December 30, 2019

16 FILM INDONESIA TERBAIK 2019 VERSI CINETARIZ



Para pengunjung Cinetariz yang setia, bagaimana pengalaman kalian dalam menonton film Indonesia di satu tahun terakhir ini? Memuaskan, menyenangkan, biasa-biasa saja, atau justru kurang mengenakkan? Kalau bagi saya pribadi sih, 2019 adalah tahun yang menyenangkan bagi sinema tanah air. Disamping keberagaman temanya mulai terasa seiring dengan semakin beraninya para sineas untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru, saya juga menjumpai beberapa film yang membuat diri ini rela untuk menyaksikannya lebih dari satu kali. Entah saat masih berada di layar lebar maupun ketika sudah nangkring cantik di platform streaming legal yang keberadaannya semakin menjamur. Apa saja judul-judul itu? Well, apabila kamu mengikuti saya di akun media sosial, tentu sudah mengetahui apa saja film yang saya maksud. Hihihi.

December 27, 2019

REVIEW : SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)

 

“Kenapa perempuan harus menjadi hantu terlebih dahulu baru ditakuti?”

Bagi generasi masa kini, Si Manis Jembatan Ancol mungkin terdengar asing di telinga. Tapi bagi generasi yang lebih tuwek, nama ini identik dengan tiga hal. Pertama, legenda urban asal Betawi. Kedua, judul film layar lebar keluaran tahun 1973 yang dibintangi oleh Lenny Marlina. Dan ketiga, sinetron bergenre horor komedi di era 90-an yang membawa dua pemain intinya, Diah Permatasari dan Ozy Syahputra, merengkuh popularitas. Saking populernya (bahkan Presiden Soeharto pun menggilainya!), versi layar lebarnya pun digarap yang menandai untuk kedua kalinya meneror penonton di bioskop. Mantap kan, adek-adek? Nah setelah dibiarkan “beristirahat dengan tenang” di alamnya selama kurang lebih dua dekade, sesosok memedi bernama Maryam yang kerap terlihat bergentanyangan di Jembatan Ancol ini coba dibangkitkan kembali oleh Anggy Umbara (Suzzanna Bernapas dalam Kubur, Satu Suro) guna diperkenalkan kepada generasi Z, sekaligus mengikuti tren remake film horor klasik tanah air yang akhir-akhir ini tengah merebak. Masih mengandalkan judul Si Manis Jembatan Ancol, jajaran pemain yang dilibatkan tentu mengalami perombakan signifikan sebagai bentuk penyesuaian. Satu-satunya pelakon yang kembali direkrut dalam versi termutakhir adalah Ozy Syahputra yang sekali ini tidak melakonkan hantu gundul nan kenes bernama Karina, melainkan menjadi salah satu villain yang bertanggungjawab atas lahirnya arwah penasaran yang dilingkupi dendam kesumat berjulukan Si Manis.

December 24, 2019

REVIEW : HABIBIE & AINUN 3


“Kita dalam buku yang sama, tapi halaman yang berbeda.”

Saat Habibie & Ainun (2012) dirilis di bioskop, impak yang dihadirkannya tidaklah main-main. Disamping sanggup mengundang empat juta pasang mata untuk berbondong-bondong memenuhi bioskop, karir dua pemain utamanya yakni Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari pun seketika meroket. Nama keduanya lantas tercatat sebagai “bintang film kelas A” berkat kesuksesan film yang sering pula dielu-elukan sebagai salah satu tontonan percintaan terbaik di tanah air ini. Sungguh luar biasa. Saking hebatnya dampak yang diberikan oleh Habibie & Ainun, MD Pictures selaku rumah produksi pun memutuskan untuk meneruskan legacy-nya dengan menghadirkan dua film kelanjutan. Sebuah keputusan yang tadinya sempat membuat beberapa pihak, termasuk saya, bertanya-tanya, “apa lagi yang ingin dicelotehkan? Bukankah segala sesuatunya telah tertuang di film pertama?.” Well, ternyata masih ada sejumlah fase hidup dari dua karakter tituler yang belum sepenuhnya tersentuh. Dua sekuel yang sejatinya lebih bersifat sebagai prekuel ini, menggali lebih dalam masa-masa yang hanya dituturkan secara sekilas lalu di Habibie & Ainun. Yang pertama adalah Rudy Habibie (2016) dimana kisah masa muda Bacharuddin Jusuf Habibie dihantarkan bak tontonan blockbuster yang megah, dan yang kedua adalah Habibie & Ainun 3 (2019, sebelumnya berjudul Ainun) yang narasinya mengetengahkan pada perjuangan Hasri Ainun Besari semasa menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.   

December 20, 2019

REVIEW : IMPERFECT


“Jika kesempurnaan membuatmu bahagia, maka beri aku waktu untuk belajar menerima itu. Karena aku terlanjur mencintai ketidaksempurnaanmu.”

Siapa sih yang tidak pernah merasa insecure? Rasa-rasanya, setiap manusia di muka bumi ini pernah mengalaminya dalam satu fase hidupnya dengan kadar yang tentu berbeda-beda. Ada yang minor sehingga beberapa waktu kemudian lantas bisa menghempaskannya dari pikiran, tapi tak sedikit pula yang major sampai-sampai mempengaruhi setiap langkah dalam kehidupannya. Imbasnya, rasa percaya diri pun merosot drastis yang menyulitkannya untuk berpikir positif. Biasanya, efek yang sedemikian besar tersebut dipicu adanya bullying atau body shaming dari lingkungan sekitar. Ujaran semacam “kamu gendutan ya?”, “kamu kurus banget deh, nggak pernah makan ya?”, maupun “kulitmu item banget,” yang umumnya dipergunakan sebagai kalimat pembuka dari suatu basa-basi, tanpa disadari telah berkembang menjadi sesuatu yang beracun dan berbahaya. Terlebih lagi, kita hidup di era dimana media menciptakan standar kecantikan/ketampanan diluar batas kewajaran yang membuat perasaan insecure menjadi semakin membumbung tinggi serta sulit dikendalikan. Menyadari adanya fenomena tidak sehat yang tengah menggerogoti generasi muda masa kini, Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet) pun berinisiatif untuk mengkreasi tontonan bertajuk Imperfect yang disadur dari buku non-fiksi berjudul sama rekaan sang istri, Meira Anastasia. Melalui buku tersebut serta film ini, pasangan Ernest-Meira mencoba menggaungkan pesan positif untuk kita semua yang sedang (atau pernah) merasa rendah diri akibat penampilan fisik yang tidak termasuk dalam kriteria sempurna. Pesan tersebut berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi tidak sempurna karena yang terpenting bukanlah menjadi sempurna, melainkan menjadi pribadi yang bahagia dan berguna bagi sesama.”

Dalam ya?

December 17, 2019

REVIEW : JERITAN MALAM


“Pernahkah kalian merinding di suatu tempat, merasakan kehadiran sesuatu yang sebelumnya kalian percaya hanyalah permainan imajinasi otak manusia belaka?”

