Pages

December 29, 2016

REVIEW : CEK TOKO SEBELAH


"Nggak usah janji dulu kalau nggak yakin bisa menepati."

Dalam Cek Toko Sebelah, kita diperkenalkan kepada seorang pemilik toko kelontong bernama Koh Afuk (Chew Kin Wah). Memasuki usia senja yang menyebabkan dirinya sering sakit-sakitan, Koh Afuk berniat mewariskan tokonya ke putra bungsunya, Erwin (Ernest Prakasa). Mendengar keputusan ini, si sulung, Yohan (Dion Wiyoko), tentu naik pitam karena merasa dilangkahi terlebih lagi dia dan istrinya, Ayu (Adinia Wirasti), selama ini telah banyak mendedikasikan waktu mereka untuk merawat Koh Afuk. Bukannya tanpa alasan Koh Afuk lebih memilih Erwin ketimbang Yohan sebagai penerus kepemilikan toko. Masa lampau si sulung yang carut marut serta sifat cenderung temperamentalnya menyebabkan sang ayah sulit mempercayakan bisnis keluarga ke Yohan. Satu kalimat berbunyi, “mengurus hidup kamu sendiri saja belum bener, bagaimana kamu mengurus karyawan-karyawan toko?,” bentuk penegasan keputusan Koh Afuk. Di lain pihak, Erwin yang memperoleh kepercayaan justru mengalami kebimbangan. Karirnya tengah meroket dan kekasihnya, Natalie (Gisella Anastasia), terang-terangan menunjukkan keberatan menyusul kebersediaan Erwin untuk menjajal mengurus toko selama sebulan. Tak bisa terelakkan lagi, konflik dalam keluarga kecil ini yang sejatinya telah tersulut sedari bertahun-tahun silam pun akhirnya meledak juga. 

Cek Toko Sebelah merupakan bukti kematangan Ernest Prakasa sebagai seorang sineas. Dia menunjukkan bahwa langkah awalnya yang sangat meyakinkan dalam Ngenest – membuahkan dia banyak trofi dari beragam ajang penghargaan film – bukan semata-mata keberuntungan pemula. Seperti halnya film debutannya, laju pengisahan dalam Cek Toko Sebelah pun dialirkannya secara lancar, gesit, pula dinamis sehingga tak mempersilahkan kejenuhan menyergap penonton barang sedetik pun. Perpaduan antara momen komedik dengan dramatiknya melebur mulus dengan masing-masing berhasil hadir sama kuatnya. Oleh karena itu, ketika kamu akhirnya memutuskan untuk menonton film ini di bioskop, jangan lupa membawa persediaan tissue karena Cek Toko Sebelah akan membuat pelupuk matamu basah berulang-ulang kali sepanjang durasinya mengalun. Bukan semata-mata air mata haru berkat kehangatan plotnya yang menyinggung soal betapa berharganya sebuah keluarga, tetapi juga air mata akibat terlalu banyak tertawa lantaran rentetan humor yang dilontarkannya bekerja sangat efektif. Ada lebih banyak momen-momen dimana bom kelakar berhasil diledakkan sempurna yang menghasilkan derai-derai tawa berkepanjangan ketimbang berakhir melempem sampai terdengar bunyi “krik krik” teramat jelas dari kebun sebelah. 

Pendayagunaan rekan-rekan komika untuk memanggul pilar-pilar komedi mula-mula memang bikin hati cemas mengingat formasinya terhitung besar. Apa mungkin tidak akan saling tumpang tindih atau malah membuat filmnya menjadi terlalu konyol dan berdampak ke mengaburnya fokus penceritaan? Lagi-lagi kelewat mendeskreditkan kapabilitas Ernest, karena kenyataannya, bagian komedi mampu berjalan semestinya tanpa pernah mendistraksi elemen lain dalam film. Memang sih saya berharap ada beberapa bagian lawak yang dipangkas demi memberi ruang lebih bagi tumbuh berkembangnya momen emosional termasuk menggali lebih dalam satu dua karakter inti, namun guyonan-guyonan yang dikedepankan Cek Toko Sebelah memiliki level kocak terhitung tinggi sampai-sampai memupuskan keluhan lebih lanjut. Ya, ketepatan mengatur kemunculan guyonan (karena komedi juga soal timing yang pas!), beragamnya materi kelakar yang dilemparkan dari sesederhana ledek meledek, lalu sesekali bermain-main dengan isu seperti pelecehan seksual hingga menggunakan referensi (ehem, Keluarga Cemara?), serta pemilihan pelaku sesuai dengan kebutuhan adalah kunci dari bernyawanya elemen komedi disini. Sulit untuk tidak terpingkal-pingkal setiap kali Dodit Mulyanto, Adjis Doaibu, Awwe, Yusril Fahriza, sampai paling juara hebohnya, Asri Welas, menampakkan diri di layar. Mereka sangat mencuri perhatian di setiap kemunculan masing-masing. 

