”We have no idea what threats are out there. We can’t do this alone.
We need you.”
Siapa diantara kalian yang
bersuka cita menyambut kehadiran Captain
Marvel? Sebagai seseorang yang mengikuti Marvel Cinematic Universe (MCU)
sejak awal mula dan belakangan dibuat tertambat oleh bangunan semestanya yang
mengagumkan, saya jelas gembira dengan kemunculan Captain Marvel. Terlebih lagi, film arahan Anna Boden dan Ryan
Fleck (Half Nelson, It’s Kind of a Funny Story) ini menandai
untuk pertama kalinya MCU mempunyai film solo bagi superhero perempuan. Mereka memang telah memiliki tiga superhero perempuan yang tergabung dalam
Avengers yakni Black Widow, Scarlet Witch, dan Gamora. Akan tetapi tak seperti
para pria perkasa di semesta yang sama, ketiganya belum memiliki film tunggal
termasuk Gamora yang mesti berbagi jatah narasi dengan keempat rekannya dalam Guardians of the Galaxy. Penantian
panjang untuk menyaksikan MCU mengikuti jejak tetangga sebelah yang sudah
terlebih dahulu mempersembahkan Wonder Woman
(2017) – yang ternyata lebih dari sekadar representasi gender dalam sinema
Hollywood – akhirnya tiba di momen-momen genting. Mengapa saya menyebutnya
demikian? Well, jika kamu sudah
menyaksikan Avengers: Infinity War
tentu mengetahui bahwa nasib para pahlawan di semesta bentukan Marvel Studios
ini sedang berada di ujung tanduk. Melalui sebuah post credits scene di sela-sela end
credit film tersebut, penonton diinformasikan bahwa bala bantuan akan
diperoleh dari karakter dengan lambang bintang atau dengan kata lain: Captain
Marvel. Ini adalah salah satu alasan yang lantas membuat saya (dan mungkin
jutaan penonton lain) bersemangat menantikan Captain Marvel.
Berhubung penonton belum pernah
berjumpa dengan si karakter tituler sebelumnya, maka sudah barang tentu Captain Marvel difungsikan sebagai origin story. Di sini, penonton tak
hanya berkesempatan untuk melongok masa lalu dari sosok dibalik kostum berwarna
merah biru yaitu Carol Danvers (Brie Larson), tetapi juga cikal bakal
terbentuknya Avengers. Mengaplikasikan guliran pengisahan yang acapkali
non-linear demi mengedepankan misteri, kita langsung dipertemukan dengan Carol
yang mengenal dirinya sebagai Vers. Salah satu personil dari pasukan elit di
Planet Hala, Starforce, yang sedang diterjunkan dalam misi menyelamatkan
seorang mata-mata bangsa Kree dari cengkraman pihak musuh yakni kelompok alien
dengan kemampuan berubah wujud, Skrull. Menurut pandangan Vers yang tak bisa
sedikitpun mengingat masa lalunya, Kree adalah bangsa yang menjunjung tinggi
keadilan sementara Skrull merupakan pihak yang seharusnya diperangi. Pemikiran
yang ditanamkan oleh sang mentor, Yon-Rogg (Jude Law), ini terus dipercaya oleh
Vers sampai kemudian dia ditangkap sekelompok Skrull dalam misi penyerbuan yang
berakhir kegagalan. Alih-alih diinterogasi secara beradab, Vers justru disiksa
dengan cara mengacak-acak memorinya. Vers yang memiliki kemampuan bertarung
diatas rata-rata ini tentu saja memberontak yang lantas mendorongnya untuk
melarikan diri ke Bumi dimana dia bertemu dengan agen S.H.I.E.L.D. bernama Nick
Fury (Samuel L. Jackson) yang masih bermata lengkap. Ditengah upayanya
menghindari kejaran bangsa Skrull bersama agen Fury, Vers secara perlahan tapi
pasti mendapatkan ingatannya kembali pasca dia mempelajari lebih jauh mengenai
mesin berkecepatan cahaya yang sedang diincar oleh kaum Skrull.
