“Kayaknya kolam itu pintu deh. Dan harusnya kita nggak boleh masuk ke
pintu itu.”
Dalam versi layar lebar DreadOut yang disadur dari video game populer bertajuk sama buatan
Digital Happiness dari Indonesia, guliran penceritaan difungsikan sebagai
prekuel untuk video game-nya. Di
sini, para gamer akan memperoleh
informasi (sedikit) lebih banyak mengenai si protagonis utama, Linda (Caitlin
Halderman), termasuk bagaimana dia memperoleh ‘kekuatan’ yang rupa-rupanya
diturunkan langsung dari sang ibu (Salvita Decorte). Kita juga akan mengetahui
bahwa Linda tidaklah seperti rekan-rekan sebayanya yang memiliki hobi live di Instagram demi memupuk
popularitas, karena dia menghabiskan waktu luangnya untuk bekerja di minimarket
agar bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Saking giatnya Linda bekerja,
tak jarang dia sampai ketiduran di dalam kelas saat pelajaran masih berlangsung
– ckck, jangan ditiru yaa, adek-adek! Hari-hari Linda yang dipenuhi dengan
lembur ini untungnya segera berakhir dalam waktu dekat usai dia menyepakati
perjanjian dengan seorang kakak kelas yang menawarinya perhiasan mahal.
Perjanjian tersebut mengharuskannya untuk mengantar Jessica (Marsha Aruan)
beserta teman-teman sepermainannya yang terdiri dari Erik (Jefri Nichol), Dian
(Susan Sameh), Alex (Ciccio Manassero), dan Beni (Irsyadillah), menuju sebuah
apartemen kosong yang dikenal angker. Berhubung Linda mengenal sang penjaga,
Kang Heri (Mike Lucock), maka mereka pun mendapatkan akses ke dalam bangunan
kecuali satu area yang dipagari garis polisi. Dasar bocah bengal, tentu saja
pantangan tersebut dilanggar dan seperti bisa diduga, serangkaian teror pun
seketika menyergap mereka. Kapok koen!
Sejujurnya, sulit bagi saya untuk
meredam ketertarikan kepada DreadOut.
Betapa tidak, film ini memiliki sejumlah faktor yang memungkinkannya buat
menjadi tontonan seram yang mengasyikkan seperti: 1) sutradaranya adalah Kimo
Stamboel yang merupakan salah satu personil The Mo Brothers dengan jejak rekam
film-film semacam Bunian (2004 – Kimo
menjadi sutradara seorang diri dan ini adalah salah satu film horor Indonesia yang
oke), Rumah Dara (2009) dan Killers (2014), 2) jajaran pemainnya
terdiri dari pelakon-pelakon muda yang aktingnya terbukti impresif yakni Jefri
Nichol, Caitlin Halderman, serta Susan Sameh (dia bermain bagus di Dear Nathan: Hello Salma), dan 3) ini
adalah film Indonesia pertama yang didasarkan pada video game dan permainannya yang bergenre survival horror itu sendiri cukup digandrungi oleh para gamer karena mempunyai faktor excitement tinggi. Jadi, apa yang
mungkin bisa salah dari ini? Menilik jejak rekam film adaptasi game yang kurang ciamik, saya pun tidak
lantas menyematkan ekspektasi tinggi-tinggi akan memperoleh tontonan dengan
narasi berbobot. Patokannya sih kurang lebih seperti Sebelum Iblis Menjemput (2018) buatan rekan sejawat Kimo, Timo
Tjahjanto, tempo hari yang tipisnya naskah dikompensasi oleh teror maksimal. Asalkan
bisa fun yang berarti bikin
bersemangat, teriak-teriak, maupun ketawa di dalam bioskop, saya sudah
terpuaskan – anaknya gampang puas kok. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah,
mampukah Kimo mengkreasi tontonan ngeri-ngeri sedap yang levelnya setara atau
minimal mendekati film garapan Timo tersebut melalui DreadOut?
