Pages

November 18, 2016

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM


“Yesterday, a wizard entered New York with a case. A case full of magical creatures. And unfortunately, some have escaped.” 

Gagasan mengalihrupakan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them hasil tulisan J.K. Rowling (menggunakan nama samaran Newt Scamander) ke medium audio visual sebetulnya sudah terdengar maksa, apalagi merentangkannya menjadi franchise baru dengan total jenderal lima seri. Jelas sudah jauh lebih gila pula ambisius dari The Hobbit tempo hari. Pasalnya, Fantastic Beasts bukanlah berbentuk novel konvensional yang didalamnya mengandung plot runtut melainkan sebuah ensiklopedia mini berisi panduan atas satwa magis yang dijadikan buku teks wajib bagi siswa-siswi Hogwarts. Jadi pertanyaannya adalah, akankah versi filmnya berceloteh mengenai petualangan si pengarang dalam berburu binatang-binatang fantastis ini seperti, errr... Pokemon? Bisa jadi. Pun demikian, segala bentuk skeptisisme terhadap spin-off sekaligus prekuel bagi kedelapan seri film Harry Potter ini perlahan tereduksi begitu dikonfirmasi bahwa J.K. Rowling ikut turun tangan secara langsung sebagai penulis skrip. Keterlibatan ibunda, disamping sedikit banyak memberikan jaminan bahwa Fantastic Beasts tidak akan melenceng jauh dari jalurnya, juga membantu meningkatkan excitement di kalangan Potterhead karena ini kesempatan emas untuk bernostalgia pula mengeksplor lebih jauh wizarding world dalam semesta Harry Potter rekaan Rowling. 

Fantastic Beasts melempar kita jauh ke pertengahan dekade 20’an – atau 70 tahun sebelum peristiwa di Harry Potter and the Sorcerer’s Stone – dengan fokus penceritaan diletakkan pada seorang zoologist satwa ajaib bernama Newton Scamander (Eddie Redmayne) yang melakukan penjelajahan mengarungi berbagai belahan dunia guna menemukan hewan-hewan magis. Di jilid pertama ini, Newt menyambangi The Big Apple. Beberapa saat setelah menjejakkan kaki di New York, Newt dihadapkan pada suatu insiden yang menyebabkan kopernya tertukar dengan seorang No-Maj (sebutan bagi Muggle, manusia biasa tanpa kekuatan sihir, di Amerika), Jacob Kowalski (Dan Fogler). Koper Newt bukan sembarang koper, saudara-saudara. Ini semacam portal ke dimensi lain yang didiami satwa-satwa magis ‘peliharaan’ si empunya koper. Maka alangkah paniknya tatkala benda tersebut menghilang dari pandangannya dan terlebih lagi, beberapa penghuninya melepaskan diri. Mengingat situasi di New York tengah tidak kondusif bagi para penyihir dengan munculnya grup ekstrimis ‘Salem Kedua’ yang menentang keberadaan penyihir, Newt dibantu oleh Tina (Katherine Waterston), mantan Auror di Magical Congress of the United States of America, dan Jacob, harus berpacu waktu untuk mengumpulkan kembali satwa-satwa yang terlepas sebelum situasi dan kondisi semakin merunyam. 

Film telah menguarkan aroma magis familiar yang kuat sedari menit-menit pertama dengan penampakkan surat kabar dunia sihir dengan foto-foto bergeraknya. Tak berselang lama, tanpa banyak berbasa-basi, penonton langsung digiring mengikuti adegan kejar-mengejar mengasyikkan tatkala seekor Niffler (menyerupai possum secara bentuk fisik) menyelinap keluar dari koper Newt, berburu benda-benda berkilauan di bank, dan membuat Newt terpontang-panting dalam upayanya menangkap sekaligus menahan perhatian dari kaum No-Maj. Harus diakui, perburuan si tokoh utama atas para satwa yang berlari-larian di sekitar kota New York merupakan salah satu bagian terbaik dari film. Selain Niffler, Newt juga harus menangkap beberapa hewan lain seperti Erumpent (mirip badak bercula satu) dan Occamy (perpaduan burung dengan ular) yang masing-masing menghadirkan momen mendebarkan, bernuansa magis, serta berbalut gelak tawa. Pemicunya, selain tingkah laku dari para satwa itu sendiri, reaksi Jacob terhadap hal-hal ajaib yang belum pernah dilihatnya sebelumnya pun priceless. Ya, sosok Jacob yang tidak lain yakni Muggle pertama dengan peran krusial di lini utama dalam franchise Harry Potter memang dimanfaatkan sebagai comic relief bagi Fantastic Beasts. Keberadaannya yang senantiasa memberikan keceriaan ke nada film merupakan salah satu faktor mengapa Fantastic Beasts terasa segar untuk disimak. 

