Pages

February 8, 2017

REVIEW : SPLIT


“I’ve never seen a case like this before. Twenty three identities live in Kevin’s body.” 

Pernah ada masanya M. Night Shyamalan digadang-gadang sebagai sutradara terkemuka di masa depan. Menapaki era milenium, sutradara berdarah India asal Philadelphia, Amerika Serikat, ini berturut-turut menelurkan karya jempolan semacam The Sixth Sense, Unbreakable, Signs, serta The Village. Ciri khas yang mudah dikenali di barisan filmnya tersebut adalah kuatnya pembentukan karakter, bangunan atmosfer mengusik yang menghasilkan rasa tidak nyaman, serta twist ending. Ya, Shyamalan sempat pula mendapat julukan “rajanya twist ending” lantaran kebiasaannya memberikan pelintiran di ujung kisah dalam film-film arahannya. Belakangan karirnya mengalami kemerosotan drastis, utamanya setelah mencoba meninggalkan ranah thriller yang dikuasainya dan mengorkestrai genre berbeda semacam The Last Airbender yang lempengnya tiada ketulungan (Ugh!) beserta After Earth yang hampa. Diprediksi tidak akan lagi bisa merengkuh kepercayaan khalayak ramai, tiba-tiba saja Shyamalan kembali dengan sebuah kejutan kecil yang manis: The Visit. Menghadirkan gelaran found footage yang amat creepy (si nenek!), ternyata The Visit semacam pemanasan sebelum penebusan dosa sesungguhnya melalui Split dimana kita akhirnya bisa mengatakan, “welcome back, Shyamalan!.” 

Tiga remaja perempuan; Claire (Haley Lu Richardson), Marcia (Jessica Sula), dan Casey (Anya Taylor-Joy), mendapati diri mereka terbangun di sebuah ruangan terkunci yang sama sekali asing bagi ketiganya. Masih dalam keadaan terguncang, seraya mencoba menyusun kepingan-kepingan memori yang berantakan, para gadis disambut oleh seorang pria yang menculik mereka, Dennis (James McAvoy). Tampak seperti pria biasa tanpa kekuatan lebih, sempat terbersit di pikiran Claire dan Marcia untuk melumpuhkan Dennis dengan menggunakan kemampuan beladiri mereka yang lantas urung diwujudkan usai Casey menganggapnya sebagai ide buruk. Benar saja, Dennis nyatanya tidaklah sesederhana kelihatannya karena perjumpaan para gadis dengan sang penculik di kesempatan selanjutnya mengungkap bahwa pria tersebut mengidap dissociative identity disorder (DID) atau mudahnya, kepribadian ganda. Di satu waktu mereka bisa saja berjumpa Dennis yang terobsesi pada keteraturan, sementara di waktu lain mereka akan disambut Patricia yang anggun atau Hedwig yang mengaku masih berusia 9 tahun. Tercatat setidaknya ada 23 kepribadian berbeda yang hidup dalam tubuh si penculik dan menurut mereka, kepribadian ke-24 berjulukan The Beast akan segera datang yang konon kabarnya merupakan kepribadian paling mengerikan diantara semuanya. 

Laju awal Split cenderung merambat. Usai adegan pembuka berintensitas cukup tinggi, Shyamalan lantas menguranginya begitu mengajak penonton menapaki ruang bawah tanah yang dimanfaatkan sang antagonis untuk menyekap ketiga perempuan belia ini. Kita diberi kesempatan menjalin keakraban bersama para korban – terutama Casey yang diberi jatah kilas balik berulang kali, demi memunculkan kepedulian atas nasib mereka, serta mengenali beberapa kepribadian dominan yang menghinggapi tubuh sang penculik. Bagi penonton yang terbiasa dengan film seram penuh asupan jump scares, kesunyian dan pelannya film boleh jadi akan menguji kesabaran. Shyamalan sendiri enggan mempergunakan metode ‘cilukba’ disusul skoring musik menyayat gendang telinga guna memacu detak jantung penonton. Seperti halnya film-film dia terdahulu, rasa ngeri yang timbul dalam Split bersumber dari atmosfir yang sangat mengganggu dan menguarkan aroma misterius. Lorong-lorong panjang berpencahayaan redup, ruangan-ruangan sempit di bawah tanah yang akan membuat penonton dengan klaustrofobia blingsatan di kursi bioskop, dan karakter villain yang tindak tanduknya sulit untuk diprediksi – mudah beralih tanpa diberi aba-aba terlebih dahulu sebelumnya. 

