May 31, 2019

REVIEW : THE GANGSTER THE COP THE DEVIL


“For a gangster, reputation is everything.”

Bagaimana jadinya saat seorang pemimpin gangster yang ditakuti oleh banyak pihak mesti bekerja sama dengan seorang detektif muda yang cenderung congkak dalam meringkus seorang pembunuh berantai yang licin? Terdengar seperti premis yang menggiurkan untuk diusung oleh sebuah film beraroma action-thriller dengan sedikit sentuhan komedi, bukan? Dan memang, ini adalah premis yang diutarakan The Gangster The Cop The Devil garapan Lee Won-tae (Spellbound, Man of Will) yang konon kabarnya didasarkan dari peristiwa nyata yang pernah terjadi di Korea Selatan. Si pembuat film mencoba menghadirkan sebuah tontonan berpakem buddy movie dimana dua karakter dengan kepribadian bertolak belakang dituntut untuk membentuk suatu tim demi menuntaskan suatu misi secara bersama-sama. Dalam konteks film ini, dua karakter ini berasal dari dua dunia yang sangat jauh berbeda: yang satu adalah pemimpin organisasi kriminal yang sebisa mungkin dihindari apabila tidak ingin terjerat persoalan pelik (bahkan oleh pihak kepolisian sekalipun!), sementara satunya adalah detektif ambisius yang acapkali bertindak diluar aturan termasuk mencampuri urusan gangster yang memiliki koneksi dengan para penegak keadilan. Mengingat mereka mempunyai latar belakang, jalan pemikiran, serta tujuan hidup yang tak selaras, bukankah ini mengusik keingintahuanmu untuk mengetahui cara kerja mereka? Maksud saya, mereka jelas bukan pasangan yang biasa-biasa saja.

May 24, 2019

REVIEW : ALADDIN (2019)


“I made you look like a prince on the outside, but I didn’t change anything on the inside.”

Saat pertama kali menengok barisan promosi yang ditebar untuk Aladdin, dahi ini tiba-tiba mengernyit dan sikap skeptis lantas merasuki diri. Yakin nih Disney membuat ulang salah satu film animasi tersakral mereka dalam tampilan yang lebih layak untuk dirilis di Disney Channel alih-alih bioskop seperti ini? Ya, tidak hanya penuh keraguan, saya pun julid dan suudzon. Padahal belum melihat secara langsung hasil kinerja Guy Ritchie yang sebelumnya menggarap Sherlock Holmes (2009) beserta King Arthur: Legend of the Sword (2017) tersebut. Disamping trailer yang sama sekali tidak menggairahkan, tiga faktor lain yang memantapkan keraguan adalah: 1) perusahaan film berlogo tikus ini baru saja melepas interpretasi baru untuk Dumbo yang luar biasa hambarnya, 2) jejak rekam sang sutradara yang berjibaku di genre laga tak ramah keluarga, dan 3) jajaran pemainnya tak nampak menjanjikan. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari versi live action untuk film animasi rilisan tahun 1992 ini? Tanpa membawa bekal berwujud ekspektasi tinggi, saya pun memutuskan untuk menyaksikan Aladdin di studio terbesar yang telah disokong oleh teknologi suara Dolby Atmos. Keyakinan saya bahwa apa yang akan tersaji di layar adalah parade kekonyolan secara perlahan tapi pasti mulai tergerus seiring berjalannya durasi. Saya yang tadinya kemrungsung (baca: hati tidak tenang) lantaran membaca berita-berita buruk, tiba-tiba merasakan sensasi rasa yang tidak pernah diperkirakan bakal muncul setelah menonton Aladdin yakni bahagia. Pepatah bijak yang berbunyi “jangan menilai buku dari tampilan luarnya” ternyata memang benar adanya dan saya baru saja ditampar keras-keras olehnya.

May 22, 2019

REVIEW : BRIGHTBURN


“Whatever you’ve done, I know there is good inside you.”

Mesti diakui, Brightburn mempunyai premis yang menggoda selera. Coba bayangkan, bagaimana seandainya Clark Kent – sosok dibalik kostum Superman – yang berasal dari planet lain ternyata memiliki motif berbeda saat mendiami bumi? Alih-alih menyelamatkan planet barunya dari cengkraman manusia-manusia lalim, dia justru menciptakan huru-hara secara masif dengan mendayagunakan kekuatannya yang luar biasa. Terdengar menjanjikan sekaligus mengerikan di waktu bersamaan, bukan? Gagasan untuk mendeskontruksi hikayat kepahlawanan yang telah kita akrabi selama puluhan tahun ini mencuat dari James Gunn yang kita kenal sebagai sutradara dwilogi Guardians of the Galaxy. Selagi lebih memilih untuk menduduki kursi produser lantaran disibukkan oleh proyek besar Marvel Cinematic Universe, James menyerahkan amanat kepada saudara beserta sepupunya, Mark Gunn dan Brian Gunn, guna mengejawantahkan ide ini ke dalam bentuk skenario. Sementara untuk mengomandoi proyek, kepercayaan diberikan kepada David Yarovesky yang jejak rekamnya mencakup film seram bertajuk The Hive (2014) beserta beberapa film pendek. Menilik betapa menjanjikannya gagasan yang diusung oleh Brightburn yang memberikan pelintiran terhadap Superman, sukar untuk tidak penasaran seraya bertanya-tanya, “akankah film benar-benar mampu memenuhi potensi yang dipunyainya atau malah hanya akan memperpanjang daftar kegagalan tontonan yang mengusung high concept?”

