Para pengunjung Cinetariz yang
setia, bagaimana pengalaman kalian dalam menonton film Indonesia di satu tahun
terakhir ini? Memuaskan, menyenangkan, biasa-biasa saja, atau justru kurang
mengenakkan? Kalau bagi saya pribadi sih, 2019 adalah tahun yang menyenangkan
bagi sinema tanah air. Disamping keberagaman temanya mulai terasa seiring
dengan semakin beraninya para sineas untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru,
saya juga menjumpai beberapa film yang membuat diri ini rela untuk
menyaksikannya lebih dari satu kali. Entah saat masih berada di layar lebar
maupun ketika sudah nangkring cantik di platform streaming legal yang
keberadaannya semakin menjamur. Apa saja judul-judul itu? Well, apabila kamu mengikuti saya di akun media sosial, tentu sudah
mengetahui apa saja film yang saya maksud. Hihihi.
December 30, 2019
December 27, 2019
REVIEW : SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)
“Kenapa perempuan harus menjadi hantu terlebih dahulu baru ditakuti?”
Bagi generasi masa kini, Si Manis Jembatan Ancol mungkin
terdengar asing di telinga. Tapi bagi generasi yang lebih tuwek, nama ini identik dengan tiga hal. Pertama, legenda urban
asal Betawi. Kedua, judul film layar lebar keluaran tahun 1973 yang dibintangi
oleh Lenny Marlina. Dan ketiga, sinetron bergenre horor komedi di era 90-an
yang membawa dua pemain intinya, Diah Permatasari dan Ozy Syahputra, merengkuh
popularitas. Saking populernya (bahkan Presiden Soeharto pun menggilainya!), versi
layar lebarnya pun digarap yang menandai untuk kedua kalinya meneror penonton
di bioskop. Mantap kan, adek-adek? Nah setelah dibiarkan “beristirahat dengan
tenang” di alamnya selama kurang lebih dua dekade, sesosok memedi bernama
Maryam yang kerap terlihat bergentanyangan di Jembatan Ancol ini coba
dibangkitkan kembali oleh Anggy Umbara (Suzzanna
Bernapas dalam Kubur, Satu Suro) guna
diperkenalkan kepada generasi Z, sekaligus mengikuti tren remake film horor klasik tanah air yang akhir-akhir ini tengah
merebak. Masih mengandalkan judul Si
Manis Jembatan Ancol, jajaran pemain yang dilibatkan tentu mengalami
perombakan signifikan sebagai bentuk penyesuaian. Satu-satunya pelakon yang
kembali direkrut dalam versi termutakhir adalah Ozy Syahputra yang sekali ini
tidak melakonkan hantu gundul nan kenes bernama Karina, melainkan menjadi salah
satu villain yang bertanggungjawab
atas lahirnya arwah penasaran yang dilingkupi dendam kesumat berjulukan Si
Manis.
December 24, 2019
REVIEW : HABIBIE & AINUN 3
“Kita dalam buku yang sama, tapi halaman yang berbeda.”
Saat Habibie & Ainun (2012) dirilis di bioskop, impak yang
dihadirkannya tidaklah main-main. Disamping sanggup mengundang empat juta
pasang mata untuk berbondong-bondong memenuhi bioskop, karir dua pemain
utamanya yakni Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari pun seketika meroket. Nama
keduanya lantas tercatat sebagai “bintang film kelas A” berkat kesuksesan film
yang sering pula dielu-elukan sebagai salah satu tontonan percintaan terbaik di
tanah air ini. Sungguh luar biasa. Saking hebatnya dampak yang diberikan oleh Habibie & Ainun, MD Pictures selaku
rumah produksi pun memutuskan untuk meneruskan legacy-nya dengan menghadirkan dua film kelanjutan. Sebuah
keputusan yang tadinya sempat membuat beberapa pihak, termasuk saya,
bertanya-tanya, “apa lagi yang ingin
dicelotehkan? Bukankah segala sesuatunya telah tertuang di film pertama?.” Well, ternyata masih ada sejumlah fase
hidup dari dua karakter tituler yang belum sepenuhnya tersentuh. Dua sekuel yang
sejatinya lebih bersifat sebagai prekuel ini, menggali lebih dalam masa-masa
yang hanya dituturkan secara sekilas lalu di Habibie & Ainun. Yang pertama adalah Rudy Habibie (2016) dimana kisah masa muda Bacharuddin Jusuf
Habibie dihantarkan bak tontonan blockbuster
yang megah, dan yang kedua adalah Habibie
& Ainun 3 (2019, sebelumnya berjudul Ainun) yang narasinya mengetengahkan pada perjuangan Hasri Ainun
Besari semasa menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
December 20, 2019
REVIEW : IMPERFECT
“Jika kesempurnaan membuatmu bahagia, maka beri aku waktu untuk belajar menerima itu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaanmu.”
Siapa sih yang tidak pernah
merasa insecure? Rasa-rasanya, setiap
manusia di muka bumi ini pernah mengalaminya dalam satu fase hidupnya dengan
kadar yang tentu berbeda-beda. Ada yang minor
sehingga beberapa waktu kemudian lantas bisa menghempaskannya dari pikiran,
tapi tak sedikit pula yang major
sampai-sampai mempengaruhi setiap langkah dalam kehidupannya. Imbasnya, rasa
percaya diri pun merosot drastis yang menyulitkannya untuk berpikir positif. Biasanya,
efek yang sedemikian besar tersebut dipicu adanya bullying atau body shaming
dari lingkungan sekitar. Ujaran semacam “kamu
gendutan ya?”, “kamu kurus banget
deh, nggak pernah makan ya?”, maupun “kulitmu
item banget,” yang umumnya dipergunakan sebagai kalimat pembuka dari suatu
basa-basi, tanpa disadari telah berkembang menjadi sesuatu yang beracun dan
berbahaya. Terlebih lagi, kita hidup di era dimana media menciptakan standar
kecantikan/ketampanan diluar batas kewajaran yang membuat perasaan insecure menjadi semakin membumbung
tinggi serta sulit dikendalikan. Menyadari adanya fenomena tidak sehat yang
tengah menggerogoti generasi muda masa kini, Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet) pun berinisiatif untuk mengkreasi tontonan
bertajuk Imperfect yang disadur dari
buku non-fiksi berjudul sama rekaan sang istri, Meira Anastasia. Melalui buku
tersebut serta film ini, pasangan Ernest-Meira mencoba menggaungkan pesan positif
untuk kita semua yang sedang (atau pernah) merasa rendah diri akibat penampilan
fisik yang tidak termasuk dalam kriteria sempurna. Pesan tersebut berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi tidak sempurna
karena yang terpenting bukanlah menjadi sempurna, melainkan menjadi pribadi
yang bahagia dan berguna bagi sesama.”
Dalam ya?
December 17, 2019
REVIEW : JERITAN MALAM
“Pernahkah kalian merinding di suatu tempat, merasakan kehadiran
sesuatu yang sebelumnya kalian percaya hanyalah permainan imajinasi otak
manusia belaka?”
Sebelum diadaptasi ke dalam
tontonan layar lebar, Jeritan Malam
lebih dulu dikenal sebagai salah satu thread
bentukan @morfosis_meta di forum Kaskus. Thread
yang membungkus satu cerita seram unggahan si pembuat ini, tanpa dinyana-nyana
menjadi buah bibir di kalangan pengunjung dunia maya dan seketika dibukukan.