Dihadapkan pada perasaan tidak nyaman seperti ini, secara otomatis film telah mengondisikan penontonnya untuk senantiasa waspada kalau-kalau ada peningkatan level ketegangan mendadak seperti perlawanan dari pihak korban atau si penculik menampilkan kepribadian barunya yang lebih ganas. Jujur, sebelum Split tutup durasi, sulit untuk benar-benar menghembuskan nafas lega sekalipun ada bubuhan serbuk humor di beberapa titik guna mencairkan rasa cekam. Bahkan, sesi terapi antara Dennis yang hadir menggunakan kepribadian Barry, sang desainer kemayu, bersama psikolognya, Dr. Karen Fletcher (Betty Buckley), pun mempunyai intensitasnya tersendiri. Momen ini memang dipergunakan Shyamalan untuk mengajak kita mempelajari karakteristik sang antagonis lebih mendalam termasuk motivasi-motivasinya yang sekaligus menghindarkannya dari sosok karikatural, namun sulit disangkal ada sensasi berdebar-debar melihat percakapan kedua belah pihak. Karen berupaya mengulik agenda yang coba disembunyikan Barry (atau sebetulnya dia adalah Dennis?) rapat-rapat, sementara Barry yang menyadari gelagatnya mulai terbaca berusaha mengelak. Satu pertanyaan lantas mencuat, “apa yang akan terjadi berikutnya seandainya tidak ada celah lagi bagi Barry untuk berkelit dan pengakuan adalah satu-satunya jalan keluar?.” 

Ya, Split dituturkan oleh Shyamalan dengan apik. Tapi kehebatannya dalam merajut kisah tidak akan terbaca tanpa performa kelas kakap dari James McAvoy yang mampu bertansformasi secara mulus ke berbagai kepribadian. Berkatnya, sikap dingin, konyol, mengancam, bengis, sampai rapuh dari si penculik yang masing-masing merepresentasikan identitas tertentu dapat tersalurkan dengan baik ke penonton. Kadangkala kita bisa mengenali kepribadian yang sedang mendominasi melalui gaya berbusana, namun tidak jarang pula, peralihannya hanya bisa terdeteksi apabila kita cermat mengamati intonasi suara dan gestur yang diperagakan oleh McAvoy. Beruntungnya McAvoy – selain memperoleh tunjangan skrip beserta pengarahan bagus, dia didampingi jajaran pelakon yang bermain mengesankan pula. Lupakan Haley Lu Richardson dan Jessica Sula yang tidak istimewa (menampilkan stereotip perempuan populer cantik yang hanya bisa meratap), Split masih mempunyai Betty Buckley yang simpatik dan Anya Taylor-Joy yang tangguh sekaligus misterius di saat bersamaan. Perpaduan antara pameran akting ciamik dengan penceritaan lancar dari si pembuat film yang juga mahir menghadirkan daya cekam maksimal inilah yang membuat Split layak disejajarkan bersama barisan film-film terbaik Shyamalan. Plus, jangan lupakan adegan penutupnya yang bakal membuat para penggemar maupun penonton setia karya-karyanya berteriak kegirangan. Gokil! 

Trivia : Salah satu kebiasaan Shyamalan adalah ikut numpang tampil di film-film garapannya, termasuk Split. Nah, berperan sebagai siapakah dia di film ini?

Outstanding (4/5)

9 comments:

  1. Tempat review film andalan saya..tapi tulisannya kecil-kecil banget ...hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, iyakah? Soalnya kalau aku baca via web dan mobile sudah terasa pas di mata.

      Delete
  2. Oke, jadi ada apa sebenarnya dengan the glass (kalo ga salah denger ya itu) di ending film?

    ReplyDelete
    Replies
    1. The Glass merujuk ke karakter villain di Unbreakable. Dia adalah lawan dari David Dunn, diperankan Bruce Willis, yang nongol di ending-nya Split. Adegan ini mengonfirmasi bahwa kedua film tersebut berada di universe yang sama dan secara tidak langsung, sekuel dari Unbreakable. Apabila Split 2 direalisasikan, kemungkinan besar akan melibatkan David dan mungkin berkaitan dengan plot Unbreakable.

      Delete
    2. Ooh gitu, pantasan heran ngpaen si bruce nongol. Oke coba nonton dulu, makasih bro.

      Delete
  3. Baru mau nonton nih bang.. gpp telat..
    Makin penasaran setelah baca ripiunya..
    Nanti di share review ane yaa

    ReplyDelete
  4. Dia jadi petugas apartemen psikolognya waktu liatin cctv hahaha

    ReplyDelete