Pages

June 13, 2019

REVIEW : SINGLE PART 2


“Hidup itu penuh kejutan. Ada yang bikin sedih, ada yang bikin seneng. Dan gue harus selalu siap-siap, karena gue nggak pernah tahu kejutan apa yang menanti selanjutnya.”

Sedari menerjunkan diri ke dunia perfilman, Raditya Dika hampir selalu mengapungkan topik pembicaraan seputar “kenelangsaan jomblo” dalam rangkaian film yang dibintangi maupun diarahkannya. Berhubung sambutan publik terhitung hangat dan dia kerap menemukan angle menarik buat dikulik, saya bisa memahami keputusannya untuk tetap mengedepankan isu tersebut. Baru beberapa tahun terakhir ini Dika mencoba keluar dari zona nyamannya dengan melepas judul-judul seperti Hangout (2016), The Guys (2017), beserta Target (2018), yang ternyata memperoleh penerimaan beragam. Bagi saya pribadi, terasa ada sesuatu yang ‘hilang’ dari ketiga film tersebut karena Dika memang sejatinya menunjukkan kekuatan berceritanya tatkala dia berkutat dengan problematika jomblo. Hanya saja, mengingat dia telah melepas status lajang dan sudah pula dikaruniai momongan, saya seketika dibuat bertanya-tanya. Akankah Dika masih mempunyai kepekaan dalam ngelaba maupun bertutur soal pahit manisnya seorang bujangan yang tak memiliki ikatan asmara? Menyadari penuh bahwa dirinya telah mengucap janji suci pernikahan dan tak lagi kelabakan mencari pendamping hidup yang setia menemani, maka film terbarunya yang merupakan kelanjutan dari film rilisan tahun 2015, Single Part 2, berupaya mengedepankan pembahasan lebih dewasa ketimbang sekadar single shaming. Sebuah pendekatan yang mesti diakui berani menilik pangsa pasarnya meski upaya pembaharuan ini sayangnya tak lantas menjadikannya lebih menggigit dari sang predesesor.

Di penghujung film pertama, kita melihat Ebi (Raditya Dika) akhirnya bisa bersatu dengan perempuan yang ditaksirnya, Angel (Annisa Rawles yang masih saja memesona), di pesta pernikahan sang adik, Alfa (Frederik Alexander). Kala itu, penonton memang tidak mendapati keduanya memproklamirkan hubungan asmara mereka dengan berciuman atau saling melontarkan tiga kata keramat. Saya sempat menduga, si pembuat film ingin menyampaikannya secara implisit melalui kesediaan Angel untuk menggandeng lengan Ebi di pesta pernikahan. Tapi keberadaan Single Part 2 kemudian mengonfirmasi segalanya: mereka ternyata tak pernah jadian. Apa pasal? Rupa-rupanya, lidah Ebi menjadi kelu setiap kali hendak mengutarakan perasaannya kepada Angel. Dia juga tak ingin pertemanan mereka retak andaikata Angel menolak dan hubungan mereka tiba-tiba menjadi janggal. Kegalauan si karakter utama untuk “nembak atau tidak” ini terus bertahan sampai beberapa tahun selepas dia memperoleh kesempatan emas untuk menyatakan cintanya di akhir jilid terdahulu. Ebi masih betah melajang, sementara karakter yang dimainkan oleh Pandji beserta Babe Cabiita dikisahkan telah menikah. Lantaran tak lagi memiliki support system, Ebi memutuskan pindah ke kos baru dimana dia berkawan dengan jomblo menahun, Nardi (Ridwan Remin), dan pengantin baru, Johan (Yoga Arizona). Dari mereka, Ebi memperoleh dua perspektif berbeda mengenai status lajang yang lantas mendorongnya untuk menciptakan perubahan bagi hidupnya sebelum usia menapaki kepala 3.


