Pages

January 13, 2017

REVIEW : LA LA LAND


“I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope.” 

Berkat Whiplash (2014), sebuah film musik tentang mimpi dari seorang penggebuk drum aliran Jazz yang intensitasnya amat kencang bak film laga, sutradara muda Damien Chazelle mendapat sorotan banyak pihak. Mumpung tengah menjadi bahan obrolan hangat, dia pun tidak menunggu waktu lama untuk melepas karya berikutnya – meski realitanya, butuh enam tahun buat meyakinkan para pendana dan rumah produksi! – yang masih berhubungan dengan musik Jazz dan tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadi sang sutradara. Jika Whiplash terinspirasi dari gurunya yang luar biasa galak semasa menimba ilmu musik, maka karya terbarunya yang bertajuk La La Land diilhami oleh jatuh bangunnya selama merintis karir di Hollywood. Dalam La La Land, Chazelle mencoba lebih ‘besar’ dengan menggunakan pendekatan musikal yang secara khusus memberikan penghormatan terhadap film-film musikal era 50’an semacam Singin’ in the Rain (1952) atau The Band Wagon (1953) sekaligus merekrut bintang-bintang Hollywood kelas A seperti Ryan Gosling dan Emma Stone guna ditempatkan di lini utama. Hmmm... belum apa-apa sudah terdengar sangat menggiurkan, bukan? Dan kenyataannya, memang semenggiurkan apa yang tertuang di atas kertas. La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh magis!   

La La Land memulai hentakannya dengan meriah melalui nomor musikal “Another Day of Sun” yang menampilkan tarian dan nyanyian di tengah-tengah macetnya jalan bebas hambatan Los Angeles. Ujung dari adegan ini mempertemukan dua karakter utama film, Sebastian Wilder (Ryan Gosling) dan Mia Dolan (Emma Stone), untuk pertama kalinya meski bukan dalam situasi menyenangkan. Selama kurang lebih 30 menit berikutnya, keduanya tidak lagi saling berjumpa, tidak ada interaksi dalam bentuk apapun. Sebastian diceritakan sebagai musisi Jazz yang kelimpungan mencari sumber penghasilan tetap berdasar keahliannya lantaran idealismenya untuk memainkan musik Jazz tradisional seringkali berseberangan dengan visi pemilik klub, sedangkan Mia yang sehari-harinya memperoleh pemasukan sebagai barista terus berjibaku guna mendapatkan panggilan audisi demi mewujudkan mimpinya menjadi aktris. Mereka akhirnya betul-betul berjumpa kala keduanya menghadiri sebuah pesta. Berjalan bersama untuk beberapa waktu, baik Sebastian maupun Mia menyadari ada ketertarikan satu sama lain terlebih keduanya dipersatukan oleh satu hal: passion. Asmara pun merekah diantara mereka, hubungan penuh kemesraan terbentuk, lalu tiba-tiba ujian menghadang kala mimpi mereka saling berbenturan. 

Berkaca pada sinopsis tersebut, tampak jelas La La Land tak menawarkan guliran pengisahan yang membelalakkan mata. Sebatas menghidupkan premis sederhana mengenai kisah kasih dua sejoli yang diperjumpakan oleh kesamaan nasib. Namun jangan biarkan kesederhanaan ini mengecohmu karena La La Land tidaklah sesederhana itu utamanya jika kita membicarakan soal bagaimana Damien Chazelle mengatur konsep dari setiap jengkal film ini. Mengkreasi elemen musikalnya. Tengok saja nomor pembukanya yang enerjik nan ambisius dimana kurang lebih terdapat 100 penari berlenggak lenggok kesana kemari di tengah padatnya jalan tol. So much fun! Keputusan jitu menempatkan nomor ini di permulaan film karena terbilang sangat efektif untuk membangkitkan mood penonton dalam mengetahui keriaan serta keintiman seperti apa yang ditawarkan si pembuat film selama sisa durasi. Selepasnya, tidak ada lagi tembang heboh seperti ini – paling mendekati adalah “Someone in the Crowd” – lantaran mengikuti laju pengisahan yang kian intim, syahdu, pula merobek hati. Keberadaan lagu dan musik hasil gubahan Justin Hurwitz sendiri bukan sekadar pemeriah suasana melainkan dimanfaatkan betul oleh Chazelle sebagai medium bercerita. 

