Pages

March 20, 2018

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)

2 comments:

  1. makasih reviewnya kak, aku dah nyimpen ini film di *want to watch* list, tapi masih bimbang

    ReplyDelete