Sementara di paruh awal Fantastic Beasts seringkali menghidupkan setelan mode ‘cerah’ seperti dua jilid pertama film Harry Potter, David Yates yang juga menangani empat jilid terakhir Harry Potter lantas mengaktifkan tone ‘suram’ seperti halnya seri ketiga sampai akhir di paruh sisanya seiring kian terdeteksinya ancaman. Fantastic Beasts bukan semata-mata berceloteh mengenai perjuangan Newt dalam mengumpulkan kembali piaraannya karena gambaran lebih besarnya adalah perkara klasik dari franchise ini; pertarungan antara kubu putih dengan kubu hitam. Sejatinya penonton telah bisa mengendusnya dari awal mula melalui eksistensi Salem Kedua dan satu dua karakter ambigu, namun Yates bersama Rowling baru benar-benar menaruh fokus ke guliran penceritaan yang kentara terasa merupakan pijakan awal dari intrik utama di franchise ini usai Newt menuntaskan ‘misi kecilnya’. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik pertentangan apa (dan siapa) yang dihadapi oleh Newt demi menjaga ketertarikanmu terhadap film, satu petunjuk yang bisa disebar adalah ada kemunculan kekuatan jahat berwujud Obscurial. Plot dalam pergulatan dengan sisi gelap sendiri sejatinya terbentuk dari ide dasar yang generik – sedikit banyak melemparkan ingatan ke seri-seri awal Harry Potter – namun pengolahan Rowling dan Yates membuatnya tetap mempunyai daya pikat maupun daya sentak. Malah, hasil akhirnya juga memberi daya sentuh ke emosi penonton. 

Memperoleh bala bantuan dari sang kreator bisa dikata membawa keuntungan tersendiri bagi Fantastic Beasts. Penceritaannya melaju cukup mulus – pembentukan world building-nya di era Roaring Twenties tertata rapi dan pendeskripsian barisan karakternya juga menarik – dengan perpaduan dua warna film yang bertolak belakang serasa saling melengkapi. Dampaknya, durasi sepanjang dua jam pun berlangsung cepat, mengikat, serta menyenangkan. Tidak sekalipun momen-momen menjemukan menyergap sepanjang berlangsungnya Fantastic Beasts malahan setiap menitnya terasa kian menyenangkan dan menyenangkan. Ndilalah, para pelakon yang direkrut untuk ambil bagian disini pun sadar akan tanggung jawab masing-masing. Eddie Redmayne begitu menyatu dengan sosok Newt yang canggung – membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik Britania Raya dewasa ini, lalu Katherine Waterston yang mengisi peran utama perempuan pertama di franchise (catatan, Hermione berada di posisi pendukung) menunjukkan kemesraan bersama Redmayne, sedangkan duo Dan Fogler beserta Alison Sudol yang merupakan versi lebih konyolnya Ron-Hermione pun tampil sesuai porsi tanpa pernah mendistraksi. Mereka bersatu padu dengan iringan musik membius dari James Newton Howard dan efek khusus mengagumkan yang lihai memvisualisasikan keajaiban wizarding world-nya Rowling maupun New York era 20-an, sehingga hasilkan tontonan fantasi menggelegar yang akan seketika menghapus keraguan terhadap dicetuskannya lima seri sekaligus menyulut ketidaksabaran penonton untuk sesegera mungkin mencicipi jilid selanjutnya dari Fantastic Beasts

Outstanding (4/5)




1 comment:

  1. Menurut gua mah di paruh awal film malah kayak kosong gitu ceritanya soalnya cuma bertujukan newt menangkap hewan-hewanya yang lepas which is banyak film lain yang menggunakan "hewan atau maklhuk ajaib buat ide" yang bikin agak bosenin,hanya penangkapan Occamy yang bener bener menarik dan kreatif bagiku.Yang lain bahkan Douglas pun kosong meski lucu.Terus perihal filmnya dilanjutkan hingga lima seri.Gua kok agak ragu ya nanti filmnya bakal berkutat di Fantastic Beasts atau Dumbledore vs Grindelwald.Trus semua cast udah bagus terutama Ezra Miller,tapi agak gak cocok sama Redmayne,bukan karena aktingnya jelek tapi karakterisasi yang kurang kuat jadi buat Newt kurang likeable dan malah lebih suka sama Si jacob wkwkw(btw karakter newt ngingetin banget gw sama forrest gump hanya newt gak idiot :v).Overall bagus sih filmnya dalam artian gak mengecewakan tapi tidak terlalu luar biasa

    ReplyDelete