December 30, 2018

REVIEW : ASAL KAU BAHAGIA


“Jadi selama ini kamu menderita ya pura-pura cinta sama aku? Kenapa kamu nggak jujur aja kalau kamu nggak bahagia sama aku?” 

Apabila kamu cukup rutin mengikuti perkembangan musik tanah air, rasa-rasanya mustahil tidak mengenali tembang Asal Kau Bahagia yang dibawakan oleh Armada. Betapa tidak, ini adalah salah satu tembang paling populer sepanjang tahun 2017 lalu. Liriknya yang memperbincangkan tentang ketidaksetiaan dalam hubungan asmara menempatkannya sebagai anthem galau bagi kawula muda. Kamu akan mendapati lagu ini diperdengarkan di berbagai tempat: radio, kafe, sampai pusat perbelanjaan. Bahkan, official lyric video dari Asal Kau Bahagia telah ditonton lebih dari 200 juta kali sejak pertama kali diunggah di Youtube pada bulan Februari setahun silam (!). Sebuah pencapaian yang tergolong fantastis untuk ukuran lagu Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian rumah produksi Falcon Pictures bergerak cepat untuk memboyongnya ke dalam format film layar lebar – mengikuti jejak Surat Cinta Untuk Starla (2017) yang versi lagunya meledak di waktu bersamaan – dengan menempatkan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Teman Tapi Menikah) di kursi penyutradaraan. Yang kemudian menarik perhatian adalah interpretasi terhadap lirik lagu tersebut dikembangkan menjadi tontonan percintaan berselimutkan elemen fantasi yang mengulik soal out-of-body experience. Satu plot yang sejatinya sudah cukup umum dalam genre drama romantis sehingga tak salah kalau kamu mendadak teringat kepada Just Like Heaven (2005), Langit ke 7 (2012), atau If I Stay (2014). 

December 29, 2018

REVIEW : MARY POPPINS RETURNS


“Everything is possible, even the impossible.” 

“What a lovely movie!” adalah komentar pertama yang meluncur dari mulut selepas menyaksikan Mary Poppins Returns di bioskop. Memang betul film arahan Rob Marshall (Chicago, Into the Woods) ini cenderung menyerupai remake dari Mary Poppins (1964) ketimbang sekuel dengan sederet adegan kentara mereplika film terdahulu, tapi pendekatan tersebut bukanlah suatu kesalahan. Para penggemar akan menghirup aroma nostalgia sementara mereka yang sama sekali asing dengan karakter rekaan P.L. Travers ini tidak akan tersesat saat mencoba menontonnya. Saya pribadi tidak menyalahkan keputusan Walt Disney Pictures dalam menyalurkan narasi dengan cara seperti ini, toh si pembuat film sanggup melakukannya. Sanggup menangkap sisi magis dari film pertama yang kini bersatus sebagai film klasik. Jadi, apa yang harus dikeluhkan? Tidak, tidak ada. Mary Poppins Returns memberikan salah satu pengalaman terbaik bagi saya dalam menonton film di layar lebar tahun ini. Ada begitu banyak kebahagiaan, ada begitu banyak keceriaan, dan tidak tersedia kesempatan untuk bersungut-sungut. Selama durasi mengalun yang merentang hingga 130 menit, Mary Poppins Returns mengingatkan penonton dengan pesan lawas tapi tetap relevan sampai kapanpun: jangan pernah melupakan jiwa kanak-kanakmu. Karena jiwa kanak-kanak inilah yang akan menjagamu untuk tetap berpikir dan bersikap positif ditengah situasi dunia yang kian tak bersahabat. 

December 20, 2018

REVIEW : BUMBLEBEE


“The darkest nights, produce the brightest stars.” 

