The Battleship Island telah memberi tanda centang terhadap semua rumusan baku yang diperlukan untuk menjadi sebuah sajian blockbuster menggelegar. Pertama, film ini diarahkan Ryoo Seung-wan, sutradara spesialis laga yang memberi kita The Berlin File (2013) dan Veteran (2015) yang amat seru itu. Kedua, film ini dibintangi jajaran pemain kenamaan dengan kualitas akting mumpuni seperti Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun. Ketiga, film ini memboyong topik seksi berupa fiksionalisasi atas peristiwa nyata yang menimpa warga Korea di Pulau Hashima, Jepang, kala Nippon tengah beringas-beringasnya ke sesama sedulur Asia pada Perang Dunia II. Dan keempat, film ini dianggarkan dengan dana raksasa untuk ukuran film asal Korea Selatan yakni mencapai lebih dari $20 juta demi membangun set baru yang menyerupai setiap sudut Pulau Hashima. Kombinasi maut yang dipunyai The Battleship Island ini memang membuatnya terkesan sebagai tontonan gigantis dan tak mungkin salah di atas kertas – sehingga tak mengherankan empat juta warga Negeri Gingseng berbondong-bondong menyaksikannya di bioskop dalam lima hari pertama. Yang lantas menjadi pertanyaan adalah akankah realita benar-benar memenuhi ekspektasi ini atau sekali lagi realita mengkhianati ekspektasi?
Dalam merekonstruksi peristiwa yang terjadi di pulau berjulukan Battleship Island (Pulau Kapal Perang, sebutan yang merujuk pada bentuk fisiknya) pada tahun 1945 atau jelang dibombardirnya Nagasaki yang berjarak 15 km dari Hashima, Ryoo Seung-wan mengambil pendekatan fiktif. Sang sutradara yang bertindak pula selaku penulis skrip membagi penceritaan dalam film menjadi tiga subplot yang masing-masing melibatkan seorang pemain band bernama Lee Kang-ok (Hwang Jung-min) beserta putrinya, Lee So-hee (Kim Su-an), seorang kepala preman yang kerap bikin onar bernama Choi Chil-sung (So Ji-sub), dan seorang tentara gerakan kemerdekaan Korea bernama Park Moo-young (Song Joong-ki). Seperti halnya ratusan warga Korea lain, Lee dan Choi dijebak Jepang untuk bekerja dalam tambang batu bara yang berada di sebuah pulau kecil tengah laut. Guna bertahan hidup, Lee memanfaatkan kemampuannya bersilat lidah untuk berkawan akrab dengan para petinggi Jepang, sementara Choi menggunakan keahlian bertarungnya untuk menjadi ‘mandor’ bagi pekerja Korea. Gelaran konflik dalam film mulai berkembang tatkala Lee mendapati identitas sesungguhnya dari Park yang menyamar sebagai pekerja guna membebaskan salah seorang pejuang kemerdekaan. Lee yang dimintai bantuan oleh Park berkat luasnya jaringan pertemanannya, tentu tak tinggal diam begitu saja saat kesempatan melarikan dari pulau bersama sang putri tertampang nyata di depannya.
Realita memenuhi ekspektasi adalah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan di penghujung paragraf pembuka. Ya, Ryoo Seung-wan berhasil menghadirkan The Battleship Island sebagai sebuah tontonan yang bukan saja epik, tetapi juga menghantui sekaligus mengoyak emosi. Sulit untuk menghempaskan apa yang kita saksikan sepanjang 132 menit begitu saja dari benak dalam waktu dekat. Betapa tidak, tata produksinya tergarap detil yang memungkinkan penonton untuk meyakini bahwa kita telah dilempar kembali oleh si pembuat film ke 72 tahun silam. Seolah-olah kita menjadi saksi hidup dari kejamnya kehidupan yang mesti dilalui para budak kerja paksa yang dikirim ke Pulau Hashima. Sedari awal, sulit untuk tidak merasa miris dan meringis melihat pemandangan yang terhampar di layar. Terlebih Ryoo pun tak segan-segan menghamparkan sederet adegan kekerasan yang akan membuatmu ngilu bukan main guna memberi kesan riil dalam menggambarkan kekejaman Perang dan keberingasan Jepang. Salah satu paling sulit dilupakan ada pada adegan serdadu Jepang memaksa seorang perempuan dari rumah bordil yang mengaku sakit untuk berguling-guling di atas papan yang telah ditancapi banyak paku. Menyesakkan! Lainnya, kamu akan melihat betapa mudahnya menjumpai mayat bergelimpangan di pulau ini atau isi tubuh manusia terburai ketika senjata dan bom menunjukkan peranannya.
