Apakah kamu familiar dengan film
Prancis berjudul The Intouchables
(2011)? Jika tidak, dua hal yang perlu diketahui mengenai film ini adalah: 1)
narasinya terinspirasi dari kisah persahabatan nyata antara seorang pebisnis
sukses dengan perawat pribadinya yang berasal dari strata sosial dan ras
berbeda, dan 2) The Intouchables tergolong
film yang fenomenal. Bukan hanya sukses besar di kampung halaman, tetapi turut
menyebar ke negara-negara lain yang lantas menempatkannya sebagai salah satu
film Prancis paling banyak dipirsa sepanjang masa. Pencapaiannya di tangga box
office – plus, film ini pun berjaya pula di ajang penghargaan termasuk
mengganjar Omar Sy dengan piala Best Actor di Cesar Award (Oscar-nya sinema
Prancis) – membuat The Intouchables
dilirik sederet produser yang meminta hak pembuatan ulang. Disamping India yang
segera memiliki dua versi dan Argentina yang telah merilis interpretasinya pada
tahun 2016 silam, Hollywood pun enggan ketinggalan. Telah dicanangkan sedari
tahun 2012, sayangnya ada berbagai ganjalan yang menyertai perjalanan remake ini dari pergantian konfigurasi kru
dan pemain sampai skandal pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein (pemilik The
Weinstein Company, pemegang hak remake)
yang menyebabkan film bertajuk The Upside
sempat terombang-ambing nasibnya. Usai diakuisisi oleh STX Films, film yang
menempatkan Kevin Hart dan Bryan Cranston di garda terdepan pemain ini pun
akhirnya memperoleh kepastian rilis pada awal 2019.
January 31, 2019
January 28, 2019
REVIEW : INSTANT FAMILY
“Things that matter are hard.”
Dalam beberapa bulan terakhir
ini, saya berkesempatan buat menonton film mengenai keluarga yang menggoreskan
kesan mendalam pada hati di layar lebar. Yang pertama adalah Shoplifters (2018) dimana keluarga tidak
didefinisikan secara konvensional mengikuti aturan yang telah disusun
masyarakat, lalu disusul oleh Mary
Poppins Returns (2018) yang keceriannya seketika membangkitkan mood, kemudian berlanjut pada Keluarga Cemara (2019) yang memberi
tontonan sederhana nan tulus yang sudah lama tidak saya dapatkan, dan akhirnya
yang baru saja saksikan sekaligus memberi kejutan terbesar diantara lainnya
yakni Instant Family. Apabila kamu
menjadikan jejak rekam sang sutradara sebagai bahan pertimbangan utama untuk
memprediksi kualitas suatu film, maka saya cukup meyakini kalau kamu akan sama
terkejutnya dengan saya saat menyaksikan Instant
Family arahan Sean Anders (Horrible
Bosses 2, dwilogi Daddy’s Home)
ini. Memang sih corak komedi yang cenderung liar sebagai ciri khas Anders dalam
berceloteh masih tertampang cukup nyata meski sekali ini agak direduksi
levelnya. Tapi ada satu hal yang tak pernah saya sangka-sangka kemunculannya – terlebih
berkaca pada Daddy’s Home yang hanya
bisa diingat karena semangat bersenang-senangnya – yaitu elemen sentimentil
yang digarap dengan kepekaan tinggi. Kamu akan dibuatnya berkaca-kaca,
berlanjut menangis sesenggukan, sampai kemudian memutuskan untuk menghubungi
orang tua di rumah melalui ponsel demi melontarkan pertanyaan sederhana, “apa kabar? Kalian sehat?.”
January 23, 2019
REVIEW : ORANG KAYA BARU
Wahai sobat misqueen dimanapun
kalian berada, pernah nggak sih kalian membayangkan nikmatnya memiliki uang tak
terbatas? Membayangkan apa saja yang bisa kalian lakukan dengan uang tersebut
tanpa harus khawatir bakal meratapi saldo yang tersisa di ATM? Membayangkan
seandainya keluarga kalian tiba-tiba ketiban rejeki nomplok yang tak
diduga-duga asal muasalnya? Apabila kamu memiliki banyak mimpi (termasuk mimpi
bisa makan enak sepuasnya!), rasa-rasanya imajinasi semacam ini sulit
terhindarkan. Lagian, siapa sih yang tidak ingin segala kebutuhannya dapat
terpenuhi secara mudah? Manusiawi kok. Saya pun cukup sering berandai-andai, “andai orang tua saya ternyata tajir
melintir”, meski pada akhirnya dibangunkan lagi oleh kenyataan bahwa saya
mesti tetap “kerja, kerja, kerja”
lalu “nabung, nabung, nabung” apabila
ingin menikmati liburan selama berhari-hari di luar kota. Reality sucks, huh? Yang tak pernah disangka-sangka, sutradara
kenamaan Joko Anwar (Pengabdi Setan, A Copy of My Mind) pun pernah berada di
fase ini di masa lampau, di masa kecilnya. Menciptakan pengandaian sejenis demi
membentengi diri dari gempuran realita kehidupan yang pahit. Sebuah pengandaian
yang lantas dimanfaatkannya sebagai premis untuk mengembangkan naskah film
komedi bertajuk Orang Kaya Baru yang
kursi penyutradaraannya diserahkan kepada teman baiknya, Ody C. Harahap (Me Vs Mami, Sweet 20), lantaran Joko mempunyai kesibukan lain yakni
mempersiapkan proyek akbar Gundala.
