak sebangsa dengan kapas." - Emak

Seandainya saja product placement (iklan dalam film) tidak berseliweran kesana kemari. Seandainya saja tidak ada dubbing yang menggelikan. Seandainya saja subtitle Inggris yang disisipkan tidak ngawur dan menggunakan susunan gramatikal yang baik. Seandainya saja aksentuasi para tokoh patuh pada setting tempat. Seandainya saja tulisan 'based on Buya Hamka's novel' pada poster dihilangkan dan diganti menjadi 'adaptasi bebas'. Seandainya saja tidak ada sesumbar yang mengatakan bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah diberi kucuran dana raksasa sebesar Rp 25 Miliar dan digadang-gadang sebagai 'Titanic versi Indonesia'. Di Bawah Lindungan Ka'bah mungkin saja menjadi film yang memuaskan banyak kalangan. Seperti yang diucapkan Emak (Yenny Rachman) kepada Hamid (Herjunot Ali), "makin tinggi harapan, makin sakit jatuhnya." Dengan janji-janji manis yang ditawarkan, tentu tidak mengherankan jika kemudian penonton berharap banyak terhadap karya terbaru Hanny R. Saputra ini. Apalagi versi novelnya merupakan salah satu karya sastra lokal terbaik dari salah satu sastrawan terbaik dalam angkatan pujangga Balai Pustaka. Ekspektasi pun membuncah.

Pada tahun 1981, Asrul Sani telah mengadaptasi bebas novel Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film berjudul Para Perintis Kemerdekaan. Alih-alih memilih untuk setia 100% pada novel Hamka tersebut, film justru dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah tanpa menghilangkan esensi dari cerita. Misi Asrul Sani berjalan sukses dan dihadiahi banyak puja puji dari berbagai kalangan. Hanny R. Saputra tidak mengikuti jejak Asrul Sani dan tetap teguh pada ciri khasnya. Dibantu oleh dua penulis skenario langganannya, Armantono dan Titien Wattimena, Di Bawah Lindungan Ka'bah menjelma menjadi sebuah film metal alias mellow total. Sepanjang durasi film, saya mencatat hanya ada satu adegan Hamid dan Zainab (Laudya Cynthia Bella) yang tak melibatkan air mata, yakni ketika mereka saling sapa dari balik pagar kayu. Sialnya, adegan yang seharusnya bisa manis itu tercoreng lantaran durasinya yang kelewat lama dan dubbing yang sangat kasar. Saya pun langsung mual dibuatnya.


Menerjemahkan sebuah novel dengan halaman yang tipis (konon, novel Hamka ini hanya setebal 66 halaman) ke dalam layar lebar sama susahnya dengan mengejewantahkan tulisan beratus-ratus halaman. Untuk mengakalinya, Armantono dan Titien pun menambahkan sejumlah konflik yang tidak ditemukan dalam novel. Konflik yang sangat dramatis, menghadirkan kenyataan hidup yang pahit. Bagaimanapun juga, Hamid dan Zainab tidak akan pernah bisa disatukan. Plot kreasi duo penulis naskah ini diyakini mampu menguras air mata penonton. Tak peduli sekonyol apapun pengarahan Hanny R. Saputra dan bagaimana logika penonton tersakiti, air mata penonton perempuan akan tetap tumpah. Bukan bermaksud genderisasi, namun seperti inilah kenyataannya. Saya menyaksikannya sendiri. Begitu pula ketika saya menyaksikan film dengan dramatisasi yang gagal, Surat Kecil Untuk Tuhan. Walau begitu, Di Bawah Lindungan Ka'bah tercatat beberapa kali sukses membuat saya terharu. Bukan perihal kisah cinta tak sampai Hamid dan Zainab, namun seputar hubungan Hamid dengan ibunya. Akting Yenny Rahman sungguh memukau. Herjunot Ali juga mampu mengimbangi akting artis senior ini dengan apik. Ada chemistry diantara mereka berdua. Apabila saya diminta untuk memaknai arti dari ironis, maka itu adalah Laudya Cynthia Bella yang tidak nyambung dengan Herjunot Ali. Lempeng. Menunjukkan sebuah romantisme yang banal.

Bersetting di tahun 1920-an di Sumatera Barat, Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah mengenai dua sejoli yang sedang dirundung asmara namun terpaksa tak bisa bersatu karena perbedaan kelas sosial. Konflik memuncak tatkala Hamid melakukan sesuatu yang dianggap tak pantas kepada Zainab hingga dirinya diusir dari kampung. Untuk menghidupkan nuansa Minangkabau pada zaman dahulu, dibangun set yang megah plus tidak ketinggalan kincir air ciri khas sang sutradara. Sinematografi arahan Rachmat Syaiful sanggup menghadirkan gambar-gambar cantik yang menyejukkan mata. Special Effects yang dipakai pun layak diacungi jempol, sekalipun penggunaannya di adegan terakhir kentara sekali palsunya. Jika ada yang mengganjal di hati saya selain tidak adanya chemistry, dubbing plus subtitle yang membuat kepala terasa cenat cenut dan product placement yang muncul seenak udel, maka itu adalah aksentuasi dari para pemain. Saya sebenarnya sudah bosan membahas masalah ini karena ini adalah sesuatu yang klise namun tak ada upaya dari para sineas untuk membenahinya. Apakah bujet sebesar itu tidak sanggup untuk mendatangkan dialect coach? Terkadang terdengar sangat Jakarta, terlalu Sunda atau malah campur baur. Semrawut. Bukti bahwa sineas kita masih menyepelekan detail. Pada akhirnya upaya untuk menjadikan Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film romantis yang megah layak untuk diapresiasi. Masih banyak ditemukan kekurangan, tapi jelas merupakan suatu kemajuan dibanding film sejenis semacam Ayat-Ayat Cinta dan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Sebenarnya Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah sebuah film yang berpotensi menjadi sebuah suguhan yang apik, namun ternodai oleh keteledoran tim produksi yang kurang cermat dalam mengurus detail. Sungguh disayangkan.

Acceptable

2 comments:

  1. emang segitu g menariknya yah acting si bella?
    tapi pengen nonton sih, tapi di kota gw belum diputer...hahaha

    ReplyDelete
  2. Akting Bella tidak buruk, cuma chemistry-nya dengan Junot bener2 nol. Jadi greget kisah cinta terlarang Zainab dan Hamid kurang terasa :)

    ReplyDelete