Pages

June 8, 2017

REVIEW : THE MUMMY


“Welcome to a new world of gods and monsters.” 

Disamping keranjingan mengeruk pundi-pundi dollar melalui sekuel, remake, reboot, atau apalah-apalah itu sebutannya, studio-studio raksasa di Hollywood tengah menggemari cara lain untuk membentuk sebuah franchise yakni menciptakan shared universe yang menghubungkan sejumlah judul film menggunakan ‘tali pengait’ berbentuk karakter, plot, sampai bangunan dunianya. Semesta-semesta film yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir antara lain Marvel Cinematic Universe, DC Extended Universe, MonsterVerse, hingga paling anyar Dark Universe yang menyatukan sederet makhluk jejadian legendaris dari dunia fiksi semacam Dracula, Frankenstein, Invisible Man, serta Wolf Man. Diinisiasi oleh Universal Pictures, Dark Universe mencoba mengawalinya dengan versi paling mutakhir The Mummy yang menggaet Tom Cruise untuk menempati garda terdepan menggantikan posisi Brendan Fraser dari trilogi sebelumnya dan menempatkan Alex Kurtzman yang lebih berpengalaman sebagai produser di kursi penyutradaraan. Apakah ini berhasil? Well, sayangnya saya harus mengatakan bahwa The Mummy versi Tom Cruise yang mengawinkan beragam genre ini bukanlah suatu upaya yang berhasil untuk memperkenalkan penonton kepada sebuah semesta film baru. Tidak buruk, hanya saja jauh dari kata greget. 

Dalam The Mummy, Tom Cruise memerankan seorang tentara Amerika Serikat bernama Nick Morton yang tengah ditugaskan di Irak. Guna menghabiskan waktu luangnya (atau memang pada dasarnya dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai tentara? Dunno), Nick mengajak serta rekannya, Chris Vail (Jake Johnson), untuk berburu barang-barang antik bernilai tukar tinggi. Dalam perburuan terbaru, Nick mencuri peta dari seorang arkeolog, Jenny Halsey (Annabelle Wallis), yang mengantarkannya pada sebuah makam. Belakangan diketahui, makam tersebut menyimpan sebuah sarkofagus yang ‘dihuni’ oleh mumi Putri Ahmanet (Sofia Boutella) yang dibuang jauh-jauh dari Mesir selepas sang putri membunuh ayahnya yang notabene seorang raja berpengaruh dan adik tiri laki-lakinya lantaran tidak beroleh kesempatan untuk berkuasa. Keinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang Ahmanet membuat Jenny berinisiatif memboyong sang mumi ke London. Sebuah keputusan yang tidak bijak, tentu saja, karena perjalanan ini membangunkan Ahmanet dari tidur panjangnya. Ahmanet yang dikuasai amarah dan kebencian berencana melancarkan agendanya untuk menciptakan kekacauan di dunia berbekal pisau sakti milik dewa kegelapan, Set. Berpacu dengan waktu, Nick dan Jenny pun harus bekerjasama untuk menghentikan rencana Ahmanet atau kekuatan gelap akan menguasai dunia.


Apabila menengok presentasi yang digeber lewat trailernya, The Mummy seolah menjanjikan tontonan petualangan yang seru dan mendebarkan. Tidak juga sepenuhnya salah, toh kita mendapati kesan tersebut di separuh awal durasi yang gegap gempita. Bisa dikata, beberapa menit sekali ada kemeriahan yang menyeruak menghiasi layar bioskop. Mula-mula penonton diajak mengikuti ekspedisi penelusuran peta milik Jenny di Irak yang berlangsung mengasyikkan serta membangkitkan semangat untuk mengikuti lantunan kisah dalam film. Lalu berlanjut pada detik-detik jatuhnya pesawat yang sekalipun telah cukup sering disimak lewat materi promosi, masih berhasil memberikan ketegangan yang dibutuhkan. Inilah momen terbaik yang dipunyai oleh The Mummy sekaligus (sedihnya) momen puncak. Ya, selepas sekuens kandasnya pesawat dan latar penceritaan film dialihkan ke Britania Raya, daya cengkram berangsur-angsur mulai mengendur terhitung semenjak sang villain utama melahap mangsa-mangsanya. Ini tentu terasa ironis karena kebangkitan Putri Ahmanet yang seharusnya menjadi titik lontar dimana ketegangan mengalami eskalasi malah menjadi titik awal dimana film mengalami kemunduran. Seolah-olah sang mumi turut menghisap habis jiwa dari The Mummy sehingga sisa durasi pun berjalan gontai. 

Alex Kurtzman tampak kebingungan dalam menentukan nada penceritaan yang jelas bagi film. Elemen laga petualangan, horor, serta komedi dicampurbaur sesuka hati yang berdampak pada masing-masing tersaji setengah matang. Sisi laganya kurang menghentak (tak ada momen berkesan seperti badai gurun membentuk wajah di The Mummy terdahulu), sisi horornya tidak meneror (errr.. lebih banyak zombie ketimbang mumi di sini), dan sisi komedinya seringkali mentah sampai-sampai sulit mengundang derai tawa lepas. Alhasil, The Mummy terasa sungguh melelahkan nan menjemukan buat disimak. Pengarahan sang sutradara yang kurang efektif turut diperparah pula oleh susunan naskah berantakan dari trio David Koepp, Christopher McQuarrie, dan Dylan Kussman sampai-sampai tidak menyisakan ruang bagi perkembangan karakter. Jangan harap kamu bisa bersorak memberikan semangat kepada Tom Cruise, Annabelle Wallis, maupun Jake Johnson seperti yang bisa kamu lakukan kepada Brendan Fraser, Rachel Weisz, serta John Hannah dari The Mummy gubahan Stephen Sommers keluaran tahun 1999 (yang sungguh mengasyikkan itu!) karena tidak ada chemistry diantara mereka. 

