January 31, 2019

REVIEW : THE UPSIDE


“Don’t judge me. I ain’t judged you.”

Apakah kamu familiar dengan film Prancis berjudul The Intouchables (2011)? Jika tidak, dua hal yang perlu diketahui mengenai film ini adalah: 1) narasinya terinspirasi dari kisah persahabatan nyata antara seorang pebisnis sukses dengan perawat pribadinya yang berasal dari strata sosial dan ras berbeda, dan 2) The Intouchables tergolong film yang fenomenal. Bukan hanya sukses besar di kampung halaman, tetapi turut menyebar ke negara-negara lain yang lantas menempatkannya sebagai salah satu film Prancis paling banyak dipirsa sepanjang masa. Pencapaiannya di tangga box office – plus, film ini pun berjaya pula di ajang penghargaan termasuk mengganjar Omar Sy dengan piala Best Actor di Cesar Award (Oscar-nya sinema Prancis) – membuat The Intouchables dilirik sederet produser yang meminta hak pembuatan ulang. Disamping India yang segera memiliki dua versi dan Argentina yang telah merilis interpretasinya pada tahun 2016 silam, Hollywood pun enggan ketinggalan. Telah dicanangkan sedari tahun 2012, sayangnya ada berbagai ganjalan yang menyertai perjalanan remake ini dari pergantian konfigurasi kru dan pemain sampai skandal pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein (pemilik The Weinstein Company, pemegang hak remake) yang menyebabkan film bertajuk The Upside sempat terombang-ambing nasibnya. Usai diakuisisi oleh STX Films, film yang menempatkan Kevin Hart dan Bryan Cranston di garda terdepan pemain ini pun akhirnya memperoleh kepastian rilis pada awal 2019.

January 28, 2019

REVIEW : INSTANT FAMILY


“Things that matter are hard.”

Dalam beberapa bulan terakhir ini, saya berkesempatan buat menonton film mengenai keluarga yang menggoreskan kesan mendalam pada hati di layar lebar. Yang pertama adalah Shoplifters (2018) dimana keluarga tidak didefinisikan secara konvensional mengikuti aturan yang telah disusun masyarakat, lalu disusul oleh Mary Poppins Returns (2018) yang keceriannya seketika membangkitkan mood, kemudian berlanjut pada Keluarga Cemara (2019) yang memberi tontonan sederhana nan tulus yang sudah lama tidak saya dapatkan, dan akhirnya yang baru saja saksikan sekaligus memberi kejutan terbesar diantara lainnya yakni Instant Family. Apabila kamu menjadikan jejak rekam sang sutradara sebagai bahan pertimbangan utama untuk memprediksi kualitas suatu film, maka saya cukup meyakini kalau kamu akan sama terkejutnya dengan saya saat menyaksikan Instant Family arahan Sean Anders (Horrible Bosses 2, dwilogi Daddy’s Home) ini. Memang sih corak komedi yang cenderung liar sebagai ciri khas Anders dalam berceloteh masih tertampang cukup nyata meski sekali ini agak direduksi levelnya. Tapi ada satu hal yang tak pernah saya sangka-sangka kemunculannya – terlebih berkaca pada Daddy’s Home yang hanya bisa diingat karena semangat bersenang-senangnya – yaitu elemen sentimentil yang digarap dengan kepekaan tinggi. Kamu akan dibuatnya berkaca-kaca, berlanjut menangis sesenggukan, sampai kemudian memutuskan untuk menghubungi orang tua di rumah melalui ponsel demi melontarkan pertanyaan sederhana, “apa kabar? Kalian sehat?.”

January 23, 2019

REVIEW : ORANG KAYA BARU


“Duit kalau dikit cukup, kalau banyak nggak cukup.”

