Pages

December 31, 2011

REVIEW : SHERLOCK HOLMES: A GAME OF SHADOWS


"Slow and steady wins the race." - Sherlock Holmes

Guy Ritchie mengakhiri Sherlock Holmes dengan sebuah adegan yang membuat para penggemar tidak sabar untuk menantikan kelanjutannya, Irene Adler (Rachel McAdams) rupanya bekerja untuk Professor Moriarty. Tak ada penampakan wajah dari sang professor, hanya suaranya saja. Berbagai spekulasi mengenai siapa yang akan memerankan musuh abadi Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.) pun bermunculan. Yang paling santer terdengar adalah Brad Pitt. Pasangan dari Angelina Jolie ini merupakan salah satu yang paling vokal mengenai ketertarikannya untuk terlibat dalam proyek sekuel dari Sherlock Holmes, apalagi bintang Troy ini pernah bekerjasama dengan Ritchie di Snatch. Sang sutradara enggan untuk memberikan banyak komentar mengenai kepastian apakah Pitt adalah Professor Moriarty. Dan, ketika akhirnya Jared Harris terpilih, banyak pihak yang merasa kecewa karena kadung mengharapkan Brad Pitt. Namun saya pribadi tidak mempermasalahkan hal ini, selama sang aktor bisa bermain bagus, kenapa tidak? Harris pun pada akhirnya mampu membuktikan bahwa dia layak memerankan Professor Moriarty dalam Sherlock Holmes: A Game of Shadows. Jika pada akhirnya terasa kurang greget, maka naskah buatan Kieran Mulroney dan Michele Mulroney dianggap yang paling bertanggung jawab.

Bagi yang mengharapkan Sherlock Holmes: A Game of Shadows sebagai sebuah film yang sarat dengan aksi, Guy Ritchie akan memuaskan Anda dengan berbagai adegan aksi yang ditampilkan dengan elegan, bergaya, dan tentunya Ritchie banget. Tapi akan sangat mengecewakan bagi siapapun yang berharap jilid kedua ini akan menjadi lebih kelam, lebih banyak misteri, dan lebih mencekam, dengan kehadiran Professor Moriarty (Jared Harris). A Game of Shadows sebenarnya memiliki premis yang menarik lantaran jalan ceritanya terinspirasi dari cerpen karya Arthur Conan Doyle yang berjudul The Final Problem, akan tetapi kenyataan yang terjadi ternyata tak berbanding lurus, setidaknya bagi saya. Misteri yang ditawarkan kurang menarik karena sejak awal penonton telah mengetahui siapa yang menjadi dalang di balik semua kejadian. Dengan dibongkarnya identitas pelaku sejak dini, maka tumpuan satu-satunya untuk menjadikan film ini menarik adalah cat-and-mouse chase antara Holmes dan Moriarty yang sayangnya tidak diberi porsi yang cukup oleh tim penulis skenario dan Ritchie. Mereka justru lebih asyik menyoroti fluktuasi hubungan antara Holmes dengan Dr. John Watson (Jude Law) yang kian lama menjadi kian mirip pasangan ketimbang sahabat. Mencoba untuk menyaingi pasangan Brokeback, eh?


Sherlock Holmes khawatir, pernikahan Watson dengan Mary Morstan (Kelly Reilly) akan membuat sang BFF (Best Friend Forever-Red) meninggalkannya sendiri dalam memecahkan berbagai kasus. Dan ya, Watson memang memiliki rencana seperti itu. Akan tetapi Watson mengurungkan niatnya setelah dia dan sang mempelai perempuan turut menjadi target pembunuhan dari Professor Moriarty. Mau tak mau, mereka berdua pun ikut serta membantu Holmes untuk menggagalkan rencana sang professor yang berniat menciptakan krisis di industri senjata Eropa yang memungkinkan terciptanya perang dalam skala besar. Dalam kasus teranyarnya ini, duo paling keren dalam sejarah karya sastra detektif ini tidak berjuang sendirian. Mereka mendapatkan bantuan penuh dari kakak Sherlock, Mycroft Holmes (Stephen Fry), serta Simza (Noomi Rapace), wanita gypsy yang saudaranya disinyalir memiliki hubungan dengan komplotan yang dibentuk oleh Moriarty. Sepanjang 128 menit, penonton diajak untuk mengikuti petualangan konyol dari Holmes, Watson, dan Simza. Saya sebut konyol lantaran Holmes versi Ritchie ini digambarkan seperti telah hilang kewarasannya, menjadi kian eksentrik, dan berlebihan. A Game of Shadows pun menjelma menjadi sebuah perjalanan panjang yang melelahkan.

Pun begitu, A Game of Shadows masih memiliki sejumlah amunisi yang membuat saya rela untuk tetap duduk manis hingga film berakhir. Slow motion sequences yang menjadi ciri khas dari film pertama, kembali dihadirkan dengan frekuensi kemunculan yang lebih banyak. Beberapa terkesan sebagai sempilan semata, tapi adegan kejar-kejaran di hutan Jerman berhasil divisualisasikan dengan cantik. Gabungan antara efek khusus, sinematografi serta editing yang cantik, membuat adegan ini sulit untuk dilupakan begitu saja. Di luar sektor teknis yang memang menjadi andalan dwilogi ini, departemen akting pun turut berjasa dalam menyelamatkan A Game of Shadows. Robert Downey Jr. dan Jude Law yang telah melebur dengan karakter masing-masing mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam urusan membangun chemistry, sementara Stephen Fry nampak santai membawakan perannya. Jared Harris tak mengecewakan, hanya saja tim penulis naskah tidak memberinya ruang lebih untuk mengeksplor karakter salah satu penjahat paling berbahaya ini. Rachel McAdams yang menggoda hanya tampil selewat saja dan selebihnya diserahkan kepada Noomi Rapace yang kehadirannya tak lebih dari sekadar tempelan semata. Nampaknya, usaha untuk tampil bermewah-mewahan dengan memperbanyak sajian laga berbuntut pada pengorbanan terhadap sektor naskah. Misteri tak menarik, karakterisasi beberapa karakter terasa dangkal, dan jalan cerita pun monoton.

Acceptable

6 comments:

  1. Gan blognya bagus, visit back yah http://bagusfikri.com/jika-saya-menjadi-anggota-dpd-ri/ .... tukeran link yok ??

    ReplyDelete
  2. menurutku film ini masih keren dan belum kehilangan chemistry nya :)

    ReplyDelete
  3. Dari segi chemistry sih memang tampil lebih baik, cuma agak kurang nyaman dengan cara Ritchie yang terlalu menonjolkannya sehingga terkesan rada2 gimana gitu hehe

    ReplyDelete
  4. menurut saya filmnya bagus nih, tapi apakah mirip dengan novelnya ya?

    ReplyDelete
  5. wahhh mau banget nih nonton filmnya kapan keluar ya?

    ReplyDelete
  6. filmnya kapan keluar ya? pengen tahu nih ane filmnya

    ReplyDelete