Sebelum diadaptasi ke dalam tontonan layar lebar, Jeritan Malam lebih dulu dikenal sebagai salah satu thread bentukan @morfosis_meta di forum Kaskus. Thread yang membungkus satu cerita seram unggahan si pembuat ini, tanpa dinyana-nyana menjadi buah bibir di kalangan pengunjung dunia maya dan seketika dibukukan. Salah satu alasan paling mendasar yang membuat cerita tersebut dapat menjaring ketertarikan publik secara cepat adalah fakta (setidaknya menurut si penulis) bahwa narasi yang diutarakan dalam Jeritan Malam bersumber dari pengalaman nyata. Disamping faktor lain yang meliputi: 1) ceritanya terasa dekat dan familiar khususnya bagi masyarakat Jawa di daerah yang masih kerap bersentuhan dengan kebudayaan atau kesenian yang aroma mistisnya cukup kental, dan 2) ada elemen misteri dibubuhkan melalui kalimat pembuka yang menimbulkan ambiguitas sehingga pembaca pun memiliki ketertarikan untuk membaca demi menjawab pertanyaan “benarkah ini semua betul-betul terjadi?.” Oleh versi layar lebarnya yang digarap Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin), elemen misteri ini masih menjadi satu cara yang ampuh dalam menarik atensi. Terlebih lagi, ada satu peringatan dibubuhkan berbunyi kurang lebih “jangan lakukan apa yang telah saya lakukan” yang seketika membuat diri ini dan mereka yang belum pernah menyentuh materi sumbernya dilingkupi kepenasaranan. Apa yang sebetulnya telah dilakukan oleh si tokoh utama sampai-sampai dia menyerukan peringatan tersebut kepada penonton?

December 14, 2019

REVIEW : KNIVES OUT


“The family is truly desperate. And when people get desperate, the knives come out.”

Saat menyaksikan Knives Out garapan Rian Johnson (Looper, Star Wars: The Last Jedi) di layar lebar beberapa hari yang lalu, ada satu komentar yang seketika terlontar dari mulut saya selepas lampu bioskop dinyalakan: “wow!” Ya, saya dibuat jatuh hati oleh karya terbaru Johnson ini sampai-sampai saya tidak kesulitan untuk memberinya label sebagai “salah satu pengalaman sinematik paling mengasyikkan di tahun 2019.” Sebuah label yang tak pernah saya perkirakan akan disandang oleh Knives Out, meski saya pribadi telah menunjukkan ketertarikan hebat untuk menyantap film ini sedari materi promosinya ditebar. Pemicunya adalah, penyesuaian ekspektasi selepas menyimak versi terbaru dari Murder of the Orient Express (2017) yang tidak terlampau menggairahkan. Ada tiga persamaan yang menyatukan dua judul tersebut: 1) keduanya berdiri di jalur misteri dengan narasi ‘whodunit’ yang mengajak penonton untuk menerka-nerka si dalang pembunuhan, 2) keduanya mengedepankan pelakon-pelakon ternama untuk mengisi departemen akting, dan 3) keduanya memiliki keterkaitan dengan novel rekaan Agatha Christie – well, dalam kasus Knives Out, lebih ke terinspirasi pada pola pengisahannya. Memiliki sederet persamaan semacam ini, mau tidak mau antisipasi yang sebetulnya telah menjulang tinggi tadi lantas dibarengi dengan ekspektasi yang berada di level sedang. Saya tentu tidak mau dibuat kecewa untuk kedua kalinya, saudara-saudara! Untuk itulah diri ini lantas menekan pengharapan kala bertandang ke bioskop yang ternyata oh ternyata, malah berbuah manis tatkala mendapati bahwa Knives Out sanggup berdiri jauh di atas pencapaian “saudara tirinya” dan memberi saya sebuah sajian hiburan yang sangat memuaskan.

December 12, 2019

REVIEW : KIM JI-YOUNG BORN 1982


“Mengapa kamu berusaha sangat keras untuk melukai hati orang lain?”

Kim Ji-young Born 1982 adalah film yang sederhana. Jalinan pengisahannya tak berbelit-belit, dan cakupan skalanya pun kecil saja. Sebatas berkisar pada keseharian dari seorang ibu rumah tangga di Korea Selatan. Akan tetapi, film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Kim Do-young yang lebih dulu dikenal sebagai aktris ini merupakan sajian penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Satu alasan utamanya, topik berani yang dikedepankannya. Lebih dari sekadar slice of life, Kim Ji-young Born 1982 yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Cho Nam-ju mengusung pembicaraan tentang racun patriarki yang terhitung jarang disinggung secara terang-terangan oleh film dari Negeri Ginseng. Apa pasal? Well, dibalik gemerlap industri hiburan yang dipancarkan melalui Korean Wave, ada setumpuk cerita kelam yang merambat di setiap sudut Korea Selatan. Budaya patriarki masih berdiri tegak dan sebagian besar publik memilih untuk menutup mata atas dampak merusak yang dimunculkannya. Pertanda bahwa ada pihak-pihak yang masih belum siap (atau justru enggan?) untuk mendiskusikan isu mengenai kesetaraan gender secara terbuka telah nampak sedari versi novelnya belum diejawantahkan ke dalam bahasa gambar. Personil grup musik perempuan Red Velvet, Irene, menerima kecaman sangat keras usai dirinya menyatakan telah membaca novel ini. Tidak tanggung-tanggung, ada aksi pembakaran foto Irene oleh mereka yang tidak menyetujui pilihan Irene, khususnya dari kalangan penggemar laki-laki. Sungguh ekstrim, bukan?

November 15, 2019

REVIEW : DOCTOR SLEEP


“When I was a kid, there was a place, a dark place. They closed it down, and let it rot. But the things that live there, they come back.”

Sebagai seseorang yang menggemari genre horor, saya sangat menyukai The Shining (1980). Bagi saya, film garapan Stanley Kubrick tersebut terhitung layak untuk berdiri tegak pada posisi puncak dalam daftar “film horor paling seram yang pernah dibuat sepanjang masa”. Memang betul Stephen King sebagai pereka versi novelnya mengaku kurang sreg dengan interpretasi Kubrick. Alasannya, sang sutradara terlampau banyak melakukan improvisasi sehingga membuat versi layar lebarnya lebih layak disebut “terinspirasi” ketimbang “adaptasi” dari buku milik King. Akan tetapi, jika kita bersedia meniadakan komparasi dan semata-mata memandangnya sebagai sajian seram, The Shining berhasil. Secara perlahan tapi pasti, film akan “menelanmu” hidup-hidup melalui kombinasi narasi, akting, serta trik menakut-nakuti yang ciamik. Ada banyak adegan ikonik di sini (seperti bocah kembar, banjir darah, sampai “here’s Johnny!”) yang masih membekas sampai sekarang, dan sempat pula beberapa kali bergentayangan dalam mimpi sesaat setelah menontonnya. Hiii… Menilik legacy cukup hebat yang ditinggalkan olehnya, saya jelas sempat dirundung keraguan begitu mendengar adanya wacana sekuel berdasar novel kelanjutan bertajuk Doctor Sleep yang masih ditulis oleh King dan dirilis pada tahun 2013 silam. Yang kemudian membuat saya optimis adalah faktor sutradara. Sebagai pengganti Kubrick, pihak Warner Bros memercayakan ekranisasi novel ini untuk ditangani oleh Mike Flanagan. Seorang sutradara dengan jejak rekam gilang gemilang yang filmografinya mencakup serial seram bertajuk The Haunting of Hill House (2018) dan beberapa film horor kece semacam Oculus (2013), Hush (2016), serta Gerald’s Game (2017) yang juga disadur dari prosa gubahan King. Terdengar menjanjikan, bukan?

November 12, 2019

REVIEW : RATU ILMU HITAM (2019)


“Ketidaktahuan itu juga dosa, sayang.”