January 22, 2019
REVIEW : PREMAN PENSIUN
Sejujurnya, saya bukanlah
penonton setia versi sinetron dari Preman
Pensiun yang ditayangin di kanal televisi RCTI pada tahun 2015 hingga 2016
silam. Menontonnya sesekali sih pernah, tapi tidak pernah benar-benar mengikuti
kisah sepak terjang Kang Bahar (Didi Petet), Kang Mus (Epy Kusnandar), beserta
kawanan mereka dalam ‘mengelola’ pasar, terminal, maupun jalanan kota Bandung. Dari
pengamatan sekilas ini, saya bisa memahami mengapa sinetron ini amat digandrungi
oleh publik sampai-sampai memiliki basis penggemar tersendiri. Ada guliran
kisah beserta konflik yang membumi, ada barisan karakter unik, dan ada muatan
humor menggelitik. Sebuah kombinasi yang sudah sangat jarang dijumpai dalam
sinetron Indonesia masa kini, bukan? Kesuksesan yang dicapai Preman Pensiun di layar beling tersebut lantas
mendorong MNC Pictures selaku rumah produksi untuk memboyongnya ke format film
layar lebar. Keputusan yang sempat ditentang oleh sang kreator, Aris Nugraha (Bajaj Bajuri), meski belakangan sepakat
untuk menggarap versi layar lebarnya setelah menyadari bahwa masih ada serentetan
problematika yang bisa dikulik lebih jauh. Problematika yang dihadapi oleh para
mantan preman selepas mereka memutuskan untuk pensiun lalu menjalankan bisnis
yang bukan sekadar bagus tetapi juga bisnis yang baik.
INILAH DAFTAR PEMENANG DALAM PIALA MAYA 7
Bertempat di Wyndham Casablanca,
Jakarta, pada Sabtu (19/1), Piala Maya
edisi ke-7 (yang turut melibatkan saya sebagai salah satu juri inti) resmi digelar.
Dalam perhelatan yang mengusung tema “Tumbuh Kembang” ini, Keluarga Cemara yang diadaptasi dari sinetron legendaris berjudul
sama berhasil membawa pulang kategori paling prestisius yakni Film Bioskop
Terpilih. Disamping itu, Keluarga Cemara
juga tercatat sebagai peraih piala terbanyak dengan total jendral raihan 6
piala meliputi Sutradara Berbakat Film Panjang Perdana untuk Yandy Laurens,
Aktor/Aktris Cilik/Remaja Terpilih untuk Zara JKT48, Skenario Adaptasi
Terpilih, Lagu Tema Terpilih, serta Tata Musik Terpilih.
January 19, 2019
REVIEW : GLASS
“We are part of something larger. We are fighting for the broken.”
Bagaimana jadinya kalau ternyata
selama ini superhero dan supervillain yang kita kenal melalui
komik memang benar-benar ada? Mereka adalah orang yang kita jumpai di jalanan,
mereka adalah orang yang kita kenal, dan bahkan, mereka adalah keluarga kita.
Mereka bertindak seperti orang kebanyakan karena mereka belum menyadari kekuatan
yang dimiliki dan menganggap cerita dalam komik hanyalah imajinasi dari seorang
pencerita ulung alih-alih merepresentasikan peristiwa nyata. Melalui Unbreakable (2001), M. Night Shyamalan
yang dijuluki sebagai “ahli twist”
mengeksplorasi pengandaian ini menjadi sebuah narasi yang kala itu terbilang
ciamik sampai-sampai disebut mendeskrontruksi genre superhero. Tak ada pahlawan berjubah yang perkasa dan bisa
diandalkan kapanpun, si pembuat film justru menyodorkan cerita berpendekatan
realistis dengan karakter utama seorang pria paruh baya yang tak tahu menahu
mengenai jati dirinya. Mengingat Shyamalan tak pernah sesumbar soal origin story dari superhero, babak pengungkapan dari tontonan thriller ini memberikan
kejutan tersendiri. Begitu pula dengan Split
(2017) yang ternyata oh ternyata bukanlah psychological
horror biasa karena ini merupakan kelanjutan ‘tersembunyi’ dari Unbreakable yang menaruh fokus pada
lahirnya seorang supervillain.