Wahai sobat misqueen dimanapun kalian berada, pernah nggak sih kalian membayangkan nikmatnya memiliki uang tak terbatas? Membayangkan apa saja yang bisa kalian lakukan dengan uang tersebut tanpa harus khawatir bakal meratapi saldo yang tersisa di ATM? Membayangkan seandainya keluarga kalian tiba-tiba ketiban rejeki nomplok yang tak diduga-duga asal muasalnya? Apabila kamu memiliki banyak mimpi (termasuk mimpi bisa makan enak sepuasnya!), rasa-rasanya imajinasi semacam ini sulit terhindarkan. Lagian, siapa sih yang tidak ingin segala kebutuhannya dapat terpenuhi secara mudah? Manusiawi kok. Saya pun cukup sering berandai-andai, “andai orang tua saya ternyata tajir melintir”, meski pada akhirnya dibangunkan lagi oleh kenyataan bahwa saya mesti tetap “kerja, kerja, kerja” lalu “nabung, nabung, nabung” apabila ingin menikmati liburan selama berhari-hari di luar kota. Reality sucks, huh? Yang tak pernah disangka-sangka, sutradara kenamaan Joko Anwar (Pengabdi Setan, A Copy of My Mind) pun pernah berada di fase ini di masa lampau, di masa kecilnya. Menciptakan pengandaian sejenis demi membentengi diri dari gempuran realita kehidupan yang pahit. Sebuah pengandaian yang lantas dimanfaatkannya sebagai premis untuk mengembangkan naskah film komedi bertajuk Orang Kaya Baru yang kursi penyutradaraannya diserahkan kepada teman baiknya, Ody C. Harahap (Me Vs Mami, Sweet 20), lantaran Joko mempunyai kesibukan lain yakni mempersiapkan proyek akbar Gundala. 

January 22, 2019

REVIEW : PREMAN PENSIUN


“Salam olahraga!”

Sejujurnya, saya bukanlah penonton setia versi sinetron dari Preman Pensiun yang ditayangin di kanal televisi RCTI pada tahun 2015 hingga 2016 silam. Menontonnya sesekali sih pernah, tapi tidak pernah benar-benar mengikuti kisah sepak terjang Kang Bahar (Didi Petet), Kang Mus (Epy Kusnandar), beserta kawanan mereka dalam ‘mengelola’ pasar, terminal, maupun jalanan kota Bandung. Dari pengamatan sekilas ini, saya bisa memahami mengapa sinetron ini amat digandrungi oleh publik sampai-sampai memiliki basis penggemar tersendiri. Ada guliran kisah beserta konflik yang membumi, ada barisan karakter unik, dan ada muatan humor menggelitik. Sebuah kombinasi yang sudah sangat jarang dijumpai dalam sinetron Indonesia masa kini, bukan? Kesuksesan yang dicapai Preman Pensiun di layar beling tersebut lantas mendorong MNC Pictures selaku rumah produksi untuk memboyongnya ke format film layar lebar. Keputusan yang sempat ditentang oleh sang kreator, Aris Nugraha (Bajaj Bajuri), meski belakangan sepakat untuk menggarap versi layar lebarnya setelah menyadari bahwa masih ada serentetan problematika yang bisa dikulik lebih jauh. Problematika yang dihadapi oleh para mantan preman selepas mereka memutuskan untuk pensiun lalu menjalankan bisnis yang bukan sekadar bagus tetapi juga bisnis yang baik. 

INILAH DAFTAR PEMENANG DALAM PIALA MAYA 7


Bertempat di Wyndham Casablanca, Jakarta, pada Sabtu (19/1), Piala Maya edisi ke-7 (yang turut melibatkan saya sebagai salah satu juri inti) resmi digelar. Dalam perhelatan yang mengusung tema “Tumbuh Kembang” ini, Keluarga Cemara yang diadaptasi dari sinetron legendaris berjudul sama berhasil membawa pulang kategori paling prestisius yakni Film Bioskop Terpilih. Disamping itu, Keluarga Cemara juga tercatat sebagai peraih piala terbanyak dengan total jendral raihan 6 piala meliputi Sutradara Berbakat Film Panjang Perdana untuk Yandy Laurens, Aktor/Aktris Cilik/Remaja Terpilih untuk Zara JKT48, Skenario Adaptasi Terpilih, Lagu Tema Terpilih, serta Tata Musik Terpilih.