Saat pertama kali mendengar rumah produksi Rapi Films akan mendaur ulang salah satu film andalannya, Ratu Ilmu Hitam (1981), reaksi yang bisa saya lontarkan seketika adalah, “wow!”. Seperti halnya Pengabdi Setan yang versi termutakhirnya turut mendapatkan puja-puji dari berbagai kalangan, film arahan Lilik Sudijo ini pun bukanlah sajian horor ecek-ecek. Tengok saja pencapaiannya dalam industri: menggenggam lima nominasi dalam Festival Film Indonesia 1982 termasuk untuk kategori Aktris Utama Terbaik bagi Suzzanna. Pencapaian ini jelas impresif, lebih-lebih jika kita berkaca pada fakta bahwa genre horor amat sangat jarang dilirik oleh ajang penghargaan bergengsi. Guna menjaga “nama baik” dari Ratu Ilmu Hitam, pihak rumah produksi pun memercayakan penulisan skenario kepada Joko Anwar yang terbukti mampu menghantarkan Pengabdi Setan (2017) dalam meraih kesuksesan secara kritikal maupun finansial. Sedangkan untuk urusan mengejawantahkan ke bahasa audio visual, Kimo Stamboel – salah satu personil dari The Mo Brothers – lah yang diberi amanat. Sebuah kolaborasi yang mesti diakui tampak menggiurkan di atas kertas dan seolah memungkinkan tersajinya sebuah sajian seram yang penuh teror. Yang kemudian membuat saya dirundung rasa skeptis adalah ketidakpuasan terhadap penggarapan Kimo dalam DreadOut yang dirilis pada awal tahun ini. Ada keraguan dan ada trauma yang masih tersisa sampai-sampai membentuk satu pertanyaan. Akankah interpretasi anyar dari Ratu Ilmu Hitam sanggup ditangani dengan baik oleh Kimo sehingga sajian seram mencekam pun dapat tersaji? Let’s see.

November 7, 2019

REVIEW : LAMPOR KERANDA TERBANG


“Anak yang dianggap hilang, akhirnya pulang.”

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, dedemit yang dikenal dengan nama lampor bisa jadi masih terdengar asing di telinga. Tapi bagi mereka yang tumbuh besar di Jawa – khususnya area Yogyakarta dan sekitarnya – lampor adalah teror masa cilik yang sulit dienyahkan. Sebagian orang memang mengenalnya sebatas “hantu penculik bocah” yang muncul selepas matahari terbenam. Tapi dalam narasi yang lebih luas, sosoknya dikenal sebagai pasukan Nyi Roro Kidul dari Laut Selatan yang kehadirannya ditandai dengan adanya suara kegaduhan yang bersumber dari iring-iringan kereta kuda dan pasukan demit. Terdengar mengerikan, bukan? Begitulah jika kita memperbincangkan soal mitologi Jawa, aroma mistis dan kleniknya sangat kuat terasa. Setiap daerah memiliki mitosnya sendiri, setiap daerah mempunyai kepercayaan yang akan membuat bulu kudukmu meremang. Saking melimpahnya mitos Jawa yang menyeramkan ini, tak mengherankan jika kemudian pihak rumah produksi di tanah air pun kerap meliriknya untuk dijadikan bahan utama bagi film horor. Maklum, selain terdengar seram, latar belakangnya juga filmis. Memungkinkan sekali untuk diejawantahkan ke tontonan layar lebar, termasuk mitos lampor yang lantas didayagunakan oleh Starvision guna menghasilkan film seram bertajuk Lampor Keranda Terbang dimana Guntur Soeharjanto (99 Cahaya di Langit Eropa, Ayat-Ayat Cinta 2) selaku sutradara dan Adinia Wirasti yang didapuk sebagai pemeran utama menjajal genre horor untuk pertama kalinya.

November 4, 2019

REVIEW : LOVE FOR SALE 2


(ulasan mengandung spoiler, jadi berhati-hatilah di dua paragraf akhir)

“Belum pernah saya lihat mamakmu sebahagia seperti sekarang ini. Auranya… bersinar!”

Bagi sebagian orang, Arini (Della Dartyan) adalah salah satu karakter fiktif paling keji dalam sinema dunia yang semestinya dilaknat. Alasannya, karena dia mendadak pergi tanpa pamit dan meninggalkan seorang pria yang menaruh rasa teramat dalam kepadanya di saat sang pria sedang sayang-sayangnya. Tindakan Arini ini jelas tidak bisa dibenarkan oleh kemanusiaan. Terlebih lagi, pria tersebut juga telah terlampau lama tak memperoleh belaian penuh cinta kasih dari seorang perempuan. Jika kemudian ada yang mengantagonisasi Arini atas tindakannya kepada bujang lapuk kesepian bernama Richard (Gading Marten), tentu bisa dipahami. Walau sejatinya pernyataan “Arini adalah villain” dapat dipatahkan seketika apabila penonton bersedia untuk mengilas balik ke awal perjumpaan dua karakter utama dalam Love for Sale (2018) ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi, Arini hanyalah pegawai di Love Inc. – perusahaan penyedia pasangan sewaan yang konsepnya menyerupai Family Romance di Jepang – yang kebetulan mendapat penugasan untuk mendampingi Richard. Dia mempunyai kontrak yang harus dipatuhi, dia juga mempunyai perasaan yang mesti dibatasi. Hubungannya dengan klien bersifat profesional, tidak pernah lebih. Apabila percikan asmara lantas menghinggapi klien, bukankah kesalahan ada di pihak klien lantaran telah mendobrak batasan? Melalui Love for Sale 2, Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Romeo Juliet) yang masih menduduki kursi penyutradaraan berupaya untuk “memperbaiki citra” Arini yang kadung tercoreng ini. Dalam narasi yang diekspansi lebih luas lagi demi menuruti aturan tak tertulis untuk sekuel, ada sepenggal narasi yang akan mendorong penonton untuk memahami motivasi sesungguhnya dari “sang villain”.

October 31, 2019

REVIEW : ZOMBIELAND DOUBLE TAP


“When you love something, you shoot it in the face. So it doesn't become a flesh eating monster.”

Apakah ada diantara kalian yang masih ingat dengan Zombieland? Itu lho, film tentang mayat hidup yang disajikan secara unik dan mendapatkan puja puji dari kritikus maupun penonton saat dirilis di bioskop pada tahun 2009 silam. Ketimbang sebatas bernarasi tentang sejumlah manusia yang mencoba bertahan hidup dari serangan zombie, film arahan Ruben Fleischer (Gangster Squad, Venom) tersebut mencoba memberikan sejumlah modifikasi yang terdiri dari: 1) pijakan genrenya adalah komedi dimana film tak pernah menganggap dirinya serius, 2) ada aturan-aturan diberlakukan untuk bertahan hidup yang tak hanya diucapkan tetapi juga divisualisasikan secara nyentrik, 3) penggunaan nama kota di Amerika Serikat sebagai nama karakter untuk menghindari ketergantungan, dan 4) film menyelipkan kehangatan ke dalam narasi menyusul adanya topik pembicaraan seputar “manusia adalah makhluk sosial”. Hasilnya, kita mendapati salah satu tontonan zombie terbaik yang pernah dibuat. Lebih-lebih, Zombieland juga dianugerahi chemistry hebat dari keempat pelakon utamanya seperti Woody Harrelson, Jesse Eisenberg, Emma Stone, serta Abigail Breslin yang belakangan semuanya menyandang predikat “pemain kelas Oscar”. Sungguh impresif, bukan? Saking impresifnya, ada beban tersendiri bagi tim pembuat film tatkala mencetuskan gagasan untuk menciptakan sebuah sekuel. Mereka membutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk menggodok naskah, sampai akhirnya film kelanjutan bertajuk Zombieland Double Tap baru siap diluncurkan pada perayaan ulang tahun ke-10 dari film pertama yang untungnya masih dimeriahkan oleh jajaran pemain yang sama.