Disamping fakta yang menunjukkan Captain Marvel sebagai sajian superhero
perempuan pertama dalam MCU dan menempatkannya sebagai seri penjembatan menuju
ke babak terakbar dalam Avengers: Endgame, satu faktor lain yang menggugah ketertarikan untuk menyaksikan
gelaran ini adalah kualitas beberapa film terakhir keluaran Marvel Studios yang
kian mencengkram. Usai Thor: Ragnarok
yang norak-norak mengasyikkan dengan selera humor yang cenderung nyeleneh, lalu
Black Panther yang memberikan
selebrasi terhadap masyarakat kulit hitam seraya menggaungkan women empowerment, saya pun dibuat
bertanya-tanya: apa yang akan dipersembahkan oleh duo Anna Boden dan Ryan Fleck
melalui Captain Marvel? Menilik jejak
rekam keduanya sebagai sineas indie yang dikenal lihai dalam menciptakan
karakter kuat (berkat mereka, Ryan Gosling meraih nominasi Oscar pertama lewat Half Nelson), tentu menarik untuk
mengetahui pendekatan seperti apa yang akan mereka perbuat terhadap film ini.
Berhubung standar yang dipatok oleh film-film terdahulu sudah sangat tinggi,
saya jelas membawa ekspektasi lebih kala melangkahkan kaki ke bioskop yang
ternyata, well… berakhir kurang baik.
Captain Marvel jelas bukan film yang
buruk – mendekati jelek pun tidak – hanya saja film kurang memiliki gegap
gempita seperti diperkirakan. Sebagai origin
story, ini lebih mendekati ke Thor
yang sederhana ketimbang Guardians of the
Galaxy yang menyegarkan. Tak ada sesuatu yang benar-benar baru disini,
bahkan gelaran laganya pun tergolong standar, sampai-sampai si pembuat film
merasa perlu menyelipkan elemen misteri demi menambah daya tarik kepada
tontonan.
Pilihan kreatif tersebut tentu
tak ada salahnya. Namun penulisan naskah beserta penyampaian duo sutradara yang
lantas membuat bubuhan misteri tak semenggigit seperti diharapkan. Sebagian
besar penonton yang jeli tentu sudah mengetahui mengenai wajah sesungguhnya
dari Kree (sempat disinggung di Guardians
of the Galaxy) dan informasi terkait identitas asli Vers juga telah menjadi
rahasia umum, jadi kejutan apa lagi yang ingin dipersiapkan? Maksud saya, tak
ada salahnya bercerita secara konvensional karena penjabaran agak belibet
seperti ini tergolong beresiko. Dan memang, keputusan Boden-Fleck untuk
mengedepankan misteri justru mereduksi dua hal yang semestinya merupakan
komponen andalan mereka: karakterisasi dan hati. Entahlah, tapi saya kurang
bisa mengenal Carol Danvers disini. Saya paham dengan motivasinya, tapi saya
tak pernah benar-benar terhubung dengannya. Sederet fase hidup yang efektif
menjabarkan soal karakterisasinya hanya dimunculkan melalui kilasan-kilasan
ingatan tanpa pernah digali mendalam termasuk soal persahabatannya dengan Maria
Rambeau (Lashana Lynch). Ada satu adegan dimana moment of truth akhirnya tiba, tapi saya justru tidak merasakan
apa-apa sementara si pembuat film telah mengondisikan agar tercipta suasana
sendu yang mengundang air mata. Apakah hati ini telah sedemikian beku atau
semata-mata karena saya tidak pernah melihat keakraban Carol-Maria secara lebih
intens sehingga urung menginvestasikan emosi? Rasa-rasanya faktor kedua adalah
pemicunya karena terbukti saya masih bisa berkaca-kaca menyaksikan tribut untuk
Stan Lee yang diselipkan ke logo Marvel di permulaan durasi.
