Menandai kembalinya Pimpaka Towira ke ranah film fiksi panjang usai dua belas tahun terakhir berkutat dengan karya dokumenter dan film pendek, The Island Funeral yang setahun silam berhasil memboyong penghargaan Best Asian Future Film Award di Tokyo International Film Festival adalah sebuah sarana sempurna untuk kembali ke dunia layar lebar. Sepintas, ini bak film berpendekatan road movie biasa yang mengetengahkan pencarian jati diri dari barisan karakter utamanya, namun seiring penonton semakin terlibat ke dalam film, nyata-nyatanya The Island Funeral lebih dari sekadar itu. Malahan ada upaya juga dari si pembuat film untuk mencampurbaurkan dengan elemen genre lain semacam horor bersifat supranatural dan dokumenter yang justru menginjeksikan daya tarik tersendiri bagi film bersisipan kritik sosial halus mengenai problematika sosial politik yang beranak pinak di Negeri Gajah Putih dibalik upaya mengadvokasi keberagaman serta kebebasan menyuarakan pendapat ini.
The Island Funeral memulai hentakan pertamanya ketika Laila tiba-tiba menghentikan mobil yang dikendarainya karena merasa melihat seorang perempuan telanjang berbalut rantai melintas di jalanan. Mencoba membuktikan penglihatannya, dia memutuskan menelusuri keberadaan si perempuan yang lantas tak membawa hasil apapun. Berada dalam kegelapan – well, posisi mereka jauh dari pemukiman warga – menebarkan aroma mistis tak mengenakkan. Apakah Laila benar-benar melihat sesosok perempuan tersebut atau itu sekadar ilusinya saja? Kita memang tidak memperoleh konfirmasi secara langsung dari Towira mengenai peristiwa ini, namun yang jelas, timbul ketertarikan mengikuti jalannya film dan jika mengaitkannya ke pembacaan film, keadaan terdesak atau terancam dapat mengungkap sifat asli manusia. Untuk kasus ini, bisa dilihat dampaknya pada Toy yang melontarkan komentar bernada prasangka buruk mengenai perasaan tidak amannya berada di Pattani yang notabene didominasi oleh masyarakat Muslim karena dia adalah seorang non-Muslim.
Tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena wilayah tersebut tengah berkonflik – kadangkala Towira memperlihatkan aktifitas anggota militer – tapi penegasan tentang Toy dapat disimak saat mereka berkunjung ke sebuah masjid yang terhenti pembangunannya. Pun begitu, The Island Funeral bukan semata-mata berbicara mengenai prasangka (kendati, ya, ada banyak prasangka timbul di beberapa bagian), film ini diam-diam lebih kaya dari itu. Ada subteks terkait kegundahan hati Laila sebagai perempuan Thailand modern yang menjalani hidup di kota besar soal identitasnya dan obrolan tentang idealisme berkenaan kerukunan dibalik adanya keberagaman yang boleh jadi merupakan ekspresi kegalauan Towira terhadap situasi sosial politik Thailand yang tak bersahabat. Terdengar berat? Tidak juga. Sekalipun laju film seringkali lambat, The Island Funeral tak pernah menjemukan berkat kepiawaian Towira mengolah rasa dari tuturan yang teramat mengikat. Dia sanggup membetot atensi penonton sedari adegan gaib yang dialami Laila dan secara konstan film lantas dipenuhi teka-teki bernuansa mistis yang akan membuatmu mengalami fase “ingin mengetahui” tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Outstanding (4/5)
jadi penasaran sama film ini. tapi adegan horor nya horor banget tidak? sama militernya darah2an tidak? nanti aku tak kuaat x(
ReplyDelete