October 26, 2019

REVIEW : SUSI SUSANTI: LOVE ALL


“Saya adalah orang Indonesia. Selamanya saya orang Indonesia.”

Siapa sih yang tidak mengenal Susi Susanti? Menorehkan beragam prestasi di sepanjang karirnya, termasuk mempersembahkan emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade Barcelona 1992, namanya dicatat oleh sejarah sebagai salah satu figur penting dalam kancah olahraga bulu tangkis. Tidak hanya dalam lingkup tanah air, tetapi juga dunia. Dia adalah pahlawan gelanggang yang berjasa menyatukan Indonesia yang terpecah-pecah jelang reformasi 1998, dan berjasa pula dalam mengobarkan rasa nasionalisme yang timbul tenggelam akibat pemerintahan Orde Baru yang amat menekan khususnya bagi keturunan Tionghoa seperti Susi. Sungguh mengagumkan, bukan? Menilik segala pencapaian yang direngkuh oleh legenda hidup ini semenjak dirinya memulai karir pada pertengahan era 1980-an sampai akhirnya memutuskan untuk gantung raket di penghujung era 1990-an, maka tidak mengejutkan jika kemudian ada sineas tanah air yang berinisiatif untuk mengangkat kisah hidupnya ke layar lebar. Sim F yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara video musik (karyanya mencakup “Menghapus Jejakmu” milik Peterpan dan “Cinta Pertama dan Terakhir” milik Sherina) dipercaya untuk mengejawantahkan sepak terjang atlet asal Tasikmalaya tersebut melalui film biopik bertajuk Susi Susanti: Love All. Yang menarik, alih-alih sebatas menyoroti jatuh bangun Susi dalam menapaki tangga karir, film turut mengapungkan isu rasialisme yang memang mempunyai impak besar terhadap perjalanan hidup serta karir Susi.

October 23, 2019

REVIEW : HUSTLERS


“I don’t want to be dependent on anybody. I just want to take care of my grandma, maybe go shopping every once in a while.”

Berpatokan pada materi promosi yang ditebarnya dan deretan pemain yang terlibat di dalamnya, mudah untuk menduga Hustlers sebagai film hura-hura belaka yang tidak mempunyai kedalaman apapun pada narasinya. Terlebih lagi, premis miliknya yang berbunyi “bagaimana jika sekelompok penari erotis melakukan penipuan demi menghasilkan uang?” kian memperkuat dugaan tersebut. Memboyong ekspetasi cukup minim dimana sebagian besar dipicu oleh keinginan untuk bersenang-senang, alangkah terkejutnya saya begitu mendapati bahwa film arahan Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) ini bukanlah sajian dangkal yang meletakkan fokusnya pada aksi kriminal dari para penari telanjang semata. Didasarkan pada satu artikel menggemparkan gubahan Jessica Pressler yang dipublikasikan di majalah New York pada tahun 2015, “The Hustlers at Scores”, Hustlers ternyata turut mengajukan sejumlah topik berisi terkait women empowerment, objektifikasi perempuan, sampai ketimpangan ekonomi. Rentetan topik yang belum apa-apa sudah terdengar berat, ya? Tapi jika kamu lantas mengira bahwa film ini lantas berceloteh bak profesor yang sedang memberikan kuliah dan mengesampingkan seluruh elemen gegap gempitanya, maka kamu juga keliru. Hustlers tidak seberat itu, tetapi juga tidak seringan seperti diperkirakan. Film ini berada di tengah-tengah seperti halnya karakteristik dari para tokoh utama yang diposisikan dalam area abu-abu ketimbang segamblang hitam dan putih menyusul keinginan si pembuat film untuk tidak menghakimi moralitas mereka.

October 22, 2019

REVIEW : MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL


“This is no fairy tale.”

Pada tahun 2014 silam, Disney mencoba untuk sedikit bereksperimen terhadap produk layar lebar mereka. Alih-alih menggunakan kacamata si karakter tituler untuk interpretasi anyar terhadap dongeng klasik Sleeping Beauty, mereka justru menempatkan si karakter villain di poros utama pengisahan. Penonton disodori premis menggiurkan berbunyi, “apa yang sebenarnya membuat Maleficent begitu kejam sampai tega melukai seorang manusia berhati lembut seperti Aurora?,” yang tentu saja sulit untuk ditolak. Menempatkan Angelina Jolie sebagai si tokoh jahat yang memiliki ciri khas fisik berupa tulang pipi tajam, tanduk, serta sayap, khalayak ramai pun menyambutnya secara antusias sekalipun film memperoleh respon beragam dari kritikus. Satu paling disorot, penggunaan CGI terlampau berlebihan sampai-sampai narasinya terpinggirkan. Padahal, dekonstruksi atas dongeng ini dimana Maleficent dideskripsikan sebagai “makhluk baik yang tersakiti” sejatinya punya kesempatan untuk menciptakan gelaran mengharu biru. Cukup disayangkan, memang. Mencoba memperbaiki kesalahan tersebut – atau lebih tepatnya, ingin mendulang dollar lebih besar lagi – maka pihak studio pun berinisiatif untuk mengkreasi cerita kelanjutan bagi Maleficent dengan menggunakan subjudul Mistress of Evil. Sebuah trik jualan yang lagi-lagi mesti diakui jitu lantaran subjudul ini akan mengundang ketertarikan bagi sebagian penggemar. Ada satu tanya yang lantas muncul: apakah benar karakter jahat yang telah bertaubat di film sebelumnya, akhirnya memilih untuk kembali bertindak zalim ketimbang bertahan di jalan kebaikan?

October 20, 2019

REVIEW : PEREMPUAN TANAH JAHANAM


“Kamu, kesalahan yang harus aku hapus.”

Entah dirimu menyukainya atau tidak, mesti diakui, Pengabdi Setan (2017) adalah film horor yang fenomenal. Betapa tidak, film arahan Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) ini sanggup membukukan angka penonton hingga 4 juta lebih yang menempatkannya sebagai salah satu film Indonesia paling banyak dipirsa, dan berhasil pula memboyong sejumlah Piala Citra berkat kualitas teknisnya yang ciamik. Sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diraih oleh film dari genre seram. Menilik segala kesuksesan yang dicapai baik dari sisi kritikal maupun finansial, satu tanya lantas hinggap: apa yang akan diperbuat oleh seorang Joko Anwar di film berikutnya guna melampaui – atau minimal menyamai – Pengabdi Setan? Usai sedikit bereksperimen di genre laga melalui Gundala yang memperoleh resepsi beragam dari para penikmat film, Joko Anwar akhirnya kembali ke arena bermainnya melalui Perempuan Tanah Jahanam yang konon telah dipersiapkan sedari bertahun-tahun silam. Ada beragam faktor yang menyebabkan film berjudul Impetigore untuk peredaran internasional ini sampai berada dalam status development hell, termasuk persoalan kesiapan teknis beserta pengembangan karakter dalam narasi yang membutuhkan waktu cukup panjang. Tapi berkat meledaknya “kisah keluarga ibu”, CJ Entertainment dari Korea Selatan bersama Ivanhoe Pictures dari Amerika Serikat pun berkenan untuk bekerja sama dengan Rapi Films dan Base Entertainment guna mewujudkan salah satu proyek impian Joko yang guliran pengisahannya turut terinspirasi dari mimpi buruknya di suatu malam ini.

October 18, 2019

REVIEW : THE PEANUT BUTTER FALCON


“Friends are the family you choose.”

