Pages

February 17, 2019

REVIEW : CALON BINI


“Aku mau kejar mimpiku pake sepur.”

Ulasan ini akan saya buka dengan satu pengakuan: saya mengagumi Michelle Ziudith. Bukan semata-mata disebabkan oleh parasnya yang cantik dan tingkahnya yang terkadang menggemaskan, tetapi juga karena dia memancarkan sebuah karisma sebagai seorang aktris. Agak sulit untuk mendeskripsikannya secara mendetail, tapi satu yang jelas, saya selalu bahagia setiap kali melihatnya. Tak ada rasa jenuh walau dia terjebak dalam peran-peran tipikal, tak ada pula rasa sebal walau dia terkungkung dalam karakter-karakter dengan peringai menjengkelkan. Saya selalu kembali untuk menyaksikan film-filmnya meskipun sebagian besar diantaranya bikin ngelus dada saking… ah, kalian tahu sendiri. Michelle Ziudith acapkali menjadi penyelamat di film-film ajaibnya ini berkat performanya yang (sebetulnya) apik. Dia tampil enerjik, lepas tanpa beban, dan tangisannya pun tak terkesan dibuat-dibuat. Potensi untuk berkembang jauh jelas terpampang nyata yang sayangnya terbelenggu oleh keputusan untuk bermain aman di rangkaian film percintaan remeh temeh dengan peran yang tidak jauh berbeda. Dari sembilan judul yang menempatkannya di garda terdepan, hanya Remember When (2014) dan Ananta (2018) yang tergolong lumayan. Lainnya? Menguji kesabaran sampai ke titik paling dasar. Menengok kemahirannya dalam berolah peran, kadang saya dibuat bertanya-tanya, “apakah keserupaan peran ini karena Michelle Ziudith memang enggan untuk mengambil peran diluar zona nyamannya, atau karena belum ada sineas yang mempercayainya?”.

Guna mengetahui jawabnya, tentu kita harus bertanya langsung kepada yang bersangkutan. Hanya saja untuk saat ini, belum ada sedikitpun tanda-tanda yang menunjukkan Mbak Michelle akan menjajal peran berbeda. Saya sebetulnya sempat optimis saat dia berkenan untuk berlakon dalam Ananta yang diproduksi oleh MD Pictures (bukan Screenplay Films seperti biasanya) mengingat karakternya yang dideskripsikan antisosial jelas memiliki tantangan tersendiri. Tapi ketika mengetahui bahwa film terbarunya adalah Calon Bini dimana dia disandingkan kembali dengan lawan main langganannya, Rizky Nazar, harapan yang tadinya telah mengembang seketika menguncup lagi dan saya pun seketika menjerit, “Ya Tuhanku, kenapa dia main di film cheesy macam gini lagi?”. Munculnya prasangka mengenai kualitas Calon Bini memang sulit dihindari apabila kalian telah menengok materi promosinya beserta sinopsisnya. Dalam film ini, Michelle Ziudith berperan sebagai Ningsih, perempuan dari kawasan Bantul, Yogyakarta, yang bercita-cita untuk membahagiakan kedua orang tuanya dengan melanjutkan studi ke perguruan tinggi selepas lulus SMA. Cita-cita yang amat positif ini sayangnya terbentur oleh keinginan keluarga besarnya untuk menikahkan Ningsih dengan Sapto (Dian Sidik), putra tunggal dari Pak Kades (Butet Kartaredjasa), demi memperbaiki kondisi finansial. Ningsih yang menolak dijodohkan pun memilih untuk kabur ke Jakarta demi mengadu nasib. Dalam perantauannya, Ningsih berjumpa dengan Satria Bagus (Rizky Nazar) yang petuah-petuah bijaknya mengenai mengejar mimpi membuatnya jatuh hati.