Salah satu alasan paling mendasar yang membuat cerita tersebut dapat menjaring
ketertarikan publik secara cepat adalah fakta (setidaknya menurut si penulis)
bahwa narasi yang diutarakan dalam Jeritan
Malam bersumber dari pengalaman nyata. Disamping faktor lain yang meliputi:
1) ceritanya terasa dekat dan familiar khususnya bagi masyarakat Jawa di daerah
yang masih kerap bersentuhan dengan kebudayaan atau kesenian yang aroma
mistisnya cukup kental, dan 2) ada elemen misteri dibubuhkan melalui kalimat
pembuka yang menimbulkan ambiguitas sehingga pembaca pun memiliki ketertarikan
untuk membaca demi menjawab pertanyaan “benarkah
ini semua betul-betul terjadi?.” Oleh versi layar lebarnya yang digarap
Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin), elemen misteri ini masih
menjadi satu cara yang ampuh dalam menarik atensi. Terlebih lagi, ada satu
peringatan dibubuhkan berbunyi kurang lebih “jangan
lakukan apa yang telah saya lakukan” yang seketika membuat diri ini dan
mereka yang belum pernah menyentuh materi sumbernya dilingkupi kepenasaranan.
Apa yang sebetulnya telah dilakukan oleh si tokoh utama sampai-sampai dia
menyerukan peringatan tersebut kepada penonton?
December 14, 2019
REVIEW : KNIVES OUT
“The family is truly desperate. And when people get desperate, the
knives come out.”
Saat menyaksikan Knives Out garapan Rian Johnson (Looper, Star Wars: The Last Jedi) di layar lebar beberapa hari yang lalu, ada
satu komentar yang seketika terlontar dari mulut saya selepas lampu bioskop
dinyalakan: “wow!” Ya, saya dibuat
jatuh hati oleh karya terbaru Johnson ini sampai-sampai saya tidak kesulitan
untuk memberinya label sebagai “salah
satu pengalaman sinematik paling mengasyikkan di tahun 2019.” Sebuah label
yang tak pernah saya perkirakan akan disandang oleh Knives Out, meski saya pribadi telah menunjukkan ketertarikan hebat
untuk menyantap film ini sedari materi promosinya ditebar. Pemicunya adalah, penyesuaian
ekspektasi selepas menyimak versi terbaru dari Murder of the Orient Express (2017) yang tidak terlampau
menggairahkan. Ada tiga persamaan yang menyatukan dua judul tersebut: 1)
keduanya berdiri di jalur misteri dengan narasi ‘whodunit’ yang mengajak penonton untuk menerka-nerka si dalang
pembunuhan, 2) keduanya mengedepankan pelakon-pelakon ternama untuk mengisi
departemen akting, dan 3) keduanya memiliki keterkaitan dengan novel rekaan
Agatha Christie – well, dalam kasus Knives Out, lebih ke terinspirasi pada
pola pengisahannya. Memiliki sederet persamaan semacam ini, mau tidak mau
antisipasi yang sebetulnya telah menjulang tinggi tadi lantas dibarengi dengan
ekspektasi yang berada di level sedang. Saya tentu tidak mau dibuat kecewa
untuk kedua kalinya, saudara-saudara! Untuk itulah diri ini lantas menekan
pengharapan kala bertandang ke bioskop yang ternyata oh ternyata, malah berbuah
manis tatkala mendapati bahwa Knives Out sanggup
berdiri jauh di atas pencapaian “saudara tirinya” dan memberi saya sebuah
sajian hiburan yang sangat memuaskan.
December 12, 2019
REVIEW : KIM JI-YOUNG BORN 1982
“Mengapa kamu berusaha sangat keras untuk melukai hati orang lain?”
Kim Ji-young Born 1982 adalah film yang sederhana. Jalinan
pengisahannya tak berbelit-belit, dan cakupan skalanya pun kecil saja. Sebatas
berkisar pada keseharian dari seorang ibu rumah tangga di Korea Selatan. Akan
tetapi, film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Kim Do-young yang lebih
dulu dikenal sebagai aktris ini merupakan sajian penting yang tidak bisa
dipandang sebelah mata. Satu alasan utamanya, topik berani yang
dikedepankannya. Lebih dari sekadar slice
of life, Kim Ji-young Born 1982 yang
didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Cho Nam-ju mengusung pembicaraan
tentang racun patriarki yang terhitung jarang disinggung secara terang-terangan
oleh film dari Negeri Ginseng. Apa pasal? Well,
dibalik gemerlap industri hiburan yang dipancarkan melalui Korean Wave, ada setumpuk cerita kelam yang merambat di setiap
sudut Korea Selatan. Budaya patriarki masih berdiri tegak dan sebagian besar
publik memilih untuk menutup mata atas dampak merusak yang dimunculkannya.
Pertanda bahwa ada pihak-pihak yang masih belum siap (atau justru enggan?)
untuk mendiskusikan isu mengenai kesetaraan gender secara terbuka telah nampak
sedari versi novelnya belum diejawantahkan ke dalam bahasa gambar. Personil
grup musik perempuan Red Velvet, Irene, menerima kecaman sangat keras usai
dirinya menyatakan telah membaca novel ini. Tidak tanggung-tanggung, ada aksi
pembakaran foto Irene oleh mereka yang tidak menyetujui pilihan Irene,
khususnya dari kalangan penggemar laki-laki. Sungguh ekstrim, bukan?
November 15, 2019
REVIEW : DOCTOR SLEEP
“When I was a kid, there was a place, a dark place. They closed it
down, and let it rot. But the things that live there, they come back.”
Sebagai seseorang yang menggemari
genre horor, saya sangat menyukai The
Shining (1980). Bagi saya, film garapan Stanley Kubrick tersebut terhitung
layak untuk berdiri tegak pada posisi puncak dalam daftar “film horor paling
seram yang pernah dibuat sepanjang masa”. Memang betul Stephen King sebagai
pereka versi novelnya mengaku kurang sreg dengan interpretasi Kubrick.
Alasannya, sang sutradara terlampau banyak melakukan improvisasi sehingga
membuat versi layar lebarnya lebih layak disebut “terinspirasi” ketimbang
“adaptasi” dari buku milik King. Akan tetapi, jika kita bersedia meniadakan
komparasi dan semata-mata memandangnya sebagai sajian seram, The Shining berhasil. Secara perlahan
tapi pasti, film akan “menelanmu” hidup-hidup melalui kombinasi narasi, akting,
serta trik menakut-nakuti yang ciamik. Ada banyak adegan ikonik di sini (seperti
bocah kembar, banjir darah, sampai “here’s
Johnny!”) yang masih membekas sampai sekarang, dan sempat pula beberapa
kali bergentayangan dalam mimpi sesaat setelah menontonnya. Hiii… Menilik legacy cukup hebat yang ditinggalkan olehnya, saya jelas sempat
dirundung keraguan begitu mendengar adanya wacana sekuel berdasar novel
kelanjutan bertajuk Doctor Sleep yang
masih ditulis oleh King dan dirilis pada tahun 2013 silam. Yang kemudian
membuat saya optimis adalah faktor sutradara. Sebagai pengganti Kubrick, pihak
Warner Bros memercayakan ekranisasi novel ini untuk ditangani oleh Mike
Flanagan. Seorang sutradara dengan jejak rekam gilang gemilang yang filmografinya
mencakup serial seram bertajuk The
Haunting of Hill House (2018) dan beberapa film horor kece semacam Oculus (2013), Hush (2016), serta Gerald’s
Game (2017) yang juga disadur dari prosa gubahan King. Terdengar
menjanjikan, bukan?
November 12, 2019
REVIEW : RATU ILMU HITAM (2019)
“Ketidaktahuan itu juga dosa, sayang.”
Saat pertama kali mendengar rumah
produksi Rapi Films akan mendaur ulang salah satu film andalannya, Ratu Ilmu Hitam (1981), reaksi yang bisa
saya lontarkan seketika adalah, “wow!”.