January 19, 2019

REVIEW : GLASS


“We are part of something larger. We are fighting for the broken.”

Bagaimana jadinya kalau ternyata selama ini superhero dan supervillain yang kita kenal melalui komik memang benar-benar ada? Mereka adalah orang yang kita jumpai di jalanan, mereka adalah orang yang kita kenal, dan bahkan, mereka adalah keluarga kita. Mereka bertindak seperti orang kebanyakan karena mereka belum menyadari kekuatan yang dimiliki dan menganggap cerita dalam komik hanyalah imajinasi dari seorang pencerita ulung alih-alih merepresentasikan peristiwa nyata. Melalui Unbreakable (2001), M. Night Shyamalan yang dijuluki sebagai “ahli twist” mengeksplorasi pengandaian ini menjadi sebuah narasi yang kala itu terbilang ciamik sampai-sampai disebut mendeskrontruksi genre superhero. Tak ada pahlawan berjubah yang perkasa dan bisa diandalkan kapanpun, si pembuat film justru menyodorkan cerita berpendekatan realistis dengan karakter utama seorang pria paruh baya yang tak tahu menahu mengenai jati dirinya. Mengingat Shyamalan tak pernah sesumbar soal origin story dari superhero, babak pengungkapan dari tontonan thriller ini memberikan kejutan tersendiri. Begitu pula dengan Split (2017) yang ternyata oh ternyata bukanlah psychological horror biasa karena ini merupakan kelanjutan ‘tersembunyi’ dari Unbreakable yang menaruh fokus pada lahirnya seorang supervillain. Berhubung sang sutradara telah bermimpi sedari lama untuk mengkreasi sebuah trilogi berbasis cerita kepahlawanan, maka kesuksesan besar Split dimanfaatkannya sebagai jalan untuk mewujudkan babak ketiga bertajuk Glass yang digadang-gadang memiliki showdown epik. Tapi bisakah pernyataan ini dipercaya?

January 15, 2019

REVIEW : ESCAPE ROOM (2019)


“They knew everything about us.”

(Ulasan ini mungkin agak nyerempet spoiler, meski nggak separah filmnya itu sendiri yang melakukan spoiler kelas berat)

Apakah ada diantara kalian yang pernah menjajal permainan ‘escape room’ yang popularitasnya tengah melesat dalam beberapa tahun terakhir ini? Kalau belum, coba deh luangkan waktu (serta duit tentunya) lalu ajak teman-teman terdekat buat menjajalnya. Saya sendiri ketagihan ingin memainkannya lagi setelah berkesempatan untuk mencoba permainan ini pada setahun silam. Dalam permainan ini, sejumlah partisipan bakal ‘dikurung’ di sebuah ruangan dalam kurun waktu tertentu guna memecahkan teka-teki yang dapat membebaskan mereka dari ruangan tersebut. Kerjasama tim jelas diutamakan dan jika kalian benar-benar sudah mengalami kebuntuan berpikir, bisa meminta petunjuk kepada gamemaster yang senantiasa mengawasi gerak-gerik pemain. Terdengar seru, bukan? Dan percayalah, permainan yang memiliki berbagai tema ini (waktu itu saya menjajal tema zombie) memang seseru itu. Saking seru dan populernya game ini, tidak mengherankan jika petinggi studio di Hollywood yang cerdik melihat peluang akhirnya tertarik untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film layar lebar. Mengusung judul sesederhana Escape Room, film arahan Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The Last Key) yang bergerak di jalur horor ini meningkatkan pertaruhan dalam permainan demi menggaet atensi penonton. Teka-tekinya tak hanya dibikin lebih rumit, tetapi juga memiliki efek mematikan apabila si pemain tak sanggup menuntaskannya tepat waktu.