Ketika rentetan dialog dianggapnya tidak cukup untuk mengungkapkan suatu maksud, musik adalah solusi terbaiknya. Itulah mengapa ada emosi menggelegak yang bisa dirasakan di dalam tiap tembang dan tiap melodi yang mengiringi La La Land, seperti “A Lovely Night”, “City of Stars”, dan “Audition (The Fools Who Dream)”, yang rasa-rasanya akan mengendap lama di benakmu. Musik yang berbicara bukanlah satu-satunya modal Chazelle untuk memberikan kehidupan pada La La Land. Dia beruntung mempunyai tim solid di setiap departemen. Dari pengambilan berikut penyuntingan gambar yang menguarkan nuansa jadul ala film musikal era 50-an, koreografi tari oleh Mandy Moore yang menawarkan beberapa ragam (ada tap, ballroom, hingga waltz) dengan setiap hentakannya berbalut rasa sehingga tanpa perlu adanya pendeskripsian panjang lebar kita telah dapat memahami perasaan dua manusia yang tengah dimabuk cinta ini, sampai tak kalah penting pula, pemain-pemain yang handal menerjemahkan emosi melalui gestur maupun air muka. Pemain dalam konteks ini tentu saja adalah Ryan Gosling bersama Emma Stone. Mereka tampil simpatik saat terpisahkan, sementara ketika berduaan, mesranya tiada ampun sampai-sampai burung-burung cinta pun dibuat iri olehnya. Lihat saat mereka saling lempar dialog, saat mereka menari bersama, saat mereka saling pandang, ughhh... greget!

Karisma kuat Gosling dan kecantikan paripurna Stone merupakan kombinasi sempurna guna menjerat atensi sehingga penonton pun tahu-tahu telah terhanyut pada jalinan kisah percintaan mereka. Just like magic. Ada semacam kebahagiaan tersendiri menyaksikan Sebastian menemukan Mia (begitu juga sebaliknya) karena kita mengetahui bahwa mereka akan saling menguatkan, akan saling melengkapi satu sama lain, lantaran mempunyai kesamaan pada tujuan, harapan, dan mimpi. Dari titik ini, penonton pun lantas disadarkan sejatinya La La Land bukan sekadar menjual dongeng manis semata mengenai kisah percintaan dua insan manusia yang dipertautkan oleh passion karena lebih dari itu, ini merupakan selebrasi bagi mereka yang berani bermimpi dan berani mewujudkannya sekalipun memahami betul ada harga yang harus dibayar mahal. Dihantarkan secara gegap gempita pula manis-manis nyelekit, La La Land akan membuatmu terpukau oleh bagaimana Chazelle mengkreasi setiap momen dalam film yang memiliki cita rasa megah, lalu merasakan kebahagiaan, dan pada akhirnya tertusuk begitu menyadari bahwa realita tidaklah seindah mimpi. Tidaklah semembahagiakan film-film musikal Hollywood. Aach, seandainya saja....

Outstanding (5/5)

6 comments:

  1. Yg agak ganggu buat aku itu sbnrnya ni film berlatar tahun brapa ya?
    Karena adegan openingnya jadul, tapi udah ada iPhone 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. @astri: settingnya masa kini. Terlihat dari penggunaan iPhone. Cuma memang nuansanya dibikin jadul oleh sang sutradara seperti film-film musikal tahun 50-an.

      Delete
  2. Habis baca review di sebelah bikin merinding, baca review mu di sini bikin deg-degan sama kayak pas nonton. Aaaaa ini memang film musikal yang kece sangaaaat cerita kece penggarapan kece koreo musik kostum semuanyaa bikin melting dan dua sejoli nya apalagi :")) Sayang aku tak punya teman menonton kemarin, bikin baper :"))

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Amatir: Ihihihi. Semua aspek dalam film ini memang bersinonim erat dengan kata "indah". Nggak disaranin juga sebetulnya nonton sendirian. Kalau terpaksa sendiri mesti bawa tas biar ada yang bisa dipeluk-peluk sehabis nonton. :))))

      Delete
  3. I do love the songs. Beautiful!

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Nawang: semua aspek dalam film ini memang cantik. Setelah menontonnya dua kali, kecantikan itu kian terpancar :)

      Delete