Yang kemudian membuat Cek Toko Sebelah kian memikat adalah kemahiran Ernest mengorkestrasi sektor drama. Dibanding Ngenest, Cek Toko Sebelah memang mempunyai muatan drama lebih pekat mengingat lahan konfliknya berkisar pada keluarga. Penonton telah diberi aba-aba sedari awal seperti adegan Yohan meminjam uang ke Koh Afuk atau adegan makan bersama yang berlangsung dingin bahwasanya laju film tidak akan sepenuhnya hura-hura belaka. Ini menarik. Dengan umpan telah dilemparkan sejak menit-menit pertama, penonton pun tak kelabakan bingung kala masinis lantas membelokkan kereta ke arah lain. Apabila kamu memendam keraguan akan sulit terkoneksi ke tuturan kisah yang digulirkan oleh Ernest karena berkutat di persoalan keluarga keturunan Tionghoa, tak perlu risau. Pada dasarnya film ini mengapungkan konflik yang sifatnya universal sekaligus personal bagi sebagian besar penonton. Coba ingat-ingat lagi, pernahkah kita bertikai dengan orang tua? Pernahkah kita merasa telah berbuat apapun untuk orang tua tapi kemudian tak dianggap? Pernahkah kita mengiyakan permintaan orang tua semata-mata demi tidak membuat hati mereka kecewa meski itu berarti mengkhianati keinginan diri sendiri? Pernahkah kita dihantui penyesalan teramat dalam karena merasa belum bisa membahagiakan orang tua semasa hidup? Pernahkah kita merasa orang tua lebih menyayangi kakak/adik ketimbang kita? Kalau setidaknya satu diantaranya pernah kamu alami, mudah untuk memahami pergolakan batin Koh Afuk, Yohan, maupun Erwin. 

Pergolakan batin ini diterjemahkan ke bahasa visual secara subtil oleh Ernest dan memperoleh sumbangan akting jempolan dari Chew Kin Wah, Dion Wiyoko, serta Adinia Wirasti yang menyokong pilar-pilar drama. Chew Kin Wah memberi interpretasi jempolan untuk sosok ayah yang tampak tangguh di permukaan namun sejatinya menyimpan kegundahan hati mendalam, Dion Wiyoko tampilkan performa menyengat hebat sebagai anak sulung yang berharap dapat berekonsiliasi dengan sang ayah, sementara Adinia Wirasti berbekal karisma kuatnya menghadirkan keteduhan diantara panasnya perseteruan anggota-anggota keluarga lain. Mereka beresonansi menciptakan getaran-getaran emosi yang memang dibutuhkan di elemen drama. Simak pada adegan Ayu mencoba menenangkan suaminya yang meledak-ledak, pertikaian di rumah sakit, sampai adegan di kuburan. Tanpa akting-akting ciamik, kesemuanya sangat mungkin berlalu tanpa kesan. Namun berkat kombinasi lakonan berkelas premium dari ketiga pemain tersebut, momen-momen ini menciptakan hentakan hebat yang akan membuatmu tak ragu-ragu menyeka air mata. Sungguh mengejutkan memang melihat bagaimana Ernest sanggup meng-handle babak komedi dan drama dengan sama baiknya di Cek Toko Sebelah. Jika dia bisa terus konsisten seperti ini, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan namanya akan berada dalam jajaran “sineas Indonesia paling berpengaruh.” Luar biasa!

Noted : Coba perhatikan merek-merek barang yang ada di toko Koh Afuk. Detil yang kocak!

Outstanding (4,5/5)

7 comments:

  1. This is good for reference.

    ReplyDelete
  2. Sebagai sulung, sangat pahaam apa yang dirasakan Yohaaan :'(
    Beruntungnya Yohan didampingi oleh Ayu yang sangat menenangkan hati. Baper.. Tp kisah keluarga nya dapet banget sih menurut aku. Koh Ernest jago banget lah mengembangkan latar belakang Tionghoa nya terus dipaduin di drama komedi yang porsi nya gak tumpang tindih. Ketcheee x))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang tabah yaa. Semoga kamu bisa mendapatkan pendamping hidup yang sehangat Ayu :))

      Delete
  3. "Krik krik teramat jelas dari kebun sebelah" 😂

    ReplyDelete
  4. Aku ngakak baca nama-nama merek di tokonya Koh Afuk. Tje Plok untuk kulit seputih telur, baterai DEF karena ABC udah abis, kecap manis banget karena ada lesung pipinya. Wkwkwk, kok ya kepikiran. Jempol dah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. @anonim: Iya kan? Cuma penempatan baterai DEF agak mendistraksi sih. Soalnya di momen emosional, jadi awalnya terharu eh tiba-tiba ngakak :)))

      Delete
  5. Lucu juga tepung terigu tjap segitiga pengaman...mana ada gambarnya lagi

    ReplyDelete