Pages

July 27, 2019

REVIEW : STUBER


“So, how do you know my dad?”

“He kidnapped me. We killed some people.”

Beberapa kali saya pernah mengemukakan, “pergi ke bioskop tanpa bawa ekspektasi dan ternyata film yang ditonton sangat menyenangkan adalah kejutan terbaik yang bisa diterima oleh pecinta film.” Tahun ini – atau lebih baik saya persempit menjadi libur musim panas di Negeri Paman Sam – saya mendapati beberapa kejutan manis yang membuat hati kian bungah setiap melangkahkan kaki ke bioskop. Pertama dari Aladdin yang ternyata gegap gempita, lalu Crawl yang rupa-rupanya bukan horor murahan dengan kemampuannya memberi daya cekam cukup tinggi, dan paling terbaru adalah Stuber yang semula saya lirik semata-mata lantaran dibintangi oleh aktor laga kebanggan Indonesia, Iko Uwais. Tidak pernah lebih. Tapi seperti halnya dua judul lain yang telah saya sebutkan, Stuber pun bikin saya kecelik. Memang betul bahwa film arahan Michael Dowse (Take Me Home Tonight, Goon) yang berada di ranah action comedy ini mempunyai jalinan pengisahan yang sangat formulaik. Kalian bisa seketika teringat dengan serentetan tontonan berkonsep buddy cop movie semacam Lethal Weapon (1987), Bad Boys (1995), Rush Hour (1998), sampai 21 Jump Street (2012). Yang kemudian menjadikannya (sangat) bisa dinikmati adalah kejituan tim kasting dalam memilih pemain.

Ya, menyandingkan Kumail Nanjiani (The Big Sick) yang mempunyai comic timing hebat dengan Dave Bautista (Drax dalam Guardians of the Galaxy) yang memberi kesan intimidatif adalah keputusan paling tepat yang dilakukan oleh Stuber. Mereka menghadirkan chemistry hidup yang membuat perjalanan menunggangi Uber sepanjang 93 menit terasa mengasyikkan. Tapi, tunggu tunggu… mengapa harus Uber? Tak ada alasan khusus selain, well, film ini menempatkan seorang pengemudi Uber sebagai karakter utama bernama Stu (Kumail Nanjiani). Menganut pada formula buddy cop movie, dia adalah implementasi dari “si kecil” bermulut ceriwis dengan skill bertarung ala kadarnya. Stu sendiri tidak mempunyai latar belakang sebagai penegak hukum. Pada jam kerja normal, dia mengais rejeki dari toko perabotan rumah tangga. Sementara di waktu luangnya, dia menambah penghasilan dengan mengendarai taksi online dibawah naungan Uber. Pertautan Stu dengan dunia kriminal yang identik dengan “barang haram”, tembak-tembakan, sampai kebut-kebutan dimulai setelah dia menerima permintaan menumpang dari Vic (Dave Bautista). Penglihatannya yang kabur membuat anggota kepolisian Los Angeles ini terpaksa “menyandera” Stu untuk mengantarkannya dalam meringkus pemasok obat-obatan terlarang, Tedjo (Iko Uwais), yang memiliki masa lalu dengan Vic.


Tak pelak, Stu terlibat dalam misi perburuan yang dijalankan oleh Vic. Berhubung harinya sedang sangat buruk dimana setiap penumpang memberinya nilai dibawah 5 bintang (mimpi buruk bagi ojol!), Stu pun mau tak mau mematuhi setiap permintaan Vic dengan harapan dia bersedia memberinya nilai sempurna. Berhubung kedua karakter ini memiliki karakteristik bertolak belakang – Stu cenderung selow sedangkan Vic senantiasa sepaneng – dan dunia mereka pun sangat berbeda, maka bisa diterka, gesekan demi gesekan terus mewarnai di sepanjang perjalanan. Mereka saling berargumen, saling cela, hingga saling gebuk-gebukan satu sama lain dalam salah satu adegan perkelahian paling lucu nan nyeleneh di tahun ini. Meski ada kalanya Dowse turut memberi penonton dengan sejumlah adegan laga yang beberapa diantaranya terhidang seru, seperti adegan pembuka berupa penyergapan di hotel yang menjadi ajang reuni bagi Dave Bautista dengan Karen Gillan (pemeran Nebula dalam Guardians of the Galaxy) atau tembak-tembakan di rumah sakit hewan yang terbilang brutal, keributan kecil-kecilan yang menyertai interaksi antara Stu dengan Vic adalah jualan utama yang dikedepankan oleh Stuber. Bagi saya, film memang menunjukkan kekuatan yang dipunyainya disini tatkala sang sutradara menghidupkan “mode komedi” yang berarti memperdengarkan kita dengan keluhan Stu dan erangan Vic lalu sesekali melontarkan komentar soal toxic masculinity yang secara tidak terduga dapat tersampaikan dengan baik.

Ndilalah, Kumail Nanjiani beserta Dave Bautista menyanggupi permintaan Dowse. Mereka membentuk chemistry hidup sebagai duo yang sulit dibayangkan bisa kompak dalam bekerja sama. Kumail kerap nyerocos perihal ketidaksanggupannya menghadapi kerasnya dunia penegak hukum, sedangkan Dave yang dideskripsikan sebagai pria tangguh enggan untuk berkompromi karena tujuannya hanya satu: menaklukkan Tedjo. Performa sangat baik dari kedua pelakon ini dimana Nanjiani berkesempatan pula unjuk gigi dalam melakoni adegan laga dan Bautista sesekali ikut berkelakar (well, polisi yang bertugas dengan penglihatan kabur jelas berpotensi kelucuan, kan?), mengompensasi lemahnya Stuber di sektor penulisan skrip yang cenderung tipis serta keputusan kurang bijak untuk memberi jatah tampil secuil kepada Iko Uwais. Menilik posisinya sebagai villain utama, saya terkejut melihat betapa disia-siakannya keberadaan Iko di film ini. Tidak hanya jarang mengucap dialog, keahliannya dalam bertarung pun tak ditonjolkan. Saat akhirnya Vic berjumpa kembali dengan Tedjo, saya mengira akan ada perkelahian besar yang terjadi. Tapi ternyata, skalanya tak lebih besar dibanding perkelahian di dalam toko perabotan yang bernuansa komedik. Mengecewakan memang, tapi (lagi-lagi) berkat penampilan asyik duo pemain utamanya, saya dapat mengampuninya. Paling tidak, saya masih menjumpai banyak kesenangan tatkala menonton Stuber yang nada pengisahannya membuat saya bernostalgia dengan buddy cop movie di era 80-90’an ini. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


3 comments:

  1. Ooommm bakal nge review parasite gaa??

    Btw gapapa iko disini dikit, aku udah naksir duluan sama kumail gara2 film the big sick 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Filmnya udah turun layar wkw

      Delete
    2. Di Jogja masih tayang dan berhubung baru nonton juga, akhirnya aku review. Hahaha. Tadinya mau ngulas Ma tapi males soalnya nggak oke.

      Delete