Pages

August 6, 2016

REVIEW : 3 SRIKANDI


“Bukan untuk kalian, medali ini untuk negerimu.” 

Siapa menduga 3 Srikandi akan semenghibur ini buat ditonton? Ya, mengedepankan tema “from zero to hero” berbasis dunia olahraga cabang panahan yang disarikan dari kisah nyata kemenangan pertama atlet Indonesia di ajang bergengsi Olimpiade, memang telah sangat mengindikasikan bahwa 3 Srikandi akan sangat melibatkan emosi penonton. Dalam hal ini, terinspirasi dan tersentuh – dua kesan yang bisa dicium dari premisnya saja. Tapi tertawa terbahak-bahak berulang kali? Nyaris dapat dipastikan, sebagian besar calon penonton tidak mengantisipasi 3 Srikandi bakal mempunyai kandungan humor cukup tinggi ditilik dari materi promosi maupun tema dramatis mengenai “perjuangan menuju puncak” yang diusungnya. Sang sutradara, Iman Brotoseno, menentukan pilihan untuk melantunkan film layar lebar perdananya ini menggunakan nada penceritaan cenderung “ringan nan cerah” ketimbang penuh uraian air mata sejalan dengan jiwa-jiwa muda dari tiga tokoh sentral; Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, serta Kusuma Wardhani, yang ceria, dipenuhi energi bergejolak, pula sepertinya mengagungkan prinsip "girls just wanna have fun". And it works! Bahkan bisa dikata, 3 Srikandi adalah salah satu film paling menyenangkan yang saya tonton di layar lebar dalam delapan bulan terakhir. Sangat, sangat menikmati setiap menitnya. 

3 Srikandi memperkenalkan kita kepada tiga atlet perempuan cabang panahan, yakni Nurfitriyana Saiman (Bunga Citra Lestari), Lilies Handayani (Chelsea Islan), dan Kusuma Wardhani (Tara Basro). Mereka bertiga mengukir prestasi berikut sejarah bagi dunia olahraga tanah air dengan memboyong medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade Seoul 1988 setelah keikutsertaan negeri ini selama 36 tahun dalam kompetisi olahraga paling prestisius tersebut. Sepanjang durasi lebih dari 2 jam, penonton menjadi saksi atas jatuh bangunnya para srikandi demi berdiri penuh kebanggaan di atas podium. Ada konflik personal yang menyertai masing-masing individu kala mereka ditempa oleh mantan atlet panahan, Donald Pandiangan (Reza Rahadian) atau akrab disapa Bang Pandi, yang dikenal sangat keras pula disiplin dalam berlatih. Yana memperoleh tentangan keras dari sang ayah (Joshua Pandelaki) yang mengharapkan putrinya untuk fokus menuntaskan studi, lalu Kusuma tidak memperoleh izin resmi ayahnya yang ingin agar dirinya menyambung hidup sebagai Pegawai Negeri Sipil, sedangkan Lilies yang berasal dari keluarga atlet dipusingkan oleh permasalahan asmara menyusul keengganan ibunya (Ivanka Suwandi) merestui hubungan Lilies dengan seorang atlet silat. Deraan masalah keluarga, belum ditambah beratnya sistem pelatihan yang dibebankan Bang Pandi di tengah waktu pula peralatan serba terbatas, benar-benar menguji kesiapan fisik dan mental para srikandi dalam menghadapi laga di Olimpiade Seoul 1988. 

Memuaskan adalah kata pertama yang terlintas di benak selepas menyaksikan rekonstruksi dari kisah perjuangan para srikandi guna mencapai mimpi mereka dalam membawa pulang medali di Olimpiade. Ada banyak rasa dihantarkan selama durasi mengalun yang dilontarkan oleh perasaan bersemangat di menit-menit pertama. Meski agak tersendat-sendat di babak introduksi, 3 Srikandi mulai menemukan ritme bercerita yang enak buat disantap begitu Yana, Kusuma, serta Lilies dipertemukan pertama kali lewat seleksi atlet Olimpiade di Jakarta. Kesan serius yang diperoleh dari latar belakang Yana; ayahnya diperlihatkan selalu marah-marah bahkan tidak menunjukkan sedikitpun kebanggaan atas prestasi putrinya, maupun Kusuma; berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, meredup sejenak. Celetukan-celetukan lucu arek Suroboyo, Lilies, yang kerap mengucap “matek aku!” didukung tingkah laku sembrononya membawa keceriaan pada film. Dia menyuntikkan kehidupan pada tim yang bisa jadi terlalu serius mengingat Yana yang paling senior diantara ketiga srikandi cenderung kalem, Suma yang sangat mengidolakan Onky Alexander tidak banyak bertutur kata, dan Bang Pandi, well, sangatlah kaku. Salah satu ‘kontribusi’ paling membekas dari Lilies adalah ketika dia menyarankan untuk menumpang angkot karena terlalu lelah berlari yang konsekuensi dari gagasan curang tersebut memberikan ledakan tawa di gedung bioskop. 