Yang kemudian membantu
menyelamatkan muka Captain Marvel dan
menghindarkannya dari keterpurukan adalah performa jajaran pemainnya yang sangat
baik. Mesti diakui, Brie Larson yang didapuk melakonkan si karakter tituler merupakan
salah satu kekuatan utama yang dipunyai oleh Captain Marvel. Jangkauan emosinya tergolong luas yang turut mencakup
kecakapannya dalam ngelaba, begitu pula dengan karismanya yang memancar kuat
sehingga penonton pun dapat diyakinkan bahwa Carol Danvers adalah sesosok
pahlawan yang bisa diandalkan oleh penduduk bumi. Permainan lakon Brie Larson
inilah yang kemudian membantu memberikan warna pada karakter Carol Danvers yang
sejatinya datar-datar saja. Bersama dengan Samuel L. Jackson, aktris
penggenggam piala Oscar berkat permainan emosionalnya di Room (2015) ini menciptakan sebuah chemistry lekat ala buddy cop
movies yang memunculkan kesenangan tersendiri bagi film. Jujur saja,
interaksi antara Carol dengan Nick Fury adalah satu alasan lain yang membuat
saya bisa bersemangat sekaligus tergelak-gelak menyaksikan Captain Marvel. Tektokan keduanya terbentuk secara natural dengan
disisipi humor cukup cerdas yang lantas membentuk sederet momen mengasyikkan di
beberapa titik durasi. Ditambah dengan kehadiran kucing imut-imut menggemaskan
bernama Goose, saya pun memperoleh kompensasi atas kekecewaan terhadap guliran
pengisahan (meliputi villain yang kekuatannya
terlampau timpang) yang lunglai beserta gelaran laga yang terasa kurang heboh
padahal jajaran pemain telah berlatih mati-matian demi mempersiapkan peran
mereka. Mungkinkah ini disengaja oleh pihak Marvel Studios agar film ini tidak
menutupi pamor Avengers: Endgame yang
digadang-gadang sebagai jilid terakbar dalam MCU? Mungkin saja. Yang jelas,
sekalipun ada rasa gregetan karena Captain
Marvel kesulitan memenuhi potensinya, paling tidak saya masih dibuat
terhibur olehnya.
Note : Sesuai tradisi, terdapat dua adegan bonus yang bisa kamu
saksikan di sini. Letaknya di sela-sela dan penghujung end credit.
akhirnya misteri mata sebelah nick fury terpecahkan, bisa tidur nyenyak sekarang haha, mungkin itu daya tarik filmnya
ReplyDeleteJawabannya sungguh tidak disangka-sangka. Hahaha.
DeleteUntung ada nick fury, tiap dia muncul bareng carol danvers film kembali bercita rasa marvel (Dengan guyonan khasnya). Sulit utk memahami sosok kapten marvel dg alur cerita yg maju mundur, kurang memiliki ikatan emosi dengannya, juga... sebagai sosok yang konon terkuat di MCU sih aku berharap aksinya bakal gila2an di sini. hmmm....
ReplyDeleteYoih. Gelaran laganya kurang asyik padahal banyak momen yang memungkinkan itu terjadi. Sepertinya disengaja buat disimpan di End Game. Ya semoga saja.
DeletePerubahan sikap Skrull si makhluk ijo terlalu drastis ya yang tadinya serem jadi lembut sambil nyedot minuman...kurang seru ah filmnya
ReplyDeletePadahal sebagian penonton udah bisa nerka Skrull bakal di pihak mana. Semestinya emang nggak perlu disamarkan sedemikian seremnya karena emang saat mereka mengungkap jati diri berasa agak aneh.
DeletePlease, it's "Endgame", not "End Game".
ReplyDeleteFilem terbaik yang wajib di tonton dan wajib nanti di review gan, Masih trailer https://youtu.be/rGIIlSk8qqo
ReplyDeleteClick here >>> Watch Captain Marvel Full Movie Online HD 1080p
ReplyDeleteClick here >>> Watch Captain Marvel Full Movie Online HD 1080p
Click here >>> Watch Captain Marvel Full Movie Online HD 1080p
Click here >>> Watch Captain Marvel Full Movie Online HD 1080p
ReplyDeleteClick here >>> Watch Captain Marvel Full Movie Online HD 1080p
Click here >>> Watch Captain Marvel Full Movie Online HD 1080p