Pages

August 30, 2019

REVIEW : GUNDALA (2019)


“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah kehilangan rasa kemanusiaan.”

Ada banyak gegap gempita mengiringi perilisan Gundala. Entah itu disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar (Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan. Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan – hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian, mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran Bumilangit. Gundala yang memperoleh suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.

Mengingat ini adalah film pertama dari Gundala – tidak ada keterkaitannya dengan rilisan tahun 1981 – serta sajian pembuka dalam Jagat Sinema Bumilangit, maka sudah barang tentu si pembuat film memperlakukannya sebagai origin story. Di sini, penonton akan mendapati kisah awal mula si protagonis, Sancaka (Abimana Aryasatya), bertransformasi dari seorang satpam menjadi pahlawan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Perjalanan hidup Sancaka sendiri terbilang berat karena dia kehilangan kedua orang tuanya semasa masih menduduki bangku SD (diperankan oleh Muzakki Ramdhan). Sang ayah (Rio Dewanto) yang gigih dalam memperjuangkan hak-hak buruh ditemukan tewas dibunuh oleh pengkhianat, sementara sang ibu (Marissa Anita) tak pernah lagi pulang selepas memutuskan untuk merantau ke Tenggara demi memperoleh pekerjaan. Alhasil, Sancaka kecil pun terlunta-lunta. Guna menyambung hidup, dia memutuskan untuk mencari peruntungan di jalanan yang kerap membawanya terlibat masalah dengan para begundal-begundal serta mempertemukannya dengan Awang (Fariz Fajar) yang mengajarinya bela diri. Berkat gemblengan Awang, Sancaka tumbuh sebagai pribadi yang lebih tangguh serta enggan lagi mencampuri urusan orang lain demi keamanan diri. Sebuah prinsip yang terus digenggamnya sampai tumbuh dewasa. Sancaka yang memilih untuk tidak peduli pada kondisi sekitar ini seketika diuji tatkala tetangganya di rusunawa, Wulan (Tara Basro), meminta bantuannya untuk menghalau sekumpulan preman dalam mengobrak-abrik pasar setempat. Karakter jagoan kita ini pun lantas dihadapkan pada pilihan dilematis antara bertahan pada prinsipnya atau menggadaikannya demi kemanusiaan.


Seperti telah ditonjolkan melalui materi promosinya, Gundala memilih nada penceritaan yang cenderung mendekati sederet judul dalam semesta film binaan DC Entertainment ketimbang Marvel Studios. Suram, depresif, serta kompleks adalah jalan ninjanya. Sebuah pendekatan yang memungkinkan bagi sang sutradara untuk mempertahankan ciri khasnya. Ya, meski bertengger di genre superhero, nada pengisahan Gundala akan membuatmu sedikit banyak teringat pada gelaran horor khususnya di paruh awal yang menyoroti masa kecil Sancaka. Kita melihatnya terkapar sendirian di rumah dengan penerangan minimalis, hujan deras acapkali mengguyur disertai suara gemuruh, sampai dia mengalami penyiksaan oleh bocah-bocah gelandangan yang menyayat telinganya setelah Sancaka memutuskan untuk mengadu nasib di jalan. Ini masih belum ditambah penggambaran suasana Jakarta di sekitar sang jagoan yang dipenuhi dengan kekacauan, sungguh bikin sepaneng. Selama kurang lebih 30 menit, Joko memilih untuk meletakkan fokus narasinya pada kenelangsaan Sancaka yang menempanya menjadi pribadi tangguh. Dia tidak tahan melihat ketidakadilan yang mengoyak rasa kemanusiaannya sehingga dia tak jarang terlibat dalam situasi tak semestinya. Diperagakan dengan sangat baik oleh Muzakki Ramdhan yang mempunyai kapasitas mumpuni dalam olah emosi, penonton pun terikat lalu bersimpati pada karakter Sancaka. Kita ingin melihatnya memperoleh kehidupan lebih baik, kita ingin melihatnya bertransformasi menjadi jagoan bernama Gundala, dan kita ingin melihat sepak terjangnya dalam membasmi kemungkaran di bumi pertiwi. Hingga pertengahan durasi, Joko setidaknya telah menjalankan tugas dengan semestinya dalam mengenalkan asal muasal dari sosok dibalik karakter tituler.