Saat franchise Transformers disebut, apa yang pertama kali terlintas di benakmu? Pertarungan antar robot yang gegap gempita kah? Atau karakter-karakternya semacam Optimus Prime dan Bumblebee? Atau efek khususnya yang mencengangkan mata? Atau malah justru suasananya yang begitu riuh sampai-sampai telinga pengang lantaran berisiknya minta ampun? Bagi saya, franchise yang diinisiasi oleh Michael Bay ini hanya memunculkan satu ingatan: tontonan blockbuster yang meriah dari segi tampilan, tapi nihil kandungan gizi. Pokoknya “tarung, tarung, tarung” lalu “ledak, ledak, ledak” sementara narasi tidak memiliki urgensi lantaran hanya dimanfaatkan untuk menjustifikasi keberadaan sekuens laga. Untuk sesaat sih memang seru ya, cuma untuk jangka waktu panjang ini terasa melelahkan. Itulah mengapa satu-satunya seri yang meninggalkan kesan diantara lima instalmen adalah Transformers jilid awal (2007), sementara sisanya saya bahkan tidak bisa mengingat guliran penceritaannya seperti apa kecuali diberi contekan. Mirip semua sih! Saya pun sejatinya sudah hilang harapan pada franchise ini hingga mencapai titik melontarkan satu pertanyaan bernada skeptis, “apakah masih mungkin bagi Transformers untuk memiliki satu seri saja yang bagus?.” Seolah rajukan ini didengar, pihak studio pun menelurkan sebuah spin-off bertajuk Bumblebee yang menaruh perhatian serius pada narasi dan mengaplikasikan gaya pengisahan berbeda. Tentu saja saya seketika mempertimbangkan ulang keragu-raguan ini karena mereka berhasil membuktikan bahwa kemungkinan tersebut masih ada.

December 18, 2018

REVIEW : MILLY & MAMET (INI BUKAN CINTA & RANGGA)


“Kalau orang cari suami yang ganteng, aku mah cari yang baik.” 

“Aku nggak jelek-jelek amat kaliii…” 

Saat menonton Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016), diri ini setengah terkaget-kaget. Lho kok Milly (Sissy Prescillia) bisa menikah dengan Mamet (Dennis Adhiswara)? Gimana ceritanya dua manusia paling polos dalam semesta Ada Apa Dengan Cinta? Ini bisa menjalin asmara? Apabila kamu mengikuti kisahnya Cinta (Dian Sastrowardoyo) and the gang sejak awal mula, tentunya tahu kalau Mamet naksir berat dengan si pentolan geng – meski kita semua sadar, keduanya mustahil bersatu. Kamu juga tentu tahu kalau Milly sering sengak kepada Mamet yang dianggapnya bloon nan ngerepotin. Bahkan, hingga insiden merebut mobil Mamet demi mengantarkan Cinta ke bandara, percik-percik asmara diantara keduanya pun tak tampak. Lalu, apa yang akhirnya membuat mereka saling taksir, lalu menikah dan punya anak? Subplot yang menggelisahkan para penggemar berat ini tetap dibiarkan menjadi misteri hingga ujung durasi film kedua oleh Riri Riza selaku sutradara sekaligus penulis skenario. Penonton dibebaskan menerka-nerka dengan imajinasinya sendiri sampai kemudian Miles Films mengajak tandem Starvision untuk mengkreasi sebuah spin-off atau film sempalan yang meletakkan fokusnya pada kehidupan personal dua sejoli lucu ini. Bukan lagi Rudi Soedjarwo, bukan pula Riri Riza, Mira Lesmana si produser justru merekrut Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Susah Sinyal) untuk menggarap film bertajuk Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) yang muatan komedinya begitu kental ini. Yaaa… sejalan dengan pembawaan dua karakter tituler yang jauh dari kesan serius dan keahlian sang sutradara lah. 

December 17, 2018

REVIEW : SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE

 

“One thing I know for sure. Don’t do it like me, do it like you.” 