Well, gimana ya saya harus menjawabnya. Jadi emmm… begini, errr… DreadOut tidak sedikitpun mendekati Sebelum Iblis Menjemput. Oke,
pengharapan ini mungkin terdengar kurang realistis mengingat materi sumbernya.
Tapi berhubung Timo adalah ‘belahan jiwa’ dari Kimo, tidak ada salahnya bukan
mendamba DreadOut bakal memiliki
kesenangan yang kurang lebih senada? Sebetulnya sih, jika kita berbicara
mengenai elemen teknis, film ini masih bisa untuk diapresiasi. Ada
sinematografi, tata rias plus kostum, sampai tata artistik yang mumpuni. Si
pembuat film mampu menghadirkan nuansa creepy
di beberapa titik awal seperti lorong-lorong di apartemen yang temaram, ruang
apartemen yang misterius, serta kediaman si villain
yang tampilan luarnya sudah cukup bikin para penakut bergidik ngeri. Disamping
nuansa seram, Kimo juga kentara ingin menguarkan nuansa game melalui pergerakan kamera dinamis yang tak jarang
mengaplikasikan first-person shot
sehingga penonton dapat melihat suatu kejadian melalui mata Linda – meski makin
belakang, ini terasa tak lebih dari sekadar gimmick.
Ditambah dengan dandanan jauh dari kata malu-maluin untuk rombongan hantu yang
diwujudkan dalam rupa pocong berclurit beserta perempuan berkebaya merah
(bahkan terlihat mengerikan lho!), DreadOut
membuktikan bahwa dirinya mempunyai potensi. Yang kemudian mengubur
hidup-hidup potensi tersebut sampai-sampai film berakhir sebagai tontonan
menggelikan nan melelahkan adalah pengarahan Kimo berserta skrip racikannya.
Tunggu, tunggu. Bukannya tadi Cinetariz
yang mengatakan kalau narasi tak berbobot bukan jadi soal? Tenang, guys, saya tidak mendadak mengalami
amnesia kok. Memang betul saya tidak mengharap DreadOut punya guliran penceritaan kompleks yang di dalamnya
menyertakan kritik atau komentar sosial, tapi bukan berarti saya bisa menerima
dengan lapang dada saat ada banyak hal tak terjabarkan di sini. Karena banyak
di sini, jumlahnya sangat sangat banyak (pengen deh nulis ‘banyak’ dalam huruf
kapital). Sebagai contoh saja, penonton tidak pernah diberi tahu mengenai asal
muasal ‘kekuatan’ yang dipunyai Linda maupun sang ibu, begitu pula dengan
kegunaannya secara spesifik kecuali biar bisa buka tutup portal gaib sesuai
permintaan pelanggan. Kita juga tidak dituangi informasi perihal latar belakang
perempuan berkaya merah, mitologi dibalik keberadaan alam gaib yang dimasuki
remaja-remaja ini, fungsi keris yang diperebutkan oleh banyak pihak, dan
kesaktian flash di ponsel milik Linda
yang tahan air, tahan banting plus tahan lama itu. Alhasil tanya yang dimulai
dengan kata, “kenapa? Mengapa? Ada apa?”
terus menghantui benak ini di sepanjang durasi sampai-sampai saya gagal fokus. Sampai-sampai
saya tak bisa lagi menemukan letak serunya film ini kecuali saat penonton lagi
ngakak di adegan yang tak seharusnya ngakak. Masa iya ini disengaja oleh si
pembuat film demi memberi kesempatan bagi penonton untuk mengeluarkan kemampuan
mengarang bebas? Jadi ceritanya, kita dibebaskan untuk berasumsi mengenai apa
yang terjadi dalam film tanpa pernah dikasih tahu apa yang sesungguhnya
terjadi. Jika benar demikian, Astaghfirullah, Pak Kimo. Berasumsi dan
berprasangka itu tidak dibenarkan oleh agama lho. Dosa!
Tapi
memang yang namanya dosa bakal menempel otomatis saat menonton DreadOut sih. Bukan, bukan karena zina
mata melihat Jefri Nichol buka-bukaan baju, melainkan karena mendoakan sebagian
besar karakter di film ini agar cepat dicaplok para hantu dan menemui ajalnya. Kedengarannya
memang jahat sekali, cuma mau bagaimana lagi, Jessica si pengabdi konten dan
konco-konconya ini tingkat annoying-nya
sudah level dewa. Yang mereka lakukan di sini tidak jauh-jauh dari: live di Instagram, mencari sinyal,
ribut-ribut tak jelas, lari-lari, teriak-teriak, lalu ulangi lagi dari tahapan
mencari sinyal. Persis seperti guliran pengisahan dari filmnya itu sendiri
yang, well… repetitif. Saat portal
menuju dunia lain terbuka, saya sempat bersemangat karena latar mengalami
ekspansi dan tidak melulu berkutat di apartemen yang mulai kurang terlihat
seram. Tapi semangat itu seketika menciut sampai sekecil upil begitu melihat
betapa mudahnya Linda menyelamatkan karakter tertentu dari cengkraman si antagonis,
dan tak lama kemudian, si antagonis kembali menculiknya. Like, seriously? Mbok ya daripada kelihatan kayak bocah rebutan mainan
gitu, mending misi penyelamatannya agak dipanjang-panjangin biar tak terkesan
amat mudah dilaksanakan. Lagian, anak-anak ini pindah dimensi kok kayak pindah
ruangan. Keluar masuk dengan begitu entengnya padahal mereka mesti menyelam
dalam-dalam, bukan sekadar buka pintu. Saking seringnya, saya sampai curiga
kalau mereka ini sebetulnya atlet renang di sekolah karena fisik mereka masih
tetap segar bugar sekalipun udah berkali-kali nyemplung menggunakan pakaian
lengkap. Saya yang melihatnya saja sudah kedinginan dan bersin-bersin lho. Kalau
saya jadi mereka, sudah pasti keesokan harinya membolos sekolah. Bukan karena
trauma, tapi karena masuk angin. Brrr…
Note : DreadOut mempunyai
dua adegan bonus, jadi bertahanlah yaaa.
Seriuuusss om? Padahal ini salah satu film yg paling kutunggu2 lho. Secara gitu, kimo (padahal kimo, bukan timo wkwk)
ReplyDeleteSerius. Nontonnya bikin beteque. Untung ada adegan-adegan yang bisa diketawain jadi masih sedikit terhibur. 😅
DeleteSepertinya saya lebih terhibur baca review nya cinetarci daripada nonton filmnya langsung.. 😅
ReplyDeleteHeiii... Cinetariz yaa bukan Cinetarci *getok pakai ulekan*
DeleteUps.. Maaf om Cinetariz, hehe.. Maksud saya juga gitu, kepencet langsung ke publish..
DeleteMaksudnya cinetariz cinta kalii haha 😁
DeleteLumayan bagus menurut ane. Walaupun tidak menyeluruh adaptasi dari game.
ReplyDeleteLayak buat di tonton
Apa ya agak bertele-tele di pertengahan, jadinya bosan diulang-ulang terus pulang kampung ke portal gaib,hehehe
ReplyDeleteberharap dibikin sekuel, setannya juga belum semua yang ada di game dimasukkan, apa yang kurang di film pertama semoga terbayarkan di film kedua, pengennya sih begitu.
Itulah, repetitif banget. Keluar masuk portal gaibnya terasa mudah jadi kerasa nggak ada tantangannya. Akhirnya aku pun kayak, "halah ntar mereka paling juga bisa keluar dari portal itu dengan mudah." Nggak bikin deg-degan. Aku pun sejatinya kurang berminat dengan sekuel, tapi tetap berharap ada perbaikan jika beneran dibikin.
DeleteSitus Nonton Movie Online QQCINEMA21.Streaming Film Online Bioskop Box Office Terlengkap 2019 Subtitle Indonesia Kualitas HD, BLURAY dan Gratis Download Film-film Terbaru
ReplyDeleteTroll
ReplyDelete