Pages

September 3, 2016

REVIEW : INI KISAH TIGA DARA


Pertama kali mendengar Nia Dinata akan meng-upgrade film klasik Tiga Dara (1956) gubahan Usmar Ismail yang baru-baru ini dipertontonkan ulang ke khalayak ramai, dua reaksi meluncur bersamaan: bahagia dan was-was. Bahagia karena Nia akhirnya kembali menelurkan sebuah karya setelah lima tahun lamanya vakum dari kursi penyutradaraan terhitung semenjak Arisan! 2, sedangkan was-was lantaran materi sumbernya adalah sebuah mahakarya dari seorang Bapak Perfilman Nasional. Tentunya kekhawatiran ini tanpa bermaksud sedikitpun meremehkan kapabilitas Nia. Hanya saja, bukankah ada pepatah mengatakan bahwa “jangan pernah sekali-sekali perbaiki sesuatu yang tidak rusak”?. Well, Nia sih mengaku film terbarunya yang bertajuk Ini Kisah Tiga Dara hanya sekadar terinspirasi dari Tiga Dara alih-alih merekonstruksi, namun mengingat garis utama ceritanya kurang lebih serupa mengenai tiga bersaudari lajang yang kehidupan personalnya direcoki sang nenek – bahkan turut mengambil treatment sebagai film musikal dengan satu dua tembang digubah ulang – komparasi keduanya pun sulit dielakkan. 

Ini Kisah Tiga Dara jelas tidak berada di level yang sama dengan Tiga Dara, malah bisa dikata berada jauh di bawahnya. Menyebutnya “film buruk” memang terdengar terlalu keji mengingat sebagai produk hiburan, Ini Kisah Tiga Dara tidak sepenuhnya gagal. Paruh pertamanya menyuntikkan energi positif untuk menggembirakan hati. Keceriwisan Oma (Titiek Puspa) perihal status lajang yang disandang oleh ketiga cucu perempuannya; Gendis (Shanty Paredes), Ella (Tara Basro), dan Bebe (Tatyana Akman), terkhusus Gendis yang telah menapaki usia kepala tiga, melontarkan banyak canda tawa. Ketertarikan pun lantas muncul dipicu oleh sedikitnya tiga alasan; pertama, penampilan centil-centil menyegarkan Titiek Puspa yang kemunculannya senantiasa memberikan keceriaan bagi film. Kedua, kepenasaran mengetahui performa lebih lanjut Tatyana Akman yang tengil nan enerjik dengan debut peran besarnya ini – sebelumnya dia sempat numpang lewat di Ada Apa Dengan Cinta? 2 – memberinya kesempatan melakoni adegan panas. Dan ketiga, kerinduan terhadap lakon Shanty Paredes yang sedari menit pertama telah menebarkan karisma mencengkram eratnya. 

Mereka bertiga pun tidak mengkhianati kepercayaan saya. Akting dari Titiek Puspa, Shanty Paredes, dan Tatyana Akman adalah alasan utama mengapa Ini Kisah Tiga Dara masih menggenggam kata ‘menghibur’ disamping panorama Maumere, Nusa Tenggara Timur, yang dibingkai begitu elok oleh Yudi Datau sampai-sampai menimbulkan keyakinan, angka kunjungan wisata ke lokasi ini akan seketika mengalami peningkatan selepas perilisan Ini Kisah Tiga Dara. Andaikata film ini kekurangan bahan bakar penggerak di departemen akting serta kurang cermat memilih latar, entah bagaimana jadinya. Naskah hasil racikan bersama antara Nia Dinata dengan Lucky Kuswandi cenderung lunglai pula terlalu ramai subplot yang pada akhirnya kurang fokus serta menyisakan beberapa pertanyaan mengganjal terkait karakteristik beberapa tokohnya dan motivasi-motivasi atas setiap tindakan mereka termasuk kekurangyakinan ada cinta bersemi diantara Gendis dengan Yudha (Rio Dewanto) atau terhadap obsesi Ella ingin memiliki Yudha meski Bima (Reuben Elishama) sudah begitu kentara menunjukkan rasa sukanya. Selain itu, pertanyaan seperti “apa pekerjaan kekasih Bebe, Kyle (Richard Kyle), sehingga dia bisa menetap begitu lama di hotel milik keluarga Bebe?” juga cukup mengusik kekhidmatan dalam menyaksikan film ini. Memasuki pertengahan sampai paruh akhir, Ini Kisah Tiga Dara berjalan tersendat-sendat. 

Dan omong-omong soal mengganjal maupun mengusik kekhidmatan menonton, tidak ada yang lebih bikin gemas ketimbang elemen musikalnya. Sementara Tiga Dara kian menjulang berkat pengolahan pula penempatan nomor-nomor musikal yang tepat guna, keberadaan tembang-tembang berikut adegan dansa-dansi di Ini Kisah Tiga Dara justru sangat mendistraksi. Koreografi tarinya terlampau awkward, unfortunately in a bad way, yang ada kalanya berkontribusi meruntuhkan emosi penonton seperti dalam adegan Gendis menangis di dapur dan pemilihan kata untuk lirik-liriknya pun mencoba terlalu keras agar selaras dengan ketukan sehingga menyisakan rasa gatal di telinga serta mengalihkan fokus dari gugatan terhadap kerempongan masyarakat mengenai status pernikahan yang coba diutarakan oleh Nia. Seandainya saja Ini Kisah Tiga Dara tidak dijelmakan sebagai film musikal – mengikuti arus film sumber inspirasinya – yang terlalu banyak memberi “apaan sih moment” dan sepenuhnya dialirkan menggunakan metode penceritaan konvensional hasilnya bisa jadi akan lebih baik karena film sejatinya menghadirkan kesenangan mencukupi saat berada di mode drama komedi. Ah, sungguh sangat disayangkan.

Acceptable (3/5)

4 comments:

  1. Berhubung saya tdk menonton 3 dara jadi saya tdk bisa membadingkan dgn film ini.
    Ini kisah 3 dara saya cukup menikmati menonton nya.Sangat jarang film indonesia bergenre drana musical seperti ini makah nya pas scane lagu dan tarian saya cukup terpukau meski ya harus diakui tarian dan lagu diparuh pertama yg begitu happy tapi paruh keduanya terasa biasa.Subplot nya terasa terganggu krn beberapa bagian terasa modernisasi yg terlalu tinggi (baca sikap dara ke 3 a.ka bebe)terlalu janggal..

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Angga: Yoi. IKTD juga sebetulnya masih cukup menghibur, cuma gimana ya, elemen musikalnya kurang asyik. Awal-awalnya bener tertata lumayan apik (plotnya juga), tapi makin ke belakang makin letoy. Soal Bebe pun aku setuju. Entahlah, buatku dia terlampau liar.

      Delete
  2. Baca review mu yang ini, kalau ada tombol "like" nya pasti udh aku klik berkali2 deh :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Amatir: Ahahaha. Kita ternyata sependapat ya? Setelah nonton Tiga Dara, lalu liat ini rasanya gimana gitu ya.

      Delete