Pages

October 19, 2018

REVIEW : FIRST MAN


“That’s one small step for man, one giant leap for mankind.” 

Meski tak ada lagi suara gebukan drum yang intens maupun dua sejoli bersenandung dengan indah, karya terbaru dari sutradara penggenggam piala Oscar, Damien Chazelle (Whiplash, La La Land) yang bertajuk First Man masih mengusung tema kesukaannya perihal ‘ambisi dan menggapai mimpi’. Tak tanggung-tanggung, subjek kulikan Chazelle kali ini adalah sosok nyata yang namanya terukir di sejarah dunia sebagai manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan, yakni Neil Armstrong. Disadur dari buku rekaan James R. Hansen, First Man: The Life of Neil A. Armstrong, si pembuat film tak hanya merekonstruksi peristiwa bersejarah tersebut yang masih diyakini oleh sebagian umat manusia sebagai kebohongan belaka tetapi juga menelusuri sisi personal dari sang astronot yang tak banyak diketahui oleh khalayak ramai termasuk pergolakan batin yang mewarnai detik-detik jelang peluncuran Apollo 11 (kendaraan ruang angkasa yang berjasa dalam membawanya membumbung ke bulan). Sebuah materi untuk sajian biopik yang menggugah selera, tentu saja, terlebih sang sutradara memilih untuk melantunkan penceritaan dengan metode character-driven dengan memanfaatkan sosok Neil Armstrong. Metode ini memang memungkinkan bagi penonton untuk melongok masa-masa penting bagi misi penjelajahan luar angkasa ini secara intim. Namun resiko yang diboyongnya pun tak kecil terutama jika karakter yang dimanfaatkan sebagai kacamata penonton tak cukup kuat dalam menggugah ketertarikan. 

First Man sendiri mengambil latar penceritaan ditengah berlangsungnya space race – sebutan untuk persaingan sengit antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet dalam bidang penjelajahan luar angkasa – atau lebih spesifiknya sedari tahun 1961 hingga 1969. Pada era 1960-an awal, Neil Armstrong (Ryan Gosling) yang bekerja sebagai pilot penguji kelayakan di National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengalami fase-fase terberatnya dalam hidup. Karirnya mengalami kemerosotan lantaran sejumlah kecelakaan yang disinyalir akibat pikiran Armstrong yang tak fokus dan putri bungsunya, Karen, mengidap tumor otak yang mengharuskannya untuk mengikuti serangkaian metode perawatan. Saat Karen akhirnya berpulang, Armstrong mencoba mengalihkan duka laranya dengan mendaftar pada Proyek Gemini yang berambisi untuk membawa manusia ke bulan. Armstrong berhasil lolos tes sehingga dia bersama istrinya, Janet (Claire Foy), dan putra mereka pun pindah ke Houston dimana mereka menjalin ikatan persahabatan dengan keluarga astronot lain. Selama beberapa tahun berikutnya, karir Armstrong secara perlahan tapi pasti mulai berkembang seiring dengan menonjolnya kemampuan analitisnya sampai kemudian dia dipercaya untuk mengomandoi Apollo 11. Bukan perkara mudah bagi Armstrong dalam mengemban tanggung jawab ini mengingat beberapa kawan baiknya tewas dalam misi-misi sebelumnya. Tak hanya menyiapkan mental bagi dirinya sendiri, dia pun harus menyiapkan keluarganya untuk menerima kemungkinan paling buruk yang akan terjadi dalam peluncuran Apollo 11 ini. 