Akan tetapi, selepas paruh awal yang menggigit, Gundala secara perlahan tapi pasti mulai terasa goyah. Penyebab utamanya adalah keinginan Joko untuk membahas banyak hal sementara durasi tidak memadai. Disamping melontarkan kritik terhadap dunia politik masa kini yang salah satunya menyoroti soal wakil rakyat yang justru lebih akrab dengan mafia ketimbang menyalurkan aspirasi rakyat, film turut mengedepankan plot mengenai transformasi Sancaka dewasa menjadi Gundala, Wulan yang dirundung teror dari sekelompok preman, kemunculan villain bernama Pengkor (Bront Palarae) yang mengendalikan para politikus korup, tersebarnya “serum amoral” yang menciptakan huru hara di berbagai penjuru Indonesia, sampai salah satu rekan Pengkor, Ghazul (Ario Bayu), yang rupanya menyimpan agenda tersendiri. Terasa penuh sesak, bukan? Dan memang itulah yang terjadi. Plot yang bercabang-cabang ini menyulitkan penonton untuk melihat perkembangan Sancaka sebagai seorang jagoan secara utuh. Saya masih kebingungan perihal cara kerja kekuatannya, apa saja yang sanggup dilakukannya, dan bagaimana kekuatan ini mempengaruhi tubuhnya. Secara ujug-ujug, dia sudah sangat mahir mengendalikan petir yang muncul dari tangannya. Bagaimana bisa? Maksud saya, dia nyaris tak tampak canggung dengan anugerah ini. Saya paham sih Joko ingin berbicara banyak hal demi memantik kepenasaran penonton mengenai apa yang selanjutnya menanti di Jagat Sinema Bumilangit. Hanya saja, sesaknya narasi ini malah mengurangi intensitas yang sejatinya telah dipupuk dengan baik di menit-menit pembuka. Ada koneksi yang terputus dengan karakter Sancaka yang telah susah payah diperagakan secara apik oleh Abimana Aryasatya, sedangkan Pengkor yang tampak intimidatif di awal kemunculannya malah terbayangi oleh Ghazul.


Saya benar-benar seperti orang tersesat saat Gundala berada di paruh akhir karena informasi terus bergulir secara silih berganti tanpa ada pendalaman. Satu yang paling sayangkan, anak-anak buah Pengkor. Mereka ditampilkan sebagai mesin pembunuh penuh gaya dimana masing-masing memiliki identitas berbeda, tapi begitu diterjunkan ke medan pertempuran, mereka ternyata bukanlah tanding sepadan bagi jagoan kita. Langsung keok dalam sekali hantam, menyia-nyiakan tampilan beserta jajaran pemain yang melakoninya. Koreografi laga yang melibatkan mereka di momen klimaks pun jauh dari kata greget serta kurang bergairah, padahal Gundala memiliki beberapa kesempatan baku hantam yang cihuy di separuh awal. Gemas, kan? Begitulah yang saya rasakan ketika menyaksikan film yang laju penceritaan di separuh akhirnya mendadak ngebut seolah-olah ingin cepat rampung ini.  Saya betul-betul terkejut saat mendapati Gundala ternyata lebih bermasalah di sektor narasi daripada CGI yang sekali ini mesti diakui cukup mulus. Kenapa film tidak bertutur secara sederhana mengenai Sancaka dan Wulan saja? Mengapa harus membuat skala pengisahan yang sedemikian luas di jilid pertama dimana karakter utamanya sendiri belum terbangun dengan baik? Jika saja film tidak menumpuk banyak persoalan, bukan tidak mungkin hasilnya akan lebih ciamik. Karena jujur, sekalipun ada kekecewaan menggelayuti diri, Gundala masih berhasil membangkitkan semangat saya untuk menantikan film-film lain di Jagat Sinema Bumilangit yang semoga saja memperoleh penanganan lebih baik.

Note : Jangan buru-buru keluar, ada adegan tambahan menanti.