May 20, 2019

REVIEW : JOHN WICK: CHAPTER 3 - PARABELLUM


“If you want peace, prepare for war.”

Saat menonton John Wick untuk pertama kali di tahun 2014, saya tak menyangka sama sekali judul ini akan bertransformasi menjadi salah satu franchise laga yang instalmen terbarunya selalu dinanti-nanti kehadirannya. Memang benar jilid pertamanya terhidang memuaskan yang sedikit banyak melontarkan ingatan kepada dwilogi The Raid yang sangat gahar dalam urusan koreografi laga. Saya pun tak keberatan menyebutnya sebagai film laga yang tak sepatutnya dilewatkan begitu saja lantaran sudah teramat jarang mendapati spektakel seru semacam ini dikeluarkan oleh Hollywood. Tapi berkembang menjadi franchise, itu sesuatu hal berbeda meski saya jelas sama sekali tidak keberatan. Disamping judul ini terbilang handal dalam memacu adrenalin penonton berkat menu utamanya yang menyajikan baku hantam maupun gun-fu bertegangan tinggi, Chad Stahelski selaku sutradara dan Derek Kolstad selaku penulis skrip juga mengkreasi semesta penceritaan yang menarik untuk diikuti. Kita mengetahui sekelumit mitologinya di film pertama, lalu kita diberi penjabaran lebih mendalam mengenai world building melalui jilid kedua. Dari sana, saya menyadari bahwa dunia kriminal yang ditekuni oleh sang karakter tituler ternyata tidak sesederhana kelihatannya. Ada hirarki di dalamnya, ada aturan-aturan sangat terperinci yang wajib ditaati, serta ada pula “kompetisi berburu antar pembunuh bayaran”. Terdengar menggugah selera, bukan? Itulah mengapa saat penghujung film kedua memberi petunjuk mengenai keberadaan semesta yang lebih luas, saya tak kuasa menantikan kemunculan instalmen ketiga karena selalu dibayang-bayangi oleh keingintahuan terhadap nasib John Wick (Keanu Reeves) pasca dia memutuskan untuk membangkang dari peraturan yang telah ditetapkan oleh kaum elit.

May 18, 2019

REVIEW : POKEMON: DETECTIVE PIKACHU


“I don’t need a Pokemon. Period.”

“Then what about a world class detective? Because if you wanna find your pops, I’m your best bet.”

Apakah ada diantara kalian yang semasa kecilnya terobsesi dengan Pokemon? Mantengin setiap episode dari versi animenya yang tayang saban hari Minggu pagi, hafal diluar kepala setiap spesies berikut kekuatan-kekuatannya (dan juga lagu temanya!), sampai berharap bisa menjadikan pelatih Pokemon sebagai profesi utama. Adakah? Jika ada, well, berarti kita sama. Pokemon adalah bagian dari masa kecil saya dan pada masa itu, diri ini benar-benar berharap bahwa mereka memang nyata adanya sehingga saya bisa melatih Charizard, Squirtle, Bulbasaur, Pikachu, maupun dua jenis Pokemon yang tak bisa diharapkan: Magikarp dan Psyduck. Sounds fun! Tapi seiring meredupnya popularitas anime ini di Indonesia lantaran kanal televisi lokal memberhentikan penayangannya dan saya bukan pula seorang gamer sejati, ikatan dengan Pikachu bersama kawan-kawannya pun perlahan mengendur. Tak lagi mengikuti perkembangannya, tak lagi mengenal para karakternya yang semakin bejibun (versi game sendiri sudah mencapai generasi ke-7!). Saya hanya sesekali mendengar nama ini disebut tatkala muncul versi terbaru dari game dan film animasinya yang masih sangat populer di Jepang. Hubungan dengan para monster menggemaskan yang terputus ini lantas mengalami rekonsiliasi ketika Nintendo menciptakan gebrakan dengan meluncurkan edisi anyar berbasis augmented reality yang memungkinkan pemegang ponsel cerdas ikut bermain tanpa harus memiliki konsol gim tertentu, yakni Pokemon Go. Keberadaan judul ini menguarkan aroma nostalgia kuat yang kemudian dimanfaatkan secara cerdik oleh Warner Bros. untuk melepas Pokemon dalam format film layar lebar berdasar salah satu judul permainan bertajuk Detective Pikachu.
Mobile Edition
By Blogger Touch