Sosok Lilies sendiri dimainkan sangat cantik oleh Chelsea Islan dalam lakon terbaiknya, sejauh ini. Meng-handle sesi komedik secara sempurna – logat Suroboyoannya juga cukup nampol, meski bagi saya penghantaran Mario Irwinsyah (berperan sebagai Denny, kekasih Lilies) lebih luwes – Chelsea juga bersinar ketika momen dramatik menghampirinya. Oh ya, sekalipun terkesan ditempatkan sebagai comic relief semata, kenyataannya cobaan hidup yang dihadapi oleh Lilies lebih berat ketimbang Yana maupun Kusuma. Itulah kenapa karakter ini tampak paling menonjol sekaligus menantang buat dimainkan. Pun demikian, bukan berarti Bunga Citra Lestari, Tara Basro, dan Reza Rahadian bermain aman-aman saja. Masing-masing dari mereka juga mempertontonkan atraksi berolah peran yang tidak kalah hebatnya. BCL tampil prima sebagai Yana yang aura kepemimpinannya menguar kuat (berkaca pada fakta bahwa dia bergabung di menit-menit terakhir semakin memberi nilai plus), Tara Basro yang tampak ayu dan effortless adalah ‘si anak tengah’ pemberi keseimbangan, sementara Reza Rahadian... perlukah kita membahasnya panjang lebar? Berhasil memperlihatkan dua sisi berbeda dari Donald Pandiangan sehingga membuat sosoknya tidak tampak seperti psikopat yang kerjaannya marah-marah saja, kita lagi-lagi harus mengakui bahwa dia adalah aktor brilian dan kemudian memaklumi kenapa banyak produser ingin merekrutnya. Ya, dia sangat bagus. Chemistry-nya bersama BCL, Tara Basro, serta Chelsea Islan pun sama kuatnya sehingga memudahkan penonton untuk terhubung ke personil utama.

Tapi 3 Srikandi bukan semata-mata soal akting bagus pemain – termasuk juga Donny Damara dan Indra Birowo. Skenario renyah racikan Swastika Nohara yang didalamnya mengandung pula sentilan-sentilun ke dunia olahraga tanah air diejawantahkan ke bahasa gambar secara menarik oleh Iman Brotoseno. Seperti telah sedikit disinggung sebelumnya, permulaannya memang kurang lancar, tapi setelah memasuki menit puluhan, pesonanya sulit dibendung. Berbagai macam emosi hadir silih berganti. Entah itu tergugah semangat melihat upaya penuh kesungguhan para srikandi untuk mewujudkan cita-cita mereka, tertawa-tawa menyimak interaksi kocak ketiga atlet bersama sang pelatih, sampai tersentuh yang mencuat dari beberapa momen salah satunya menyaksikan luapan tangis bahagia para tokoh sentral begitu misi mereka sanggup terlaksana. Emosi-emosi tersebut mencuat sebagai hasil dari kombinasi ciamiknya olah peran, pengarahan, dan naskah yang mendapat tumpuan juga dari departemen teknis; tata busana, rias, artistik, sampai pemilihan lagu-lagu pengiring, yang tertata cukup detil sehingga nuansa 80-an terpancarkan. Para penonton dari generasi 1980-an dijamin akan bersorak-sorak kegirangan seiring melubernya nostalgia disana-sini seperti dilakukan oleh kakak saya saat Onky Alexander numpang lewat atau tembang “Ratu Sejagad”-nya Vonny Sumlang berkumandang. Ya, ada banyak kesenangan yang ditampilkan 3 Srikandi sampai-sampai keinginan menontonnya lagi langsung muncul tatkala mengenang momen-momen terbaik dari film.

Outstanding (4/5)

2 comments:

  1. iya saya juga sangat menikmati akting kocak nya chelsea islan disni. ini akting terbaik dia selama bermain film..
    Tapi menurut saya sisi pertandingan olimpiande nya kurang bikin tegang gitu kurang di perbanyak dan di fokus kan ...

    ReplyDelete
  2. Menurut saya film ini bagus, hanya saja kurang cocok di saya.
    Eman-eman saja mengangkat tema yang 'jarang' tapi pengemasannya masih banyak berdrama-drama ria. Porsi olahraga panahannya tenggelam oleh kisah cinta dan latar belakang keluarga. Hal yang sama dengan film Garuda19.
    Keempat tokoh dipreteli cerita hidupnya satu-satu. Menurut saya,informasi kurang perlu malah dapat porsi banyak.
    (3/5)

    ReplyDelete