Dalam berbagai kesempatan, Dika pernah berujar bahwa Single Part 2 bukanlah suatu upaya mendegradasi status lajang dengan menjadikannya sebagai bahan olok-olok melainkan suatu upaya untuk mengajak penonton berkontemplasi. Merenungkan tujuan dibalik pilihan untuk tetap melajang, merenungkan korelasi antara status lajang dengan kebahagiaan. Apakah benar menjomblo secara otomatis mendatangkan kesengsaraan akibat kesepian? Atau jangan-jangan, pemikiran tersebut muncul akibat tekanan masyarakat yang kerap mengasosiasikan pernikahan sebagai solusi terbaik untuk memperoleh kebahagiaan? Ya, tak seperti pendahulunya yang cenderung enerjik dan gegap gempita, laju penceritaan Single Part 2 tergolong tenang mengikuti pendekatan kontemplatif yang ditempuh oleh si pembuat film. Gagasan Dika untuk memperbincangkan tentang status lajang secara dewasa ini mesti diakui memang terdengar menggugah selera… di atas kertas. Lebih-lebih, saya sebenarnya lelah mendengar ocehan berkonotasi negatif dari lingkungan sekitar terhadap kaum bujang: bujang berarti nelangsa, bujang adalah nasib. Hanya saja, Dika mengalami kendala tatkala mengejawantahkan ide menariknya ini ke dalam bahasa gambar. Usahanya untuk berceloteh secara mendalam terganjal oleh narasi kelewat berlarut-larut mengenai “misi menembak Angel” yang belakangan jalan di tempat sampai mengaburkan pesan yang hendak diutarakan, sementara candaan khasnya yang tetap dipertahankan agar penggemar tidak merasa teralienasi mencapai titik garing level lanjut akibat konfigurasi pemain yang kurang ciamik.

Seperti diketahui bersama, guyonan dalam film-film kreasi Dika seringkali bergantung pada karakter-karakter pendukung ketimbang karakter yang dimainkan oleh Dika sendiri. Maka saat Pandji dan Babe yang sebetulnya lucu di film pertama dihempas, saya telah was-was. Apa mungkin penggantinya bisa menandingi kebodoran mereka? Saya meyakini, Ridwan Remin dan Yoga Arizona tentu telah berjuang untuk menciptakan keriuhan di sekitar karakter Ebi. Tapi apa daya, comic timing keduanya seringkali meleset dan mereka tidak pula dibekali dialog sarat tonjokan-tonjokan kocak yang menyebabkan kehadiran mereka urung berkontribusi terhadap pemberian nyawa film. Mereka ada atau lenyap dari layar, tidak ada perbedaan signifikan. Apalagi guliran penceritaan sepenuhnya terfokus kepada karakter Ebi yang berjuang mengenyahkan status lajangnya. Berhubung derai tawa tulus berkat celetukan atau momen-momen komediknya nyaris tak terdeteksi nadinya, saya pun mengalihkan harapan ke elemen percintaan dan dramatik yang sekali ini ditekankan oleh Dika. Berbeda dengan lawakannya, nada serius dalam Single Part 2 tergolong cukup baik. Memang sih plot seputar pengungkapan cinta kepada Angel yang terus diulur-ulur menjadi repetitif, melelahkan dan membuat karakter Ebi menjadi kurang simpatik lantaran sikap insecure-nya berimbas pada lewatnya kesempatan emas yang tertampang nyata berulang kali. Durasi yang merentang sepanjang 128 menit pun sangat mungkin dipadatkan dengan memangkas seabrek adegan tak perlu seperti klub Jomblo yang entah apa faedahnya. Akan tetapi, ditengah-tengah penceritaan yang terasa kurang memiliki daya cengkram ini, saya masih menjumpai adanya beberapa adegan yang terkemas manis (seperti makan buah ceri di dalam mobil) atau menghangatkan hati (seperti perbincangan Angel dengan sang ibu) yang sedikit banyak membantu menyelamatkan Single Part 2 dari keterpurukan.

Acceptable (2,5/5) 


2 comments: