Pages

January 15, 2019

REVIEW : ESCAPE ROOM (2019)


“They knew everything about us.”

(Ulasan ini mungkin agak nyerempet spoiler, meski nggak separah filmnya itu sendiri yang melakukan spoiler kelas berat)

Apakah ada diantara kalian yang pernah menjajal permainan ‘escape room’ yang popularitasnya tengah melesat dalam beberapa tahun terakhir ini? Kalau belum, coba deh luangkan waktu (serta duit tentunya) lalu ajak teman-teman terdekat buat menjajalnya. Saya sendiri ketagihan ingin memainkannya lagi setelah berkesempatan untuk mencoba permainan ini pada setahun silam. Dalam permainan ini, sejumlah partisipan bakal ‘dikurung’ di sebuah ruangan dalam kurun waktu tertentu guna memecahkan teka-teki yang dapat membebaskan mereka dari ruangan tersebut. Kerjasama tim jelas diutamakan dan jika kalian benar-benar sudah mengalami kebuntuan berpikir, bisa meminta petunjuk kepada gamemaster yang senantiasa mengawasi gerak-gerik pemain. Terdengar seru, bukan? Dan percayalah, permainan yang memiliki berbagai tema ini (waktu itu saya menjajal tema zombie) memang seseru itu. Saking seru dan populernya game ini, tidak mengherankan jika petinggi studio di Hollywood yang cerdik melihat peluang akhirnya tertarik untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film layar lebar. Mengusung judul sesederhana Escape Room, film arahan Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The Last Key) yang bergerak di jalur horor ini meningkatkan pertaruhan dalam permainan demi menggaet atensi penonton. Teka-tekinya tak hanya dibikin lebih rumit, tetapi juga memiliki efek mematikan apabila si pemain tak sanggup menuntaskannya tepat waktu.

Dalam Escape Room versi layar lebar, ada enam partisipan yang dilibatkan. Konfigurasinya terdiri dari seorang mahasiswi yang memiliki otak encer tapi sukar bersosialisasi bernama Zoey (Taylor Davis), seorang pebisnis muda yang ambisius bernama Jason (Jay Ellis), seorang pekerja di toserba yang alkoholik bernama Ben (Logan Miller), seorang veteran perang yang mengalami trauma bernama Amanda (Deborah Ann Woll), seorang pecandu permainan escape room bernama Danny (Nik Dodani), dan seorang pengemudi truk bernama Mike (Tyler Labine). Keenamnya mendapatkan undangan dari perusahaan Minos untuk mencoba merasakan pengalaman memainkan escape room milik mereka yang digadang-gadang “imersif” atau menyerupai kenyataan. Agar mereka semakin tertarik, Minos menyiapkan hadiah uang tunai sebesar $10 ribu bagi pemain yang sanggup menuntaskan tantangan hingga akhir. Didorong oleh motivasi berbeda antara satu dengan lain – sebagai contoh; Ben membutuhkan uang, Danny mencintai permainan ini, dan Zoey memerlukan tantangan – mereka pun bersedia mencoba permainan ini. Tanpa ada kecurigaan sedikitpun, keenam partisipan mulanya mengira bahwa ini hanyalah sebatas permainan… sampai kemudian ancaman tertampang nyata di depan mata. Mereka memasuki ruangan demi ruangan yang memiliki oven raksasa, udara dingin, ‘lantai berlubang’, sampai dinding bergerak yang dapat mengakhiri hidup mereka apabila teka-teki gagal dipecahkan.