Hanya dalam kurun waktu satu dekade, publik telah mendapatkan setengah lusin film (!) mengenai karakter superhero milik Marvel Comics, Spider-Man, yang terbagi ke dalam tiga semesta penceritaan. Yang pertama tergabung dalam trilogi gubahan Sam Raimi dengan Tobey Maguire sebagai bintang utamanya, lalu yang kedua adalah reboot pertama yang memosisikan Andrew Garfield di garda terdepan, dan yang terakhir adalah reboot kedua yang diniatkan sebagai bagian dari Marvel Cinematic Universe. Ketiga-tiganya memiliki karakter sentral serupa yakni Peter Parker dan jilid pertama dari ketiga franchise ini pun mempunyai origin story kurang lebih senada (perbedaan paling mencolok ada pada usia) sehingga muncul sekelumit pengharapan: tolong, jangan ada reboot lagi! Di saat saya – dan mungkin jutaan penonton lain – telah puas dengan keberadaan Spider-Man: Homecoming (2017) yang mengenalkan kita pada Tom Holland, Sony Pictures selaku pemilik hak cipta untuk adaptasi superhero ini membuat pengumuman mengejutkan. Kita akan mendapatkan versi layar lebar lain yang menyoroti sepak terjang Spidey dalam memberangus kejahatan. Untuk sesaat diri ini ingin berteriak, “whaaaattt?”, sampai kemudian saya mendapati bahwa versi terbaru ini akan dicelotehkan dalam format animasi dan si tokoh utama bukan lagi Peter Parker melainkan Miles Morales yang notabene merupakan karakter kulit hitam pertama di balik kostum Spidey. Hmmm… interesting

December 13, 2018

REVIEW : AQUAMAN


“A king fights only for his own nation. A hero fight for everyone.” 

Berbeda dengan rekan sejawatnya yang telah memiliki bangunan semesta yang mapan, DC Extended Universe (DCEU) masih terlihat meraba-raba mengenai apa yang seharusnya mereka perbuat selanjutnya untuk rangkaian film superhero hasil adaptasi komik keluaran DC Comics. Jajaran pemain beserta kru terus mengalami bongkar pasang (bahkan beberapa nama inti seperti Ben Affleck dan Henry Cavill pun hengkang), begitu pula dengan nada penceritaan yang diaplikasikan. Dari mulanya hobi gelap-gelapan seperti siluman, DCEU belakangan mulai merangkul tone yang cenderung ringan selaiknya superhero tetangga begitu menyadari bahwa tidak semua film membutuhkan pendekatan realitis cenderung muram bak trilogi The Dark Knight kepunyaan Christopher Nolan. Bagaimanapun juga, penonton umum membutuhkan spektakel gegap gempita kala memutuskan bertandang ke bioskop untuk menyaksikan film kepahlawanan yang disadur dari komik populer, alih-alih tontonan kontemplatif yang menyimpan bejibun subteks di dalamnya. Agree to disagree, my amigos! Upaya DCEU dalam menyesuaikan diri dengan pasar sekaligus back to basic ini pun pada awalnya tak berjalan mulus lantaran masih terkesan malu-malu meong. Kehadiran Wonder Woman (2017) yang menyuarakan pesan women empowerment tanpa pernah mengorbankan tiga poin penting bagi terwujudnya film berskala blockbuster yang impresif: laga, humor, serta hati, menjadi semacam titik balik. Berkat kesuksesannya secara finansial maupun kritikal, khalayak berkesempatan untuk melihat banyak keriaan dalam rilisan terbaru DCEU, Aquaman, yang tak lagi ragu-ragu menampakkan dirinya sebagai spektakel pelepas penat untuk memeriahkan libur akhir tahun. 

December 12, 2018

REVIEW : SESUAI APLIKASI


“Selama kita tabah, keadaan akan berubah.” 