See? Bagaimana bisa saya berpikir positif saat guliran pengisahan yang dikulik Calon Bini mempunyai keserupaan dengan banyak judul FTV? Saya sebetulnya paling enggan memberi label “kualitas FTV” terhadap sebuah film yang memiliki kualitas kurang memadai – terasa tak adil bagi FTV yang terus menerus mendapat stereotip tak mengenakkan – tapi sungguh, film ini berada di area tersebut khususnya saat berbicara soal naskah dan sisi teknis. Tak ada tampilan gambar sinematis dalam Calon Bini yang terlihat begitu ‘murah’ ini, tak ada pula narasi yang menggigit. Titien Wattimena selaku penulis skenario yang memberi penonton kejutan melalui film percintaan keluaran Screenplay Films yang paling bisa ditolerir, Something in Between (2018), seolah dipaksa tunduk untuk mengkreasi jalinan penceritaan yang digemari oleh pasar utama film-film sejenis. Di sini, kamu akan menjumpai formula yang sangat umum dijumpai dalam FTV; si kaya dari kota yang jatuh hati pada si miskin dari desa, kisah cinta yang muncul mak bedunduk bermodalkan chatting di media sosial, masyarakat kelas menengah bawah di Yogyakarta yang digambarkan teramat sangat ndeso sampai-sampai kolam renang pun dijadiin tempat cuci baju, tektokan antara supir dengan PRT sebagai pemantik tawa, sampai rencana perjodohan demi memperbaiki garis nasib. Tambahkan dengan logika bercerita yang kesana kemari, inkonsistensi pada jalan pemikiran karakter utama, plus penyelesaian konflik yang cenderung menggampangkan (well, judul film ini sudah menggambarkan apa yang bakal terjadi di penghujung film), Calon Bini terdengar seperti sebuah mimpi buruk bagi mereka yang menganggap trilogi London Love Story sebagai tanda-tanda datangnya hari akhir.

Saya pun sudah menyiapkan obat pereda sakit kepala untuk mengantisipasi munculnya rasa pening usai menonton sampai kemudian diri ini menyadari kenyataan mengejutkan: Calon Bini ternyata tak ‘semengerikan’ itu. Michelle Ziudith lagi-lagi keluar sebagai penyelamat dan saya harus mengakui bahwa perannya di sini agak berbeda dari biasanya. Ningsih diperlihatkan sebagai pribadi yang mandiri nan ceria, alih-alih gemar meratapi duka laranya di bawah derasnya guyuran air hujan. Tapi tetap saja saya ingin menyampaikan pesan, “Dek, cari peran menantang di film berbobot dong. Sayang bakatmu tersia-siakan begitu saja seperti ini,” dengan nada gemas tapi penuh kasih sayang. Disamping Dek Ziudith, alasan utama mengapa Calon Bini masih dapat dinikmati adalah performa bagus dari pelakon-pelakon senior seperti Cut Mini, Marwoto, Ramzi, Maya Wulan, Dian Sidik, Slamet Rahardjo, sampai Niniek L Karim. Cut Mini sebagai ibu Ningsih memiliki satu momen emas pada babak ketiga saat karakternya memberi tatapan tajam penuh kemarahan, sementara Marwoto memegang kendali di elemen komedik bersama Ramzi dan Maya Wulan. Keputusan sang sutradara, Asep Kusdinar (London Love Story, One Fine Day), untuk menggunakan Bahasa Jawa pada percakapan dalam lingkup keluarga Ningsih ketimbang Bahasa Indonesia yang dibikin medok nan mekso adalah hal lain yang bisa diapresiasi dari film ini. Para pemain menunjukkan usaha yang layak diberi jempol (apalagi ada sisipan Bahasa Jawa tingkatan Krama yang terhitung sulit!) dan pemakaian bahasa Jawa turut memberikan tambahan rasa dalam guyonannya yang sangat mungkin akan memberi impak berbeda bila dialihbahasakan. Bagi saya, dua faktor inilah yang membantu mengangkat derajat Calon Bini sehingga masih mampu tersaji sebagai tontonan yang cukup menghibur sekalipun narasinya acapkali bikin pening. 

Acceptable (2,5/5) 


4 comments:

  1. Bang w di bulan Maret mau mereview sederhana 30 film dokumenter .. ada saran ga??

    Kalau pengen lihat ulasannya bisa lihat di FB Hidetoshi kurosawa

    ReplyDelete
  2. Film indonesia lebih unik dan menarik jika memasukkan unsur kebudayaan yang melimpah di negeri kita itu harus diasah agar menjadi nilai plus untuk film indonesia.ingat!!!!! Budaya mitos tradisional bukan jadul tapi unik dan harus diapresiasi lebih

    ReplyDelete
  3. Review film FOXTROT SIX dong...
    Katanya ini film Indonesia rasa Hollywood. Full English plus CGI Effect

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah diulas yaa. Monggo dibaca dan dikomentari :)))

      Delete