June 13, 2019

REVIEW : SINGLE PART 2


“Hidup itu penuh kejutan. Ada yang bikin sedih, ada yang bikin seneng. Dan gue harus selalu siap-siap, karena gue nggak pernah tahu kejutan apa yang menanti selanjutnya.”

Sedari menerjunkan diri ke dunia perfilman, Raditya Dika hampir selalu mengapungkan topik pembicaraan seputar “kenelangsaan jomblo” dalam rangkaian film yang dibintangi maupun diarahkannya. Berhubung sambutan publik terhitung hangat dan dia kerap menemukan angle menarik buat dikulik, saya bisa memahami keputusannya untuk tetap mengedepankan isu tersebut. Baru beberapa tahun terakhir ini Dika mencoba keluar dari zona nyamannya dengan melepas judul-judul seperti Hangout (2016), The Guys (2017), beserta Target (2018), yang ternyata memperoleh penerimaan beragam. Bagi saya pribadi, terasa ada sesuatu yang ‘hilang’ dari ketiga film tersebut karena Dika memang sejatinya menunjukkan kekuatan berceritanya tatkala dia berkutat dengan problematika jomblo. Hanya saja, mengingat dia telah melepas status lajang dan sudah pula dikaruniai momongan, saya seketika dibuat bertanya-tanya. Akankah Dika masih mempunyai kepekaan dalam ngelaba maupun bertutur soal pahit manisnya seorang bujangan yang tak memiliki ikatan asmara? Menyadari penuh bahwa dirinya telah mengucap janji suci pernikahan dan tak lagi kelabakan mencari pendamping hidup yang setia menemani, maka film terbarunya yang merupakan kelanjutan dari film rilisan tahun 2015, Single Part 2, berupaya mengedepankan pembahasan lebih dewasa ketimbang sekadar single shaming. Sebuah pendekatan yang mesti diakui berani menilik pangsa pasarnya meski upaya pembaharuan ini sayangnya tak lantas menjadikannya lebih menggigit dari sang predesesor.

June 11, 2019

REVIEW : SI DOEL THE MOVIE 2


“Ada yang pengen aku tanya ke kamu. Do you still love Doel?”

“Kenapa kamu tanya begitu?”

Pada penghujung Si Doel The Movie (2018) yang memperoleh resepsi memuaskan baik secara kritikal maupun finansial, penonton dibikin gregetan tatkala Sarah (Cornelia Agatha) melepas kepulangan suaminya, Doel (Rano Karno), di pelataran Bandara Schiphol, Belanda. Sarah menyerahkan sejumlah dokumen yang terbungkus rapi dalam sebuah amplop berwarna coklat seraya berujar, “ceraikan aku, Doel.” Seperti halnya penonton, Doel pun tertegun. Dia tak menduga, reuninya dengan sang istri dan pertemuan pertamanya dengan putra kandungnya yang juga bernama Dul (Rey Bong) diakhiri pernyataan mengejutkan yang membuat air mata mengucur. Berhubung momen ini berlangsung di menit-menit terakhir, Rano Karno yang turut bertindak selaku sutradara sekaligus penulis skenario enggan memberikan konklusi melalui sikap maupun ujaran tegas yang meluncur dari mulut si karakter tituler. Beliau menggantungkannya yang menyebabkan para penggemar gemas sekaligus bertanya-tanya. Apakah ini berarti Zaenab (Maudy Koesnaedi) dapat bernafas lega karena pesaingnya telah mengibarkan bendera putih? Oh tentu saja tidak secepat itu, Zubaidah. Beberapa detik selepas kita dihadapkan pada adegan yang menggerus hati tersebut, Rano memberi pengumuman penting: kisah berlanjut di Si Doel The Movie 2. Kegalauan Doel dalam mengindahkan permintaan Sarah atau mengabaikannya dijadikan sebagai landasan untuk membentuk konflik lebih besar di film yang berarti kisah cinta segitiga antara Doel, Sarah, dan Zaenab masih belum akan menjumpai solusinya dalam waktu dekat.

June 9, 2019

REVIEW : HIT & RUN (2019)


"Ini bukan fatamorgana. Ini realita yang terpampang nyata.”