Seperti halnya Pengabdi Setan yang
versi termutakhirnya turut mendapatkan puja-puji dari berbagai kalangan, film
arahan Lilik Sudijo ini pun bukanlah sajian horor ecek-ecek. Tengok saja
pencapaiannya dalam industri: menggenggam lima nominasi dalam Festival Film
Indonesia 1982 termasuk untuk kategori Aktris Utama Terbaik bagi Suzzanna. Pencapaian
ini jelas impresif, lebih-lebih jika kita berkaca pada fakta bahwa genre horor
amat sangat jarang dilirik oleh ajang penghargaan bergengsi. Guna menjaga “nama
baik” dari Ratu Ilmu Hitam, pihak
rumah produksi pun memercayakan penulisan skenario kepada Joko Anwar yang
terbukti mampu menghantarkan Pengabdi
Setan (2017) dalam meraih kesuksesan secara kritikal maupun finansial. Sedangkan
untuk urusan mengejawantahkan ke bahasa audio visual, Kimo Stamboel – salah satu
personil dari The Mo Brothers – lah yang diberi amanat. Sebuah kolaborasi yang mesti
diakui tampak menggiurkan di atas kertas dan seolah memungkinkan tersajinya
sebuah sajian seram yang penuh teror. Yang kemudian membuat saya dirundung rasa
skeptis adalah ketidakpuasan terhadap penggarapan Kimo dalam DreadOut yang dirilis pada awal tahun
ini. Ada keraguan dan ada trauma yang masih tersisa sampai-sampai membentuk
satu pertanyaan. Akankah interpretasi anyar dari Ratu Ilmu Hitam sanggup ditangani dengan baik oleh Kimo sehingga
sajian seram mencekam pun dapat tersaji? Let’s
see.
November 7, 2019
REVIEW : LAMPOR KERANDA TERBANG
“Anak yang dianggap hilang, akhirnya pulang.”
Bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya, dedemit yang dikenal dengan nama lampor bisa jadi masih terdengar
asing di telinga. Tapi bagi mereka yang tumbuh besar di Jawa – khususnya area
Yogyakarta dan sekitarnya – lampor adalah teror masa cilik yang sulit
dienyahkan. Sebagian orang memang mengenalnya sebatas “hantu penculik bocah”
yang muncul selepas matahari terbenam. Tapi dalam narasi yang lebih luas,
sosoknya dikenal sebagai pasukan Nyi Roro Kidul dari Laut Selatan yang
kehadirannya ditandai dengan adanya suara kegaduhan yang bersumber dari
iring-iringan kereta kuda dan pasukan demit. Terdengar mengerikan, bukan? Begitulah
jika kita memperbincangkan soal mitologi Jawa, aroma mistis dan kleniknya sangat
kuat terasa. Setiap daerah memiliki mitosnya sendiri, setiap daerah mempunyai kepercayaan
yang akan membuat bulu kudukmu meremang. Saking melimpahnya mitos Jawa yang
menyeramkan ini, tak mengherankan jika kemudian pihak rumah produksi di tanah
air pun kerap meliriknya untuk dijadikan bahan utama bagi film horor. Maklum,
selain terdengar seram, latar belakangnya juga filmis. Memungkinkan sekali
untuk diejawantahkan ke tontonan layar lebar, termasuk mitos lampor yang lantas
didayagunakan oleh Starvision guna menghasilkan film seram bertajuk Lampor Keranda Terbang dimana Guntur
Soeharjanto (99 Cahaya di Langit Eropa,
Ayat-Ayat Cinta 2) selaku sutradara
dan Adinia Wirasti yang didapuk sebagai pemeran utama menjajal genre horor
untuk pertama kalinya.
November 4, 2019
REVIEW : LOVE FOR SALE 2
(ulasan mengandung spoiler, jadi berhati-hatilah di dua paragraf akhir)
“Belum pernah saya lihat mamakmu sebahagia seperti sekarang ini.
Auranya… bersinar!”
Bagi sebagian orang, Arini (Della
Dartyan) adalah salah satu karakter fiktif paling keji dalam sinema dunia yang
semestinya dilaknat. Alasannya, karena dia mendadak pergi tanpa pamit dan meninggalkan
seorang pria yang menaruh rasa teramat dalam kepadanya di saat sang pria sedang
sayang-sayangnya. Tindakan Arini ini jelas tidak bisa dibenarkan oleh kemanusiaan.
Terlebih lagi, pria tersebut juga telah terlampau lama tak memperoleh belaian
penuh cinta kasih dari seorang perempuan. Jika kemudian ada yang
mengantagonisasi Arini atas tindakannya kepada bujang lapuk kesepian bernama
Richard (Gading Marten), tentu bisa dipahami. Walau sejatinya pernyataan “Arini adalah villain” dapat dipatahkan
seketika apabila penonton bersedia untuk mengilas balik ke awal perjumpaan dua
karakter utama dalam Love for Sale
(2018) ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi, Arini hanyalah pegawai di Love
Inc. – perusahaan penyedia pasangan sewaan yang konsepnya menyerupai Family
Romance di Jepang – yang kebetulan mendapat penugasan untuk mendampingi
Richard. Dia mempunyai kontrak yang harus dipatuhi, dia juga mempunyai perasaan
yang mesti dibatasi. Hubungannya dengan klien bersifat profesional, tidak
pernah lebih. Apabila percikan asmara lantas menghinggapi klien, bukankah
kesalahan ada di pihak klien lantaran telah mendobrak batasan? Melalui Love for Sale 2, Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Romeo Juliet) yang masih menduduki kursi
penyutradaraan berupaya untuk “memperbaiki citra” Arini yang kadung tercoreng
ini. Dalam narasi yang diekspansi lebih luas lagi demi menuruti aturan tak
tertulis untuk sekuel, ada sepenggal narasi yang akan mendorong penonton untuk
memahami motivasi sesungguhnya dari “sang villain”.
October 31, 2019
REVIEW : ZOMBIELAND DOUBLE TAP
“When you love something, you shoot it in the face. So it doesn't
become a flesh eating monster.”
Apakah ada diantara kalian yang masih
ingat dengan Zombieland? Itu lho,
film tentang mayat hidup yang disajikan secara unik dan mendapatkan puja puji
dari kritikus maupun penonton saat dirilis di bioskop pada tahun 2009 silam.
Ketimbang sebatas bernarasi tentang sejumlah manusia yang mencoba bertahan
hidup dari serangan zombie, film arahan Ruben Fleischer (Gangster Squad, Venom) tersebut
mencoba memberikan sejumlah modifikasi yang terdiri dari: 1) pijakan genrenya
adalah komedi dimana film tak pernah menganggap dirinya serius, 2) ada
aturan-aturan diberlakukan untuk bertahan hidup yang tak hanya diucapkan tetapi
juga divisualisasikan secara nyentrik, 3) penggunaan nama kota di Amerika
Serikat sebagai nama karakter untuk menghindari ketergantungan, dan 4) film
menyelipkan kehangatan ke dalam narasi menyusul adanya topik pembicaraan
seputar “manusia adalah makhluk sosial”. Hasilnya, kita mendapati salah satu
tontonan zombie terbaik yang pernah dibuat. Lebih-lebih, Zombieland juga dianugerahi chemistry
hebat dari keempat pelakon utamanya seperti Woody Harrelson, Jesse Eisenberg,
Emma Stone, serta Abigail Breslin yang belakangan semuanya menyandang predikat
“pemain kelas Oscar”. Sungguh impresif, bukan? Saking impresifnya, ada beban
tersendiri bagi tim pembuat film tatkala mencetuskan gagasan untuk menciptakan
sebuah sekuel. Mereka membutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk menggodok
naskah, sampai akhirnya film kelanjutan bertajuk Zombieland Double Tap baru siap diluncurkan pada perayaan ulang
tahun ke-10 dari film pertama yang untungnya masih dimeriahkan oleh jajaran
pemain yang sama.
October 26, 2019
REVIEW : SUSI SUSANTI: LOVE ALL
“Saya adalah orang Indonesia. Selamanya saya orang Indonesia.”
