Pages

September 28, 2018

REVIEW : ARUNA DAN LIDAHNYA


“Hati-hati jangan terlalu antipati. Nanti simpati, trus empati trus jatuh hati.” 

Disadur secara bebas dari novel berjudul sama rekaan Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya menyoroti perjalanan empat sekawan ke empat kota di Indonesia dalam misi menginvestigasi kasus flu burung dan pencarian makanan. Empat sekawan tersebut antara lain Aruna (Dian Sastrowardoyo), Farish (Oka Antara), Bono (Nicholas Saputra), dan Nad (Hannah Al Rashid). Mulanya, perjalanan ini diniatkan sebagai pelesiran untuk icip-icip makanan Nusantara semata oleh Aruna dan sahabat baiknya yang seorang koki, Bono, guna menindaklanjuti rencana kulineran yang terus tertunda. Tapi setelah Aruna yang menjalani profesi sebagai ahli wabah ditugaskan oleh atasannya untuk menyelidiki kasus flu burung di Surabaya, Pamekasan, Pontianak, beserta Singkawang, mereka pun seketika mengubah rencana. Bono mengikuti Aruna dalam perjalanan dinasnya, dan mereka akan berburu makanan khas daerah setempat usai Aruna menuntaskan pekerjaannya. Ditengah perjalanan ini, keduanya turut menyambut kehadiran Nad, kritikus makanan yang ditaksir Bono, dan Farish, mantan rekan kerja Aruna yang turut ditugaskan dalam investigasi ini. Keberadaan dua pendatang ini membuat perjalanan yang semestinya sederhana menjadi terasa rumit lantaran Aruna diam-diam menaruh hati kepada Farish. Aruna mengalami pergolakan batin tatkala hendak mengungkapkan cintanya lantaran dia mengetahui sang pujaan hati telah memiliki kekasih dan ditambah lagi, Nad terlihat seperti menaruh perasaan yang sama kepada Farish. 

Tak seperti karya-karya terdahulunya yang sarat simbol selaiknya Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) maupun Kebun Binatang (2012), serta mengedepankan narasi kompleks nan muram untuk kisah percintaan remaja yang umumnya straight to the point seperti diterapkannya dalam Posesif (2017) yang menghadiahinya sebuah Piala Citra, Edwin mencoba menarasikan Aruna dan Lidahnya secara apa adanya dan cenderung cerah ceria. Malah, penuh dengan gelak tawa. Memang betul sang sutradara masih menyelipkan unsur surealis ke dalam penceritaan yang bergerak di jalur realis, seperti mimpi-mimpi Aruna atau berdangdut ria diiringi tembang “Hoka-Hoke” di atas kapal pesiar. Tapi secara keseluruhan, film ini bertutur secara konvensional tanpa membutuhkan penafsiran macam-macam terhadap visual yang dihamparkannya. Kamu bisa saja mengikuti perjalanan Jeung Aruna seraya menyantap nasi goreng, mengudap kentang goreng, dan menyeruput es kopi susu pandan. Saya sangat menyarankanmu untuk tak menyaksikan film ini dalam keadaan perut kosong atau tanpa ditemani makanan buat disantap karena parade makanan yang menghiasi layar (konon, total jendral ada 21 jenis makanan khas Indonesia yang nongol di film ini) bakal membuat perutmu bergemuruh. Sungguh menggoda iman! Rentetan makanan tersebut muncul sebagai penanda peralihan lokasi menggantikan landmark yang sudah terlanjur umum, penggerak cerita mengingat motivasi sebagian karakter di film ini bersinggungan dengan makanan, hingga tentunya, dimanfaatkan sebagai analogi atas perasaan yang menghinggapi sang protagonis utama. 