Menyadari bahwa penonton tak akan kuat bertahan apabila The Battleship Island dilantunkan dengan nada penceritaan melulu depresif, si pembuat film menebarkan bubuk humor selagi ada celah. Sosok Lee yang diceritakan sebagai penjilat ulung kerap menjalankan tugas menjadi comic relief bersama rekan-rekan band-nya atau putrinya. Keberadaannya senantiasa menghadirkan keceriaan tersendiri, namun di sisi lain turut membawa penonton dalam rasa hangat, cemas, dan pilu. Dibandingkan karakter inti lain seperti Choi dan Park, jatah tampil yang diberikan kepada Lee memang lebih mencukupi. Kita diberi kesempatan menjalin keterikatan bersamanya berkat sorotan ke hubungan ayah-anak, lalu kita juga melihatnya mengalami perkembangan sebagai satu karakter. Keputusan memberi ruang lebih besar terhadap plot yang melingkungi Lee ini bukannya tanpa resiko. Konsekuensi yang mesti dihadapi, subplot dan karakter lain agak terpinggirkan. Memasuki pertengahan film The Battleship Island terasa agak melelahkan buat diikuti lantaran intriknya terlampau dipaksakan untuk bercabang-cabang tanpa pernah dipaparkan secara layak. Tak terelakkan lagi, kebingungan sempat melanda akibat banyak karakter dan persoalan yang berlalu lalang. Terseok-seok selama beberapa saat, film kembali menemukan ritmenya ketika memasuki klimaks yang menghentak.
30 menit terakhir dari The Battleship Island adalah bagian terbaik yang dimiliki film. Kapabilitas Ryoo dalam membesut sekuens laga mendebarkan kembali dipertontonkannya disini. Sulit untuk menghembuskan nafas lega melihat Park dibantu Lee dan beberapa karakter kunci lain dalam menjalankan misi membawa ratusan pekerja Korea untuk melarikan diri dari pulau dengan mengendap-endap di pagi buta. Apa yang terjadi saat sebagian besar pihak Jepang masih terlelap sungguh mendebarkan, lalu saat mereka terbangun dan memberikan perlawanan, pertempurannya berlangsung seru. Memperoleh tunjangan sangat baik sekali dari gerak kamera Lee Mo-gae dan penyuntingan duo Kim Jae-bum beserta Kim Sang-bum, klimaks The Battleship Island menghadirkan cukup banyak momen untuk dikenang. Namun selagi beberapa kawan menyebut “bendera disobek” atau “mengangkat jembatan besi yang patah” sebagai momen berkesan dalam film, saya justru memilih shot terakhir yang menghantui dan menghantam emosi di saat bersamaan itu sebagai momen paling menancap di memori. Melaluinya, diri ini semakin meyakini bahwa aktris cilik yang sebelumnya kita kenal melalui Train to Busan, Kim Su-an, akan memiliki masa depan cerah dalam karir berlakon. Performa luar biasanya adalah penggerak utama The Battleship Island, bahkan melampaui Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun yang juga sumbangkan akting sangat apik.