Berhubung sang sutradara telah bermimpi sedari lama untuk mengkreasi sebuah
trilogi berbasis cerita kepahlawanan, maka kesuksesan besar Split dimanfaatkannya sebagai jalan
untuk mewujudkan babak ketiga bertajuk Glass
yang digadang-gadang memiliki showdown
epik. Tapi bisakah pernyataan ini dipercaya?
January 15, 2019
REVIEW : ESCAPE ROOM (2019)
(Ulasan ini mungkin agak
nyerempet spoiler, meski nggak separah filmnya itu sendiri yang melakukan spoiler kelas berat)
Apakah ada diantara kalian yang
pernah menjajal permainan ‘escape room’
yang popularitasnya tengah melesat dalam beberapa tahun terakhir ini? Kalau
belum, coba deh luangkan waktu (serta duit tentunya) lalu ajak teman-teman
terdekat buat menjajalnya. Saya sendiri ketagihan ingin memainkannya lagi
setelah berkesempatan untuk mencoba permainan ini pada setahun silam. Dalam permainan
ini, sejumlah partisipan bakal ‘dikurung’ di sebuah ruangan dalam kurun waktu
tertentu guna memecahkan teka-teki yang dapat membebaskan mereka dari ruangan
tersebut. Kerjasama tim jelas diutamakan dan jika kalian benar-benar sudah
mengalami kebuntuan berpikir, bisa meminta petunjuk kepada gamemaster yang senantiasa mengawasi gerak-gerik pemain. Terdengar seru,
bukan? Dan percayalah, permainan yang memiliki berbagai tema ini (waktu itu
saya menjajal tema zombie) memang seseru itu. Saking seru dan populernya game ini, tidak mengherankan jika petinggi
studio di Hollywood yang cerdik melihat peluang akhirnya tertarik untuk
mengadaptasinya menjadi sebuah film layar lebar. Mengusung judul sesederhana Escape Room, film arahan Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The Last Key) yang bergerak
di jalur horor ini meningkatkan pertaruhan dalam permainan demi menggaet atensi
penonton. Teka-tekinya tak hanya dibikin lebih rumit, tetapi juga memiliki efek
mematikan apabila si pemain tak sanggup menuntaskannya tepat waktu.
January 14, 2019
REVIEW : HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD
“It’s you and me, bud. Always.”
Disamping Toy Story keluaran Pixar, ada satu lagi franchise film animasi yang menggoreskan kesan cukup mendalam di
hati, yakni How to Train Your Dragon
produksi DreamWorks Animation. Disadur dari rangkaian buku berjudul sama rekaan
Cressida Cowell, franchise ini
mengenalkan kita kepada satu karakter remaja yang canggung bernama Hiccup (disuarakan
oleh Jay Baruchel) dan sahabatnya yang merupakan seekor naga berjenis nightfury,
Toothless. Dimulai dari pertemuan di jilid pertama (2010) lalu berlanjut ke
petualangan besar dalam How to Train Your
Dragon 2 (2014), penonton bisa melihat adanya perkembangan pada kisah
persahabatan mereka sekaligus karakteristik Hiccup. Tampak sikap saling respek antara
satu dengan yang lain, tampak pula sikap yang menunjukkan keduanya saling
mencintai dan melengkapi. Toothless menemukan harapan hidup untuk kaumnya
berkat Hiccup, sementara Hiccup mampu melewati proses pendewasaan diri sehingga
pada akhirnya diterima sebagai pemimpin oleh sukunya berkat bantuan Toothless. Di
penghujung film kedua, mereka telah bertransformasi sebagai karakter ideal dan
Hiccup telah menjadi satu pribadi yang diharapkan oleh sang ayah. Jika sudah
begini, apa yang bisa dicelotehkan oleh How
to Train Your Dragon 3: The Hidden World? Berhubung tujuan utama telah
tercapai, maka tak ada cara lebih tepat dari mengakhiri narasi dengan memberi
salam perpisahan kepada dua karakter inti dalam franchise ini.
January 13, 2019
20 FILM TERBAIK 2018 VERSI CINETARIZ
January 6, 2019
REVIEW : DREADOUT
“Kayaknya kolam itu pintu deh. Dan harusnya kita nggak boleh masuk ke
pintu itu.”