January 14, 2019

REVIEW : HOW TO TRAIN YOUR DRAGON: THE HIDDEN WORLD


“It’s you and me, bud. Always.”

Disamping Toy Story keluaran Pixar, ada satu lagi franchise film animasi yang menggoreskan kesan cukup mendalam di hati, yakni How to Train Your Dragon produksi DreamWorks Animation. Disadur dari rangkaian buku berjudul sama rekaan Cressida Cowell, franchise ini mengenalkan kita kepada satu karakter remaja yang canggung bernama Hiccup (disuarakan oleh Jay Baruchel) dan sahabatnya yang merupakan seekor naga berjenis nightfury, Toothless. Dimulai dari pertemuan di jilid pertama (2010) lalu berlanjut ke petualangan besar dalam How to Train Your Dragon 2 (2014), penonton bisa melihat adanya perkembangan pada kisah persahabatan mereka sekaligus karakteristik Hiccup. Tampak sikap saling respek antara satu dengan yang lain, tampak pula sikap yang menunjukkan keduanya saling mencintai dan melengkapi. Toothless menemukan harapan hidup untuk kaumnya berkat Hiccup, sementara Hiccup mampu melewati proses pendewasaan diri sehingga pada akhirnya diterima sebagai pemimpin oleh sukunya berkat bantuan Toothless. Di penghujung film kedua, mereka telah bertransformasi sebagai karakter ideal dan Hiccup telah menjadi satu pribadi yang diharapkan oleh sang ayah. Jika sudah begini, apa yang bisa dicelotehkan oleh How to Train Your Dragon 3: The Hidden World? Berhubung tujuan utama telah tercapai, maka tak ada cara lebih tepat dari mengakhiri narasi dengan memberi salam perpisahan kepada dua karakter inti dalam franchise ini.

January 13, 2019

20 FILM TERBAIK 2018 VERSI CINETARIZ


Tidak disangka sama sekali kalau menyusun senarai “20 Film Terbaik 2018 Versi Cinetariz” bakal menghadapkan saya pada pilihan-pilihan dilematis. Memang sih konflik batin (halah!) semacam ini selalu hadir setiap kali menyusun list. Tapi saya tidak mengira bakal muncul juga di tahun 2018 yang mulanya saya anggap sepele lantaran sampai pertengahan tahun lalu, belum ada film yang benar-benar mencuri hati ini. Yang bagus sih banyak, cuma yang klik di hati tak kunjung ditemukan. Mengira ini akan memudahkan dalam membuat senarai (meski kandidat 3 besar belum terbaca kala itu), eh ternyata saat tugas itu datang, sulitnya bukan kepalang. Diantara 238 film rilisan tahun 2018 yang sanggup ditonton, banyak juga yang membekas di hati.

January 6, 2019

REVIEW : DREADOUT


“Kayaknya kolam itu pintu deh. Dan harusnya kita nggak boleh masuk ke pintu itu.”

Dalam versi layar lebar DreadOut yang disadur dari video game populer bertajuk sama buatan Digital Happiness dari Indonesia, guliran penceritaan difungsikan sebagai prekuel untuk video game-nya. Di sini, para gamer akan memperoleh informasi (sedikit) lebih banyak mengenai si protagonis utama, Linda (Caitlin Halderman), termasuk bagaimana dia memperoleh ‘kekuatan’ yang rupa-rupanya diturunkan langsung dari sang ibu (Salvita Decorte). Kita juga akan mengetahui bahwa Linda tidaklah seperti rekan-rekan sebayanya yang memiliki hobi live di Instagram demi memupuk popularitas, karena dia menghabiskan waktu luangnya untuk bekerja di minimarket agar bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Saking giatnya Linda bekerja, tak jarang dia sampai ketiduran di dalam kelas saat pelajaran masih berlangsung – ckck, jangan ditiru yaa, adek-adek! Hari-hari Linda yang dipenuhi dengan lembur ini untungnya segera berakhir dalam waktu dekat usai dia menyepakati perjanjian dengan seorang kakak kelas yang menawarinya perhiasan mahal. Perjanjian tersebut mengharuskannya untuk mengantar Jessica (Marsha Aruan) beserta teman-teman sepermainannya yang terdiri dari Erik (Jefri Nichol), Dian (Susan Sameh), Alex (Ciccio Manassero), dan Beni (Irsyadillah), menuju sebuah apartemen kosong yang dikenal angker. Berhubung Linda mengenal sang penjaga, Kang Heri (Mike Lucock), maka mereka pun mendapatkan akses ke dalam bangunan kecuali satu area yang dipagari garis polisi. Dasar bocah bengal, tentu saja pantangan tersebut dilanggar dan seperti bisa diduga, serangkaian teror pun seketika menyergap mereka. Kapok koen!