Meski poin terakhir tak selalu diterapkan – paling mencolok ada di adegan Aruna menyantap rujak soto seorang diri – yang sebetulnya cukup disayangkan karena saya berharap bisa mendengar lebih banyak filosofi dibalik suatu makanan, tapi setidaknya deretan makanan tersebut bukan sebatas gimmick. Kecintaan terhadap makananlah yang mendorong Aruna, Bono, serta Nad untuk merealisasikan perjalanan ini, sekaligus mendekatkan Aruna dengan Farish. Keduanya acapkali cekcok apabila membicarakan tentang pekerjaan, tapi keduanya rukun ketika menyantap makanan khas suatu kota. Pun begitu, Edwin tak melulu menyodori penonton dengan pemandangan menggiurkan mulut dan perut. Tak melulu pula mempergunjingkan tentang makanan sekalipun interaksi antar karakter kerap difasilitasi oleh meja makan. Dalam perjalanan kuliner berselimutkan perjalanan dinas ini, kita turut diajak memperbincangkan tentang asmara, persahabatan, passion, kehidupan, sampai politik. Ya, bahan obrolan empat sekawan tersebut tak hanya berputar-putar di kisaran makanan terlebih Farish termasuk tipe “yang penting kenyang”. Pembicaraan seputar urusan hati sangat sering disorot mengingat keempatnya terperangkap dalam persoalan memendam cinta, lalu terkait persahabatan serta passion bisa ditemukan melalui interaksi mereka dan semangat membuncah dalam diri Bono-Nad ketika dipertemukan dengan makanan, kemudian mengenai kehidupan bisa ditengok dari celotehan pasien-pasien terindikasi flu burung (plus keluarganya), sementara politik erat kaitannya dengan investigasi flu burung yang dijalankan oleh Aruna-Farish. Pada satu titik, keduanya sempat dihadapkan pada satu pertanyaan: apakah mungkin investigasi ini hanya akal-akalan pusat demi memperoleh kucuran dana? Menarik. 

Pun begitu, obrolan mengenai kasus flu burung dan sederet topik lain untuk menemani perjalanan tak lantas menjamin Aruna dan Lidahnya terbebas sepenuhnya dari fase jenuh. Menginjak pertengahan durasi, film yang semula enerjik terasa agak gontai. Plot seputar investigasi berjalan di tempat tanpa ada perkembangan signifikan dari menit-menit awal bahkan sebetulnya tak terasa urgensinya menampilkan subplot ini selain demi patuh pada materi sumber, begitu pula dengan plot seputar asmara yang tak banyak menunjukkan pergerakan. Apabila jajaran pemain kurang luwes dalam berlakon, datangnya fase semacam ini merupakan pertanda datangnya musibah. Beruntung, Aruna dan Lidahnya turut disokong oleh chemistry asyik keempat pemainnya sehingga penonton tak terjebak dalam kebosanan. Dian Sastro, Nicholas Saputra, dan Hannah Al Rashid terlihat meyakinkan selayaknya trio kawan baik yang telah lama tak ngumpul bareng, sedangkan Oka Antara tak ubahnya orang asing dalam lingkaran pertemanan ini yang memberi percikkan nuansa kecanggungan. Ketika mereka dibiarkan untuk berdiri sendiri, Dian Sastro dan Hannah Al Rashid menjadi duo paling menonjol. Saya menyukai energi yang diberikan oleh Hannah untuk karakternya yang menggemari tantangan, saya juga menyukai ekspresi berikut gestur yang ditunjukkan Dian Sastro setiap kali karakternya malu-malu tapi mau saat berada di dekat Farish dan 'merobohkan dinding kempat' (seolah berbicara kepada penonton seperti Deadpool). Bikin gemas, bikin ketawa ngakak. Lakon apik jajaran pemain ini merupakan salah satu kunci yang membuat Aruna dan Lidahnya terasa lezat kala disantap disamping visual yang bikin ngiler dan pemilihan lagu-lagu pengiring dari era 80-an sampai 90-an yang mampu merasuk ke dalam sejumlah adegan utamanya “Antara Kita” milik Rida Sita Dewi yang dibawakan ulang oleh Monita Tahalea.

Exceeds Expectations (3,5/5)


11 comments:

  1. Wajib nonton ini, Oh iya bang nggak review film Santet, menurut Abang dari trailernya gimana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak membuatku tertarik untuk nonton. Hahaha. Film horor Indonesia yang aku incer cuma Asih, Jaga Pocong, The Returning, dan Suzzanna.

      Delete
  2. Romansa di film ini kuat gak min,,,apa hanya sekilas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kuat kok. Kan salah satu konflik utama di film. Memendam cinta.

      Delete
    2. Ok min seninlah baru bisa otw nonton..

      Delete
  3. Kok 3.5?kirain bakal kasih 4 atau 4.5

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih ada beberapa hal yang mengganjal. 3,5 ini juga sangat terbantu oleh akting dan lagu 😁

      Delete
  4. Ekspresi2nya dian bikin gemas. Abis nonton ini jadi pengen dimasakin sama NicSap, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha. Aku tergoda dengan roti panggang keju buatan Bono. Menggoda.

      Delete
  5. Di banyak review film yang lain min, banyak yang mengatakan ini film terbaik Indonesia ditahun 2018

    ReplyDelete