Acceptable (3/5)


  

27 comments:

  1. kirain bakal dapat Oustanding min, tapi apa pun tanggapan orang2, saya bakal tetap nonton nya. Karena sangat jarang kan film indonesia bergenre superhero kayak gini. 😁😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh jelas tetap wajib ditonton. Pengalaman menonton orang kan beda-beda. Kemarin sewaktu nonton banyak yang ngasih tepuk tangan kok. Memang masih sangat layak buat diapresiasi terlepas dari kekurangannya 😁

      Delete
    2. terlepas dgn adegan aksi yg terasa kurang, Gundala ini ternyata asyik sekali min, banyak kejutan karakternya dgn selipan humor yg buat tertawa. dan setuju aura horor thriller nya joko anwar terasa sekali, apalagi adegan ilusi benar-benar jenius.

      Delete

  2. Film Joko Anwar satu ini, sangat kental mengadopsi konsep di film Batman Begins dan The Dark Knight dicampur dengan Brightburn.

    Tone drama dan warna filmnya yang dark banget, dibalut sama Thriller dan Horror serta menyinggung perpolitikan dalam negeri, semua berkumpul jadi satu. Style Joko Anwar sangat terlihat di sini.

    Sound design yang rapi. Scoring music ala Hans Zimmer. Post ending credit ala Marvel Cinematic Universe. Benar-benar sedang mengadopsi film-film superhero ala Hollywood. Apalagi Bumi Langit memang mulai membuat superhero universe-nya sendiri.

    Beberapa efek dan teknis visual keren. Art direction yang juga baik, terutama dalam segi kostum dan make-up.

    Sayang, masih menyisakan beberapa plot hole yang mengganggu logika. Dialog-dialog yang kaku. Camera work yang kurang baik di beberapa action sequence membuat penonton sedikit terdistorsi. Bahkan ada yang pergerakan kameranya terasa kurang apik dan dipaksakan meski punya motivasi tertentu.

    Film ini, bagi saya pribadi, SANGAT TIDAK BAIK UNTUK DITONTON ANAK-ANAK DI BAWAH USIA 17 TAHUN! Saya sangat tidak menganjurkan para orang tua untuk membawa anaknya menonton film ini meski ini kisah superhero. Banyak violence scene dan bahkan dilakukan oleh anak-anak juga yang bisa menjadikan contoh yang kurang baik bagi generasi muda bangsa.

    Meski saya tetap kasih apresiasi dan thumbs up buat Joko Anwar di film ini.

    Rate: 7.5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah terima kasih banyak udah ikutan berbagi ulasan dan pemikiran di sini. Aku sepakat dengan poin-poin yang kamu sampaikan.

      Agak heran sebenarnya film ini bisa lolos dengan rating 13+ dari LSF karena seperti yang kamu bilang, unsur kekerasannya cukup pekat. Tone nya juga kelewat gelap sih buat penonton di bawah usia 17.

      Delete
  3. Untuk ukuran film superhero pertama (?) di Indonesia, tentunya ini film masih lumayan bgt. Agak berlebihan klo sy kasih skor 4/5, mengingat narasinya emang terkesan terburu2.

    Ada 2 hal yg bikin agak cringe sebetulnya : istilah serum amoral (i mean.. What kind of serum is that exactly?) dan hadirnya anak2 buah Pengkor yg agak2 show off gimanaaa gitu tp akhirnya ternyata bukan tanding sepadan buat Gundala.

    Untungnya ada kejutan manis di akhir yg bikin sy penasaran ingin nonton part 2nya. Kemunculan aki2 yg diperankan Sujiwotejo bener2 memorable !!

    Cukup seru sih, tp gak bikin sy pengen nonton 2x 😂.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes. Endingnya itu yang bikin penasaran buat nunggu kelanjutannya. Seperti apa sih Ghazul dan Ki Wilawuk ini? Apakah mereka villain yang berbahaya seperti tampaknya? Mudah mudahan nggak seperti Pengkor yang ternyata mudah ditaklukkan oleh Gundala.