Siapa sih yang tidak mengenal
Susi Susanti? Menorehkan beragam prestasi di sepanjang karirnya, termasuk
mempersembahkan emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade Barcelona 1992,
namanya dicatat oleh sejarah sebagai salah satu figur penting dalam kancah
olahraga bulu tangkis. Tidak hanya dalam lingkup tanah air, tetapi juga dunia.
Dia adalah pahlawan gelanggang yang berjasa menyatukan Indonesia yang
terpecah-pecah jelang reformasi 1998, dan berjasa pula dalam mengobarkan rasa
nasionalisme yang timbul tenggelam akibat pemerintahan Orde Baru yang amat
menekan khususnya bagi keturunan Tionghoa seperti Susi. Sungguh mengagumkan,
bukan? Menilik segala pencapaian yang direngkuh oleh legenda hidup ini semenjak
dirinya memulai karir pada pertengahan era 1980-an sampai akhirnya memutuskan
untuk gantung raket di penghujung era 1990-an, maka tidak mengejutkan jika
kemudian ada sineas tanah air yang berinisiatif untuk mengangkat kisah hidupnya
ke layar lebar. Sim F yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara video
musik (karyanya mencakup “Menghapus
Jejakmu” milik Peterpan dan “Cinta
Pertama dan Terakhir” milik Sherina) dipercaya untuk mengejawantahkan sepak
terjang atlet asal Tasikmalaya tersebut melalui film biopik bertajuk Susi Susanti: Love All. Yang menarik,
alih-alih sebatas menyoroti jatuh bangun Susi dalam menapaki tangga karir, film
turut mengapungkan isu rasialisme yang memang mempunyai impak besar terhadap perjalanan
hidup serta karir Susi.
October 23, 2019
REVIEW : HUSTLERS
“I don’t want to be dependent on anybody. I just want to take care of my grandma, maybe go shopping every once in a while.”
Berpatokan pada materi promosi
yang ditebarnya dan deretan pemain yang terlibat di dalamnya, mudah untuk menduga
Hustlers sebagai film hura-hura
belaka yang tidak mempunyai kedalaman apapun pada narasinya. Terlebih lagi,
premis miliknya yang berbunyi “bagaimana
jika sekelompok penari erotis melakukan penipuan demi menghasilkan uang?” kian
memperkuat dugaan tersebut. Memboyong ekspetasi cukup minim dimana sebagian
besar dipicu oleh keinginan untuk bersenang-senang, alangkah terkejutnya saya
begitu mendapati bahwa film arahan Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) ini bukanlah sajian dangkal yang meletakkan fokusnya
pada aksi kriminal dari para penari telanjang semata. Didasarkan pada satu
artikel menggemparkan gubahan Jessica Pressler yang dipublikasikan di majalah
New York pada tahun 2015, “The Hustlers
at Scores”, Hustlers ternyata
turut mengajukan sejumlah topik berisi terkait women empowerment, objektifikasi perempuan, sampai ketimpangan
ekonomi. Rentetan topik yang belum apa-apa sudah terdengar berat, ya? Tapi jika
kamu lantas mengira bahwa film ini lantas berceloteh bak profesor yang sedang
memberikan kuliah dan mengesampingkan seluruh elemen gegap gempitanya, maka
kamu juga keliru. Hustlers tidak
seberat itu, tetapi juga tidak seringan seperti diperkirakan. Film ini berada
di tengah-tengah seperti halnya karakteristik dari para tokoh utama yang diposisikan
dalam area abu-abu ketimbang segamblang hitam dan putih menyusul keinginan si
pembuat film untuk tidak menghakimi moralitas mereka.
October 22, 2019
REVIEW : MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL
Pada tahun 2014 silam, Disney
mencoba untuk sedikit bereksperimen terhadap produk layar lebar mereka. Alih-alih
menggunakan kacamata si karakter tituler untuk interpretasi anyar terhadap
dongeng klasik Sleeping Beauty,
mereka justru menempatkan si karakter villain
di poros utama pengisahan. Penonton disodori premis menggiurkan berbunyi, “apa yang sebenarnya membuat Maleficent
begitu kejam sampai tega melukai seorang manusia berhati lembut seperti Aurora?,”
yang tentu saja sulit untuk ditolak. Menempatkan Angelina Jolie sebagai si tokoh
jahat yang memiliki ciri khas fisik berupa tulang pipi tajam, tanduk, serta
sayap, khalayak ramai pun menyambutnya secara antusias sekalipun film
memperoleh respon beragam dari kritikus. Satu paling disorot, penggunaan CGI
terlampau berlebihan sampai-sampai narasinya terpinggirkan. Padahal,
dekonstruksi atas dongeng ini dimana Maleficent dideskripsikan sebagai “makhluk
baik yang tersakiti” sejatinya punya kesempatan untuk menciptakan gelaran
mengharu biru. Cukup disayangkan, memang. Mencoba memperbaiki kesalahan
tersebut – atau lebih tepatnya, ingin mendulang dollar lebih besar lagi – maka pihak
studio pun berinisiatif untuk mengkreasi cerita kelanjutan bagi Maleficent dengan menggunakan subjudul Mistress of Evil. Sebuah trik jualan
yang lagi-lagi mesti diakui jitu lantaran subjudul ini akan mengundang ketertarikan
bagi sebagian penggemar. Ada satu tanya yang lantas muncul: apakah benar karakter
jahat yang telah bertaubat di film sebelumnya, akhirnya memilih untuk kembali bertindak
zalim ketimbang bertahan di jalan kebaikan?
October 20, 2019
REVIEW : PEREMPUAN TANAH JAHANAM
“Kamu, kesalahan yang harus aku hapus.”
Entah dirimu menyukainya atau
tidak, mesti diakui, Pengabdi Setan
(2017) adalah film horor yang fenomenal. Betapa tidak, film arahan Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) ini sanggup membukukan angka penonton hingga 4
juta lebih yang menempatkannya sebagai salah satu film Indonesia paling banyak
dipirsa, dan berhasil pula memboyong sejumlah Piala Citra berkat kualitas
teknisnya yang ciamik. Sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diraih oleh
film dari genre seram. Menilik segala kesuksesan yang dicapai baik dari sisi
kritikal maupun finansial, satu tanya lantas hinggap: apa yang akan diperbuat
oleh seorang Joko Anwar di film berikutnya guna melampaui – atau minimal menyamai
– Pengabdi Setan? Usai sedikit bereksperimen
di genre laga melalui Gundala yang memperoleh
resepsi beragam dari para penikmat film, Joko Anwar akhirnya kembali ke arena
bermainnya melalui Perempuan Tanah
Jahanam yang konon telah dipersiapkan sedari bertahun-tahun silam. Ada
beragam faktor yang menyebabkan film berjudul Impetigore untuk peredaran internasional ini sampai berada dalam
status development hell, termasuk
persoalan kesiapan teknis beserta pengembangan karakter dalam narasi yang
membutuhkan waktu cukup panjang. Tapi berkat meledaknya “kisah keluarga ibu”,
CJ Entertainment dari Korea Selatan bersama Ivanhoe Pictures dari Amerika
Serikat pun berkenan untuk bekerja sama dengan Rapi Films dan Base
Entertainment guna mewujudkan salah satu proyek impian Joko yang guliran
pengisahannya turut terinspirasi dari mimpi buruknya di suatu malam ini.
October 18, 2019
REVIEW : THE PEANUT BUTTER FALCON
“Friends are the family you choose.”