Dalam versi layar lebar DreadOut yang disadur dari video game populer bertajuk sama buatan
Digital Happiness dari Indonesia, guliran penceritaan difungsikan sebagai
prekuel untuk video game-nya. Di
sini, para gamer akan memperoleh
informasi (sedikit) lebih banyak mengenai si protagonis utama, Linda (Caitlin
Halderman), termasuk bagaimana dia memperoleh ‘kekuatan’ yang rupa-rupanya
diturunkan langsung dari sang ibu (Salvita Decorte). Kita juga akan mengetahui
bahwa Linda tidaklah seperti rekan-rekan sebayanya yang memiliki hobi live di Instagram demi memupuk
popularitas, karena dia menghabiskan waktu luangnya untuk bekerja di minimarket
agar bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Saking giatnya Linda bekerja,
tak jarang dia sampai ketiduran di dalam kelas saat pelajaran masih berlangsung
– ckck, jangan ditiru yaa, adek-adek! Hari-hari Linda yang dipenuhi dengan
lembur ini untungnya segera berakhir dalam waktu dekat usai dia menyepakati
perjanjian dengan seorang kakak kelas yang menawarinya perhiasan mahal.
Perjanjian tersebut mengharuskannya untuk mengantar Jessica (Marsha Aruan)
beserta teman-teman sepermainannya yang terdiri dari Erik (Jefri Nichol), Dian
(Susan Sameh), Alex (Ciccio Manassero), dan Beni (Irsyadillah), menuju sebuah
apartemen kosong yang dikenal angker. Berhubung Linda mengenal sang penjaga,
Kang Heri (Mike Lucock), maka mereka pun mendapatkan akses ke dalam bangunan
kecuali satu area yang dipagari garis polisi. Dasar bocah bengal, tentu saja
pantangan tersebut dilanggar dan seperti bisa diduga, serangkaian teror pun
seketika menyergap mereka. Kapok koen!
January 5, 2019
REVIEW : KELUARGA CEMARA
“Kalian semua itu tanggung jawab Abah!”
“Kalau begitu, Abah tanggung jawab siapa?”
Apabila kalian pernah merasakan euforia dunia pertelevisian tanah air pada era 1990-an, rasa-rasanya mustahil tidak mengetahui sinetron Keluarga Cemara yang disadur dari cerita bersambung rekaan Arswendo Atmowiloto. Meski kelima karakter utama dalam sinetron ini digambarkan berada dalam kondisi finansial serba kekurangan – mata pencaharian mereka bergantung pada becak dan opak – si pembuat tidak mengeksploitasi kemiskinan mereka demi mengucurkan air mata penonton. Berbeda pula dengan sinetron masa kini yang topik obrolannya tidak jauh-jauh dari rebutan warisan, rebutan pasangan, sampai azab bagi orang-orang dzalim, Keluarga Cemara mengetengahkan topik positif terkait menebar kebajikan kepada sesama, kerja keras serta mensyukuri hidup. Sebuah topik yang tidak dibatasi oleh agama, suku, jenis, kelamin, usia, maupun kelas sosial karena bersifat universal: semua orang bisa menerapkannya, semua orang bisa mengalaminya. Tak heran jika kemudian sinetron ini ramai dipirsa dan publik masih setia menyenandungkan lagu temanya yang penggalan liriknya berbunyi, “harta yang paling berharga adalah keluarga…” hingga kini. Saking legendarisnya (dan besar pula pengaruhnya) sinetron yang memasangkan Adi Kurdi dengan Novia Kolopaking tersebut, rumah produksi Visinema Pictures (Surat Dari Praha, Cahaya Dari Timur Beta Maluku) pun tertarik untuk menginterpretasikannya ulang. Bukan lagi dalam bentuk sinetron seperti versi terdahulu, melainkan dalam format film layar lebar dengan jajaran pemain yang sama sekali baru.
January 2, 2019
10 FILM INDONESIA TERBAIK 2018 VERSI CINETARIZ
Guna menyambut datangnya tahun baru ini, maka izinkanlah saya untuk sejenak mengilas balik film Indonesia dalam setahun terakhir ini yang sukses menorehkan rekor usai mendatangkan 50 juta penonton buat berbondong-bondong memenuhi bioskop (!). Kilas balik yang saya persiapkan sih sederhana saja karena sejatinya sudah menjadi tradisi tahunan Cinetariz sejak dahulu, yakni daftar personal bertemakan “film Indonesia terbaik 2018”.
Yang perlu saya tegaskan kembali, daftar ini bersifat personal sehingga lebih tepat jika dibaca: film-film Indonesia yang akan saya rekomendasikan untuk kalian dengan senang hati. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila ada perbedaan pendapat dengan pembaca budiman. Karena bagaimanapun juga, daftar ini bersifat subjektif yang besar kemungkinan dipengaruhi pula oleh pengalaman menonton maupun kedekatan representasi.
Subscribe to:
Posts (Atom)