Jika yang kamu butuhkan adalah film untuk seru-seruan di kala senggang, Escape Room sejatinya bukanlah pilihan yang mengecewakan. Secara pribadi, saya mampu menikmati sajian dari Adam Robitel ini setidaknya sampai memasuki menit ke-70. Apresiasi terbesar yang dapat saya sematkan kepada Escape Room adalah desain produksinya yang terbilang impresif sehingga memungkinkan setiap ruangan untuk memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri sekaligus memberi kesan ‘imersif’ seperti disebut oleh para partisipan. Dalam permainan rancangan Minos ini, kamu akan menjumpai ruangan menyerupai ruang tunggu yang diam-diam menyimpan oven raksasa, ruangan menyerupai danau membeku yang dinginnya bukan kepalang, ruangan menyerupai bar tempat bermain billiard yang posisinya terbalik, sampai ruangan menyerupai bangsal rumah sakit. Adanya pembeda di setiap ruangan ini secara tidak langsung menghindarkan penonton dari kejenuhan lantaran muncul keingintahuan mengenai wujud ruangan selanjutnya. Berhubung tingkat kesulitan senantiasa menanjak, ada pula rasa penasaran untuk mengetahui tantangan seperti apa lagi yang bakal dihadapi oleh para partisipan. Memang sih beberapa tantangan tampak terlampau mudah untuk dipecahkan, tapi syukurlah Escape Room masih menyimpan satu momen yang betul-betul membuat jantung ini berdegup kencang dan kaki terasa lemas. Bagi saya, momen tersebut dapat dijumpai di ruang billiard.

Disamping desain produksi, faktor lain yang menyebabkan Escape Room terasa nikmat-nikmat saja buat dikudap adalah laju penceritaan yang bergegas dan barisan karakter yang (syukur alhamdulillah) tidak terlalu menyebalkan. Kapan coba terakhir kali kamu menonton sebuah film horor dimana sebagian besar karakternya dapat diberi simpati dan kamu tidak mengharapkan mereka mati? Jarang-jarang ada lho, dan untuk itu, Escape Room perlu diberi sedikit tepuk tangan. Yang juga perlu diapresiasi adalah upaya Robitel dalam menyelamatkan film dari keterpurukan lantaran materi narasi kurang memadai. Ya, si pembuat film menyadari betul bahwa skrip film ini mengandung penceritaan yang tipis dan terasa amat familiar sampai-sampai mengingatkan pada Cube (1997), Saw V (2008), hingga The Belko Experiment (2016). Itulah mengapa dia mengondisikan agar laju penceritaan Escape Room melesat cepat demi menutupi kelemahan skrip dan menjauhkan penonton dari kemungkinan jenuh akibat beberapa trik yang kurang bergigi. Smart move, huh? Berhasil di satu jam pertama, sayangnya langkah Robitel terjegal begitu film memasuki babak pengungkapan yang bukan saja berlangsung datar tetapi juga tidak memiliki daya sentak seperti diperkirakan. Keinginan untuk mengembangkan film menjadi sebuah franchise turut memiliki andil pada konklusi yang terasa antiklimaks sampai memunculkan komentar “udah nih gitu aja?”. Beruntung Escape Room tergolong sukses di tangga box office sehingga kemungkinan bagi penonton untuk memperoleh jawaban di jilid berikutnya seketika terbuka lebar. Coba bayangkan seandainya film ini gagal, maka kedongkolannya mungkin saja setara dengan The Mist (2007) yang penyelesaiannya masih belum bisa saya maafkan sampai sekarang.

Acceptable (3/5)


7 comments:

  1. The Mist bikin nyesek ya?
    Saya udah 3 kali nonton
    Hehehe...

    ReplyDelete
  2. Nice review... aku juga nulis review tentang film ini, baru belajar ngerivew film sih. boleh lho kalau mau mampir ke blog aku.
    https://putrinurifdah.wordpress.com/2019/01/25/film-escape-room-lolos-atau-mati/

    Terima kasih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaa... Siap meluncur kesana. Mudah-mudahan konsisten yaa nulisnya. 😊

      Delete
  3. Situs Nonton Movie Online QQCINEMA21.Streaming Film Online Bioskop Box Office Terlengkap 2019 Subtitle Indonesia Kualitas HD, BLURAY dan Gratis Download Film-film Terbaru

    ReplyDelete