Dalam The Peanut Butter Falcon, penonton diperkenalkan pada seorang
laki-laki berusia 22 tahun yang mengidap Down
Syndrome, Zak (Zack Gottsagen). Tak memiliki keluarga yang bersedia mengurusnya,
Zak pun ditempatkan oleh pemerintah di panti jompo dimana dia kerap
menghabiskan waktunya untuk menyaksikan sebuah video gulat. Dari video ini, dia
mengidolakan pegulat berjulukan The Salt Water Redneck (Thomas Haden Church)
dan berharap dapat bergabung ke sekolah gulat yang diasuhnya. Sayangnya, bukan
perkara mudah bagi Zak untuk bisa mewujudkan mimpinya ini sampai kemudian dia berhasil
melarikan diri dari panti jompo pada suatu malam berkat bantuan teman
sekamarnya, Carl (Bruce Dern). Tanpa dibekali peta, uang saku, serta pakaian – well, Zak hanya mengenakan celana dalam
saat kabur – protagonis kita ini pun terlunta-lunta untuk beberapa saat. Yang kemudian
bersedia untuk memberinya bantuan adalah seorang nelayan bermasalah bernama
Tyler (Shia LaBeouf). Itu juga karena terpaksa lantaran tidak tega melihat Zak
harus mengalami perundungan dari orang-orang yang ditemuinya. Hubungan
Zak-Tyler yang tadinya bisa dibilang dingin ini perlahan tapi pasti mulai
menghangat setelah keduanya berkenan untuk saling membuka diri. Dari setiap
percakapan, dari setiap interaksi, kita bisa menyadari bahwa mereka adalah
produk dari duka dan sepi. Sebuah alasan yang membuat persahabatan mereka cepat
rekat disamping fakta bahwa mereka sejatinya sama-sama berstatus sebagai buronan:
Tyler diburu oleh rekan-rekan sesama nelayan, sementara Zak diburu oleh pengasuhnya
dari panti jompo, Eleanor (Dakota Johnson).
October 14, 2019
REVIEW : SIN
“Aku akan selalu ada buat kamu.”
Betapa nelangsanya nasib Minke
(Iqbaal Ramadhan). Usai kisah cintanya dengan Annelies (Mawar De Jongh) dipaksa
kandas lantaran sang pujaan harus berpindah ke Belanda, kini dia pun harus
menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah ditikung oleh teman baiknya
sendiri. Jan (Bryan Domani) yang diberi kepercayaan untuk mengawal Annelies
ternyata diam-diam menaruh rasa kepada Annelies… dan mereka pun ada kemungkinan
memiliki hubungan darah dari pihak ayah (!). Kacau betul, bukan? Berhubung Tuan
Mellema gemar bermain perempuan, maka plot
twist ini tentu tidak mengherankan meski tetap akan bikin diri ini
geleng-geleng kepala sekaligus mengernyitkan dahi jika benar-benar ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer. Tapi syukurlah, hubungan cinta terlarang antara Annelies
dengan Jan tersebut bukan bagian dari cerita kelanjutan Bumi Manusia, melainkan dari film bertajuk Sin keluaran Falcon Pictures yang menempatkan Mawar De Jongh
beserta Bryan Domani di garda pemain utama. Dan memang, ada narasi mengenai
cinta terlarang yang dikemukakan melalui tagline
berbunyi “saat kekasihmu adalah kakakmu
sendiri” yang mendorong beberapa kawan untuk melempar komentar julid: kok
berasa sinetron ya? Saya sih tidak pernah berpikir sampai ke sana ya, karena
memang jarang sekali nonton sinetron. Malah, saya jadi teringat pada satu film
erotis asal Thailand, Jan Dara
(2001), yang sempat tayang di bioskop lokal dengan tajuk My Lover My Son. Same energy,
rite? Berhubung masyarakat Indonesia sedang sangat relijius dan menaruh
perhatian sangat tinggi kepada perkara berbau moral, saya tentu sama sekali tidak
kaget begitu mengetahui bahwa kesamaan energi antara dua film ini hanya sampai
di tampilan luar semata.
October 12, 2019
REVIEW : CINTA ITU BUTA
“Kamu tahu nggak bedanya kamu sama rumput laut? Kalau rumput laut itu
mengandung nutrisi, kalau kamu mengandung anak-anak kita nanti.”
Biasanya, kita melihat komika
dengan selera humor nyeleneh, Dodit Mulyanto, di jajaran pemain pendukung dalam
film layar lebar guna bertindak sebagai comic
relief. Tapi tim kasting Cinta Itu
Buta ternyata melihat potensi besar dari seorang Dodit. Alih-alih
menempatkannya dalam supporting roles,
mereka memberi kesempatan kepada Dodit untuk unjuk gigi di garda terdepan.
Tidak tanggung-tanggung, film yang merekrut sang komika sebagai peran utama,
berada dalam ranah komedi romantis. Sebuah kejut nyata, bukan? Seperti halnya
sebagian dari kalian, saya pun tak menduga Dodit akan beroleh peran krusial
dalam genre ini. Terlebih lagi, dia bukanlah tipe prince charming atau bad boy
yang belakangan kerap mendominasi kisah percintaan di sinema tanah air. Jadi,
apa yang hendak dikedepankan? Well,
berkaca pada pendampingnya, Shandy Aulia, dan judul yang dikedepankan, penonton
sejatinya sudah bisa meraba-raba narasi maupun pesan yang hendak diutarakan
oleh tontonan ini. Didasarkan pada film Filipina laris berjudul Kita Kita (2017), film yang menandai
kembalinya Rachmania Arunita ke kursi penyutradaraan setelah terakhir kali
menggarap Lost in Love (2008) ini menerapkan
template “beauty and the beast”. Di saat bersamaan, film turut mencoba
hantarkan pesan moral yang cukup menyentuh berbunyi “cinta sejati bukanlah soal penampilan, melainkan tentang ketulusan
hati dan empati” yang seketika membuat diri ini tertarik untuk menjajalnya.
October 11, 2019
REVIEW : GEMINI MAN
“I think I know why he’s as good as you. He is you”
Apabila saya berseru, “Gemini Man adalah film laga yang asoy”,
rasa-rasanya tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang akan
mempertanyakannya. Maksud saya, Gemini
Man mempunyai semua komponen yang dibutuhkan untuk membuatnya tersaji
sebagai sebuah tontonan eskapis yang bakal disukai oleh khalayak ramai. Ada Ang
Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon, Life of Pi) yang terbukti ulung dalam menyampaikan
cerita di kursi penyutradaraan, ada Will Smith yang memiliki karisma kuat baik
sebagai bintang laga maupun aktor serius di jajaran pemain, dan ada pula premis
menggelitik perhatian berbunyi: bagaimana seandainya ada dua Will Smith dari
masa berbeda yang saling bertarung antara satu dengan yang lain? Jadi, apa sih
yang mungkin salah dari film ini? Sepintas lalu, film yang turut diproduseri
oleh Jerry Bruckheimer (produser dari Top
Gun serta Armageddon) ini memang
tampak menjanjikan. Materi promosinya juga memberi kesan bahwa ada banyak gegap
gempita dan keriuhan yang bisa kamu jumpai di sepanjang durasi. Saya yang
dilingkupi kebahagiaan karena bisa kembali menyaksikan film dalam format 3D
sekaligus kepenasaran lantaran Gemini Man
menjajal teknologi anyar dengan divisualisasikan dalam 120 frames per second – umumnya, film
diproyeksikan dalam 24 frames per second
– pun tak menaruh kecurigaan apapun. Tapi setelah saya mengenakan kacamata 3D
dan film berjalan separuh durasi, saya perlahan mulai menyadari bahwa Gemini Man ternyata lebih cocok disebut
sebagai “film yang amsyong” ketimbang “film yang asoy”.
October 7, 2019
REVIEW : BEBAS
“Ada nggak hal-hal yang pengen banget lu kerjain, tapi belum
kesampaian?”