      Delete
  4. Kalau di film Gundala jadul, serum itu namanya Serum morfin yang bisa membuat otak manusia yang disuntikkan kacau balau, mungkin efek kecanduan narkoba kali ya maksudnya, walaupun filmnya masih ada kekurangan dan belum sempurna, saya tetap mengapresiasi film ini, kapan lagi kan? Sebagai penggemar komik saya bisa lihat jagoan Indonesia beraksi dilayar lebar, sudah tidak sabar melihat kelanjutan Sri Asih dan juga Jagad sebelah Jagad Satria Dewa (JSD) Indonesia bangga 🇮🇩

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener, kekurangan sih pasti nggak terelakkan. Apalagi ini percobaan pertama. Setidaknya, Gundala masih bisa bikin excited buat nungguin film lain di Jagad Sinema Bumilangit. Beneran penasaran dengan Sri Asih.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
    3. Bilang aja penasaran sama pevita, min 😂 😛
      Tapi sy sebagai sesama cewek aja terkesima liat sri asih walau cuma bbrp detik, aura cantiknya gak hilang dan keingetan terus sampe sy pulang, apalagi buat cowok ya? 🙄

      Delete
    4. Lho ya jelasss. Tujuan utamanya pengen liat Pevita jadi superhero. Kapan lagi coba? Hahaha

      Delete
  5. Saya malah terkesannya adegan Sri Asih ngepret mobil pake selendang.cool banget.trus ngebayang Hulk dikepret gitu... #nglantur 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi ikut ngebayangin Hulk dijepret selendang Sri Asih nih. Woyyyyy. Hahaha.

      Delete
  6. Akhirnya ada yang nggak muji muji film ini setinggi langit. Dari kemarin baca di Twitter isinya pujian semua tapi begitu nonton... Nggak sebagus itu cuy! Beberapa bagian keren sih tapi nggak sampe wow banget lah. Adegan ngelawan Pengkor itu apaan banget deh. Masa gitu doang kalah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak apa-apa. Mungkin mereka emang excited banget sewaktu nonton film ini. Kemarin saja banyak yang tepuk tangan lho. Aku sampai kaget. Tumben banget nih.

      Delete
  7. 1. Anak buahnya pengkor pada punya karakter, mungkin nanti bakal jadi villain sendiri2 ya? Paling yunik sih asmara abigail. Eh tapi dia berisik bgt, kebanyakan jerit

    2. Asmara abigail sm hannah al rasyid kupikir jd superhero krn pas BLCU ngumumin nama2 tokoh jagat sinemanya, nama mereka kaya nama superhero gitu. Eh tenyata villain ya

    3. Gulatnya kurang liar, kerasa bgt koreografinya. Tempo berantemnya terlalu lambat utk ukuran superhero

    4. Aku kok kzl ya sama pengulangan adegan di lokasi jalanan dekat perlintasan KA. Di situ mulu perasaan, trus sama2 dipalak ngamen juga.

    5. Eh desain visual openernya bagus. Ala2 marvel gitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. 1. Tadinya aku pikir gitu atau paling nggak porsi tampilnya banyak. Tapi sepertinya memang hanya segitu sih. Kuciwaaa.

      2. Oh nggak, itu campuran kok. Dian Sastro kabarnya jadi villain.

      3. Bangetttsss. Berasa lihat lagi latihan. Yang paling bikin gemes ya pertarungan akhir. Nggak ada intens intensnya blasss.