Dalam The Peanut Butter Falcon, penonton diperkenalkan pada seorang laki-laki berusia 22 tahun yang mengidap Down Syndrome, Zak (Zack Gottsagen). Tak memiliki keluarga yang bersedia mengurusnya, Zak pun ditempatkan oleh pemerintah di panti jompo dimana dia kerap menghabiskan waktunya untuk menyaksikan sebuah video gulat. Dari video ini, dia mengidolakan pegulat berjulukan The Salt Water Redneck (Thomas Haden Church) dan berharap dapat bergabung ke sekolah gulat yang diasuhnya. Sayangnya, bukan perkara mudah bagi Zak untuk bisa mewujudkan mimpinya ini sampai kemudian dia berhasil melarikan diri dari panti jompo pada suatu malam berkat bantuan teman sekamarnya, Carl (Bruce Dern). Tanpa dibekali peta, uang saku, serta pakaian – well, Zak hanya mengenakan celana dalam saat kabur – protagonis kita ini pun terlunta-lunta untuk beberapa saat. Yang kemudian bersedia untuk memberinya bantuan adalah seorang nelayan bermasalah bernama Tyler (Shia LaBeouf). Itu juga karena terpaksa lantaran tidak tega melihat Zak harus mengalami perundungan dari orang-orang yang ditemuinya. Hubungan Zak-Tyler yang tadinya bisa dibilang dingin ini perlahan tapi pasti mulai menghangat setelah keduanya berkenan untuk saling membuka diri. Dari setiap percakapan, dari setiap interaksi, kita bisa menyadari bahwa mereka adalah produk dari duka dan sepi. Sebuah alasan yang membuat persahabatan mereka cepat rekat disamping fakta bahwa mereka sejatinya sama-sama berstatus sebagai buronan: Tyler diburu oleh rekan-rekan sesama nelayan, sementara Zak diburu oleh pengasuhnya dari panti jompo, Eleanor (Dakota Johnson).

October 14, 2019

REVIEW : SIN


“Aku akan selalu ada buat kamu.”

Betapa nelangsanya nasib Minke (Iqbaal Ramadhan). Usai kisah cintanya dengan Annelies (Mawar De Jongh) dipaksa kandas lantaran sang pujaan harus berpindah ke Belanda, kini dia pun harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah ditikung oleh teman baiknya sendiri. Jan (Bryan Domani) yang diberi kepercayaan untuk mengawal Annelies ternyata diam-diam menaruh rasa kepada Annelies… dan mereka pun ada kemungkinan memiliki hubungan darah dari pihak ayah (!). Kacau betul, bukan? Berhubung Tuan Mellema gemar bermain perempuan, maka plot twist ini tentu tidak mengherankan meski tetap akan bikin diri ini geleng-geleng kepala sekaligus mengernyitkan dahi jika benar-benar ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tapi syukurlah, hubungan cinta terlarang antara Annelies dengan Jan tersebut bukan bagian dari cerita kelanjutan Bumi Manusia, melainkan dari film bertajuk Sin keluaran Falcon Pictures yang menempatkan Mawar De Jongh beserta Bryan Domani di garda pemain utama. Dan memang, ada narasi mengenai cinta terlarang yang dikemukakan melalui tagline berbunyi “saat kekasihmu adalah kakakmu sendiri” yang mendorong beberapa kawan untuk melempar komentar julid: kok berasa sinetron ya? Saya sih tidak pernah berpikir sampai ke sana ya, karena memang jarang sekali nonton sinetron. Malah, saya jadi teringat pada satu film erotis asal Thailand, Jan Dara (2001), yang sempat tayang di bioskop lokal dengan tajuk My Lover My Son. Same energy, rite? Berhubung masyarakat Indonesia sedang sangat relijius dan menaruh perhatian sangat tinggi kepada perkara berbau moral, saya tentu sama sekali tidak kaget begitu mengetahui bahwa kesamaan energi antara dua film ini hanya sampai di tampilan luar semata.

October 12, 2019

REVIEW : CINTA ITU BUTA


“Kamu tahu nggak bedanya kamu sama rumput laut? Kalau rumput laut itu mengandung nutrisi, kalau kamu mengandung anak-anak kita nanti.”

Biasanya, kita melihat komika dengan selera humor nyeleneh, Dodit Mulyanto, di jajaran pemain pendukung dalam film layar lebar guna bertindak sebagai comic relief. Tapi tim kasting Cinta Itu Buta ternyata melihat potensi besar dari seorang Dodit. Alih-alih menempatkannya dalam supporting roles, mereka memberi kesempatan kepada Dodit untuk unjuk gigi di garda terdepan. Tidak tanggung-tanggung, film yang merekrut sang komika sebagai peran utama, berada dalam ranah komedi romantis. Sebuah kejut nyata, bukan? Seperti halnya sebagian dari kalian, saya pun tak menduga Dodit akan beroleh peran krusial dalam genre ini. Terlebih lagi, dia bukanlah tipe prince charming atau bad boy yang belakangan kerap mendominasi kisah percintaan di sinema tanah air. Jadi, apa yang hendak dikedepankan? Well, berkaca pada pendampingnya, Shandy Aulia, dan judul yang dikedepankan, penonton sejatinya sudah bisa meraba-raba narasi maupun pesan yang hendak diutarakan oleh tontonan ini. Didasarkan pada film Filipina laris berjudul Kita Kita (2017), film yang menandai kembalinya Rachmania Arunita ke kursi penyutradaraan setelah terakhir kali menggarap Lost in Love (2008) ini menerapkan template “beauty and the beast”. Di saat bersamaan, film turut mencoba hantarkan pesan moral yang cukup menyentuh berbunyi “cinta sejati bukanlah soal penampilan, melainkan tentang ketulusan hati dan empati” yang seketika membuat diri ini tertarik untuk menjajalnya.

October 11, 2019

REVIEW : GEMINI MAN


“I think I know why he’s as good as you. He is you”

Apabila saya berseru, “Gemini Man adalah film laga yang asoy”, rasa-rasanya tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang akan mempertanyakannya. Maksud saya, Gemini Man mempunyai semua komponen yang dibutuhkan untuk membuatnya tersaji sebagai sebuah tontonan eskapis yang bakal disukai oleh khalayak ramai. Ada Ang Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon, Life of Pi) yang terbukti ulung dalam menyampaikan cerita di kursi penyutradaraan, ada Will Smith yang memiliki karisma kuat baik sebagai bintang laga maupun aktor serius di jajaran pemain, dan ada pula premis menggelitik perhatian berbunyi: bagaimana seandainya ada dua Will Smith dari masa berbeda yang saling bertarung antara satu dengan yang lain? Jadi, apa sih yang mungkin salah dari film ini? Sepintas lalu, film yang turut diproduseri oleh Jerry Bruckheimer (produser dari Top Gun serta Armageddon) ini memang tampak menjanjikan. Materi promosinya juga memberi kesan bahwa ada banyak gegap gempita dan keriuhan yang bisa kamu jumpai di sepanjang durasi. Saya yang dilingkupi kebahagiaan karena bisa kembali menyaksikan film dalam format 3D sekaligus kepenasaran lantaran Gemini Man menjajal teknologi anyar dengan divisualisasikan dalam 120 frames per second – umumnya, film diproyeksikan dalam 24 frames per second – pun tak menaruh kecurigaan apapun. Tapi setelah saya mengenakan kacamata 3D dan film berjalan separuh durasi, saya perlahan mulai menyadari bahwa Gemini Man ternyata lebih cocok disebut sebagai “film yang amsyong” ketimbang “film yang asoy”.

October 7, 2019

REVIEW : BEBAS


“Ada nggak hal-hal yang pengen banget lu kerjain, tapi belum kesampaian?”