Bagi kebanyakan orang, masa SMA
kerap disebut sebagai fase terbaik dalam hidup. Betapa tidak, ada banyak sekali
kenangan yang bisa digoreskan di titik ini. Kita akhirnya cukup dewasa untuk
bisa merasakan nikmatnya (dan pedihnya) jatuh cinta, kita akhirnya mendapat
sedikit kebebasan dari orang tua untuk melakukan apa yang kita maui, dan kita
pun memiliki sahabat-sahabat karib yang bisa diajak gila-gilaan sekaligus
bermimpi mengenai apa yang ingin dicapai setelah beranjak dewasa. Saking melimpahnya
cerita yang bisa digali dari anak berseragam putih abu-abu yang problematikanya
tergolong serius tapi santuy ini, tak mengherankan jika selalu ada “film remaja berlatar SMA” yang menarik
disimak saban tahunnya. Salah satu yang membekas bagi saya adalah film asal Korea
Selatan berjudul Sunny (2011) yang
mencetak 7,3 juta lembar tiket selama masa edarnya di bioskop. Dalam film ini,
penonton disuguhi narasi seputar reuni penuh nostalgia dari tujuh sahabat perempuan
yang tak saja mengundang riuh tawa, tetapi juga air mata. Berkat kesuksesan
secara finansial maupun kritikal yang diterima oleh Sunny, CJ Entertainment pun tidak keberatan untuk memberikan lampu
hijau bagi pembuatan remake dari
beberapa negara seperti Vietnam (Go Go
Sisters, 2018), Jepang (Sunny: Strong
Mind Strong Love, 2018), serta Indonesia, yang kesemuanya turut memberikan
modifikasi guna menyesuaikan dengan kultur setempat. Satu perbedaan paling mencolok
dalam versi Indonesia yang diberi tajuk Bebas
adalah konfigurasi dari para pemain utama yang tak lagi tersusun atas tujuh
perempuan.
October 4, 2019
REVIEW : JOKER
“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a
comedy.”
Siapa sih yang tidak mengenal
Joker? Apabila kamu kerap bersentuhan dengan pop culture, karakter satu ini tentu tidak lagi asing. Memiliki perawakan
menyerupai badut dengan kulit serba putih, rambut berwarna hijau menyala, dan
bibir yang merah mengkilat, Joker dikenal sebagai supervillain yang menjadi lawan berat bagi jagoan andalan DC
Comics, Batman. Dalam khasanah sinema Hollywood, psikopat dengan selera humor
bernada gelap ini telah berulang kali dilakonkan oleh berbagai aktor. Dari Jack
Nicholson yang tampil bengis dalam Batman
(1989), lalu mendiang Heath Ledger yang menghidupkannya bak penjahat sinting
lewat The Dark Knight (2008) dimana
dia dianugerahi piala Oscar, sampai Jared Leto yang cenderung komikal melalui Suicide Squad (2016). Menilik beragam interpretasi
yang telah diberikan kepada sang penjahat, dan kesemuanya mesti diakui
dimainkan secara gilang gemilang, maka saat Warner Bros. bersama DC Films
berencana untuk mengkreasi sebuah film solo berbentuk origin story baginya, tentu ada satu tanya mengemuka: apa lagi
pendekatan yang hendak diambil? Pada mulanya, saya sempat mengira Joker garapan Todd Phillips (Road Trip, trilogi The Hangover) bakal sedikit banyak menyerupai The Dark Knight. Tapi ternyata, film yang dicanangkan sebagai
bagian dari DC Dark – adaptasi eksperimental dengan nada penceritaan lebih
gelap – alih-alih DC Extended Universe ini mengambil jalur sama sekali berbeda.
Mengenyahkan unsur fantasi yang biasanya melekat erat pada tontonan berbasis komik
kepahlawanan, Joker menjejakkan
kakinya di ranah realis dimana film lantas mengajak penonton untuk
memperbincangkan tentang mental illness
dan situasi sosial politik dewasa ini.
October 2, 2019
REVIEW : AD ASTRA
“I’m unsure of the future, but I’m not concerned. I will rely on those
closest to me, and I will share their burdens, as they share mine. I will live
and love.”
Setelah karirnya sebagai pemeran
pengganti dalam Once Upon a Time in
Hollywood berakhir, ternyata tak butuh waktu lama bagi Brad Pitt untuk
mendapatkan pekerjaan baru. Tak tanggung-tanggung, dia menjajaki profesi
astronot yang memungkinkannya untuk berkelana ke luar angkasa dan mengunjungi
berbagai planet diluar bumi. Keren sekali, bukan? Tentu, karir berbeda ini dijalani
oleh Bung Pitt dalam film berbeda yang sekali ini berada di ranah fiksi ilmiah,
Ad Astra. Lewat film arahan James
Gray (We Own the Night, The Lost City of Z), aktor kesayangan
kita semua ini berperan sebagai Major Roy McBride yang merupakan putra dari
seorang astronot kenamaan, H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones), yang konon
tercatat dalam sejarah sebagai manusia pertama yang mencapai planet Neptunus. Mencetak
rekor gilang gemilang dalam karir, sayangnya Clifford mendadak raib dalam misi
dan diberitakan telah tiada oleh awak media. Guna berdamai dengan duka akibat kehilangan
sang ayah, Roy pun menaruh perhatian sangat tinggi pada pekerjaannya serta
enggan mengindahkan hal-hal remeh sehingga tak mengherankan jika catatan
karirnya terhitung impresif. Setelah 16 tahun lamanya mencoba untuk menerima
kenyataan bahwa sang ayah memang telah tiada, SpaceCom tiba-tiba memberinya
kabar mengejutkan yang menyatakan bahwa Clifford masih hidup. Mereka menyadarinya
pasca menyelidiki asal muasal dari gelombang misterius “Gelora” yang
menyebabkan kehancuran masif di bumi. Demi menyelamatkan peradaban manusia yang
terancam oleh kehadiran “Gelora”, SpaceCom pun mengirim Roy dalam suatu misi
rahasia ke angkasa luar untuk berdialog dengan sang ayah.
September 28, 2019
REVIEW : DANUR 3: SUNYARURI
“Mungkin pertemanan kami sejak awal memang hanya sebuah celaka.”
Didasarkan pada rangkaian novel laris
rekaan Risa Saraswati yang konon kabarnya merupakan novelisasi dari pengalaman
nyata si penulis indigo ketika bersinggungan dengan alam seberang, Danur berkembang menjadi salah satu franchise tontonan horor paling
menguntungkan dalam sejarah sinema tanah air. Dimulai dari jilid pertama yang berhasil
membukukan 2,7 juta penonton, MD Pictures bersama Pichouse Films selaku rumah
produksi kembali mencicipi kesuksesan melalui sekuelnya bertajuk Danur 2: Maddah (2018) yang mencetak 2,5
juta penonton serta film sempalannya, Asih
(2018), yang masih sanggup menorehkan angka sebesar 1,7 juta penonton sekalipun
tanpa sokongan si karakter inti yang diperankan oleh Prilly Latuconsina. Menilik
pencapaian di tangga box office yang tergolong impresif dari seri ke seri,
tentu tak mengherankan jika pihak rumah produksi lantas memberi lampu hijau secara
seketika bagi penggarapan jilid ketiga yang tercatat sebagai babak pamungkas bagi
seri induk dalam versi novelnya. Selepas mengulik pergulatan batin Risa kala
mendapati dirinya mampu berkomunikasi dengan makhluk halus di film pembuka, lalu
membahas soal upaya si protagonis dalam memperoleh penerimaan dari anggota
keluarganya yang merasa terganggu di film kedua, saya yang tidak pernah
mengikuti materi sumbernya pun bertanya-tanya. Apa yang akan diulas oleh Danur 3: Sunyaruri yang dipersiapkan menjadi
seri penutup ini? Tak jauh berbeda dari sang predesesor, ternyata persoalan
yang diajukan kali ini masih berkisar pada hubungan serba rumit yang terjalin
diantara Risa dengan kawan-kawan gaibnya.