      4. Yoih. Efeknya di sini juga kelihatan nggak mulus pun. Keretanya juga ditungguin kaga pernah lewat. 😒

      5. Yoihhh

      Delete
  8. Untung udah baca review negatifnya jadi gak terlalu ekspetasi tinggi, dan dari trailernya sudah gak berharap dari actionnya.. en setelah nonton... wow.. melebihi ekspetasi.. aksinya rupanya keren juga setidaknya bagian awal... bagian akhirnya malah kurang. En gila suasananya mencekam.. ketakutan sancaka kecil terhadap petir tersampaikan.. waktu sancaka tutup jendela.. kesannya jadi horor. Joko Anwar emang the best lah kalo bikin suasana horor. Menurut aku oke sih.. waktu ntn wow.. tapi memang pas bagian akhir terasa menjemukan.. gak connect lagi.. penonton samping gw aja gak lagi menampilkan reaksi kayak waktu awal2 (yg awalnya penuh reaksi jadi diem2 aja). Tapi masih keren lah menurut aku asal jangan berharap berlebih aja.. en jangan baca review seperti ini segera setelah nonton,bikin feel awal yang wow wow jadi sadar lagi, jatuh ke bumi, menyadari kekurangan2 film ini.. haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak apa-apa, jadi bisa ngatur ekspektasi biar saat nonton nggak terlalu kecewa. Buatku juga masih layak sekali kok film ini, hanya masalah di paruh keduanya. Terlalu banyak yang pengen dijelasin. Kalau fokus ke karakter Sancaka saja mungkin bakal lebih greget.

      Delete
  9. gw sih nonton jujur aja, KENTANG, banyak adegan yg harusnya di ceritain ini enggak, contoh KENAPA SANCAKA bisa nerima petir (mungkin di seri selanjutnya GUNDALA PUTRA PETIR) kalau benar, terlalu LATE untuk di ceritakan, GHAZUL pun sepertinya memanfaatkan Pengkor untuk membangkitkan GUNDALA karena tujuannya adalah, melepaskan dewa dia Ki Wilawuk, karena si sancaka sendiri TIDAK tau kalau dia adalah GUNDALA, yg dia tau hanyalah manusia yg bisa menerima PETIR. udah itu aja.

    soal musuhnya, KEBANYAKAN untuk tampil secara serentak, gw demen banget tuh sm yg dukun ngeluarin bola api, beuh itu bisa jd musuh kuat harusnya, tanpa menggunakan bela diri tp menggunakan manipulasi + Yg megang GOLOK 2 biji, beuh harusbya gundala PAYAH, tiap masing2 musuh paling enggak punya kekuatannya sendiri dan gundala hanya punya petir.

    aturan juga saat kena sambaran petir pertama saat waktu kecil disitu dikasi tau kenapa dia bs menerima petir.

    banyak yg tanggung, untuk sri asih tampil juga harusnya di shoot dr belakang saat nebas mobil. jangan terlalu vulgar di tampilkan biar lbh penasaran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya sayang banget film ini terlalu banyak masukkin plot jadi beberapa hal krusial kurang tergali. Plot soal politik itu bisa dipangkas dan lebih fokus ke perkembangan karakternya Sancaka termasuk cara main kekuatannya yang nggak terlalu diulas.

      Delete
  10. Paruh awal sy nilai 9 utk film ini, khususnya sblm sancaka dewasa..tp paruh akhir ya cukup 6,5 lah..saya malah berpikir seandainya ini film dgn cerita awal seperti itu dibuat seperti film merantau(iko uwais), nda usah pake acara superhero2 segala pasti super bagus..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener. Tapi aku paham sih kenapa paruh akhir dibikin seperti itu: biar penonton penasaran dengan film berikutnya. Sayangnya emang terlalu banyak yang dimasukkan jadinya terasa sesak dan terburu-buru.

      Delete
  11. Baru nonton. Setuju sih, ceritanya agak sesek ya walaupun aku maklum. Tapi yang paling aku gak maklum, scene anak2 bapak vs gundala. Gemes banget napa siii sesingkat ituuuu. Evolusi sancaka sampe bisa manfaatin power nya juga gajelas, gak kayak shazam yang bener2 belajar pelan2 ttg gimana cara pakai powernya. Sancaka ujug2 bisa gitu :/

    Tapi lumayna bikin penasaran lah sama film2 selanjutnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah yang bikin gemes. Anak Bapak yang tampilannya keren-keren gitu ternyata muncul beberapa menit doang. Berasa nggak ada perlawanannya 🤷

      Poin Sancaka yang tiba-tiba bisa manfaatin kekuatannya itu juga ganggu sih. Bahkan kita nggak pernah beneran ngerti cara kerjanya kek gimana.

      Delete
  12. Gila detail banget gan reviewnya, keren! Oiya buat yang belum nonton, bisa nih download film Indonesia di mari.

    ReplyDelete