January 5, 2019

REVIEW : KELUARGA CEMARA


“Kalian semua itu tanggung jawab Abah!” 

“Kalau begitu, Abah tanggung jawab siapa?” 

Apabila kalian pernah merasakan euforia dunia pertelevisian tanah air pada era 1990-an, rasa-rasanya mustahil tidak mengetahui sinetron Keluarga Cemara yang disadur dari cerita bersambung rekaan Arswendo Atmowiloto. Meski kelima karakter utama dalam sinetron ini digambarkan berada dalam kondisi finansial serba kekurangan – mata pencaharian mereka bergantung pada becak dan opak – si pembuat tidak mengeksploitasi kemiskinan mereka demi mengucurkan air mata penonton. Berbeda pula dengan sinetron masa kini yang topik obrolannya tidak jauh-jauh dari rebutan warisan, rebutan pasangan, sampai azab bagi orang-orang dzalim, Keluarga Cemara mengetengahkan topik positif terkait menebar kebajikan kepada sesama, kerja keras serta mensyukuri hidup. Sebuah topik yang tidak dibatasi oleh agama, suku, jenis, kelamin, usia, maupun kelas sosial karena bersifat universal: semua orang bisa menerapkannya, semua orang bisa mengalaminya. Tak heran jika kemudian sinetron ini ramai dipirsa dan publik masih setia menyenandungkan lagu temanya yang penggalan liriknya berbunyi, “harta yang paling berharga adalah keluarga…” hingga kini. Saking legendarisnya (dan besar pula pengaruhnya) sinetron yang memasangkan Adi Kurdi dengan Novia Kolopaking tersebut, rumah produksi Visinema Pictures (Surat Dari Praha, Cahaya Dari Timur Beta Maluku) pun tertarik untuk menginterpretasikannya ulang. Bukan lagi dalam bentuk sinetron seperti versi terdahulu, melainkan dalam format film layar lebar dengan jajaran pemain yang sama sekali baru. 

January 2, 2019

10 FILM INDONESIA TERBAIK 2018 VERSI CINETARIZ


Selamat datang tahun 2019, selamat tinggal tahun 2018! 

Guna menyambut datangnya tahun baru ini, maka izinkanlah saya untuk sejenak mengilas balik film Indonesia dalam setahun terakhir ini yang sukses menorehkan rekor usai mendatangkan 50 juta penonton buat berbondong-bondong memenuhi bioskop (!). Kilas balik yang saya persiapkan sih sederhana saja karena sejatinya sudah menjadi tradisi tahunan Cinetariz sejak dahulu, yakni daftar personal bertemakan “film Indonesia terbaik 2018”. Yang perlu saya tegaskan kembali, daftar ini bersifat personal sehingga lebih tepat jika dibaca: film-film Indonesia yang akan saya rekomendasikan untuk kalian dengan senang hati. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila ada perbedaan pendapat dengan pembaca budiman. Karena bagaimanapun juga, daftar ini bersifat subjektif yang besar kemungkinan dipengaruhi pula oleh pengalaman menonton maupun kedekatan representasi. 
Mobile Edition
By Blogger Touch