Bagi kebanyakan orang, masa SMA kerap disebut sebagai fase terbaik dalam hidup. Betapa tidak, ada banyak sekali kenangan yang bisa digoreskan di titik ini. Kita akhirnya cukup dewasa untuk bisa merasakan nikmatnya (dan pedihnya) jatuh cinta, kita akhirnya mendapat sedikit kebebasan dari orang tua untuk melakukan apa yang kita maui, dan kita pun memiliki sahabat-sahabat karib yang bisa diajak gila-gilaan sekaligus bermimpi mengenai apa yang ingin dicapai setelah beranjak dewasa. Saking melimpahnya cerita yang bisa digali dari anak berseragam putih abu-abu yang problematikanya tergolong serius tapi santuy ini, tak mengherankan jika selalu ada “film remaja berlatar SMA” yang menarik disimak saban tahunnya. Salah satu yang membekas bagi saya adalah film asal Korea Selatan berjudul Sunny (2011) yang mencetak 7,3 juta lembar tiket selama masa edarnya di bioskop. Dalam film ini, penonton disuguhi narasi seputar reuni penuh nostalgia dari tujuh sahabat perempuan yang tak saja mengundang riuh tawa, tetapi juga air mata. Berkat kesuksesan secara finansial maupun kritikal yang diterima oleh Sunny, CJ Entertainment pun tidak keberatan untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan remake dari beberapa negara seperti Vietnam (Go Go Sisters, 2018), Jepang (Sunny: Strong Mind Strong Love, 2018), serta Indonesia, yang kesemuanya turut memberikan modifikasi guna menyesuaikan dengan kultur setempat. Satu perbedaan paling mencolok dalam versi Indonesia yang diberi tajuk Bebas adalah konfigurasi dari para pemain utama yang tak lagi tersusun atas tujuh perempuan.

October 4, 2019

REVIEW : JOKER


“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a comedy.”

Siapa sih yang tidak mengenal Joker? Apabila kamu kerap bersentuhan dengan pop culture, karakter satu ini tentu tidak lagi asing. Memiliki perawakan menyerupai badut dengan kulit serba putih, rambut berwarna hijau menyala, dan bibir yang merah mengkilat, Joker dikenal sebagai supervillain yang menjadi lawan berat bagi jagoan andalan DC Comics, Batman. Dalam khasanah sinema Hollywood, psikopat dengan selera humor bernada gelap ini telah berulang kali dilakonkan oleh berbagai aktor. Dari Jack Nicholson yang tampil bengis dalam Batman (1989), lalu mendiang Heath Ledger yang menghidupkannya bak penjahat sinting lewat The Dark Knight (2008) dimana dia dianugerahi piala Oscar, sampai Jared Leto yang cenderung komikal melalui Suicide Squad (2016). Menilik beragam interpretasi yang telah diberikan kepada sang penjahat, dan kesemuanya mesti diakui dimainkan secara gilang gemilang, maka saat Warner Bros. bersama DC Films berencana untuk mengkreasi sebuah film solo berbentuk origin story baginya, tentu ada satu tanya mengemuka: apa lagi pendekatan yang hendak diambil? Pada mulanya, saya sempat mengira Joker garapan Todd Phillips (Road Trip, trilogi The Hangover) bakal sedikit banyak menyerupai The Dark Knight. Tapi ternyata, film yang dicanangkan sebagai bagian dari DC Dark – adaptasi eksperimental dengan nada penceritaan lebih gelap – alih-alih DC Extended Universe ini mengambil jalur sama sekali berbeda. Mengenyahkan unsur fantasi yang biasanya melekat erat pada tontonan berbasis komik kepahlawanan, Joker menjejakkan kakinya di ranah realis dimana film lantas mengajak penonton untuk memperbincangkan tentang mental illness dan situasi sosial politik dewasa ini.

October 2, 2019

REVIEW : AD ASTRA


“I’m unsure of the future, but I’m not concerned. I will rely on those closest to me, and I will share their burdens, as they share mine. I will live and love.”

Setelah karirnya sebagai pemeran pengganti dalam Once Upon a Time in Hollywood berakhir, ternyata tak butuh waktu lama bagi Brad Pitt untuk mendapatkan pekerjaan baru. Tak tanggung-tanggung, dia menjajaki profesi astronot yang memungkinkannya untuk berkelana ke luar angkasa dan mengunjungi berbagai planet diluar bumi. Keren sekali, bukan? Tentu, karir berbeda ini dijalani oleh Bung Pitt dalam film berbeda yang sekali ini berada di ranah fiksi ilmiah, Ad Astra. Lewat film arahan James Gray (We Own the Night, The Lost City of Z), aktor kesayangan kita semua ini berperan sebagai Major Roy McBride yang merupakan putra dari seorang astronot kenamaan, H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones), yang konon tercatat dalam sejarah sebagai manusia pertama yang mencapai planet Neptunus. Mencetak rekor gilang gemilang dalam karir, sayangnya Clifford mendadak raib dalam misi dan diberitakan telah tiada oleh awak media. Guna berdamai dengan duka akibat kehilangan sang ayah, Roy pun menaruh perhatian sangat tinggi pada pekerjaannya serta enggan mengindahkan hal-hal remeh sehingga tak mengherankan jika catatan karirnya terhitung impresif. Setelah 16 tahun lamanya mencoba untuk menerima kenyataan bahwa sang ayah memang telah tiada, SpaceCom tiba-tiba memberinya kabar mengejutkan yang menyatakan bahwa Clifford masih hidup. Mereka menyadarinya pasca menyelidiki asal muasal dari gelombang misterius “Gelora” yang menyebabkan kehancuran masif di bumi. Demi menyelamatkan peradaban manusia yang terancam oleh kehadiran “Gelora”, SpaceCom pun mengirim Roy dalam suatu misi rahasia ke angkasa luar untuk berdialog dengan sang ayah.

September 28, 2019

REVIEW : DANUR 3: SUNYARURI


“Mungkin pertemanan kami sejak awal memang hanya sebuah celaka.”

Didasarkan pada rangkaian novel laris rekaan Risa Saraswati yang konon kabarnya merupakan novelisasi dari pengalaman nyata si penulis indigo ketika bersinggungan dengan alam seberang, Danur berkembang menjadi salah satu franchise tontonan horor paling menguntungkan dalam sejarah sinema tanah air. Dimulai dari jilid pertama yang berhasil membukukan 2,7 juta penonton, MD Pictures bersama Pichouse Films selaku rumah produksi kembali mencicipi kesuksesan melalui sekuelnya bertajuk Danur 2: Maddah (2018) yang mencetak 2,5 juta penonton serta film sempalannya, Asih (2018), yang masih sanggup menorehkan angka sebesar 1,7 juta penonton sekalipun tanpa sokongan si karakter inti yang diperankan oleh Prilly Latuconsina. Menilik pencapaian di tangga box office yang tergolong impresif dari seri ke seri, tentu tak mengherankan jika pihak rumah produksi lantas memberi lampu hijau secara seketika bagi penggarapan jilid ketiga yang tercatat sebagai babak pamungkas bagi seri induk dalam versi novelnya. Selepas mengulik pergulatan batin Risa kala mendapati dirinya mampu berkomunikasi dengan makhluk halus di film pembuka, lalu membahas soal upaya si protagonis dalam memperoleh penerimaan dari anggota keluarganya yang merasa terganggu di film kedua, saya yang tidak pernah mengikuti materi sumbernya pun bertanya-tanya. Apa yang akan diulas oleh Danur 3: Sunyaruri yang dipersiapkan menjadi seri penutup ini? Tak jauh berbeda dari sang predesesor, ternyata persoalan yang diajukan kali ini masih berkisar pada hubungan serba rumit yang terjalin diantara Risa dengan kawan-kawan gaibnya.