Selepas kesuksesan The Raid (2011), trio Iko Uwais-Joe Taslim-Yayan Ruhian kebanjiran tawaran ‘manggung’ di belahan dunia lain. Sesekali ketiganya berlaga di film Indonesia, tapi belum kesampaian juga untuk dipertemukan lagi dalam formasi lengkap. Terkadang hanya Iko dengan Joe, terkadang cuma Yayan dengan Iko, dan lebih sering berjalan sendiri-sendiri. Melalui Hit & Run, Ody C. Harahap (Sweet 20, Orang Kaya Baru) mencoba memenuhi permintaan para penggemar meski salah satu dari ketiganya yakni Iko (menggunakan bendera Uwais Team) hanya bertindak di belakang layar sebagai penata laga. Menggoda? Jelas. Terlebih sudah cukup lama saya menantikan pertandingan ulang yang lebih greget antara Joe dengan Yayan. Tapi berbeda halnya dengan film yang membesarkan nama dua pelakon tersebut, Hit & Run tak sepenuhnya menjejakkan diri di ranah laga. Ada perpaduan bersama genre komedi yang akan sedikit banyak melontarkan ingatanmu ke sejumlah film bertipe sama dari Hong Kong yang dibintangi oleh Jackie Chan (Police Story) atau Stephen Chow (Fight Back to School). Sebuah perbandingan yang sulit untuk dihindari lantaran film mengaplikasikan pendekatan senada serta mengandalkan narasinya kurang lebih serupa yang menempatkan seorang polisi dalam misi meringkus gembong kriminal berbahaya. Dalam konteks film ini, polisi bersangkutan dibintangi oleh Joe Taslim dengan gaya yang tergolong lain dari biasanya.

June 7, 2019

REVIEW : GHOST WRITER (2019)


“Lemes amat kayak nggak ada semangat hidup.”

“…”

“Semangat mati!”

“…”

“Ya semangat lah pokoknya.”

Seorang kawan pernah bersabda, “dari semua genre film, komedi dan horor termasuk yang paling sulit dibikin karena tawa dan takut itu subjektivitasnya paling tinggi.” Berhubung saya kerap menjumpai situasi dimana beberapa teman maupun pembaca ulasan mengajukan keberatan dengan menyatakan “ini nggak serem ah! Ini nggak lucu ah!” sementara saya merasakan sensasi lucu dan seram begitu juga dengan banyak penonton di bioskop, saya pun mengangguk setuju. Lebih sukar menjumpai film dari dua genre ini yang memperoleh resepsi bagus secara universal ketimbang genre lain semisal drama atau laga. Maka begitu mendengar Bene Dion Rajagukguk (sebelumnya menulis skrip untuk Suzzanna Bernafas dalam Kubur dan Stip & Pensil) mencoba untuk menggabungkan genre komedi dengan horor dalam debut penyutradaraannya, Ghost Writer, saya jelas terkedjoet. Sebuah upaya yang jelas sangat berani terlebih jarang-jarang ada sineas dalam negeri yang sanggup mengeksekusinya dengan baik. Malah, masih segar di ingatan, tandem ini memberi ‘mimpi buruk’ di permulaan era 2010-an saat marak diluncurkan film komedi horor berkualitas alamakjang yang membuat penonton lari tunggang langgang menjauhi bioskop. Menengok jejak rekam Bene, tentu sulit untuk membayangkan dia akan menggarapnya sesuka hati walau jelas ada sebersit keraguan di benak lantaran seperti telah dijabarkan sebelumnya, ini bukan perpaduan yang mudah. Jika Bene berhasil menaklukkannya, sudah barang tentu dia seketika bergabung dalam jajaran “sutradara yang harus kamu perhatikan.”

June 2, 2019

REVIEW : GODZILLA: KING OF THE MONSTERS


“Long live the king.”

Raja Kaiju yang telah belasan tahun terlelap akhirnya dibangunkan kembali oleh Legendary Pictures demi memenuhi ambisi mereka dalam merengkuh pundi-pundi dollar. Ya, pasca Godzilla (1998) yang dinilai gagal lantaran kurang merepresentasikan monster ikonik asal Negeri Sakura dan terlalu bergaya Hollywood, mereka mencoba memperbaikinya melalui versi upgrade yang dilepas di tahun 2014. Meski beberapa pihak menilai elemen drama manusianya kelewat kental sampai-sampai menggerus porsi tampil Gojira, tak bisa dipungkiri kalau versi anyar ini mencetak sukses. Dari mulanya hanya terpikir untuk menciptakan standalone movie, pihak studio lantas mengekspansinya menjadi sebuah franchise berjulukan MonsterVerse yang diniatkan untuk mencapai puncaknya dalam pertarungan akbar yang memertemukan monster berukuran gigantis yang punggungnya bergaya Mohican menyerupai stegosaurus ini dengan kera raksasa yang bersemayam di pedalaman bernama Kong. Namun sebelum kita menyaksikan Godzilla vs. Kong yang direncanakan rilis pada tahun depan, kita terlebih dahulu disuguhi Kong: Skull Island (2017) yang memaparkan latar belakang si Kong dan Godzilla: King of the Monsters yang difungsikan untuk mengelaborasi mitologi-mitologi terkait Godzilla yang telah diperkenalkan pada lima tahun silam. Guna memenuhi aturan tak tertulis dari sebuah sekuel, maka Michael Dougherty (Trick r Treat, Krampus) pun memperbesar cakupan skala dengan menambah partisipan dalam pertarungan monster.
Mobile Edition
By Blogger Touch