September 27, 2019
REVIEW : PRETTY BOYS
“Miskin kaya itu bukan dari kantong, tapi dari hati.”
Pernah nggak sih kalian menonton
televisi tanah air dan gemas bukan kepalang lantaran konten yang diajukan
sungguh bikin mengelus dada? Tak perlulah menggunjingkan sinetron yang mungkin
sudah terlampau sulit untuk ditolong, coba tengok gelaran berformat variety show atau talk show atau apapun sebutannya itu. Terlampau banyak gimmick, terlalu sering bersenda gurau
sampai-sampai konsep acaranya pun kabur: ini sajian bincang-bincang, drama
panggung atau lawakan sih? Ada kalanya diri ini kasihan dengan narasumber yang
bisa jadi sudah berharap bakalan berbagi cerita, tapi akhirnya justru berakhir
sebagai penonton. Menyaksikan para pemandu acara asyik sendiri. Kadang saya
rindu dengan acara-acara dari era lampau seperti Ceriwis yang menurut saya bisa menempatkan jokes sesuai porsinya sehingga penonton dapat terhibur sekaligus
memperoleh informasi dibutuhkan. Kalau sekarang sih porsi ngelawak atau
ribut-ributnya yang lebih dikedepankan, sebodo amat dengan kandungan isi.
Sungguh menguji kesabaran, yekan? Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia
pertelevisian selama bertahun-tahun, Deddy Mahendra Desta tentu menyadari penuh
mengenai pergeseran tren tersebut. Dia pun menyadari, ada beragam intrik dari
belakang layar yang bisa diceritakan kepada khalayak ramai. Merekrut musisi Tompi
untuk menjajal nikmatnya kursi penyutradaraan, doi pun melahirkan Pretty Boys yang kentara terlihat
diniatkan sebagai kritik terhadap dunia pertelevisian tanah air yang semakin
lama semakin ajaib ini.
September 24, 2019
REVIEW : MIDSOMMAR
“Are you not disturbed by what we just saw?”
Pada tahun 2018 lalu, sutradara
pendatang baru Ari Aster membuat para pecinta film terhenyak melalui debutnya
bertajuk Hereditary yang kerap
disebut-sebut sebagai salah satu tontonan seram terbaik di era 2010-an. Tanpa
banyak mengandalkan jump scares untuk
memantik ketakutan, si pembuat film justru banyak bergantung pada atmosfer
beserta imaji-imaji menggelisahkan guna menciptakan mimpi buruk bagi penonton. Sebuah
trik yang terhitung berhasil, lebih-lebih karena Aster mempunyai dua bekal
penunjang yang kuat: narasi mengikat beserta akting pemain yang gila. Saking
mempannya Hereditary dalam
meninggalkan kesan tak mengenakkan selepas menonton, para penonton (termasuk
saya) pun seketika menaruh perhatian terhadap langkah Aster selanjutnya. Kita
ingin tahu, akankah dia mengkreasi kegilaan lain dalam film keduanya, atau dia akan
mencoba bereksperimen dengan menjajal genre lain? Tanpa mengambil waktu jeda
terlampau lama, sutradara yang mengawali karirnya dengan menggarap film-film
pendek ini lantas berkolaborasi kembali dengan A24 – distributor dari film
perdananya – untuk mengerjakan sebuah film horor. Mengusung judul Midsommar, pendekatan yang coba diambil
sekali ini agak berbeda dengan buah karya terdahulu. Tak ada lagi nuansa serba
gelap nan bermuram durja untuk membangun atmosfer mengganggu, sebagai
penggantinya adalah warna-warna ceria khas musim panas. Menilik pendekatan yang
terbilang nyeleneh tersebut, maka tak heran ada satu pertanyaan mengemuka: apa
yang lantas menjadikan Midsommar terasa
menyeramkan jika segalanya serba cerah?
September 20, 2019
REVIEW : WARKOP DKI REBORN (2019)
“Ini kesempatan kita. Kita harus berjuang seperti… Perang Puputan!”
Upaya Falcon Pictures untuk
memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino
Indro), dalam wujud film banyolan bertajuk Warkop
DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016-2017) menuai respon yang terbilang divisive dari publik. Banyak yang dibuat
terhibur olehnya, tapi tak sedikit pula yang mengecamnya. Dibalik segala pro
kontra yang menyertainya, pihak rumah produksi sendiri tersenyum penuh
kegembiraan lantaran film dua bagian ini turut andil dalam pembentukan sejarah:
film Indonesia paling banyak dipirsa sepanjang masa. Bahkan, kesuksesan secara
finansial ini mendorong lahirnya sebentuk tren baru dalam perfilman tanah air
untuk “menghidupkan kembali” para legenda sinema. Sungguh sebuah kemenangan
yang manis bagi Falcon Pictures, bukan? Menilik betapa antusiasnya respon
khalayak terhadap film arahan Anggy Umbara tersebut, tentu wajar jika kemudian
mereka memberikan lampu hijau bagi pembuatan film kelanjutannya atau dengan
kata lain, jilid ketiga. Dalam usahanya mematuhi visi misi awal kala memutuskan
untuk menggarap rangkaian seri Warkop DKI
Reborn yakni tidak menggantikan melainkan melestarikan, maka perombakan
besar-besaran dalam jajaran kru beserta pemain pun dilangsungkan. Tak ada lagi
trio Abimana Aryasatya-Vino G Bastian-Tora Sudiro, tak ada pula Anggy. Sebagai
gantinya, Rako Prijanto (Teman Tapi
Menikah, Asal Kau Bahagia)
direkrut sebagai sutradara sementara trio Aliando Syarief-Adipati Dolken-Randy Danistha
mengomandoi departemen akting. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah
keputusan untuk melakukan reshuffle
ini akan memberi imbas positif atau justru negatif kepada franchise?
September 17, 2019
REVIEW : IT CHAPTER TWO
“Things we wish we could leave behind. Whispers we wish we could
silence. Nightmares we most want to wake up from. Memories we wish we could
change. Secrets we feel like we have to keep, are the hardest to walk away
from.”
Kalian boleh saja tidak setuju,
tapi bagi saya, It (2017) bukan saja
berdiri tegak di jajaran “adaptasi terbaik dari prosa rekaan Stephen King”
tetapi juga “film horor terbaik sepanjang masa”. Ya, jauh melampaui versi
miniserinya yang beruntung mempunyai Tim Curry yang tampil menyeramkan dibalik
riasan tebal si badut pencabut nyawa. Ada banyak hal yang berhasil dibawah
penanganan Andy Muschietti (Mama)
dari jajaran pelakon yang solid dimana para pemain cilik membentuk chemistry ciamik, rentetan teror dari Pennywise
sialan yang membangkitkan bulu kuduk, sampai penceritaan yang menyisipkan rasa
hangat sehingga memudahkan bagi penonton untuk menyematkan simpati kepada
barisan karakter. Bahkan jika kita berkenan untuk menyelaminya lebih jauh, It bukan sekadar sajian horor yang
menjual sentakan-sentakan mengejutkan karena ada pembicaraan cukup mendalam
terkait ketakutan masa kecil entah itu berupa kekerasan, perundungan, maupun
kesepian. Sebuah kombinasi yang sudah cukup jarang ditemukan di tontonan seram
dewasa ini, bukan? Itulah mengapa saya berhasil dibuat jatuh hati olehnya dan
tak kuasa menahan keinginan untuk menyimak paruh keduanya, It Chapter Two, yang menempatkan fokus pengisahannya pada “The
Losers Club” di masa dewasa. Menilik standar tinggi yang telah ditetapkan oleh
Muschietti di babak pertama, maka jelas ekspektasi yang menyertai turut
mengangkasa terlebih barisan pemain yang direkrut pun tidak main-main. Sekarang
yang menjadi pertanyaan adalah, apakah “formula kemenangan” yang diterapkan
sang predesesor masih bisa bekerja saat dipergunakan oleh sang sekuel?