Outstanding (4/5)
Terkadang aku suka kesel sendiri deh kenapa gak bisa nonton film sebagus ini π’π’
ReplyDeleteBtw, jadi itu anak kecil yang main Train to Busan? Aku baru ngeh. Kecenya ya diaa ππ
Iya kece banget. Kagum dengan aktingnya disini, bisa bikin ketawa, gemes, jengkel, sampai nangis bombay. π
DeleteTumben telat bung, biasanya film kece bgini cepat kluar reviewnya. Jadi gk brani ngasih skor smpurna ni bung? π
ReplyDeleteNontonnya pun telat karena lebih prioritasin The Underdogs dan ABC. Dan soal skor sempurna, well... Kalau kamu baca reviewku tentu paham dong alasan kenapa aku nggak ngasih nilai 5? Bukan nggak berani tapi emang nggak sesempurna itu buatku.
DeleteThank review nya jadi semakin yakin mau nonton nya.Besok lah saya langsung nonton.
ReplyDeletetapi ada satu hal yang menganggu saya dan agak bikin salah fokus adalah song jong ki-nya terlalu imut untuk jadi tentara (bayangan saya tentara kan badannya gede, kulit gosong kepanasan terus, dll) masa di setting yang kotor aja masih tetep 'kece'. komentar yang menghasilkan protes temen-temen saya yang k-popers hahaha....
ReplyDeletebtw, film-nya bagus banget dan wajib buat ditonton! thanks buat review-nya..
Hahaha. Biarlah, bagaimanapun tetep kudu ada yang bening buat jualan. Kalau semuanya dibikin belepotan ntar penonton umumnya ogah mendekat :)))
DeleteKalo adegan faforid saya pas mereka sama2 megang lilin dan mulai bersatu untuk berjuang melolosan diri dan saat bagian ayah dan anak itu bernyanyi sambil menari di bawah cahaya lampu terasa banget antara terharu sekaligus nyesak disitu..
ReplyDeleteAdegan seperti foto di atas kan? Iya, itu salah satu yang bikin terenyuh juga. Nyaris meneteskan air mata dalam adegan tersebut. Sewaktu ayah-anak bermain di bawah lampu itu juga nyesek.
DeleteIya adegan seperti foto diatas.Tapi entah kenapa menurut saya kalo adegan yg banyak bikin tangis saya lebih milih Train to Busan ya kalo di The Batteship Island ini hanya sampe mata berkaca-kaca tak histeris sperti Train to Busan yg saya sampe usap-usap air mata beberapa kali.
DeleteYa, Train to Busan emang lebih mengena dalam permainan emosi. Naskah dan karakterisasinya lebih fokus sih. Nggak kebanyakan subplot yang mendistraksi.
DeleteIya benar sekali Train to Busan lebih terasa pesonal sekali apalagi bagi kita yg sayang banget sama keluarga dan nilai kemanusia nya lebih terasa.
DeleteBdw kamu tahu gak judul lagu saat di bagian ending nya..Lagu nya terasa nyesek juga
DeleteAh, sayangnya tidak tahu karena kurang nempel di telinga jadi tak berburu info. Hahaha. Mencari informasinya juga agak sulit.
DeleteLiat so hee jadi keingat chloΓ« grace moretz waktu masih imut. Wow, she is talented.
ReplyDeletePunya potensi buat jadi aktris gede :)
Deletejadi pengen nonton
ReplyDeletesaya rasa ini adalah film terbaik di tahun 2017 yang saya tonton ...
ReplyDeleteBaru nonton kemaren. Iya, si aktris cilik nya gemesin banget! Baru nyadar pas film nya abis, kayak nya pernah liat. Ending nya mirip ama train to busan *sad
ReplyDeleteWaah reviewnya detail makasih yaaaa jd tmbah tau, denger" katanya film ini byak ga dsukai pihak jepang kah? Btw lagu ending train to busan judulnya goodbye world. Kalau mau liat arasemennya liat di yutub jang young gyu - goodbye world.
ReplyDelete