Saat menonton suatu film, saya selalu memegang prinsip: look at the positive side. Sebisa mungkin, cari sisi positifnya sekalipun film yang ditonton adalah kreasi Nayato Fio Nuala atau diproduseri Dheeraj Kalwani yang sisi negatifnya bertebaran dengan sangat jelas di setiap sudut. Atau dengan kata lain, menemukan kebaikan dalam film mereka bak ngubek-ngubek tumpukan jerami buat menemukan satu jarum cuilik. Alamakjang, susahnyaaa! Saya pun demikian ketika akhirnya memutuskan untuk menyaksikan Sesuai Aplikasi garapan Adink Liwutang (The Underdogs) yang trailernya hanya mencuplik banyolan-banyolan dalam film tanpa pernah memberikan informasi perihal plot. Saya masih berbaik sangka ditengah ekspektasi yang sebetulnya sudah tiarap karena trailer ini sungguh garing. Mungkin si pembuat film ingin memperjelas ke calon penonton kalau film buatannya ini berada di jalur komedi. Mungkin si pembuat film menyisipkan satu twist besar yang berpotensi bocor kalau plotnya diumbar di trailer. Mungkin juga si pembuat film ingin memantik rasa penasaran calon penonton sehingga terus menerus berspekulasi karena petunjuk paling jelas yang disematkan di trailer adalah persahabatan dua driver ojek online. Apakah betul film ini semacam versi layar lebar dari sitkom Ok-Jek yang mengudara di kanal televisi Net? Jika kamu menduga demikian, well… kamu tidak sepenuhnya keliru. 

December 10, 2018

REVIEW : WIDOWS


“What I’ve learned from men like your late husband and my father is, that you reap what you sow.” 

Berpatokan pada materi promosi yang digebernya (baca: trailer), Widows memang tak ubahnya heist movie konvensional yang mengandalkan sekuens laga beserta strategi perampokan jitu penuh kecohan sebagai jualan utamanya. Mengingat seluruh karakter perempuan ditempatkan sebagai dalang utama dibalik aksi perampokan alih-alih sebatas karakter sampingan yang bertugas untuk mendistraksi, Widows pun mau tak mau mengingatkan pada Ocean’s 8 yang juga menyoroti sepak terjang sekumpulan perempuan dalam menggondol barang-barang berharga. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah kedua film ini mempunyai pendekatan senada seirama sekalipun premis besarnya terdengar serupa? Calon penonton yang mengantisipasi keserupaan – lebih-lebih ada nama Liam Neeson yang identik dengan gelaran laga meriah di jajaran pemain – mesti memahami bahwa film yang didasarkan pada novel rekaan Lynda La Plante ini (sebelumnya sempat diadaptasi pula dalam bentuk serial pada tahun 1983) bukanlah popcorn movie yang dapat disantap dengan santai seraya menyeruput minuman bersoda. Keberadaan Steve McQueen di kursi penyutradaraan sedikit banyak telah memberikan isyarat bahwa Widows bukanlah spektakel pelepas penat, melainkan film sarat komentar sosial selaiknya dua film terdahulu sang sutradara, Shame (2011) dan 12 Years a Slave (2013), yang memperbincangkan tentang kemanusiaan beserta realitas sosial. 

December 8, 2018

REVIEW : MORTAL ENGINES


“We must stop London before it destroys us.” 

Saya sebetulnya sudah berada di titik jenuh terhadap film-film yang diadaptasi dari young adult novel berlatarkan post-apocalyptic. Disamping The Hunger Games yang keseluruhan serinya mampu tampil mengikat, The Maze Runner yang cenderung tak stabil, dan Divergent yang terjun bebas begitu memasuki seri terakhir (kepedean dibagi menjadi dua film pula!), tak ada lagi adaptasi dari novel sejenis yang benar-benar mencuri perhatian lantaran garis besar dalam jalinan pengisahannya pun sejatinya tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Itulah mengapa saya kurang menunjukkan minat pada Mortal Engines yang disadur dari jilid pertama rangkaian seri rekaan Philip Reeve, sampai kemudian mengetahui keterlibatan tiga serangkai: Fran Walsh, Philippa Boyens, dan Peter Jackson, yang memberi kita trilogi epik The Lord of the Rings (2001-2003) di sektor penulisan naskah. Mudahnya sih, apa yang mungkin salah dari adaptasi ini? Bukan tidak mungkin kan Mortal Engines akan membangkitkan kembali tren adaptasi untuk subgenre post-apocalyptic yang belakangan mulai menyurut? Apabila Peter Jackson turut dipercaya sebagai sutradara, sikap optimistis yang sempat mengemuka ini mungkin masih terdengar realistis. Tapi mengingat proyek dengan suntikan dana sebesar $100 juta ini diserahkan kepada sutradara pendatang baru Christian Rivers yang memulai karir perfilmannya sebagai storyboard artist, kamu tentu tahu bahwa berekspektasi tinggi-tinggi bukanlah suatu keputusan bijak. 