September 16, 2019
REVIEW : READY OR NOT
“Do you like to play games?”
Saat pertama kali menengok
trailer dan membaca sinopsis dari Ready
or Not, saya seketika berseru heboh, “harus
banget nonton film ini!.” Betapa tidak, materi promosinya seolah
menjanjikan bahwa ini adalah tontonan yang mempunyai nilai kesenangan cukup
tinggi. Memang sih secara premis terdengar tidak ada pembaharuan atau sesuatu
istimewa. Terlebih bukan sekali dua kali kita menjumpai suatu film yang
mengulik soal “permainan” memburu manusia demi bertahan hidup di muka bumi.
Tapi benarkah Ready or Not adalah
sajian yang amat klise? Benarkah si pembuat film yang terdiri atas dua kepala,
Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (Devil’s
Due, Southbound), sekadar mendaur
ulang tanpa pernah berusaha untuk menawarkan sesuatu yang berbeda? Well, jika kamu sudah melakukan apa yang
telah saya lakukan – mengintip trailer, membaca sinopsis – maka tentu tahu
bahwa duo sutradara tersebut tidaklah semalas itu. Ada modifikasi, ada sentuhan
kreatif yang diaplikasikan. Mereka mengkreasi sebuah mitologi baru yang
memosisikan permainan berburu manusia selayaknya permainan kanak-kanak
tradisional dengan tujuan melestarikan tradisi. Dengan tujuan menolak bala demi
melindungi harta benda maupun generasi-generasi penerus suatu keluarga.
Istimewanya lagi, mereka juga menciptakan satu karakter perempuan yang terlihat
luar biasa keren, sampai-sampai sulit untuk memandangnya sebelah mata apalagi
saya memang selalu dibuat bertekuk lutut oleh tokoh-tokoh perempuan yang badass.
September 5, 2019
REVIEW : ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD
“When you come to the end of the line with a buddy who is more than a
brother, and little less than a wife, getting blind drunk together is really
the only way to say farewell.”
(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler jadi berhati-hatilah)
Selepas munculnya altenate history melalui Inglourious Basterds (2009) dimana Adolf
Hitler dikisahkan terbunuh lalu dua western
film berwujud Django Unchained
(2012) yang membawa penonton ke era perbudakan dan The Hateful Eight (2015) yang mengadu manusia-manusia bengis dalam
satu ruangan, para penggemar film di seluruh dunia pun bertanya-tanya: apa
langkah berikutnya yang akan diambil oleh sutradara jenius bernama Quentin
Tarantino? Dua tahun berselang usai merilis film terbarunya, Tarantino
membeberkan sekelumit gagasannya mengenai film kesembilannya. Konon, dia
berencana untuk mengkreasi sebuah tontonan yang didasarkan pada peristiwa nyata
yang menggemparkan Hollywood di tahun 1969, pembunuhan keji oleh keluarga
Manson. Tapi seperti halnya film-film sang sutradara terdahulu, Once Upon a Time in Hollywood – judul
film yang dimaksud – pun tidak menempatkan dirinya sebagai sebuah film biopik
maupun sejarah yang dapat dijadikan referensi. Kasus nyata yang diselipkan
disini hanyalah bagian dari topik utama yang diutarakan oleh Tarantino, yakni
surat cinta untuk Hollywood. Ketimbang mengedepankan tontonan bersifat
investigasi, si pembuat film justru memilih untuk mengajak penonton
bernostalgia ke era 60-an akhir dimana Hollywood mewujudkan sekaligus
menenggelamkan harapan besar dari para pemimpi.
September 1, 2019
REVIEW : TWIVORTIARE
“Sepanjang hari aku hidup untuk menolong orang, sepanjang hari itu juga
aku bertahan. Karena aku tahu setelah setiap hari yang berat itu, aku punya
kamu sebagai tujuan pulang.”
Istilah happily ever after usai mengucap janji pernikahan, hanya bisa
dijumpai dalam film komedi romantis maupun dongeng. Realitanya, beuuhhh… tidak seindah itu,
saudara-saudara. Menyatukan hati serta pemikiran dari dua orang dengan
kepribadian dan latar belakang berbeda bukanlah perkara gampang. Ada ego yang
harus dipendam, ada kesabaran yang harus dikemukakan. Apabila masing-masing
pihak enggan mengaplikasikannya, maka konflik berupa pertengkaran demi
pertengkaran adalah dampaknya. Saya memang belum melangkahkan kaki ke
pelaminan, tapi sebagai seseorang yang beberapa kali mengalami kegagalan dalam
membina hubungan percintaan (sad!)
dan kerap mendengar curahan hati saudara perihal kehidupan rumah tangganya,
saya bisa memahami bahwa menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai itu
penuh dengan tantangan. Dibutuhkan kedewasaan, dibutuhkan kesabaran, dibutuhkan
pula ketulusan hati. Melalui film bertajuk Twivortiare
yang merupakan rangkuman dua novel laris rekaan Ika Natassa, Divortiare dan Twivortiare, penonton dipersilahkan untuk melongok jatuh bangunnya
dua karakter yang kerap disebut-sebut sebagai “pasangan ideal” dalam
mempertahankan pernikahan mereka. Melalui cerita yang mereka bagikan, kita
diharapkan dapat berkaca, merenung, lalu menjadikannya sebagai pembelajaran
dalam menjalani hubungan percintaan. Terdengar berat? Well, sayangnya begitulah hidup.
August 30, 2019
REVIEW : GUNDALA (2019)
“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah
kehilangan rasa kemanusiaan.”
Ada banyak gegap gempita
mengiringi perilisan Gundala. Entah itu
disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang
melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan
pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar
(Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan.
Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor
mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka
dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan
lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan –
hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang
kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan
ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta
Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian,
mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang
tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran
Bumilangit. Gundala yang memperoleh
suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang
pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah
proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit
untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.
August 26, 2019
REVIEW : EXIT (2019)
“Earthquakes, tsunami, those aren’t the only types of disaster. Our
current situation itself is a disaster.”
Biasanya, saya paling benci
mendengar suara manusia saat pemutaran film sedang berlangsung di bioskop.
Apalagi jika film yang tengah ditonton membutuhkan konsentrasi, perenungan,
atau perasaan dari penonton agar bisa merasuk ke dalam dunia ciptaan sang
sineas. Rasanya ingin sekali menyuwir-nyuwir mulut si ceriwis yang mengganggu
itu! Tapi saat menyaksikan sajian terbaru keluaran CJ Entertainment yang
menjejakkan dirinya di genre komedi laga, Exit,
saya justru merasa sangat lega begitu menyadari bahwa diri ini dikelilingi oleh
penonton-penonton reaktif alih-alih pemalu. Sepanjang durasi mengalun, ada
beragam celotehan meluncur dari orang-orang di sekeliling berbunyi: 1) “Mas, mas, mas, ati atiiii….”, 2) “Ya Allah Ya Rabbi, astaghfirullah…”, sampai
3) “astaga, astaga, astaga, aaaaa… aaaaa…
sik, sik sik, jangan lompat, jangan lompat.” Dan berhubung film debut
penyutradaraan dari Lee Sang-geun ini memang berada di jalur eskapisme yang membutuhkan
partisipasi penonton, maka menonton bersama crowd
yang hidup adalah sebuah berkah lantaran dapat menebalkan sisi excitement yang diusungnya. Terkadang
saya terkekeh-kekeh mendengar celetukan penonton yang heboh itu, tapi lebih
seringnya, tawa dipicu oleh rentetan kekonyolan yang disodorkan oleh Exit. Sebuah film yang berulang kali menempatkan
saya dalam fase bergembira ria karena humornya dan kesulitan untuk
menghembuskan nafas saking tegangnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)