September 27, 2019

REVIEW : PRETTY BOYS


“Miskin kaya itu bukan dari kantong, tapi dari hati.”

Pernah nggak sih kalian menonton televisi tanah air dan gemas bukan kepalang lantaran konten yang diajukan sungguh bikin mengelus dada? Tak perlulah menggunjingkan sinetron yang mungkin sudah terlampau sulit untuk ditolong, coba tengok gelaran berformat variety show atau talk show atau apapun sebutannya itu. Terlampau banyak gimmick, terlalu sering bersenda gurau sampai-sampai konsep acaranya pun kabur: ini sajian bincang-bincang, drama panggung atau lawakan sih? Ada kalanya diri ini kasihan dengan narasumber yang bisa jadi sudah berharap bakalan berbagi cerita, tapi akhirnya justru berakhir sebagai penonton. Menyaksikan para pemandu acara asyik sendiri. Kadang saya rindu dengan acara-acara dari era lampau seperti Ceriwis yang menurut saya bisa menempatkan jokes sesuai porsinya sehingga penonton dapat terhibur sekaligus memperoleh informasi dibutuhkan. Kalau sekarang sih porsi ngelawak atau ribut-ributnya yang lebih dikedepankan, sebodo amat dengan kandungan isi. Sungguh menguji kesabaran, yekan? Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pertelevisian selama bertahun-tahun, Deddy Mahendra Desta tentu menyadari penuh mengenai pergeseran tren tersebut. Dia pun menyadari, ada beragam intrik dari belakang layar yang bisa diceritakan kepada khalayak ramai. Merekrut musisi Tompi untuk menjajal nikmatnya kursi penyutradaraan, doi pun melahirkan Pretty Boys yang kentara terlihat diniatkan sebagai kritik terhadap dunia pertelevisian tanah air yang semakin lama semakin ajaib ini.

September 24, 2019

REVIEW : MIDSOMMAR

 

“Are you not disturbed by what we just saw?”

Pada tahun 2018 lalu, sutradara pendatang baru Ari Aster membuat para pecinta film terhenyak melalui debutnya bertajuk Hereditary yang kerap disebut-sebut sebagai salah satu tontonan seram terbaik di era 2010-an. Tanpa banyak mengandalkan jump scares untuk memantik ketakutan, si pembuat film justru banyak bergantung pada atmosfer beserta imaji-imaji menggelisahkan guna menciptakan mimpi buruk bagi penonton. Sebuah trik yang terhitung berhasil, lebih-lebih karena Aster mempunyai dua bekal penunjang yang kuat: narasi mengikat beserta akting pemain yang gila. Saking mempannya Hereditary dalam meninggalkan kesan tak mengenakkan selepas menonton, para penonton (termasuk saya) pun seketika menaruh perhatian terhadap langkah Aster selanjutnya. Kita ingin tahu, akankah dia mengkreasi kegilaan lain dalam film keduanya, atau dia akan mencoba bereksperimen dengan menjajal genre lain? Tanpa mengambil waktu jeda terlampau lama, sutradara yang mengawali karirnya dengan menggarap film-film pendek ini lantas berkolaborasi kembali dengan A24 – distributor dari film perdananya – untuk mengerjakan sebuah film horor. Mengusung judul Midsommar, pendekatan yang coba diambil sekali ini agak berbeda dengan buah karya terdahulu. Tak ada lagi nuansa serba gelap nan bermuram durja untuk membangun atmosfer mengganggu, sebagai penggantinya adalah warna-warna ceria khas musim panas. Menilik pendekatan yang terbilang nyeleneh tersebut, maka tak heran ada satu pertanyaan mengemuka: apa yang lantas menjadikan Midsommar terasa menyeramkan jika segalanya serba cerah?

September 20, 2019

REVIEW : WARKOP DKI REBORN (2019)


“Ini kesempatan kita. Kita harus berjuang seperti… Perang Puputan!”

Upaya Falcon Pictures untuk memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), dalam wujud film banyolan bertajuk Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016-2017) menuai respon yang terbilang divisive dari publik. Banyak yang dibuat terhibur olehnya, tapi tak sedikit pula yang mengecamnya. Dibalik segala pro kontra yang menyertainya, pihak rumah produksi sendiri tersenyum penuh kegembiraan lantaran film dua bagian ini turut andil dalam pembentukan sejarah: film Indonesia paling banyak dipirsa sepanjang masa. Bahkan, kesuksesan secara finansial ini mendorong lahirnya sebentuk tren baru dalam perfilman tanah air untuk “menghidupkan kembali” para legenda sinema. Sungguh sebuah kemenangan yang manis bagi Falcon Pictures, bukan? Menilik betapa antusiasnya respon khalayak terhadap film arahan Anggy Umbara tersebut, tentu wajar jika kemudian mereka memberikan lampu hijau bagi pembuatan film kelanjutannya atau dengan kata lain, jilid ketiga. Dalam usahanya mematuhi visi misi awal kala memutuskan untuk menggarap rangkaian seri Warkop DKI Reborn yakni tidak menggantikan melainkan melestarikan, maka perombakan besar-besaran dalam jajaran kru beserta pemain pun dilangsungkan. Tak ada lagi trio Abimana Aryasatya-Vino G Bastian-Tora Sudiro, tak ada pula Anggy. Sebagai gantinya, Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) direkrut sebagai sutradara sementara trio Aliando Syarief-Adipati Dolken-Randy Danistha mengomandoi departemen akting. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah keputusan untuk melakukan reshuffle ini akan memberi imbas positif atau justru negatif kepada franchise?

September 17, 2019

REVIEW : IT CHAPTER TWO


“Things we wish we could leave behind. Whispers we wish we could silence. Nightmares we most want to wake up from. Memories we wish we could change. Secrets we feel like we have to keep, are the hardest to walk away from.”

Kalian boleh saja tidak setuju, tapi bagi saya, It (2017) bukan saja berdiri tegak di jajaran “adaptasi terbaik dari prosa rekaan Stephen King” tetapi juga “film horor terbaik sepanjang masa”. Ya, jauh melampaui versi miniserinya yang beruntung mempunyai Tim Curry yang tampil menyeramkan dibalik riasan tebal si badut pencabut nyawa. Ada banyak hal yang berhasil dibawah penanganan Andy Muschietti (Mama) dari jajaran pelakon yang solid dimana para pemain cilik membentuk chemistry ciamik, rentetan teror dari Pennywise sialan yang membangkitkan bulu kuduk, sampai penceritaan yang menyisipkan rasa hangat sehingga memudahkan bagi penonton untuk menyematkan simpati kepada barisan karakter. Bahkan jika kita berkenan untuk menyelaminya lebih jauh, It bukan sekadar sajian horor yang menjual sentakan-sentakan mengejutkan karena ada pembicaraan cukup mendalam terkait ketakutan masa kecil entah itu berupa kekerasan, perundungan, maupun kesepian. Sebuah kombinasi yang sudah cukup jarang ditemukan di tontonan seram dewasa ini, bukan? Itulah mengapa saya berhasil dibuat jatuh hati olehnya dan tak kuasa menahan keinginan untuk menyimak paruh keduanya, It Chapter Two, yang menempatkan fokus pengisahannya pada “The Losers Club” di masa dewasa. Menilik standar tinggi yang telah ditetapkan oleh Muschietti di babak pertama, maka jelas ekspektasi yang menyertai turut mengangkasa terlebih barisan pemain yang direkrut pun tidak main-main. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah “formula kemenangan” yang diterapkan sang predesesor masih bisa bekerja saat dipergunakan oleh sang sekuel?