Bahkan, karakter masing-masing pun amat hampa. Tom Cruise ya Tom Cruise yang terbantu karisma kuatnya sehingga penonton masih berkenan untuk peduli pada sosok Nick, Annabelle Wallis tidak lebih dari sekadar damsel in distress, dan Sofia Boutella sebagai villain pun lebih sering terbantu oleh make-up ketimbang benar-benar menguarkan aura berbahaya terlebih motivasi atas tindakannya serasa dibuat-buat. Jika ada yang sanggup menandingi Tom Cruise, maka itu adalah Russell Crowe (memerankan karakter ikonik) yang seperti halnya Cruise, terhalangi potensinya oleh naskah. Pada akhirnya menonton ulang The Mummy versi Fraser untuk kesekian kalinya masih terasa lebih menyenangkan ketimbang menyaksikan The Mummy versi Cruise. Sayang sekali. Semoga saja instalmen berikutnya dalam Dark Universe mampu menebus kesalahan dari tontonan ini.

Acceptable (2,5/5)


16 comments:

  1. Belum nonton sih tapi kayaknya bakal gak nonton saja..
    Lihat di trailernya kayak seru dan menegangkan banget eehh malah berakhir jelek.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saran gw sih, coba nonton dulu baru komentar. Gw sih seru aja, cobain deh. Emang benar tempo agak melambat setelah adegan pesawat jatuh, tapi tetep asik buat diikutin.

      Delete
    2. Yap. Mending ditonton saja dulu, apalagi kalau sedari awal emang sudah penasaran. Siapa tahu masih bisa menikmatinya.

      Delete
    3. Tapi kembali kepengalaman biasa nya film yg di anggap cinetariz film jelek benar2 jadi film jelek..
      Karena selera saya hampir sama dgn cinetariz.
      But entar saya coba tontonlah.

      Delete
    4. Hahahahaha. Jadi malu nih... Kalau sudah selesai nonton, jangan lupa yaa komentarnya. Ditunggu lho :)

      Delete
  2. Mau nonton, tapi takut merusak 'kesenangan' saya pada the mummy-nya brendan fraser. Favorit gitu loh wkwkw... Sempet agak bingung the mummy tom cruise ini mau dibawa kemana dan kuatir malah jdi berasa nonton mission impossible. Tapi, setelah baca review-mu, kayaknya bakal nonton aja (dengan catatan gak perlu dibandingin sama yang fraser).

    oh iya, thanks buat review wonder woman-nya, emang bagus banget sih (tadinya mau komen di sana, tapi sekalian aja di sini) sama udah review the aoutopsy of jane doe, gak nyangka itu filmnya bagus banget. kalo bukan karena review-mu, gak akan tahulah film sebagus itu hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan, jangan dibandingin sama versinya Brendan Fraser. Kebanting banget. Hahaha. The Mummy ini tetep perlu ditonton kok apalagi kalau berniat ngikutin Dark Universe ke depannya :)

      Wehehehe. Sama-sama. Mestinya komen di ulasannya biar tambah sip. The Autopsy of Jane Doe itu salah satu film horor yang underrated sih. Selalu ada tiap tahunnya, sebelumnya Last Shift yang sempat masuk sini juga nggak disangka bagus.

      Delete
  3. Min review film Perancis 'raw' dong

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ntar yaa nungguin pas film bioskopnya lagi sepi biar nggak numpuk. Mungkin minggu depan :)

      Delete
  4. Sudah nonton.. dan lumayan bagus lah.. tidak seseru dan selucu The Mummy Brendan Fraser sih.. tapi setidaknya tidak membosankan. Ceritanya mengalir mulus, padat, ada humor, sedikit mencekam, tapi gak ada gimana ya.. tidak ada suasana petualangannya kayak The Mummy terdahulu.. kasih nilai 7 dari 10 deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh. Kalau cerita mengalir mulus dan padat kok aku sama sekali nggak setuju ya? Justru kelemahan terbesar film ini ada disitu. Sejak act 2 langsung berantakan kemana-mana. Nggak fokus (Ahmanet jadi kayak pajangan saja, padahal ini berjudul Mummy?), karakter yang muncul out of nowhere (Jekyll?), dan tone nggak konsisten. Action nggak, horror nggak, apalagi komedi petualangan.

      Delete
  5. Tidak disangka mendapat rating 2.5. Di samping lebih banyak zombi ga jelas di akhir, dan adegan kejar2 an yg biasa aja tapi secara keseluruhan cukup menyenangkan dan menegangkan untuk di tonton.

    ReplyDelete
  6. Nyesel ga baca review disini dulu sebelum nonton semalem. Aku setuju banget kalo filmnya boring abissss.... zzzzz.... muminya ga jelas mau ngapain. Ga ada serem2nya pula!

    ReplyDelete
  7. Cuman 1 kalimat yang gereget di akhir film dari jekyll aka russel crow “Sometimes it does take a monster to fight a monster.” udah itu aja.

    ReplyDelete
  8. Secara personal, menurutku film ini dapet feel mencekam dan tegangnya, walaupun ada beberapa adegan yang menurutku kurang masuk diakal

    ReplyDelete
  9. saya malah lebih tertarik barang2 yg dikoleksi sama organisasi pimpinan dr jekyll.. hehe.

    ReplyDelete