December 4, 2018

REVIEW : ONE CUT OF THE DEAD


“Pom!” 

Seusai menonton One Cut of the Dead, sulit untuk tak menyebutnya sebagai film yang mengagumkan. Saya sama sekali tak menduga bahwa sajian zombie yang belakangan ini sudah mulai memudar pesonanya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dengan pendekatan yang tak terbayangkan sebelumnya. “Ini gila sih,” adalah respon yang pertama kali meluncur dari mulut begitu lampu bioskop dinyalakan yang disambut tepuk tangan malu-malu dari beberapa penonton. Ya, ada banyak kegilaan yang bisa kamu dapatkan di film ini dan catatan terbesar yang perlu saya sampaikan kepada kalian: ini tidak berhubungan dengan muncratan darah, potongan-potongan tubuh, maupun gaya membunuh si zombie yang kreatif. Sesuatu yang kerap diperkirakan oleh banyak orang, termasuk beberapa kawan baik yang sudah terlampau malas untuk menonton film teror mayat hidup. Perlu ditekankan, One Cut of the Dead bukanlah tontonan zombie konvensional dan apa yang kamu saksikan di materi promosi hanyalah mengungkap segelintir apa yang telah dipersiapkan oleh sang sutradara, Shinichiro Ueda. Benar-benar mengecoh atau dalam hal ini berfungsi untuk ‘melindungi’ film sehingga penonton dapat memperoleh kenikmatan yang mengejutkan ketika memutuskan memberi kesempatan pada film berdurasi 97 menit ini – meski ada konsekuensi akan mengalienasi calon penonton dan mengecewakan penonton dengan ekspektasi memperoleh tontonan selaiknya trailer. 

December 3, 2018

REVIEW : RALPH BREAKS THE INTERNET


“All friendships change. But the good one, they get stronger as they change.” 

Rasa-rasanya tidak banyak yang menduga bahwa Wreck-It-Ralph (2012) akan menjadi tontonan keluarga yang sangat menyenangkan buat disimak. Penonton diajak menjelajah dunia arcade game yang sudah semakin ditinggalkan, lalu disodori visual berwarna-warni, rangkaian cameo dari permainan populer di masa lampau, serta guliran pengisahan yang penuh banyolan segar sekaligus mampu menonjok hati-hati sensitif. Kesuksesan yang direngkuhnya baik dari sisi finansial maupun kritikal, membawa sajian animasi produksi Walt Disney Animation Studios yang sempat tenggelam kembali menjadi sorotan (terima kasih juga untuk Tangled, Frozen, Big Hero 6, serta Zootopia) sekaligus memberi kesempatan bagi Ralph si penghancur untuk memiliki franchise-nya sendiri. Ya, pihak studio tidak berpikir panjang-panjang dalam memberi lampu hijau pada pembuatan sekuel Wreck-It-Ralph yang ternyata membutuhkan waktu hingga enam tahun untuk direalisasikan. Pemicunya, menentukan narasi yang cocok mengenai kelanjutan petualangan serta persahabatan antara dua outsider di dunia arcade game, Wreck-It-Ralph (John C. Reilly) dan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman), yang belakangan dielu-elukan sebagai pahlawan. Usai melewati berbagai fase pertimbangan sengit – konon ada tiga naskah yang menjadi kontender untuk difilmkan – sekuel bertajuk Ralph Breaks the Internet pun memilih jalur pengisahan yang menempatkan persahabatan Ralph dengan Vanellope di ujung tanduk selepas mereka mengetahui adanya dunia baru yang kita kenal sebagai internet. 
Mobile Edition
By Blogger Touch