September 16, 2019

REVIEW : READY OR NOT


“Do you like to play games?”

Saat pertama kali menengok trailer dan membaca sinopsis dari Ready or Not, saya seketika berseru heboh, “harus banget nonton film ini!.” Betapa tidak, materi promosinya seolah menjanjikan bahwa ini adalah tontonan yang mempunyai nilai kesenangan cukup tinggi. Memang sih secara premis terdengar tidak ada pembaharuan atau sesuatu istimewa. Terlebih bukan sekali dua kali kita menjumpai suatu film yang mengulik soal “permainan” memburu manusia demi bertahan hidup di muka bumi. Tapi benarkah Ready or Not adalah sajian yang amat klise? Benarkah si pembuat film yang terdiri atas dua kepala, Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (Devil’s Due, Southbound), sekadar mendaur ulang tanpa pernah berusaha untuk menawarkan sesuatu yang berbeda? Well, jika kamu sudah melakukan apa yang telah saya lakukan – mengintip trailer, membaca sinopsis – maka tentu tahu bahwa duo sutradara tersebut tidaklah semalas itu. Ada modifikasi, ada sentuhan kreatif yang diaplikasikan. Mereka mengkreasi sebuah mitologi baru yang memosisikan permainan berburu manusia selayaknya permainan kanak-kanak tradisional dengan tujuan melestarikan tradisi. Dengan tujuan menolak bala demi melindungi harta benda maupun generasi-generasi penerus suatu keluarga. Istimewanya lagi, mereka juga menciptakan satu karakter perempuan yang terlihat luar biasa keren, sampai-sampai sulit untuk memandangnya sebelah mata apalagi saya memang selalu dibuat bertekuk lutut oleh tokoh-tokoh perempuan yang badass.

September 5, 2019

REVIEW : ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD


“When you come to the end of the line with a buddy who is more than a brother, and little less than a wife, getting blind drunk together is really the only way to say farewell.”

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler jadi berhati-hatilah)

Selepas munculnya altenate history melalui Inglourious Basterds (2009) dimana Adolf Hitler dikisahkan terbunuh lalu dua western film berwujud Django Unchained (2012) yang membawa penonton ke era perbudakan dan The Hateful Eight (2015) yang mengadu manusia-manusia bengis dalam satu ruangan, para penggemar film di seluruh dunia pun bertanya-tanya: apa langkah berikutnya yang akan diambil oleh sutradara jenius bernama Quentin Tarantino? Dua tahun berselang usai merilis film terbarunya, Tarantino membeberkan sekelumit gagasannya mengenai film kesembilannya. Konon, dia berencana untuk mengkreasi sebuah tontonan yang didasarkan pada peristiwa nyata yang menggemparkan Hollywood di tahun 1969, pembunuhan keji oleh keluarga Manson. Tapi seperti halnya film-film sang sutradara terdahulu, Once Upon a Time in Hollywood – judul film yang dimaksud – pun tidak menempatkan dirinya sebagai sebuah film biopik maupun sejarah yang dapat dijadikan referensi. Kasus nyata yang diselipkan disini hanyalah bagian dari topik utama yang diutarakan oleh Tarantino, yakni surat cinta untuk Hollywood. Ketimbang mengedepankan tontonan bersifat investigasi, si pembuat film justru memilih untuk mengajak penonton bernostalgia ke era 60-an akhir dimana Hollywood mewujudkan sekaligus menenggelamkan harapan besar dari para pemimpi.

September 1, 2019

REVIEW : TWIVORTIARE


“Sepanjang hari aku hidup untuk menolong orang, sepanjang hari itu juga aku bertahan. Karena aku tahu setelah setiap hari yang berat itu, aku punya kamu sebagai tujuan pulang.”

Istilah happily ever after usai mengucap janji pernikahan, hanya bisa dijumpai dalam film komedi romantis maupun dongeng. Realitanya, beuuhhh… tidak seindah itu, saudara-saudara. Menyatukan hati serta pemikiran dari dua orang dengan kepribadian dan latar belakang berbeda bukanlah perkara gampang. Ada ego yang harus dipendam, ada kesabaran yang harus dikemukakan. Apabila masing-masing pihak enggan mengaplikasikannya, maka konflik berupa pertengkaran demi pertengkaran adalah dampaknya. Saya memang belum melangkahkan kaki ke pelaminan, tapi sebagai seseorang yang beberapa kali mengalami kegagalan dalam membina hubungan percintaan (sad!) dan kerap mendengar curahan hati saudara perihal kehidupan rumah tangganya, saya bisa memahami bahwa menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai itu penuh dengan tantangan. Dibutuhkan kedewasaan, dibutuhkan kesabaran, dibutuhkan pula ketulusan hati. Melalui film bertajuk Twivortiare yang merupakan rangkuman dua novel laris rekaan Ika Natassa, Divortiare dan Twivortiare, penonton dipersilahkan untuk melongok jatuh bangunnya dua karakter yang kerap disebut-sebut sebagai “pasangan ideal” dalam mempertahankan pernikahan mereka. Melalui cerita yang mereka bagikan, kita diharapkan dapat berkaca, merenung, lalu menjadikannya sebagai pembelajaran dalam menjalani hubungan percintaan. Terdengar berat? Well, sayangnya begitulah hidup.

August 30, 2019

REVIEW : GUNDALA (2019)


“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah kehilangan rasa kemanusiaan.”

Ada banyak gegap gempita mengiringi perilisan Gundala. Entah itu disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar (Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan. Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan – hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian, mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran Bumilangit. Gundala yang memperoleh suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.

August 26, 2019

REVIEW : EXIT (2019)


“Earthquakes, tsunami, those aren’t the only types of disaster. Our current situation itself is a disaster.”

Biasanya, saya paling benci mendengar suara manusia saat pemutaran film sedang berlangsung di bioskop. Apalagi jika film yang tengah ditonton membutuhkan konsentrasi, perenungan, atau perasaan dari penonton agar bisa merasuk ke dalam dunia ciptaan sang sineas. Rasanya ingin sekali menyuwir-nyuwir mulut si ceriwis yang mengganggu itu! Tapi saat menyaksikan sajian terbaru keluaran CJ Entertainment yang menjejakkan dirinya di genre komedi laga, Exit, saya justru merasa sangat lega begitu menyadari bahwa diri ini dikelilingi oleh penonton-penonton reaktif alih-alih pemalu. Sepanjang durasi mengalun, ada beragam celotehan meluncur dari orang-orang di sekeliling berbunyi: 1) “Mas, mas, mas, ati atiiii….”, 2) “Ya Allah Ya Rabbi, astaghfirullah…”, sampai 3) “astaga, astaga, astaga, aaaaa… aaaaa… sik, sik sik, jangan lompat, jangan lompat.” Dan berhubung film debut penyutradaraan dari Lee Sang-geun ini memang berada di jalur eskapisme yang membutuhkan partisipasi penonton, maka menonton bersama crowd yang hidup adalah sebuah berkah lantaran dapat menebalkan sisi excitement yang diusungnya. Terkadang saya terkekeh-kekeh mendengar celetukan penonton yang heboh itu, tapi lebih seringnya, tawa dipicu oleh rentetan kekonyolan yang disodorkan oleh Exit. Sebuah film yang berulang kali menempatkan saya dalam fase bergembira ria karena humornya dan kesulitan untuk menghembuskan nafas saking tegangnya.
Mobile Edition
By Blogger Touch