Harus diakui, menyaksikan First Man di layar bioskop bukanlah pengalaman sinematik yang mudah. Film ini tidak buruk, malah terbilang sangat baik, karena Chazelle mampu menghadirkan sebuah sajian biopik dalam kualitas mengesankan di sektor lakonan pemain dan teknis utamanya pada tata suara (coba dengarkan detilnya penggarapan suasana di roket dan ruang angkasa) beserta iringan musik menghanyutkan dari Justin Hurwitz yang beberapa melodinya melemparkan ingatan ke La La Land. Hanya saja membutuhkan fisik segar bugar agar dapat melalui durasi yang merentang hingga 140 menit tanpa harus terkantuk-kantuk maupun mual-mual. Terkantuk-kantuk, karena film menerapkan laju penceritaan dengan tempo lambat dan tak banyak menyuplai letupan-letupan emosi. Sosok Neil Armstrong yang selama ini saya bayangkan sebagai pribadi penuh warna dengan kepercayaan diri tinggi, ternyata diinterpretasikan secara jauh berbeda oleh Ryan Gosling. Dia tampak menekan emosi yang dipunyainya sehingga kesan didapat dari karakternya adalah kalem, kaku, serta cenderung dingin. Gosling kerap memanfaatkan ekspresi dan gestur untuk menunjukkan perasaannya tanpa pernah sekalipun meluapkannya. Bukan pilihan yang salah, tentu saja, hanya saja mengingat Chazelle ‘meminjam mata’ Armstrong sebagai sudut pandang penonton, plus pergerakan kisah bergantung pada Armstrong termasuk bagaimana dia berdamai dengan duka dan trauma, agak sulit untuk benar-benar menaruh afeksi kepadanya ketika karakternya terasa berjarak. Dampak dari ketidakmampuan dalam memahami si karakter utama secara menyeluruh adalah dua babak pertama berlangsung cukup sulit – jika tidak mau dibilang menjemukan. 

Yang justru mencuri perhatian adalah Claire Foy sebagai seorang istri yang senantiasa dirundung was-was dalam menanti kepulangan sang suami. Foy mempersembahkan akting gemilang ketika Janet terserang panik menyusul terputusnya siaran radio yang mengabarkan status terkini dari Armstrong sehingga dia pun mendatangi langsung kantor NASA, dan tentu saja, momen klimaks yang mempersilahkan karakternya untuk mengonfrontasi sang suami yang mengalami ketakutan dalam mengutarakan kemungkinan terburuk kepada anak-anak mereka. Berkat Foy, adegan di meja makan menghasilkan sebuah getaran – yang sebelumnya hanya muncul samar-samar – dan bulir-bulir air mata bisa dirasakan yang lantas secara resmi mengalir tatkala Armstrong mampu memenuhi mimpinya, mimpi-mimpi rekan-rekannya yang gugur dalam tugas, dan mimpi umat manusia untuk menjejakkan kaki di bulan. Adegan berjalan di bulan yang ditangkap menggunakan kamera IMAX memberikan sensasi merinding. Apa yang disajikan oleh Chazelle di menit-menit jelang penghujung durasi ini mengompensasi perjalanan ‘menaiki roket sekaligus menyelami kehidupan Armstrong’ yang tak sepenuhnya berlangsung nyaman seperti menimbulkan efek samping berupa kantuk dan mual. Mual yang saya maksud merujuk pada kamera yang seringkali berguncang ditambah pewarnaan yang grainy dan adakanya blur demi memberikan kesan otentik seolah-olah kita adalah astronot di era 1960-an. Tidak hanya saat memasuki roket tetapi juga saat kita mengikuti para karakter utama dalam bersosialisasi. Itulah mengapa pihak bioskop semestinya mencantumkan satu persyaratan mutlak bagi calon penonton First Man, yakni fisik segar bugar.

Exceeds Expectations (3,5/5)


10 comments:

  1. Gan, please review film The Night comes for US.. review nya dari luar bagus, w pengen tau review versi dari cinetariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Auto bagus dong. Kan yg bikin timo *pengabdi timo bros*

      Delete
    2. Hahaha. Tapi saat bikin film laga, Timo biasanya nggak sebagus itu sih.

      Delete
  2. Review dari kritikus luar buat The Night comes for US gila2 semua.. Apakah lebih bagus dibandingkan THE RAID.. Kalau cinetariz bilang film ini OUTSTANDING w percaya..maka nya ditunggu reviewnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syiap. Ntar kalau sudah ditonton, bakal lekas diulas 😀

      Delete
  3. Iya di tunggu review The Nighy Comes for Us nya. 😊

    ReplyDelete
  4. Bang uda berhari2 nunggu review nya Halloween sama The Night Come For Us, eh ternyata yg keluar malah First Man, ga asiiik ah 😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Mengejar ketertinggalan nih setelah beberapa hari berlibur. Semoga secepatnya terkejar 🙏

      Delete